Roy David Sarumpaet,* Mohammad Juffrie,** Suprihati,*** Indwiani Astuti****
*Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Riau,Pekanbaru
**Departemen Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
***Departemen THT Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
****Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
A. RINITIS ALERGI Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I menurut klasifikasi Gell-Coomb yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) dengan mukosa hidung sebagai organ target yang utama. Kondisi ini ditandai dengan beberapa gejala seperti bersin terutama pada pagi hari, hidung berair, hidung tersumbat, serta hidung gatal.2,9
1. Rinitis Alergi Persisten
Kelompok kerja Allergic Rhinitis and Its’ Impact on Asthma (ARIA-WHO 2001) mengklasifikasikan rinitis alergi menjadi rinitis alergi intermiten (RAI) dan rinitis alergi persisten (RAP). Di negara tropis di mana alergen dapat dijumpai sepanjang tahun, jenis yang umumnya dijumpai adalah RAP, sedangkan di negara dengan empat musim, RAI yang lebih banyak terjadi.6,51
RAP banyak dijumpai di negera tropis, hal ini disebabkan karena kondisi iklim yang lembab serta hangatnya udara sepanjang tahun sehingga tergolong kondusif bagi perkembangan dan pertumbuhan tungau debu rumah serta jamur, di mana keduanya merupakan aeroallergen yang paling sering menyebabkan rinitis alergi.51
2. Epidemiologi Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan jenis alergi yang paling banyak terjadi dan dialami oleh sekitar 400-600 juta orang di seluruh dunia. Dalam dekade terakhir ini terjadi peningkatan jumlah prevalensi penderita rinitis alergi secara global.36
Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara, Tengah dan Selatan menunjukkan angka yang tinggi. Di Amerika Serikat, rinitis alergi terjadi pada sekitar 10-30% orang dewasa, serta sampai dengan 40% populasi anak-anak, atau sekitar 20-40 juta pasien.8,37 Meksiko sebagai negara
berkembang juga memiliki angka prevalensi yang tinggi yaitu 20,3-30,2%.13 Berdasarkan laporan yang ada, peningkatan prevalensi rinitis alergi juga terjadi di Brazil dari angka 28,8% di tahun 1995 menjadi 39,2% di tahun 2001.40
Terdapat penelitian yang menemukan prevalensi rinitis alergi di enam negara di Eropa Barat sebesar 23-25%, atau dapat dikatakan satu dari lima orang dewasa di keenam negara tersebut mengalami rinitis alergi3,42,30,33. Data dari Portugal menyebutkan angka prevalensi
rinitis alergi sebesar 26,1%, sedangkan data dari Spanyol menunjukkan prevalensi sebesar 21,5%.46,31,29
Prevalensi di negara-negara Asia juga menunjukan prevalensi rinitis alergi yang cukup tinggi. Cina memiliki angka prevalensi rinitis alergi sebesar 8,7-24,1%.24 Jepang dalam laporan survei yang dikemukakan tahun 2010, memiliki prevalensi rinitis alergi sebesar 44,2%.28
Sementara itu, prevalensi rinitis alergi pada populasi anak di Korea berdasarkan laporan terakhir adalah sebesar 32,9%.44
Indonesia yang memiliki iklim tropis juga menunjukan peningkatan prevalensi penderita RAP, namun belum terdapat laporan prevalensi untuk dekade terakhir. Hasil penelitian di kota Bandung dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) fase 3 memperoleh angka prevalensi pada anak usia sekolah 10 tahun sebesar 5,8%, sedangkan di Semarang penelitian menggunakan kuesioner yang sama pada anak sekolah usia 13-14 tahun mendapatkan hasil 18,6%.45
Dengan melihat tingginya prevalensi rinitis alergi di banyak negara, dapat diperkirakan bahwa beban ekonomi yang ditimbulkan pun sangat besar. Di Amerika Serikat biaya medis langsung yang terdiri dari biaya pelayanan medis, diagnosis, dan obat-obatan mengalami peningkatan hampir dua kali lipat dari 6,1 milyar dolar AS pada tahun 2000 menjadi 11,2 milyar dolar AS di tahun 2005. Beban biaya kesehatan di Eropa sebagai akibat langsung dari rinitis alergi pada akhir tahun 1990-an adalah 1-1,5 milyar Euro. Di samping biaya langsung terdapat pula biaya tidak langsung seperti biaya perjalanan ke rumah sakit, penurunan produktivitas kerja, atau hilangnya hari sekolah dan hari kerja orang tua untuk membawa anak berobat yang perlu diperhitungkan. Di Amerika Serikat, rinitis alergi merupakan penyakit kronis terbesar ke-5 dari segi beban biaya, dengan 75% dari keseluruhan pembiayaan merupakan akibat dari penurunan produktivitas. Biaya tidak langsung akibat rinitis alergi di Eropa diperkirakan melebihi besarnya biaya langsung.47
3. Patogenesis Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh fase sensitisasi, dilanjutkan dengan reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang didominasi respons vaskular dan otot polos terhadap mediator, kemudian berlanjut menjadi reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang melibatkan leukosit dan sel-sel inflamasi.1
Fase sensitisasi diawali dengan menempelnya alergen seperti debu rumah, serpihan kulit, tinja tungau debu rumah, kecoa, rambut hewan peliharaan, maupun tepung sari bunga pada mukosa hidung.26,50 Alergen lain dapat menempel pada kulit atau mukosa saluran nafas bawah atau saluran cerna serta sistem vaskular. Alergen akan ditangkap oleh antigen-presenting cell (APC) seperti limfosit B, makrofag, dan sel dendritik kemudian diproses menjadi pecahan peptida imunogenik yang pendek. Pecahan peptida imunogenik ini dipresentasikan
oleh APC melalui molekul kompleks histokompatabilitas mayor (Major Histocompatibility Complex/MHC) kelas II di permukaan sel APC. MHC kelas II di permukaan sel APC dipresentasikan kepada helper T cells (CD4+). Pada orang yang memiliki predisposisi genetik alergi (atopi) dan dengan adanya IL-4, maka CD4+ T cell berdiferensiasi menjadi limfosit Th2.
Sedangkan bila terdapat IL-12 maka yang terbentuk adalah Th1.50,1,18 Sel Th2 melepaskan beberapa jenis sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-13. Secara spesifik IL-4 dan IL-13 menstimulasi produksi IgE sementara IL-5 akan mengaktifkan eosinofil. Peningkatan jumlah sitokin ini menyebabkan rekrutmen dan aktivasi beragam sel efektor, yang pada akhirnya menimbulkan reaksi inflamasi dan hiperreaktivitas saluran nafas.15,50
IgE merupakan imunoglobulin utama yang menyebabkan respons alergi dan produksinya dirangsang oleh IL-4. IgE melalui bagian Fc akan berikatan dengan high-affinity IgE receptor di permukaan mastosit (FcεRI), sehingga terbentuk kompleks IgE-mastosit. Individu yang telah memiliki kompleks IgE-mastosit ini disebut individu yang telah tersensitisasi dan siap untuk masuk ke reaksi hipersensitivitas tipe I berdasarkan klasifikasi Gell-Coomb.26,50
Gambar 1. Sensitisasi alergi 16
Apabila pada individu tersebut terjadi pencetusan ulang dari alergen spesifik maka dimulailah aktivitas biologis dari IgE. Alergen/antigen akan ditangkap oleh dua molekul IgE yang berada di permukaan kompleks IgE-mastosit sehingga terjadi aktivasi membran sel mastosit.
Pada saat itu terjadi pelepasan mediator yang telah tersedia (preformed mediator) seperti histamin, heparin, triptase, protease, dan sitokin kemotaksis. Selain itu dilepaskan juga mediator lipid yang baru dibentuk (newly formed) seperti leukotrien (LTB4, LTC4, LTD4), prostaglandin (PGD2), dan faktor aktivasi platelet (PAF).50 Reaksi alergi ini disebut RAFC yang berlangsung selama satu sampai dua jam dengan puncak antara 15-20 menit.26,50,36 Sitokin IL-1, TNFα dan PGD2 mempunyai efek somnogenik, sementara PGD2 juga memiliki efek sefalgia. Mastosit melepaskan ECFa yang mengakitbatkan eosinofil perifer bermigrasi ke mukosa hidung.50
Pada fase RAFL yang dapat berlangsung sampai dengan 24 jam berikutnya, terjadi akumulasi berbagai sel inflamasi ke dalam mukosa hidung. Sel inflamasi tersebut antara lain makrofag, limfosit, eosinofil, mastosit dan basofil. Histamin yang pada RAFC dihasilkan oleh mastosit, pada RAFL lebih banyak dihasilkan oleh basofil. Selain itu terjadi juga pelepasan sitokin proinflamasi seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF oleh Th2.1,50
Gambar 2. Reaksi alergi fase cepat 16
Kelompok zat kimiawi lain yang terlibat adalah molekul adhesi yaitu selektin, superfamili imunoglobulin serta integrin. Selektin memengaruhi perlekatan eosinofil ke endotel, molekul adhesi superfamili imunoglobulin (ICAM-1, ICAM-2 dan VCAM-1) berperan dalam pipihnya sel dan diapedesis, sedangkan integrin (VLA-1 sampai VLA-6) berperan dalam masuknya sel melalui matriks ekstraseluler.
Selama RAFL, eosinofil melepas kemoatraktan seperti eotaksin, IL-5 dan regulated on activation, normal T expressed and secreted (RANTES) terhadap sel inflamasi, juga terjadi pelepasan IL-3, IL-5 dan GM-CSF yang meningkatkan kesintasan eosinofil. Kemudian eosinofil akan meninggalkan sirkulasi setelah ekspresi molekul adhesi diaktifkan oleh endotel sementara eosinofil sendiri dan kesintasannya dipengaruhi oleh IL-5 dan GM-CSF.1,50
Histamin dapat meningkatkan fungsi eosinofil dalam memproduksi asetilkolin yang mengakibatkan hiperresponsivitas mukosa hidung. Selain itu histamin juga meningkatkan produksi major basic protein dan eosinophil cationic protein (MBP/ECP) dari eosinofil sehingga dapat meningkatkan hiperresponsivitas dan sekresi kelenjar di mukosa hidung.50
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dimengerti bahwa gejala utama pada rinitis adalah bersin, hidung berair, hidung gatal dan hidung tersumbat. Selain itu timbul juga gejala somnogenik dan sefalgia. Gejala-gejala ini merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi sel-sel inflamasi secara persisten terutama eosinofil, dan mediatior-mediator seperti IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, IL-1, TNF-α, dan PGD2 dalam jaringan mukosa hidung.
Gambar 3. Reaksi alergi fase lambat 16
4. Peran Sitokin Pada Rinitis Alergi
Sitokin adalah protein yang berperan sebagai molekul persinyalan ekstraseluler, yang akan berikatan dengan reseptor spesifik sitokin pada permukaan sel untuk mengatur respons imun dan inflamasi. Sitokin diproduksi sebagai respons sel terhadap adanya mikroba dan antigen lainnya, di mana setiap jenis sitokin akan menstimulasi respons yang berbeda pada sel yang terlibat dalam imunitas dan proses inflamasi.1
a. Sitokin IL-4
IL-4 adalah sitokin yang disekresi oleh Th0, Th2 dan sel mastosit, berukuran 18 kD, dan berperan untuk merangsang proliferasi sel. IL-4 merupakan sitokin utama yang dihasilkan Th2 yang merangsang diferensiasi lebih lanjut Th0 menjadi Th2 serta survival/kesintasan sel Th2 terutama bila sitokin IL-6 juga dijumpai.18
Selain itu, IL-4 dan IL-13 akan mengaktivasi dan merangsang pertumbuhan sel B di mana terjadi perubahan isotipe dari IgM yang dibentuk oleh sel B sehingga terbentuk IgE.1,50 IgE yang terbentuk akan berikatan pada membran sel mast atau basofil yang pada akhirnya bila berikatan dengan alergen spesifik akan terjadi degranulasi dan melepaskan mediator penyebab reaksi alergi. Pada proses alergi di mana terjadi produksi IgE, diperlukan IL-4 dalam jumlah yang tinggi.1,18,41
Sebagai sitokin utama dari Th2, IL-4 juga berperan pada sel mastosit (proliferasi sel), makrofag (inhibisi aktifasi diperantarai IFN-γ) dan sel B. IL-4 juga memiliki peran dalam menginhibisi Th1.1,18,50
b. Sitokin IL-13
IL-13 merupakan protein berukuran 15 kD dan dihasilkan terutama oleh Th2. Selain sel Th2, ternyata sel mastosit dan sel NK (Natural Killer) juga dapat menghasilkan IL-13. IL-13 memiliki struktur dan fungsi yang serupa dengan IL-4. Selain peran yang mirip dengan IL-4 maka peran lain dari IL-13 adalah: pada sel-B menginduksi perubahan isotipe IgE, pada sel epitelial meningkatkan produksi mukus, dan pada fibroblast dan makrofag meningkatkan sintesis kolagen.1,18
c. Sitokin IL-12
Dihasilkan terutama oleh monosit, makrofag, dan sel dendritik, dengan ukuran 35 kD. IL-12 memiliki peran menstimulasi produksi IFN-γ oleh sel T dan sel NK. Nantinya IL-12 bersama dengan IFN-γ akan mempromosi pembentukan Th0 menjadi Th1.1,5
d. Sitokin IFN-γ
IFN-γ merupakan sitokin berukuran 50 kD (terglikosilasi) yang diproduksi oleh Th1, sel T CD8+ dan sel NK. Sitokin ini merupakan sitokin penanda Th1. IFN-γ berperan dalam perubahan sel T0 menjadi Th1 dan menginhibisi diferensiasi sel Th2. Selain itu IFN-γ juga mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba yang telah difagositosis. Pada sel B, IFN-γ mempromosikan perubahan subkelas IgG seperti IgG2a, dan menghambat perubahannya menjadi IgE.1,18
Gambar 4. Peran sitokin pada Rinitis Alergi5,41 inheritability sebesar 0,33-0,75.12 Menurut penelitian dijumpai
Dalam keseimbangan pengaturan imunitas adaptif (adaptive immunity), Th1 dan Th2 akan menghasilkan sitokin yang memiliki peran untuk saling menginhibisi, di mana keadaan ini disebut keseimbangan Th1/Th2. IFN-γ yang dihasilkan oleh Th1 memiliki peran untuk menginhibisi Th2, sebaliknya IL-10 yang dihasilkan oleh Th-2 mampu menginhibisi Th1. IL-10 ternyata bukan hanya dihasilkan oleh Th2 namun juga dihasilkan oleh Treg dan Th3.50
Pada individu dengan atopi, adanya dosis rendah antigen dan costimulation CD86/CD28 serta lingkungan yang mengandung banyak IL-4, Th0 (CD4+ sel T) akan berdiferensiasi menjadi Th2. Th2 kemudian akan menghasilkan sitokin utama yaitu IL-4, IL-5, IL-13, sitokin lainnya, GM-CSF, IL-3, dan IL-10. Sebaliknya pada kondisi banyak bakteri atau terdapat sinyal bahaya dengan kadar antigen yang tinggi akan terjadi diferensiasi Th0 menjadi Th1.18,41
B. FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA RINITIS ALERGI
1. Faktor Genetik
Perkembangan rinitis alergi merupakan suatu interaksi yang kompleks dari predisposisi genetik dan paparan terhadap berbagai faktor dari lingkungan, dan faktor yang terutama adalah alergen.12
Pada kembar monozigot dijumpai keterkaitan sebesar 45-60% untuk penderita rinitis alergi, sementara pada kembar dizigot angka keterkaitan lebih kecil yakni sebesar 25%. Berdasarkan hal tersebut maka diperkirakan bahwa rinitis alergi memiliki inheritability sebesar 0,33-0,75.12 Menurut penelitian dijumpai keterkaitan yang lebih besar untuk manifestasi alergi pada monozigot daripada dizigot dalam hal koefisien korelasi dari total IgE serum (0,82 vs 0,52), respons uji kulit (0,82 vs 0,46).51
Berdasarkan penelitian yang dilakukan baik di Eropa maupun Asia, didapatkan polimorfisme gen yang dapat menimbulkan kondisi rinitis alergi. Dari laporan yang ada, lebih dari 14 pasang kromosom mengandung marker yang berasosiasi dengan fenotipe tertentu pada rinitis alergi.51 Dalam penelitian yang lain dijumpai adanya polimorfisme gen yang mengode kemokin dan reseptornya, interleukin dan reseptornya, serta gen yang mengode IL-4, IL-13 dan IL-4RA.12’
Menurut Scadding dan Church (2006), ditemukan prevalensi rinitis alergi yang lebih tinggi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Hal ini kemungkinan ditentukan atau dipengaruhi secara genetik, karena kadar IgE pada anak laki-laki didapatkan lebih tinggi sejak lahir.43
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan seperti meningkatnya polusi udara, perubahan gaya hidup dan infeksi bakteri serta virus sering dianggap sebagai faktor tambahan dalam sensitisasi alergi dan menjadi kemungkinan penyebab dari meningkatnya prevalensi rinitis alergi.12,51 Lingkungan tropis yang memiliki suhu yang cukup panas sepanjang tahun (sekitar 230C) serta kelembaban udara yang tinggi (75%) merupakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan tungau debu rumah dan jamur yang merupakan aeroallergen utama untuk kasus RAP.32,51
Berdasarkan penelitian Utell dan Samet (1993) serta Krisna et al. (1995), paparan terhadap lingkungan dengan kadar polutan tinggi seperti sulfur dioksida, asap hitam, kandungan partikel besar, karbon monoksida, dan asap dianggap faktor penting yang menjadi penyebab serta eksaserbasi alergi di saluran nafas.51 Pada penderita RAP, jenis alergen dalam ruangan yang paling umum adalah tungau debu rumah (TDR). Jenis terbanyak adalah Dermatophagoides pteronyssinus (Der p), Dermatophagoides farinae (Der f) dan Blomia tropicalis (B tropicalis). TDR umumnya ditemukan berkaitan dengan produk dasar alas tidur maupun pemakaian karpet dan tirai maupun gorden. Hipersensitivitas terhadap TDR berkaitan sangat kuat dengan RAP.51
Menurut Wickens et al. (2004), konsentrasi TDR dapat meningkat bila terjadi pertambahan jumlah penghuni dalam rumah, kelembaban rumah yang relatif lebih tinggi dan jika keluarga tersebut memelihara hewan peliharaan. Sebaliknya, konsentrasi TDR relatif rendah pada rumah yang baru serta pada pemakaian pemanas udara.51
Gambar 5. Faktor risiko rinitis alergi 51
2.1. Asap rokok
Asap rokok sejak lama telah dianggap sebagai sumber utama morbiditas dan mortalitas. Telah dilaporkan bahwa rokok dapat memengaruhi hampir semua organ tubuh manusia. Mortalitas dikaitkan dengan peningkatan risiko keganasan dari berbagai tipe seperti karsinoma paru dan gastrointestinal, keganasan renal dan kandung kemih serta pankreas.
Morbiditas terjadi pada peningkatan infeksi saluran nafas, penyakit paru obstruksi kronis, emfisema serta peningkatan penyakit arteri koroner dan stroke karena aterosklerosis.39
Pada tahun 1990 dilaporkan bahwa sekitar 50 juta orang dewasa di Amerika Serikat (26% dari populasi) adalah perokok. Di Indonesia belum ada laporan mengenai jumlah perokok, namun berdasarkan catatan yang ada, penerimaan pemerintah dari cukai rokok merupakan
sumber pemasukan yang besar. Dengan banyaknya perokok maka semakin banyak kemungkinan orang dewasa atau anak-anak untuk terpapar asap rokok baik di tempat kerja, di rumah, di kendaraan, di rumah makan, di sekolah ataupun tempat umum lainnya.39
Asap rokok lingkungan (environmental tobacco smoke) adalah campuran dari asap rokok sampingan (cigarette sidestream smoke/ SS) dan asap rokok utama (mainstream smoke/MS). Asap rokok lingkungan terdiri dari 85% SS, asap yang keluar dari ujung rokok, dan 15% MS yaitu asap yang pertama dihisap perokok aktif dan kemudian dihembuskan ke udara lingkungan Pada penelitian Biagini et al., paparan asap rokok selama 15 menit dapat menyebabkan iritasi dan peningkatan gejala rinitis.4
Asap rokok merupakan campuran kompleks dari komponen gas dan partikel yang mengandung sekitar 5000 bahan kimia. Bahan kimia tersebut ada yang dapat bersifat iritan serta racun yang poten pada saluran nafas seperti sulfur dioksida, amonia, formaldehida, dan akrolein.22,39,15,38 Dalam beberapa penelitian mengenai pengaruh asap rokok lingkungan pada penderita rinitis alergi didapatkan adanya peningkatan IgE.35,14
Menurut Nazaroff dan Singer, seperti dikutip oleh Jia et al, terdapat 6 bahan toksik yang menjadi perhatian utama sebagai faktor risiko kesehatan yaitu akrolein, asetaldehida, akrilonitril, benzene, 1,3-butadin dan formaldehida. Di antara bahan tersebut yang lebih toksik (sekitar 10-1000 kali) adalah akrolein, dan dalam cairan saluran nafas perokok kadarnya dapat mencapai 80 μg (Jia et al., 2007).
2.2 Akrolein
Akrolein (CH2=CHCHO) termasuk golongan aldehida tak jenuh α, β dan bersifat sangat elektrofilik yang dapat dijumpai pada semua jenis asap (termasuk asap rokok) serta pada makanan yang terbentuk sewaktu pembakaran materi organik. Secara in vivo, akrolein dapat
menjadi produk metabolik dari siklofosfamid (obat anti kanker) dan juga telah ditemukan terbentuk dari treonin oleh mieloperoksidase neutrofil pada lokasi peradangan.20
Gambar 6. Struktur kimia akrolein
Akrolein ditemukan dalam setiap batang rokok dalam jumlah yang berbeda. Menurut laporan Food and Drug Administration (FDA), jumlah akrolein yang paling rendah sebesar 10 μg dan yang tertinggi sebesar 140 μg pada mainstream smoke, sedangkan pada sidestream smoke berkisar antara 100-1700 μg.39 Half-life akrolein di udara adalah 4-20 jam sedangkan di dalam air alami adalah 29 jam.49
Berdasarkan penelitian Lambert et al. (2006), level akrolein yang tinggi dalam asap rokok disertai dengan kadar IC50 yang rendah menunjukan bahwa akrolein adalah bahan imunosupresif predominan. Penelitian yang dilakukan beberapa tahun yang lalu tersebut mengindikasikan bahwa akrolein memiliki potensi untuk mengatur transkripsi dari berbagai gen terutama melalui efeknya pada jalur NF-κB, AP-1 dan Nrf2.22
Berdasarkan penelitian Li Li et al. (1999), akrolein memiliki peran untuk menginhibisi aktivasi NF-κB yang diinduksi oleh endotoksin. NF-κB adalah faktor transkripsi utama yang penting untuk mengatur respons imun terhadap berbagai sinyal patogen, selain itu aktivasi NF-κB diperlukan untuk pelepasan sitokin inflamasi dari sel limfosit maupun sel makrofag.23
3. PENGARUH AKROLEIN PADA METABOLISME SEL
1. NF-κB
NF-κB sebagai faktor transkripsi dalam sel pertama kali diidentifikasi pada tahun 1986, dan merupakan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi lebih dari 500 gen.17 NF-κB adalah suatu famili dari 5 jenis protein yaitu NF-κB1 (p50/p105), NF-κB2 (p52/p100), Re1A (p65), Re1B dan cRe1. Anggota dari famili NF-κB membentuk dimer untuk menjadi homodimer atau heterodimer. Pada sel yang tidak terstimulasi, dimer NF-κB terdapat dalam sitoplasma dalam kondisi inaktif sebagai akibat ikatan dengan protein lain yaitu IκB (inhibitor κB). Protein IκB berikatan dengan NF-κB dengan afinitas dan spesifitas yang berbeda-beda sehingga membentuk kombinasi dengan jumlah besar.7,34,25,48
NF-κB dapat dilepaskan dari inhibitornya dengan proses fosforilasi dan ubiquitinasi dari IκB oleh suatu enzim IκB kinase (IKK). Terdapat dua jalur aktivasi NF-κB yaitu jalur kanonikal dan jalur nonkanonikal. NF-κB yang telah terlepas dari inhibitornya akan mengalami translokasi ke nukleus, berikatan dengan motif κB pada promoter dari banyak gen, dan mengatur transkripsi.
Pada penelitian tersebut, NF-κB yang memasuki nukleus dikaitkan dengan peningkatan transkripsi sejumlah gen seperti pengodean (coding) untuk kemokin (eotaksin), molekul adhesi (VCAM, ICAM), sitokin (IL-1, IL-2, TNF-α, dan IL-12), reseptor (IL-2R) dan enzim inflamasi (iNOS).7 IL-12 diketahui sebagai sitokin yang sangat penting dalam aktivasi respons imun innate dan adaptive terhadap infeksi intraseluler. Proses mulai dari enzim IKK sampai selesainya transkripsi di nukleus memerlukan waktu 60-75 menit.25 Aktifitas NF-κB dapat diinduksi oleh liposakarida (LPS) bakteri, TNFα, interleukin-1 beta, isoproterenol, kokain dan radiasi ionisasi.11
Gambar 7. Peran NF-κB dalam sel7
2. Pengaruh Akrolein terhadap NF-κB
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lambert et al., akrolein berperan menghambat fosforilasi IκB sampai dengan 50% serta menghambat lokalisasi NF-κB ke nukleus pada dosis 5 μM. Selain itu akrolein juga dapat bereaksi dengan bahan sistein, arginin dan histidin pada subunit p50 dari NF-κB dan menginhibisi pengikatan (binding) p50 DNA. Cys-61 dikenal memiliki peran penting dalam aktifitas binding p50 DNA, sehingga penggantian sistein ini akan meningkatkan laju disosiasi dengan DNA lebih dari 500 kali lipat.22
Gambar 8. Pengaruh akrolein terhadap NF-κB21
3. Pengaruh Akrolein terhadap Sel
Akrolein yang terdapat dalam asap rokok dapat memberikan pengaruh pada produksi sitokin melalui inhibisi dari NF-κB, di mana dalam kaitan dengan limfosit sel T (Th1), terjadi penurunan sitokin IL-12 yang akan mengakibatkan pematangan sel dan produksi IFN-γ sebagai sitokin utama oleh Th1 menjadi menurun. Bila IFN-γ menurun maka efek inhibisi pada sel Th2 juga menurun, akibatnya Th2 akan mendominasi dan menghasilkan sitokin yang berperan dalam respons imun.18
Pada penelitian efek asap rokok secara in vitro yang dilakukan oleh Lambert et al. (2005) dengan menggunakan darah tepi orang dewasa yang sehat, didapatkan penekanan produksi sitokin IL-2, TNF-α, GM-CSF.22 Quyang et al. (2000) melakukan penelitian darah tepi yang
dipaparkan dengan ekstrak asap rokok, diamati bahwa terjadi efek inhibisi terhadap IL-1β, IL-2, IFNγ, TNF-α.38
Penelitian pada hewan primata yang dilakukan oleh Mang et al. (2002), dengan paparan kronis dan subkronis asap rokok terjadi peningkatan imunosupresi. Produksi antibodi menurun ditandai dengan penurunan kadar imunoglobulin darah, kecuali IgE yang meningkat. Pada penelitian in vivo didapatkan peningkatan IL-4.27
Monafo et al, seperti dikutip oleh Castelazzi menemukan bahwa pada anak yang orangtuanya perokok secara bermakna terjadi peningkatan kadar IgE. Hal yang sama juga dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh Wagner et al. terhadap anak usia sekolah pada musim semi, di mana bila orang tuanya perokok terjadi peningkatan kadar IgE yang signifikan.10
Penelitian Sanchez pada penderita alergi secara eksperimental memakai kamar kontrol (control chamber) bertujuan untuk membuktikan apakah asap rokok dapat berinteraksi dengan alergen untuk memengaruhi respons imunologi di saluran nafas. Sebagai hasilnya didapatkan peningkatan produksi IgE, penanda utama dari penyakit alergi, di mana setelah 4 hari terpapar terjadi peningkatan sebesar 16,6 kali lipat. Juga didapat peningkatan sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13 serta penurunan IFN-γ yang merupakan lingkungan yang baik bagi Th2. Di samping itu kadar histamin hidung juga meningkat 3,3 kali lipat.14
Gambar 9. Skema pengaruh akrolein yang terkandung dalam asap rokok
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan seperti pada skema pengaruh akrolein, yaitu akrolein yang terdapat dalam asap rokok akan menekan produksi dari sitokin-sitokin IL-2, IFN-γ, IL-12 dan TNFα. Sitokin IL-12 dan IFN-γ berperan untuk menghambat diferensiasi Th0 menjadi Th2. Dengan menurunnya kadar IL-12 dan IFN-γ maka differensiasi Th0 menjadi Th2 akan meningkat.
Bertambahnya Th2 akan mengakibatkan peningkatan produksi dari sitokin IL-4, IL-13, IL-10 dan IL-5. IL-4 dan IL-13 akan mengaktivasi dan merangsang pertumbuhan sel B limfosit di mana terjadi perubahan kelas isotipe dari IgM yang dibentuk sel B dari mu ke epsilon, sehingga terbentuk IgE.1,50 IgE yang terbentuk akan berikatan pada membran sel mast atau basofil yang pada akhirnya bila berikatan dengan alergen spesifik akan mengalami degranulasi dan melepaskan mediator penyebab reaksi alergi. Pada proses alergi di mana terjadi produksi IgE, diperlukan IL-4 dalam jumlah yang tinggi.1,18,41
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pillai A 2007. Cytokines. In: Cellular and Molecular Immunology. 6 th ed. Philadelphia : Elsevier, 2007.p.267-301
Alebuff DJ1992. Allergic rhinitis. In: Otolaryngology-Head and Neck Surgery Cumming CW Mosby – Year Book Boston; p 763-73.
Bauchau V, Durham SR 2004. Prevalence and rate of diagnosis of Allergic Rhinitis in Europe. Eur Respir J; 24:758-64
Biagini. JM,LeMaster GK, Ryan PH et al 2006. Environmental risk factors of rhinitis in early infancy. Pediatr Allergy Immunol ;17:278-284
Broide DH 2006. Cytokines, Chemokines, and Adhesion Proteins. In : Allergy.3rd ed.Philadelphia, Elsevier.p.329-49
Bousquet and ARIA Workshop Group 2001. Diagnosis and assessment of severity. J. Allergy Clin Immunol ; 108: S208-20
Caamano J, Hunter CA 2002. NFkB family of transcription factors: central regulators of innate and adaptive immune functions. Clinical Microbiological Reviews. 414-29
Canonica GW, Compalati E 2009. Minimal persistent inflamationin allergic rhinitis: implications for current treatment strategies. Clinical and Experimental Immunology; 158 : 260-71
Cauwenberge P, Bachert C, Passalacqua G, Bousquet J, Canonica W, Durham Sl 2000. Position Paper; Concensus statement on the treatment of allergic rhinitis. Allergy ; 55:116-134.
Castellazzi AM 2000. Passive smoking and immune functions. In : Watson RR, Witton M, ed. Environmental Tobacco Smoke. 1st ed. Florida : CRC Press LLC;.p.289-99
Chandel NS, Trzyna WC, McClintock DS, Schumacher PT 2000. Role of oxidants in NFkB activation and TNF-alpha gene transcription induced by hypoxia and endotoxin. J Immunol 165 (2): 1013-21
Davila I, Mullol J, Ferrer M, Bartra J, del Cuvillo A, Montoro J, Jaurergui I, Sastre J, Valero A 2009. Genetic aspects of Allergic Rhinitis. J Investig Allergol Clin Immunol ; 19 (1) 25-31
Del-Rio-Navarro BE, Luna-Pech JA, Berber A, Zepeda-Ortega B, Avila-Castanon L, Del-Rio-Chivardi JM, Baeza-Bacab M, Sienra-Monge JJL 2007. Factors associated with allergic rhinitis in children from northern Mexico city. J Investig Allergol Clin Immunol ; 17(2): 77-84
Diaz-Sanchez D, Rumold R, Gong H 2006. Challenge with environmental tobacco smoke exacerbates allergic airway disease in human beings. J All Clin Immunol ;118:441-6
Eisner MD, Blanc PD 2000. Environmental tobacco smoke and adult asthma. In : Watson RR, Witton M, ed. Environmental Tobacco Smoke. 1st ed. Florida : CRC Press LLC;p.81-106
Fang BJ, Tonelli LH, Soriano JJ, Postolache TT. 2010. Frontier in bioscience S2, 30-46
Gupta SC, Sundaram C, Reuter S, Aggarwal BB 2010. Inhibiting NFkB activation by small molecules as a therarapeutic strategy. Biochim Biophys Acta ; 1799(10-12). 775-87
Janeway CA 2008. T Cell-Mediated Immunity. In : Janeway’s Immuno Biology. 7 th ed.New York, Garland Publishing;p.323-377
JiaLH, LiuZB, SunLJ, MillerSS, AmesBN, CotmanCW, LiuJK 2007. Acrolein, a Toxicant in Cigarette Smoke, Causes Oxidative Damage and Mitochondrial Dysfunction in RPE Cells : Protection by (R)-α-Lipoic acid. Invest Ophthalmol Vis Sci. 48(1) 339-48
Kehrer JP, Biswal SS 2000. The Molecular effects of Acrolein. Toxicological Sciences. 57, 6-15
Lambert C, Li JM, Jonscher K, Yang TC, Reigan P, Quintana M, Harvey J, Freed BM 2007. Acrolein inhibits cytokine gene expression by alkylating cysteine and arginine residues in the NFkB1 DNA binding domain. Journal of Biological Chemistry. 282(27) 19666-75
Lambert C, McCue J, Portas M, Quyang Y, Li JM, Rosano TG, Lazis A, Freed BM 2005. Acrolein in cigarette smoke inhibits T-cell responses. J Clin Immunol ; 116 :916-22
Li Li, Hamilton RF, Holian A 1999. Effect of acrolein on human alveolar macrophage NF-kB activity. Am J Physics, 277: 550-7
Li J, Huang Y, Lin X, Zhao D, Tan G, Wu J, Zhao C, Zhao J, Spangfort MD, Zhong N 2011. Influence of degree of specific allergic sensitivity on severity of rhinitis and asthma in Chinese allergic patients. Respiratory research ; 12:1-8
Lipniacki T, Paszek P, Brasier AR, Luxon B, Kimmel M 2004. Mathematical model of NFkB regulatory module. Journal of Theoretical Biology . 228: 195-215
Madiadipoera T, Surachman S, Sumarman I, Boesoerie TS 2002. Parameter Keberhasilan Pengobatan Rintis Alergi. Otolaryngologica Indonesia : XXXII(3); 33-40
Mang Y, Zheng X, Peake J, Joad JP, Pinkerton KE 2008. Perinatal environmental tobacco smoke exposure alters the immune response and airway innervations in infant primates. J All Clin Immunol ;122:640-7
Miyake Y, Tanaka K, Arakawa M 2011. Case-control study of IL-13 polymorphisms, smoking and rhinoconjunctivitis in Japanese women: the Kyushu Okinawa Maternal and Child Health Study. BMC Medical Genetics , 12:1-8
Mullol J 2009. A Survey of the burden of AllergicRhinitis in Spain. J Investig Allergol Immunol ; 19(1) : 27-34
Mullol J, Bachert C, Bousquet J 2005. Management of persistent allergic rhinitis: evidence-based treatment with levocetirizine. Therapeutics and Clinical Risk Management. ; 1 (4) 265-71
Mullol J, Maurer M, Bousquet J 2008. Sleep and Allergic Rhinitis. J Investig Allergol Clin Immunol; 18 (6). 415-9
Montoro J, Sastre J, Jauregui I, Bartra J, Davila I, del Cuvillo A, Ferrer M, Valero A 2007. Allergic rhinitis : Continuous or on demand antihistamine therapy? J Investig Allergol Clin Immunol . 17 (2) 21-7
Natt RS, Karkos PD, Natt DK, Theochari EG, Karkanevatos A 2011. Treatment trends in allergic rhinitis and asthma : a British ENT survey. BMC Ear, Nose and throat disorders , 11;1-5
Orange JS, Levy O, Geha RS 2005. Human disease resulting from gene mutations that interfere with appropriate NFkB activation. Immunological Reviews.; 203:21-37
Oryszczyn MP, Raherison C, KopferschmittC, Pauli G, Taytard A, Tunonde LaraM, BerbloetD, Charpin D 2004. Increased prevalence of asthma and allied diseases amomg active adolescent tobacco smokers after controlling for passive smoking exposure. A cause to concern? Clin Exp Allergy ; 34: 1017-1023
Pawankar R, Mori S, Ozu C, Kimura S 2011. Overview on the pathomechanisms of allergic rhinitis. Asia Pac Allergy ; 1: 157-67
Pinto JM, Jeswani S 2010. Rhinitis in the geriatric population. Allergi, asthma & clinical immunology. ; 6,1-12
Quyang Y, Virasch N, Hao P,Aubrey MT, Mukerjee N, Blerer BE, Freed BM 2000. Supression of human IL-1β, IL-2, IFN-γ, and TNF-α production by cigarette smoke extracts. J All Clin Immunol ;106:280-7
Rando RJ, Simlote P, Salvaggio JE. Lehrer SB1997. Environmental tobacco smoke : Measurement and health effects of involuntary smoking. In : Bardana ED, Montanaro A ed. Indoor Air Polution and Health Clinical Allergy and Immunology.9 th ed. Portland : Informa Healthcare; p.61-82
Riedi CA, Rosario NA, Ribas LFO, Backes AS, Kleiniibing GF, Popija M, Reisdorfer S 2005. Increase in prevalence of rhinoconjunctivitis but not asthma and atopic eczema in teenagers. J Inves Allergol Immunol 15(3); 183-8
Roitt IV 2011. The production of effectors. In : Roitt’s essential Immunology.12th ed. Oxford, Wiley-Blakwell.p.226-62
Saleh HA 2007, Durham SR. Perennial rhinitis. BMJ; 335.502-7
Scadding GK, Chuch MK, 2006. Rhinitis. in Allergy. Third Edition. Mosby Elsevier; p.55-76.
Suh M, Kim HH, Sohn MH, Kim KE, Kim CS, Shin DC 2011. Prevalence of allergic diseases among Korean School-age children: A Nationwide cross-sectional questionnaire study. J Korean Medical Sci ; 26:332-8
Suprihati 2005. The Prevelence of Allergic rhinitis and its relation to some risk factors among 13-14 year old students in semarang, Indonesia Otolaryngologica Indonesiana : XXXV(2); 37-70
Todo-Bom A, Loureiro C, Almeida MM, Nunes C, Delgado L, Castel-Branco G, Bousquet J 2007. Epidemiology of rhinitis in Portugal : evaluation of the intermittent and the persistent types. Allergy ;62 :1038-43
Tran NP, Vickery J, Blaiss MS 2011. Management of rhinitis : Allergic and Non-Allergic. Allergy Asthma Immunol Res.; 3 (3). 148-56
Tripathi P, Aggarwal A 2006. NFkB transcription factor : a key player in the generation of immune response. Current Science. ; 90 (4) 519-29
US Environmental Protection Agency 2003. Toxicological review of Acrolein. (CAS No. 107-02-8), EPA/635/R-03/003.
Volcheck GW 2009. Clinical Allergy Diagnosis and Management. Rochester MN : Humana press; .p 1-39
Wang DY 2005. Risk
Sumber: Medicinus Juli 2019 vol. 32 issue 2