Dr.dr. Renindra Ananda Aman Sp.BS
Divisi Neuro-onkologi, Departemen Bedah Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Tumor hipofisis atau adenoma hipofisis adalah jenis neoplasma yang relatif sering muncul, yaitu antara 10-20% dari semua kejadian tumor intrakranial.1 Pada umumnya, tumor hipofisis bersifat jinak dan menyebabkan gejala klinis akibat efek massa serta aktivitas sekresi hormonal, yang merupakan indikasi utama untuk tindakan operasi.2 Tumor hipofisis ditemukan secara kebetulan (incidental) pada sekitar 10% pasien yang menjalani pemeriksaan pencitraan
otak (radioimaging) untuk indikasi lain.3 Tumor ini juga merupakan tumor tersering kedua secara histopatologi pada pasien berusia 20-35 tahun berdasarkan Central Brain Tumor Registry of the United States (CBTRUS).4 Sebagian besar dari tumor jinak ini tumbuh perlahan, namun terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam tumorigenesis, seperti kelainan G-protein, mutasi gen ras, delesi serta mutasi gen p53, yang dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan agresivitas tumor.5
Klasifikasi Tumor Hipofisis
Berdasarkan ukuran massa tumor, adenoma hipofisis dapat dibedakan menjadi mikroadenoma (diameter <1 cm) dan makroadenoma (diameter >1 cm). Tumor ini juga dapat diklasifikasikan berdasarkan presentasi klinis, kadar hormon serum serta karakteristik pewarnaan imunohistokimia. Berdasarkan jenis tumor, adenoma hipofisis terbagi menjadi adenoma nonfungsional dan adenoma fungsional. Adenoma nonfungsional mencakup 30% dari seluruh kasus adenoma hipofisis. Istilah nonfungsional digunakan karena jenis tumor ini tidak menyebabkan presentasi klinis akibat hormon yang berlebihan (hipersekresi), sedangkan adenoma fungsional berasal dari sel adenoma anterior hipofisis yang mengatur sekresi dan regulasi hormon peptida juga faktor stimulasi.4
Presentasi Klinis
Gejala klinis pada kasus adenoma hipofisis umumnya timbul akibat pengaruh massa tumor pada struktur di sekitarnya, invasi tumor, serta gejala yang berkaitan dengan kadar hormon sistemik yang meningkat atau berkurang. Pada pasien dengan makroadenoma hipofisis, gejala yang berkaitan dengan efek massa tumor dan tekanan pada struktur di sekitarnya, serta pada sebagian kasus invasi tumor dari struktur tersebut cenderung menjadi presentasi klinis tersering. Kelainan fungsi penglihatan karena kompresi struktur saraf kranial II (nervus opticus) terjadi pada 50-60% pasien makroadenoma hipofisis.4,5 Sakit kepala termasuk gejala yang sering muncul, dapat bersifat nonspesifik ataupun bersumber di daerah dahi sesuai dengan distribusi saraf kranial V (nervus trigeminus). Penekanan pada kelenjar hipofisis normal dapat menyebabkan hipopituitarisme. Invasi tumor ke sinus kavernosus dapat menyebabkan gejala visual lain akibat cedera saraf kranial III, IV, VI seperti ophthalmoplegia, diplopia, ptosis, maupun rasa baal atau nyeri pada wajah. Perluasan tumor ke dalam sinus sfenoid dapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal spontan lewat hidung (rhinorrhea).5
Selain gejala yang bersumber dari efek massa tumor atau invasi tumor ke struktur di sekitarnya, disfungsi endokrin dapat terjadi akibat kelebihan produksi hormon dari tumor hipofisis (adenoma fungsional atau sekretoris), atau dari kompresi tangkai (stalk) pada kelenjar hipofisis normal. Manifestasi endokrinologis bergantung pada kelebihan atau kekurangan produksi hormon yang disebabkan oleh adanya tumor. Seringkali pasien dengan adenoma hipofisis akan datang dengan onset sakit kepala yang mendadak, penurunan fungsi penglihatan, serta disfungsi hormon yang merupakan akibat dari perdarahan mendadak atau infark di dalam tumor. Hal ini yang menyebabkan pembesaran ukuran tumor secara tiba-tiba dan cepat (pituitary apoplexia).4,5
Efek Klinis Produksi Hormon yang Berlebihan4,5
Hormon Prolaktin
Hipogonadisme, jika terjadi hiperprolaktinemia dalam jangka waktu lama, terutama pada pria
Amenore, galaktorea dan infertilitas pada wanita
Penurunan libido dan impotensi pada pria
Osteoporosis
Hormon pertumbuhan (growth hormone)
Gigantisme pada anak dan remaja
Pada orang dewasa dapat terjadi akromegali (perubahan ukuran tangan dan kaki, kulit wajah menjadi kasar, penonjolan dahi, prognathism, perubahan suara, diabetes melitus, hipertensi, sleep apnea dan kardiomiopati)
Adrenocorticotropic hormone (ACTH)
Penyakit Cushing yang ditandai dengan pertambahan berat badan, obesitas sentripetal, moon face, hirsutisme, striae ungu, mudah memar, miopati proksimal, gangguan perilaku, diabetes melitus, serta gangguan jantung sekunder
Pengaruh Jenis kelamin
Prolaktinoma simptomatik lebih sering ditemukan pada wanita. Penyakit Cushing juga lebih sering terjadi wanita (rasio wanita dibandingkan pria 3:1). Insiden akromegali setara untuk pria dan wanita.
Pengaruh Usia
Sebagian besar adenoma hipofisis terjadi pada orang dewasa muda, walaupun dapat dijumpai pula pada remaja dan kaum lanjut usia. Akromegali biasanya didiagnosis pada rentang usia dalam dekade keempat dan kelima.
Pemeriksaan Laboratorium
Prolaktinoma
• Terjadi peningkatan kadar prolaktin serum. Level prolaktin
di atas 200 mg/l pada pasien dengan makroadenoma
merupakan landasan diagnostik prolaktinoma. Kadar prolaktin
di bawah angka tersebut pada makroadenoma mengarah pada
kemungkinan adanya hiperprolaktinemia sekunder akibat
kompresi pada tangkai hipofisis (stalk) atau hipotalamus (stalk
dysinhibition effect). Kadar prolaktin yang lebih besar dari
2000 mg/l kemungkinan besar berasal dari prolaktinoma yang
invasi.6
Abnormalitas Hormon Pertumbuhan
Kadar hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) meningkat pada akromegali namun dapat berfluktuasi secara signifikan.
Tes toleransi glukosa oral (TTGO) adalah tes definitif untuk mendiagnosis akromegali; hasilnya positif apabila kadar GH tidak bisa turun menjadi <1 μg/l setelah meminum 50-100 g glukosa. Kadar GH yang lebih besar dari 5 μg/l mengarah ke akromegali.
Kadar faktor pertumbuhan serum seperti insulin-like growth factor 1 (IGF-1) adalah tes endokrin yang lebih praktis untuk mendiagnosis akromegali. Kadar IGF-1 mencerminkan konsentrasi GH selama 24 jam sebelumnya.4,5
Penyakit Cushing
Terjadi peningkatan kadar kortisol bebas dalam urin 24 jam
Tes dexamethasone dosis rendah bertujuan untuk menentukan nilai two-day baseline dari kadar kortisol serum dan urin. Pasien diberikan empat dosis dexamethasone 0,5 mg dengan interval enam jam. Supresi normal adalah kadar kortisol serum <138 nmol/l atau kadar kortisol urin <55 nmol/l. Jika kadar kortisol meningkat secara abnormal, corticotrophin releasing factor (CRF) dalam dosis 1 mg dapat diberikan untuk membedakan antara penyakit Cushing dan penyebab hiperkortisolisme lain (misalnya sindrom Cushing). Dengan adanya adenoma hipofisis, sekresi kortisol meningkat melampaui baseline.
Tes dexamethasone dosis tinggi bertujuan untuk mengonfirmasi diagnosis adenoma hipofisis. Dexamethasone dosis tinggi menyebabkan penekanan kelenjar hipofisis walaupun terdapat adenoma. Supresi kortisol setelah pemberian dexamethasone dosis tinggi (8 mg) mengonfirmasi diagnosis adenoma hipofisis. Jika kadar kortisol tidak berubah maka penyebab peningkatan kortisol bukan karena adenoma hipofisis.
Terjadi peningkatan kadar ACTH dalam serum (>5,5 pmol/pada jam 9 pagi dan >2.2 pmol/l pada tengah malam). Terkadang pengambilan sampel ACTH dari sinus petrosal inferior dengan venografi serebral dapat bermanfaat dalam mengonfirmasi diagnosis. Inferior petrosal sinus sampling (IPSS) dapat digunakan dalam kasus adenoma hipofisis yang invasi ke sinus kavernosus.5
Pemeriksaan Neuroradiologi
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas radioimaging terpilih untuk mendiagnosis dan melihat karakteristik lesi hipofisis saat ini. Protokol standar untuk MRI hipofisis dan wilayah parasellar terdiri dari potongan sagital T1- dan T2-weighted dengan atau tanpa kontras intravena. Enhancement kontras dapat membedakan adenoma dari kelenjar hipofisis yang tergeser serta dapat mendeteksi invasi sinus kavernosus dan menunjukkan penyempitan arteri karotis interna (internal carotid artery/ ICA) pars cavernosus, dan sangat membantu dalam diagnosis diferensial lesi sellar dan parasellar. Potongan koronal tipis pada T2-weighted memberikan visualisasi yang baik dari kompresi pada kiasma optikum.7
Tatalaksana Farmakologis
Sebagian besar prolaktinoma memberikan respons yang baik terhadap agonis reseptor dopamin seperti bromocriptine. Pengobatan medikamentosa dapat memperbaiki fungsi penglihatan, mengurangi gejala yang berhubungan dengan hiperprolaktinemia (galaktorea, amenorea) dan menyebabkan penyusutan tumor. Obat analog somatostatin seperti octreotide dan antagonis reseptor hormon pertumbuhan, pegvisomant, dapat membantu dalam menurunkan kadar GH pascaoperasi dalam kasus akromegali. Agonis dopamin juga telah digunakan untuk terapi pada akromegali. Terapi penggantian hormon untuk kadar hormon yang menurun atau bahkan tidak ada dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Pada pasien dengan penyakit Cushing, preparat ketoconazole dapat diberikan untuk mengurangi produksi kortisol. Pengobatan medikamentosa sangat berguna sebagai lini pertama terapi untuk adenoma hipofisis fungsional atau sebagai pengobatan tambahan dalam pendekatan multimodalitas.
Perhatian khusus harus diberikan saat menggunakan terapi ini untuk periode perioperatif, baik untuk tindakan bedah mikro maupun radiosurgery. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa
pemberian terapi medikamentosa dapat menyebabkan tumor menjadi lebih padat dan lebih fibrotik, dengan demikian secara teknis lebih menantang untuk direseksi pada saat dilakukan
tindakan bedah mikro. Selain itu, beberapa data menunjukkan bahwa bromocriptine dan octreotide dapat memberikan radioresistensi relatif pada tumor yang menjalani radiosurgery.8,9,10
Akibatnya, banyak dokter menyarankan untuk menghentikan kedua preparat ini 4-6 minggu sebelum tindakan bedah dilakukan. Terapi dapat dimulai kembali satu minggu setelah radiosurgery.
Manajemen Bedah
Tujuan dari prosedur operasi adalah (1) pengangkatan tumor secara total, (2) dekompresi kiasma optikum dan saraf kranial II (mata), (3) debulking tumor untuk cytoreduction, (4) menjaga atau memperbaiki fungsi endokrin, dan (5) konfirmasi histologis.7
Dalam beberapa dekade terakhir telah dijumpai kemajuan dalam bidang diagnostik, instrumen serta teknologi bedah. Kemajuan ini membantu dokter spesialis bedah saraf dengan armamentarium yang besar untuk mencapai tujuan bedah sekaligus juga mengurangi komplikasi akibat tindakan bedah. Contoh dari kemajuan teknologi tersebut antara lain CT atau MRI intraoperatif, neuronavigasi, USG Doppler untuk identifikasi arteri karotis interna, penggunaan pewarnaan indocyanine green intraoperatif untuk membedakan margin tumor dan instrumentasi endoskopi endonasal (endoskopi 2D dan 3D).7
Terdapat dua pendekatan operasi, yaitu operasi endonasal transsphenoidal dan operasi transkranial (kraniotomi). Operasi endonasal transsphenoidal lebih banyak dipilih untuk terapi bedah pada adenoma hipofisis.11,12 Kelebihan dari operasi endonasal dibanding operasi kraniotomi termasuk pendekatan yang invasif minimal, secara anatomi lebih langsung mencapai sasaran, tidak ada kraniotomi atau luka operasi pada wajah, sedikit trauma pada otak dan struktur neurovaskular, devaskularisasi suplai darah ke tumor dapat terjadi lebih cepat, serta struktur anatomi yang relevan dapat tervisualisasi dengan baik. Selain itu secara kosmetik pasien merasa lebih baik dan waktu pemulihan menjadi lebih singkat.7 Untuk lesi yang besar dengan ekstensi ke lateral suprasellar, tindakan kraniotomi mungkin diperlukan untuk mendekompresi struktur saraf penglihatan serta reseksi lesi suprasellar yang berada lateral dari garis tengah.
Hasil tindakan bedah dinilai secara radiologis dan melalui evaluasi fungsi penglihatan. Untuk kasus mikroadenoma (diameter <10 mm) yang banyak ditemukan karena endokrinopati akibat gangguan sekresi hormon, maka tujuan pengobatan adalah memperbaiki disfungsi endokrin. Hal ini umumnya membutuhkan pengangkatan tumor secara radikal. Hasil tindakan bedah dianggap memadai untuk adenoma fungsional apabila endokrinopati telah mengalami
perbaikan dan fungsi hipofisis yang normal dapat dipertahankan.
Operasi endonasal transsfenoidal merupakan terapi dengan hasil yang sangat baik dengan tingkat keberhasilan yang tinggi dalam mendekompresi saraf penglihatan. Komplikasi yang timbul akibat tindakan bedah relatif jarang, yang dapat berupa tersisa tumor pascareseksi adenoma yang besar, diabetes insipidus (DI) yang bersifat sementara atau permanen, kebocoran cairan otak (rhinorrhea), defisiensi hormon serta gangguan penglihatan yang menetap.
Komplikasi endokrin paling utama setelah operasi endonasal transsphenoidal adalah hipopituitarisme. Semua pasien harus dinilai untuk kebutuhan terapi penggantian hormon selektif pascareseksi adenoma. Kegagalan untuk mencapai remisi permanen terjadi pada setidaknya 5-15% dari seluruh kasus, bahkan di tangan ahli bedah berpengalaman.13 Tingkat keberhasilan menurun dan komplikasi secara signifikan meningkat bila dilakukan operasi yang kedua.
Terapi Radiasi Fraksinasi
Terapi radiasi fraksinasi dapat digunakan untuk pengobatan adenoma hipofisis yang tidak dapat direseksi. Kontrol dari tumor telah dilaporkan bervariasi antara 76-97%. Terapi radiasi fraksinasi dianggap kurang berhasil dalam mengurangi hipersekresi hormon oleh adenoma nonfungsional yang aktif pada 38-70% kasus.
Mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum efek terapi sepenuhnya dapat terlihat.5 Komplikasi jangka panjang yang dapat timbul dari terapi radiasi fraksinasi (2-10 tahun) antara lain risiko hipopituitarisme yang relatif tinggi (12-100%), neuropati optikum (1-2%) serta berkembangnya tumor sekunder. Beberapa peneliti telah melaporkan kemungkinan terjadinya penyakit serebrovaskular pada pasien tumor hipofisis yang menjalani radioterapi. Pemberian external beam fractionated radiotherapy (EBRT) pada jaringan otak yang normal di sekitar tumor pada pasien tumor jinak, berpotensi menimbulkan efek kognitif jangka panjang.5
Hadirnya teknik radioterapi terbaru seperti intensity modulated radiotherapy (IMRT) dapat lebih meminimalisasi daerah otak normal yang terpapar radiasi dibandingkan dengan teknik konvensional atau teknik konformal 3D standar. Namun lobus temporal bagian medial di ipsilateral maupun kontralateral, yang terlibat erat dalam proses memori dan pembelajaran, masih sering tetap terpapar ketika distribusi radiasi beralih dari saraf optik dan
kiasma optikum.5
Stereotactic Radiosurgery
Tujuan radiosurgery tidak jauh berbeda dengan reseksi tumor pada tindakan bedah; yaitu menormalkan sindrom hipersekresi hormon tanpa terjadinya hipopituitarisme yang baru. Namun berbeda dengan tindakan bedah, yang pada pemeriksaan neuroimaging pascabedah diharapkan tumor menghilang atau tersisa sedikit, tujuan dari stereotactic radiosurgery adalah melakukan kontrol tumor secara permanen. Hal ini berarti tumor yang telah tumbuh membesar, dihambat pertumbuhannya lebih lanjut dan kontrol ini dikonfirmasi melalui neuroimaging secara berkala dalam jangka panjang. Tujuan yang diinginkan adalah stabilisasi ukuran
tumor secara permanen. Akan tetapi sebagian besar tumor akan menunjukkan berbagai tingkat penyusutan ukuran tumor seiring berjalannya waktu. Dengan demikian tujuan radiosurgery pada adenoma hipofisis adalah untuk mengontrol pertumbuhan tumor secara permanen, mempertahankan fungsi hipofisis, menormalkan sekresi hormon pada kasus adenoma fungsional dan menjaga fungsi neurologis, terutama fungsi penglihatan. Walaupun begitu, terdapat risiko yang minimal untuk timbulnya late radiationinduced tumorigenesis serta cedera serebrovaskular pada arteri karotis interna pada pasien yang menjalani radiosurgery. Gamma Knife radiosurgery dapat memberikan dosis radiasi yang aman dan efektif dengan mengambil jarak 1-5 mm antara tumor dan kiasma optikum. Untuk kontrol tumor yang aman, pada umumnya dosis marginal (dosis tepi tumor) diberikan sebesar 12 Gy. Pengalaman dari berbagai pusat Gamma Knife dunia menyebutkan bahwa radiosurgery pada adenoma hipofisis memberikan hasil kontrol tumor sebesar 90-100%.9,14,15,16,17,18
Kesimpulan
Pasien dengan adenoma hipofisis paling baik ditangani melalui pendekatan tim multidisiplin. Pendekatan multimodalitas sering diperlukan termasuk tatalaksana farmakologis, tindakan bedah mikro, stereotactic radiosurgery dan radioterapi fraksinasi. Reseksi tumor melalui operasi endonasal transsphenoidal tetap menjadi pilihan utama untuk makroadenoma yang menekan kiasma optik dan untuk upaya pengurangan kadar hormon berlebihan secara cepat.
Sekitar 30% pasien membutuhkan pengobatan tambahan setelah tindakan bedah mikro. Untuk residu tumor atau tumor rekuren, terapi radiasi fraksinasi merupakan terapi yang telah dilakukan sejak lama.19 Selain itu, untuk kasus dengan sisa tumor yang cukup banyak atau tumor rekuren, tindakan radiosurgery sesi tunggal memberikan kontrol tumor dan kontrol endokrin yang lebih unggul dalam waktu jangka panjang dibanding dengan tindakan bedah
mikro berulang. Stereotactic radiosurgery lebih unggul dalam membatasi paparan radiasi di sekitar jaringan otak normal.
Saat ini peran radiosurgery pada adenoma hipofisis adalah sebagai terapi tambahan pascatindakan bedah mikro. Meskipun demikian, radiosurgery dapat menjadi pilihan pada kasus yang memiliki risiko medis lebih tinggi untuk dilakukannya anestesi umum atau bedah mikro, untuk pasien dengan keterlibatan tumor di sinus kavernosus, serta untuk pasien yang secara sadar tidak memilih untuk menjalani prosedur bedah mikro.
DAFTAR PUSTAKA
Sheehan JP, Starke RM, Mathieu D et al. Gamma Knife radiosurgery for the management of nonfunctioning pituitary adenomas: a multicenter study, J Neurosurg 119:446–456, 2013
Lauren A. Lawrence, MD1, Andrew B. Baker, BS1, Shaun A. Nguyen, MD, MA1. Predictors of 30-day morbidity and mortality in transnasal microscopic pituitary tumor excision, Int Forum Allergy Rhinol. 6:206–213, 2016
Chong BW, Kucharczyk W, Singer W, George S: Pituitary gland MR: a comparative study of healthy volunteers and patients with microadenomas. Ajnr: American Journal of Neuroradiology 15:675-679, 1994
Kalra RR , Taussky P , Niazi T, Couldwell W. Pituitary Tumors: Genetics and Heritable Predisposition in M.A. Hayat (ed.), Tumors of the Central Nervous System, Volume 10, 71 Springer Science+Business Media Dordrecht, 71-82, 2013
“Pituitary Tumors: Overview”, IRS (International RadioSurgery Association), 2004
Landolt AM: Cerebrospinal fluid rhinorrhea: a complication of therapy for invasive prolactinomas. Neurosurgery 11:395-401, 1982
Khan OH, Zadeh G. Pituitary Tumors in Berstein M, Berger M (eds) Neurooncology: The Essentials, Thieme, 2015
Landolt AM, Haller D, Lomax N et al: Octreotide may act as a radioprotective agent in acromegaly. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 85:1287-1289, 2000
Landolt AM, Lomax N: Gamma knife radiosurgery for prolactinomas. Journal of Neurosurgery 93 Suppl 3:14-18, 2000
Landolt AM, Lomax N, Scheib S: Stereotactic radiosurgery for pituitary adenoma. Rochester, Futura, 2002
Ciric I, Rosenblatt S, Kerr W, Jr., Lamarca F, Pierce D, Baumgartner C: Perspective in pituitary adenomas: an end of the century review of tumorigenesis, diagnosis, and treatment. Clinical Neurosurgery 47:99-111, 2000
Fahlbusch R, Thapar K: New developments in pituitary surgical techniques. Best Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism 13:471-484, 1999
Inder WJ, Espiner EA, MacFarlane MR: Outcome from surgical management of secretory pituitary adenomas in Christchurch, New Zealand. Internal Medicine Journal 33:168-173, 2003
Hayashi M, Izawa M, Hiyama H et al. Gamma Knife radiosurgery for pituitary adenomas. Stereotactic & Functional Neurosurgery 72 Suppl 1:111-118, 1999
Kim SH, Huh R, Chang JW et al: Gamma Knife radiosurgery for functioning pituitary adenomas. Stereotactic & Functional Neurosurgery 72 Suppl 1:101-110, 1999
Kobayashi T, Kida Y, Mori Y: Gamma knife radiosurgery in the treatment of Cushing disease: long-term results. Journal of Neurosurgery 97:422-428, 2002
Landolt AM, Haller D, Lomax N et al: Stereotactic radiosurgery for recurrent surgically treated acromegaly: comparison with fractionated radiotherapy. Journal of Neurosurgery 88:1002-1008, 1998
Morange-Ramos I, Regis J, Dufour H et al: Gamma-knife surgery for secreting pituitary adenomas. Acta Neurochirurgica 140:437-443, 1998
McCord MW, Buatti JM, Fennell EM et al: Radiotherapy for pituitary adenoma: long-term outcome and sequelae. International Journal of Radiation Oncology, Biology, Physics 39:437-444, 1997.
Sumber: Medicinus Juli 2019 vol. 32 issue 2