Dislipidemia: Pentingnya Pencapaian Target Terapi Untuk Menyelamatkan Banyak Jiwa
- yatidxm
- 25 Jun 2021
- 9 menit membaca
Diperbarui: 21 Jul 2021
Dislipidemia merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan pada metabolisme lipid/lemak yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan kadar fraksi lipid seperti kolesterol dan trigliserida di dalam darah. Hasil pemeriksaan laboratorium penderita dislipidemia umumnya akan menunjukkan kenaikan kadar kolesterol total (K-total), kolesterol low-density lipoprotein (K-LDL) dan/atau trigliserida (TG), serta penurunan kolesterol high-density lipoprotein (K-HDL).1
Kolesterol LDL yang sering disebut juga sebagai kolesterol jahat, berkontribusi dalam penumpukan lemak pada pembuluh darah (aterosklerosis) yang dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, dan penyakit pembuluh darah perifer. Oleh karena itu, penurunan kolesterol LDL merupakan target utama dalam terapi dislipidemia. Sementara itu, kolesterol HDL seringkali disebut sebagai kolesterol baik karena kolesterol HDL bertugas membawa sebagian kolesterol LDL kembali ke hati untuk kemudian dipecah dan dibuang. Kadar kolesterol HDL yang tinggi memberikan efek protektif. Kadar trigliserida yang tinggi, kolesterol LDL yang tinggi, dan kolesterol HDL yang rendah merupakan kombinasi yang dapat menjadi penyebab akselerasi penumpukan lemak pada pembuluh darah dan meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. 2
Kenaikan kadar kolesterol seringkali tidak menimbulkan gejala atapun keluhan yang dirasa menggangu oleh penderitanya, sehingga risiko terjadinya komplikasi yang fatal pun semakin meningkat karena penyakit tidak terdeteksi sejak dini. Manifestasi klinis yang sering timbul dari kondisi dislipidemia adalah penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke, oleh karena itu pemeriksaan berkala profil lipid darah menjadi hal yang penting untuk dilakukan, terlebih apabila seseorang memiliki faktor riwayat keluarga dengan kolesterol tinggi dan adanya beberapa faktor risiko lain seperti tekanan darah tinggi, kelebihan berat badan, penyakit gula/diabetes, riwayat penyakit jantung dalam keluarga, atau riwayat kebiasaan merokok. Seseorang dinyatakan mempunyai kadar kolesterol normal bila dari hasil pemeriksaan darah, kadar kolesterol total <200 mg/dl, kadar kolesterol LDL optimal <100 mg/dl, kadar kolesterol HDL ≥60 mg/dl, dan kadar trigliserida <150 mg/dl. Meskipun demikian, pada beberapa kondisi, target kolesterol LDL mungkin akan berbeda, contohnya pada kasus dislipidemia yang disertai dengan penyakit penyerta seperti diabetes melitus, maka dibutuhkan penurunan LDL yang lebih agresif dengan harapan dapat menurunkan risiko kejadian komplikasi.1
Dislipidemia merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskular yang dapat dimodifikasi. Secara umum, pengelolaan dislipidemia memerlukan pendekatan yang komprehensif, terutama bila pasien telah memiliki faktor risiko metabolik lainnya seperti hipertensi, diabetes, dan obesitas. Tujuan dari terapi dislipidemia pada dasarnya untuk mencegah timbulnya komplikasi penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit aterosklerosis vaskular lainnya atau disebut juga pencegahan primer. Selain itu, pada pasien yang sudah menderita riwayat penyakit kardiovaskular dan aterosklerosis, terapi dislipidemia ditujukan untuk mencegah komplikasi kardiovaskular lanjutan atau disebut juga dengan pencegahan sekunder. Terapi dislipidemia terdiri dari terapi nonfarmakologis dan terapi farmakologis dengan penurunan kolesterol LDL sebagai target utamanya.1 Pilar utama dalam terapi nonfarmakologis untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup. Pola hidup sehat yang dapat membantu pengelolaan kolesterol meliputi:1,2
1. Aktivitas fisik Aktivitas fisik yang disarankan meliputi program latihan fisik yang mencakup setidaknya 30 menit aktivitas fisik intensitas sedang, 4-6 kali seminggu. Aktivitas fisik dapat berupa jalan cepat, bersepeda statis, ataupun berenang.
2. Pola makan sehat Penderita kolesterol tinggi disarankan untuk membatasi asupan yang kaya akan kandungan lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol. Direkomendasikan untuk mengonsumsi diet rendah kalori dan kaya serat yang meliputi buah-buahan dan sayuran, biji-bijian, ikan, serta daging tanpa lemak.
3. Menghindari paparan asap rokok Paparan asap rokok dapat mempercepat pembentukan lapisan plak dan dapat menyebabkan rupture plak pada pembuluh darah koroner. Menghindari paparan asap rokok baik secara aktif maupun pasif akan membantu menurunkan kadar kolesterol LDL dan menurunkan risiko penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer, dan stroke.
4. Mencapai berat badan ideal
Apabila terapi nonfarmakologis tidak memberikan hasil yang baik dalam menurunkan kadar kolesterol, maka usaha penurunan kolesterol dapat ditambahkan dengan terapi farmakologis atau terapi obat. Pilihan obat yang dapat digunakan adalah golongan statin, bile acid sequestrant, asam nikotinat, fibrat, ezetimibe, inhibitor PCSK9, serta asam lemak omega-3. Obat golongan statin seperti simvastatin, atorvastatin, dan rosuvastatin merupakan terapi pilihan pertama pada pasien dengan dislipidemia selama pasien tidak memiliki kontraindikasi maupun intoleransi terhadap obat. Berdasarkan berbagai penelitian, efikasi statin telah terbukti dalam menurunkan kolesterol LDL dan pencegahan primer serta sekunder penyakit kardiovaskular, sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular.1
Terdapat beragam jenis statin yang dapat dijumpai di pasaran. Berdasarkan kemampuannya untuk menurunkan kadar kolesterol LDL, statin dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:1
Statin intensitas tinggi: memiliki rerata penurunan kolesterol LDL 50% atau lebih (contoh: atorvastatin 40-80 mg, rosuvastatin 20-40 mg)
Statin intensitas sedang: memiliki rerata kemampuan menurunkan kolesterol LDL 30-<50% (contoh: atorvastatin 10-20 mg, rosuvastatin 5-10 mg, simvastatin 20-40 mg)
Statin intensitas rendah: memiliki rerata kemampuan menurunkan kolesterol <30% (contoh simvastatin 10 mg).
Pilihan terapi statin akan sangat dipengaruhi oleh kondisi pasien dan target penurunan kolesterol LDL yang ingin dicapai. Semakin tinggi kadar kolesterol dan semakin tinggi faktor risiko penyakit kardiovaskular maka diperlukan penurunan kolesterol LDL yang lebih agresif dengan menggunakan statin intensitas tinggi. Apabila terapi dengan statin telah mencapai dosis maksimal yang dapat ditoleransi, namun target terapi penurunan kolesterol LDL belum tercapai maka dapat dipertimbangkan terapi kombinasi statin dengan ezetimibe. Ezetimibe merupakan agen penghambat absorbsi kolesterol yang bekerja selektif pada saluran cerna. Penambahan ezetimibe pada terapi statin mampu mengintensifkan penurunan kolesterol LDL hingga 13-20% dan membantu menurunkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dengan lebih intensif. Selain digunakan dalam kombinasi dengan statin, ezetimibe juga dapat dipertimbangkan sebagai monoterapi pada pasien dislipidemia yang tidak dapat menoleransi pemberian statin.1
Pentingnya Kepatuhan Minum Obat dalam Manajemen Dislipidemia
Kepatuhan pasien merupakan faktor kunci dalam keberhasilan terapi dislipidemia.3 Terapi dislipidemia baik farmakologis maupun non-farmakologis merupakan terapi jangka panjang. Hal tersebut merupakan tantangan tersendiri, mengingat dislipidemia biasanya asimtomatik sehingga pasien tidak merasakan efek langsung dari pengobatan. Suatu studi menyatakan bahwa lebih dari 50% pasien akan menghentikan pengobatannya dalam waktu 1 tahun sejak pengobatan dimulai dan akan terus menurun seiring berjalannya waktu.1,3 Bahkan angka ini semakin memburuk menjadi hanya 1 dari 3 pasien yang masih patuh terhadap pengobatan dalam rentang waktu 6 bulan terapi bila dislipidemia yang dialami disertai juga dengan penyakit degeneratif seperti hipertensi.4 Ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat ini akan menyebabkan efektivitas terapi menjadi kurang optimal sehingga dapat meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas akibat komplikasi kardiovaskular.3 Dalam penelitian West of Scotland Coronary Prevention Study (WOSCOPS) yang melibatkan pasien dislipidemia tanpa riwayat penyakit jantung koroner (PJK), risiko terjadinya kematian akibat berbagai macam sebab berkurang 33% pada pasien yang menjalani pengobatan dengan mematuhi penggunaan ≥75% dari jumlah obat yang diresepkan. Selain itu, risiko kematian akibat PJK atau infark miokard berkurang sebesar 38% pada pasien yang menggunakan statin dengan kepatuhan ≥75% dibandingkan dengan 31% pada pasien dengan tingkat kepatuhan kurang dari 75%.5
Penyebab ketidakpatuhan pun sangat kompleks, terlebih bila pasien juga memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi, dan lain sebagainya. Faktor penyebab ketidakpatuhan terhadap pengobatan dapat berasal dari faktor sosial ekonomi, pasien, tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan, maupun faktor terkait obat.6
Faktor sosial ekonomi seperti ras (terkait disparitas manajemen penyakit kronis), usia, dan biaya terapi berkaitan dengan kepatuhan pasien. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan dislipidemia seperti statin telah dikaitkan secara independen dengan usia pasien yang lebih muda, wanita, berpenghasilan rendah, dan ras non-Kaukasia.3 Terkait usia, suatu studi metaanalisis menyebutkan bahwa prediktor ketidakpatuhan berdasarkan usia ini memiliki kurva U-shape, di mana pasien dengan usia <50 tahun dan ≥70 tahun memiliki tingkat kepatuhan minum obat yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien usia 50-69 tahun.3 Biaya pengobatan sangat terkait dengan status sosial ekonomi. Penelitian pada 1.200 orang pasien diabetes menunjukkan tingkat ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang dilatarbelakangi oleh masalah biaya mencapai 16%. Disebutkan juga ketidakpatuhan minum obat akibat biaya pengobatan lebih sering terjadi pada pasien dengan obat penurun kolesterol. Selain itu, ditemukan juga pada pasien yang sepenuhnya di-cover oleh asuransi kesehatan, tingkat kepatuhan minum obat juga lebih besar.6
Faktor terkait pasien dapat berupa kurangnya literasi tentang kesehatan, pemahaman tentang penyakit dan pengobatan yang tidak memadai, tingkat keparahan dan kompleksitas penyakit pasien, sikap pasien terhadap efektivitas terapi, pengalaman pengobatan yang kurang baik, kebiasaan minum alkohol, dan adanya masalah psikologi atau gangguan kognitif.3,6 Literasi kesehatan dan pemahaman pasien tentang penyakit dan pengobatannya memegang peranan penting karena berkaitan langsung dengan kepatuhan minum obat pada penyakit kronis. Sikap dan kepercayaan pasien tentang manfaat pengobatan sangat erat dengan kemauan minum obat. Apabila pasien merasakan bahwa manfaat pengobatan lebih besar daripada risikonya maka tingkat kepatuhan minum obat akan meningkat. Keparahan dan kompleksitas penyakit akan memengaruhi tingkat kepatuhan. Studi di Perancis menunjukkan pasien dengan sindrom koroner akut yang juga mempunyai penyakit nonkardiovaskular yang parah mempunyai tingkat kepatuhan minum obat untuk pencegahan sekunder penyakit jantung koroner yang lebih rendah dibandingkan pasien tanpa penyakit nonkardiovaskular yang parah. Kebiasaan minum alkohol dan gangguan psikologis seperti depresi pada pasien penyakit kronis berkaitan dengan tingkat kepatuhan minum obat yang lebih rendah.6 Lupa biasanya berkontribusi besar pada fenomena ketidakpatuhan minum obat. Lupa bisa juga terjadi akibat pasien kurang memprioritaskan pentingnya pengobatan, minum obat mengingatkan pasien pada kondisinya, dan pasien merasa tua atau buruk terhadap dirinya sendiri akibat pengobatan yang dijalaninya atau bisa pula karena pasien pada dasarnya tidak suka minum obat tersebut.3
Faktor tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan meliputi komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan. Kualitas komunikasi yang baik dan efektif akan memengaruhi persepsi pasien terhadap penyakit dan pengobatannya sehingga akan meningkatkan kepatuhan minum obat.6 Informasi dan edukasi yang kurang lengkap dan tidak konsisten serta waktu konsultasi yang terbatas berkontribusi terhadap ketidakpatuhan pasien minum obat.3
Faktor terkait obat antara lain berupa regimen pemberian obat, efek samping, dan tolerabilitas pasien terhadap obat. Kompleksitas dan frekuensi pemberian obat secara langsung berpengaruh terhadap kepatuhan pasien minum obat terutama pasien dengan penyakit kronis. Studi pada pasien dengan fibrilasi atrial dan hipertensi atau diabetes menyatakan bahwa pasien yang menerima dosis sekali sehari memiliki tingkat kepatuhan minum obat 26% lebih tinggi dibandingkan pasien yang menerima obat dengan regimen 2 kali sehari. Selain itu, adanya efek samping pengobatan juga berpengaruh.6 Misalnya saja pemberian statin terkait dengan dengan efek samping yang tergantung besarnya dosis, dimulai dari gangguan terkait otot, gangguan memori dan kognitif, serta new onset diabetes. Ketika diperlukan target penurunan yang agresif maka bisa jadi dosis yang diperlukan semakin besar sehingga risiko terjadinya efek samping juga menjadi semakin besar.3
Faktor-faktor di atas menjadikan upaya meningkatkan kepatuhan pasien menjadi kompleks, apalagi bila pasien menderita lebih dari satu penyakit kronis. Pada umumnya, sekitar 33% pasien akan patuh mengikuti pengobatan hanya dengan diberi resep dan diminta untuk mengonsumsinya oleh dokter, sedangkan sekitar 15-25% tidak akan patuh terhadap pengobatan. Oleh karena itu, diperlukan intervensi untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat, terutama pasien yang mungkin dapat patuh dengan adanya dukungan dan dorongan, yakni setidaknya 50% pasien. Strategi intervensi untuk dapat meningkatkan kepatuhan pasien meliputi pendekatan berfokus pasien, tenaga kesehatan, dan sistem pelayanan kesehatan.3
• Pendekatan berfokus pasien
Sebelum memulai memberikan obat antidislipidemia untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, sejak awal pasien harus dilibatkan dalam diskusi untuk mengetahui tujuan dari terapi, efek samping yang mungkin terjadi, kemungkinan interaksi dengan obat lainnya, kepatuhan pengobatan dan gaya hidup, serta pilihan-pilihan yang diinginkan pasien.1 Adanya informasi dan edukasi pasien yang baik dapat meningkatkan kepatuhan pasien sebanyak 13% dan intervensi yang melibatkan dukungan dan pengingat minum obat akan meningkatkan kepatuhan pasien sampai dengan 24%. Dalam suatu studi bahkan pasien menyarankan agar diberikan informasi yang memadai tentang alasan dan manfaat serta risiko pengobatan yang diterima, waktu konsultasi yang lebih banyak, dan informasi obat dalam bentuk tertulis seperti booklet untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pengobatan yang diterima sehingga kepatuhan minum obat dapat meningkat.3
Dari sisi obat, penyederhanaan regimen obat sangat membantu pasien. Simplifikasi regimen obat dapat meningkatkan kepatuhan pasien sebesar 11%.3 Mengurangi frekuensi pemberian dengan sediaan sustained-release, mengganti obat dengan regimen satu kali sehari, atau menggunakan sediaan fixed-dose combination dapat membantu meningkatkan kepatuhan pasien.6 Penggunaan alat yang dapat membantu seperti charts atau pil organizer juga dapat membantu meningkatkan kepatuhan pasien. Apabila pasien dislipidemia sebelumnya mengalami efek samping sehingga tidak patuh minum obat, maka dapat diusahakan statin holiday, switching, memulai dengan dosis rendah, maupun kombinasi dengan agen penurun kolesterol lain.7
Monitoring dan follow-up pasien baik dengan telepon maupun email, pendekatan perilaku, sesi dukungan kelompok, dan edukasi terhadap sistem pendukung keputusan, dapat membantu meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat sehingga terjadi penurunan kadar kolesterol baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.7
• Pendekatan berfokus tenaga kesehatan dan hubungan tenaga kesehatan-pasien
Dalam mencapai tujuan terapi pengobatan, dokter dan tenaga kesehatan lain merupakan partner pasien. Bagaimanapun, keputusan terapi yang optimal adalah hasil kolaborasi antara tenaga kesehatan dan pasien, di mana preferensi dan nilai-nilai pasien diperhitungkan dan dihormati. Strategi utama pendekatan ini adalah meningkatkan komunikasi dan dialog antara tenaga kesehatan dan pasien dalam rangka edukasi pasien menjadi lebih baik dan menjelaskan kesalahpahaman pasien tentang penyakit dan pengobatannya.3 Strategi ini dapat melibatkan tim multidisiplin baik dokter, perawat, maupun apoteker yang secara berkala melakukan edukasi, follow-up, ataupun konseling terhadap pasien.6 Pasien dengan pengetahuan yang lebih komprehensif dan monitoring serta follow-up yang baik akan mempunyai tingkat kepatuhan terhadap terapi yang lebih tinggi sehingga dapat mencapai tujuan terapi yang diharapkan.3
• Pendekatan berfokus sistem pelayanan kesehatan
Pada penyakit kronis, sistem jaminan kesehatan sangat penting. Dengan adanya coverage yang baik maka barrier pasien dalam sisi biaya terapi dan akses terhadap layanan kesehatan dapat diminimalisasi.6 Selain hal tersebut, sistem berbasis teknologi juga dapat digunakan untuk membantu monitoring dan follow-up serta konseling pasien untuk meningkatkan kepatuhan terapi. Dengan sistem ini, memungkinkan delivery obat ke pasien ketika pasien kehabisan obat atau mengingatkan kapan terakhir pasien melakukan kunjungan dan konsultasi ke dokter.3
Ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan obat melibatkan faktor-faktor penyebab yang kompleks, oleh karena itu diperlukan pendekatan multidisiplin untuk memahami akar masalahnya agar dapat menemukan strategi yang optimal dan komprehensif untuk mengatasi masalah ketidakpatuhan minum obat sehingga pasien dislipidemia dapat mencapai tujuan terapinya dalam menurunkan kolesterol LDL dan menurunkan morbiditas serta mortalitas akibat penyakit kardiovaskular.3,6,7
DAFTAR PUSTAKA
1PERKENI. Pedoman pengelolaan dislipidemia di Indonesia 2019. PB PERKENI 2019. (cited 2021 Feb 26). Available from: URL: https://pbperkeni.or.id/wp-content/uploads/2019/12/Panduan-pengelolaan-dislipidemia-2019.pdf.
American Heart Association. What is cholesterol? American Heart Association 2020. (cited 2021 Feb 26). Available from: URL: https://www.heart.org/en/health-topics/cholesterol/about-cholesterol.
Maningat P, Gordon BR, Breslow JL. How do we improve patient compliance and adherence to long-term statin therapy? Curr Atheroscler Rep 2013;15(1):291.
Chapman RH, et al. Predictors of adherence with antihypertensive and lipid-lowering therapy. Arch Intern Med 2005;165(10):1147-52.
acobson TA. The forgotten cardiac risk factor: noncompliance with lipid-lowering therapy. Medscape 2004. (cited 2021 Feb 26). Available from: URL: https://www.medscape.org/viewarticle/496144_1.
Marzec LN, Maddox TM. Medication adherence in patients with diabetes and dyslipidemia: associated factors and strategies for improvement. Curr Cardiol Rep 2013;15:418.
Alrais M. Improving statin adherence in patients at risk for cardiovascular disease. US Pharm 2021;46(2):6-12.
Sumber: Medicinus April 2021 vol. 34 issue 1