top of page

Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Hipertensi pada Remaja di Indonesia


Sumber: Medicinus Edisi Agustus 2021 Volume 34, Issue 2

Nina Widyasari

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya


Abstrak


Prevalensi penyakit tidak menular (PTM) semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang menjadi masalah serius dan termasuk dalam sepuluh penyakit kronis dengan angka kejadian tertinggi di Amerika Serikat. Umumnya hipertensi terjadi pada orang dengan usia lanjut, namun data menunjukkan bahwa hipertensi juga dapat muncul sejak remaja. Sayangnya, remaja pada umumnya tidak menyadari bahwa mereka menderita hipertensi, sehingga berpeluang menjadi masalah serius di kemudian hari serta dapat berlanjut hingga usia dewasa dan berdampak pada peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas. Tujuan dari kajian literatur ini adalah menganalisis berbagai faktor yang memengaruhi kejadian hipertensi pada remaja di Indonesia. Artikel- artikel yang diperoleh melalui mesin pencari merupakan artikel penelitian cross-sectional dengan responden berusia antara 11-19 tahun dan area penelitian di Indonesia. Kriteria inklusi artikel yang dipilih adalah subjek remaja dengan hipertensi atau ancaman hipertensi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian hipertensi pada remaja di Indonesia, antara lain kualitas tidur, indeks massa tubuh terhadap usia (IMT/U), pola asupan gizi, merokok, aktivitas fisik, serta riwayat hipertensi dalam keluarga. Remaja dengan kualitas tidur buruk memiliki risiko hipertensi 4,1 kali lebih besar, IMT/U yang tinggi memiliki risiko hipertensi sebesar 4,85 kali, merokok memiliki potensi hipertensi di masa yang akan datang, sementara remaja dengan riwayat hipertensi dalam keluarga memiliki risiko hipertensi sebesar 3,9 kali. IMT/U merupakan faktor dominan terhadap risiko hipertensi pada remaja. Deteksi dini hipertensi pada remaja perlu diperhatikan guna mencegah risiko penyakit kardiovaskular yang tidak diinginkan.

Kata kunci: risiko hipertensi, remaja, Indonesia


PENDAHULUAN


Prevalensi penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat di Indonesia semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Transisi epidemiologi telah terjadi, salah satunya berupa perubahan pola penyakit dan kematian. Jika pada mulanya penyakit didominasi oleh infeksi, kini terjadi pergeseran menjadi penyakit tidak menular (PTM).1 Salah satu PTM yang menjadi masalah serius adalah hipertensi. Penyakit ini lebih sering disebut sebagai the silent killer karena seringkali muncul tanpa disertai tanda atau gejala. Sebelumnya hipertensi lebih banyak terjadi pada orang dengan usia lanjut, akan tetapi berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa hipertensi dapat muncul sejak usia remaja dan prevalensinya meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang yang belum menyadari bahwa hipertensi yang terjadi pada masa remaja dapat terus berlanjut hingga usia dewasa dan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas.2 Angka morbiditas pada penyakit tidak menular juga semakin tinggi. Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang memberikan kontribusi terhadap setidaknya 45% kematian akibat penyakit jantung, dan 51% kematian akibat stroke.3 Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2017, prevalensi hipertensi akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Essouma, et al. (2015) bahwa remaja dengan tekanan darah tinggi memiliki risiko tinggi hipertensi saat dewasa.4


Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, prevalensi hipertensi nasional adalah sebesar 25,8%. Berdasarkan data tersebut dari 25,8% orang yang mengalami hipertensi hanya 1/3 yang terdiagnosis, sementara 2/3 lainnya tidak terdiagnosis. Pada tahun 2018 prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia 18 tahun adalah sebesar 34,1% (Riskesdas 2018). Sayangnya, sebagian besar penderita hipertensi tidak menyadarinya.5


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi tekanan darah pada usia remaja berbeda dengan tekanan darah pada usia dewasa karena tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Klasifikasi tekanan darah pada remaja didasarkan pada kurva persentil, di mana remaja diklasifikasikan mengalami hipertensi apabila ditemukan tekanan darah sebesar 130-139/80-89 mmHg atau >95 persentil ditambah 11 mmHg.6,7 Hipertensi yang paling sering terjadi adalah hipertensi yang muncul tanpa gejala.


Hipertensi pada usia remaja termasuk dalam sepuluh penyakit kronis tertinggi di Amerika. Publikasi terbaru dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa 1 dari 10 anak usia 8-17 tahun mengalami prehipertensi dan hipertensi.8 Berdasarkan data The Brazilian Study of Cardiovascular Risks in Adolescents (ERICA), prevalensi hipertensi pada remaja usia 12–17 tahun sebesar 9,6%. 9 Kejadian hipertensi pada remaja juga ditemukan di Indonesia. Berdasarkan pedoman JNC VII 2003 dalam laporan Riskesdas tahun 2013 didapatkan prevalensi hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun secara nasional sebesar 5,3% (laki-laki 6,0% dan perempuan 4,7%).5 Berdasarkan penelitian di Jakarta pada populasi siswa SMA diperoleh 15,5% remaja mengalami hipertensi.10 Begitu pula berdasarkan penelitian di Depok yang dilakukan pada siswa SMA diperoleh 42,4% remaja mengalami hipertensi.11 Secara global, penyakit kardiovaskular menjadi penyebab dari sekitar 17 juta kematian per tahun. Hampir sepertiga dari total jumlah tersebut, komplikasi hipertensi terhitung 9,4 juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya. Menurut laporan Dinas Kesehatan Surabaya pada tahun 2017, tren penyakit tidak menular peringkat pertama di kota Surabaya adalah hipertensi, dengan jumlah kasus yang meningkat tajam dari tahun 2015- 2016 (23.263 menjadi 72.754 orang).


Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab hipertensi pada remaja. Faktor risiko tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu faktor risiko yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat hipertensi dalam keluarga, jenis kelamin, dan berat badan lahir rendah, sedangkan faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas, asupan natrium berlebih, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan rendahnya kualitas tidur.12,13 Kejadian hipertensi pada remaja banyak yang diawali dengan kegemukan atau obesitas. Hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara obesitas dan hipertensi. The Framingham Heart Study dalam Sumayku dkk (2014) menyatakan bahwa 65% faktor risiko hipertensi pada wanita dan 78% pada pria berkaitan erat dengan obesitas.14 Status gizi pada remaja dapat dinilai berdasarkan indeks massa tubuh (IMT/U). Oleh karena itu, dilakukan analisis hubungan IMT/U terhadap hipertensi pada populasi remaja.


Hipertensi pada remaja juga dipengaruhi oleh riwayat hipertensi dalam keluarga, seperti pada kasus yang ditemukan di Korea Selatan, yaitu adanya riwayat hipertensi keluarga merupakan faktor dominan kejadian hipertensi pada remaja.15 Faktor genetik dan faktor pola asuh dalam keluarga juga dapat memengaruhi riwayat hipertensi dalam keluarga.16,17 Terdapat berbagai faktor yang dapat memengaruhi riwayat hipertensi dalam keluarga sebagai faktor risiko dalam kejadian hipertensi pada remaja sehingga dilakukan analisis terhadap faktor risiko tersebut. Faktor gaya hidup seperti kualitas tidur yang kurang baik juga diketahui memiliki pengaruh terhadap kejadian hipertensi pada remaja.18


Tujuan kajian literatur ini adalah untuk menganalisis hubungan dari berbagai faktor risiko terhadap kejadian hipertensi pada remaja di Indonesia. Faktor tersebut meliputi pola tidur, indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U), dan riwayat dalam keluarga. Kajian literatur ini diharapkan dapat memberikan gambaran hubungan faktor-faktor risiko penyebab hipertensi terhadap kejadian hipertensi pada remaja, sehingga tindakan preventif dapat dilakukan untuk mencegah kejadian hipertensi pada remaja.


METODE


Penelitian dilakukan menggunakan metode literature review menggunakan sumber data penelitian dari literatur berupa publikasi jurnal di Indonesia. Pencarian dan pembahasan literatur dilakukan oleh dua orang penulis secara independen. Artikel yang dipilih merupakan artikel penelitian dengan metode cross-sectional dengan responden remaja di Indoensia. Kriteria inklusi yang digunakan adalah remaja dengan hipertensi, usia 11-19 tahun (World Health Organization).



HASIL


Penelitian yang dipilih merupakan penelitian pada remaja menggunakan data primer di Indonesia. Penelusuran artikel dilakukan menggunakan beberapa search engine, diantaranya Google, Google Scholar, Pubmed, dan Sciepub. Kata kunci yang digunakan dalam penelusuran artikel adalah hipertensi, hypertension, remaja, adolescent, faktor risiko, risk factor, Indonesia, obesitas, obesity, dan overweight. Dalam pencarian artikel digunakan batasan tahun yaitu tahun 2015 hingga 2019. Artikel yang digunakan berbahasa Indonesia dan Inggris dengan format PDF dan merupakan artikel tidak berbayar. Berdasarkan hasil pencarian melalui search engine menggunakan kata kunci yang dimaksud dan setelah disaring berdasarkan kriteria inklusi, diperoleh 14 artikel yang sesuai. Terdapat tujuh artikel yang dianalisis. Berdasarkan artikel-artikel yang dianalisis, ditemukan terdapat berbagai faktor risiko baik yang berhubungan dan yang tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi remaja. Proses selanjutnya adalah pengelompokkan data berdasarkan variabel yang ingin dibahas. Selanjutnya dilakukan sintesis data untuk memperoleh faktor determinan penyebab hipertensi pada remaja di Indonesia. Penelitian di Mandailing Natal, Sumatera Utara dengan pengukuran kualitas tidur menggunakan The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) menunjukkan bahwa 86,7% remaja hipertensi memiliki waktu tidur <5 jam per hari. Rata- rata tekanan darah sistolik pada kelompok dengan kualitas tidur yang buruk lebih tinggi (114,9±11,7 mmHg) dibandingkan dengan kelompok dengan kualitas tidur yang baik (109,5±10,5 mmHg). Begitu pula dengan rata-rata tekanan darah diastolik, kelompok dengan kualitas tidur yang buruk memiliki rata-rata tekanan darah diastolik lebih tinggi (74±9,1 mmHg) dibandingkan dengan kelompok dengan kualitas tidur yang baik (69,9±7,5 mmHg).19


Hasil uji menggunakan uji Chi-square menunjukkan faktor risiko kualitas tidur memiliki p value = 0,001.19 Nilai tersebut menunjukkan bahwa kualitas tidur berhubungan dan memiliki pengaruh terhadap kejadian hipertensi pada remaja di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Selain itu, diperoleh nilai Relative Risk (RR) pada remaja dengan kualitas tidur yang buruk sebesar 4,1 (95% CI 1,8-9,2).19 Nilai tersebut menunjukkan bahwa remaja dengan kualitas tidur yang buruk memiliki risiko 4,1 kali lebih besar mengalami hipertensi dibandingkan dengan remaja yang memiliki kualitas tidur yang baik.


Penelitian lainnya di Padang menggunakan metode penilaian serupa, yaitu The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Penelitian ini menemukan adanya hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah. Rata-rata tekanan darah sistolik pada kelompok dengan kualitas tidur yang buruk lebih tinggi (116,83±8,926 mmHg) dibandingkan dengan kelompok dengan kualitas tidur yang baik (108,51±8,269 mmHg). Begitu pula dengan rata-rata tekanan darah diastolik, kelompok dengan kualitas tidur yang buruk memiliki rata-rata tekanan darah diastolik lebih tinggi (74,99±6,891 mmHg) dibandingkan dengan kelompok dengan kualitas tidur yang baik (68,93±7,656 mmHg). Hasil uji menggunakan uji-T menunjukkan faktor risiko kualitas tidur memiliki p value = 0,000.20 Nilai tersebut menunjukkan bahwa kualitas tidur berhubungan dan memengaruhi terhadap tekanan darah.


Penelitian di Pekanbaru menemukan faktor risiko lain yang berhubungan dengan tekanan darah remaja, yaitu IMT/U. Penelitian tersebut dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson yang menunjukkan korelasi IMT/U dengan tekanan darah sistolik (p value = 0,0000) dan dengan tekanan darah diastolik (p value = 0,0107). Nilai tersebut menunjukkan faktor risiko IMT/U berkorelasi dan berpengaruh terhadap tekanan darah pada remaja di Pekanbaru. Penelitian ini juga menganalisis mengenai hubungan aktivitas fisik dengan tekanan darah. Namun, tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan tekanan sistolik (p=0,829) dan diastolik (p=0,643). 21 Penelitian lainnya yang dilakukan di Kecamatan Pineleng Hasil analisis dengan uji Chi-square menyatakan nilai signifikansi 0,001 (<0,005) yang dapat diinterpretasikan sebagai adanya hubungan bermakna antara berat badan dengan tekanan darah pada siswa SMP di Kecamatan Pineleng.22


Penelitian di Depok menggunakan uji Chi-square dan uji regresi logistik ganda untuk menganalisis hubungan IMT/U, asupan zat gizi mikro (natrium, kalium, dan kalsium), stres, jenis kelamin dan riwayat hipertensi dalam keluarga. Hasil uji menggunakan uji Chi-square menunjukkan faktor risiko IMT/U memiliki p value = 0,001 dan hasil uji regresi logistik ganda memiliki p value = 0,005.11 Kedua nilai tersebut menunjukkan bahwa IMT/U berhubungan dan memiliki pengaruh terhadap kejadian hipertensi pada remaja. Hasil uji regresi logistik ganda menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) pada remaja dengan gizi lebih sebesar 3,51 (95% CI 1,420-7,094).11 Nilai tersebut menunjukkan bahwa remaja dengan status gizi lebih memiliki risiko 3,51 kali untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan remaja yang memiliki status gizi normal. Berdasarkan penelitian tersebut juga ditemukan bahwa riwayat hipertensi keluarga memiliki hubungan dengan hipertensi remaja. Hasil uji menggunakan uji Chi-square menunjukkan faktor risiko riwayat hipertensi keluarga memiliki p value = 0,005 dan hasil uji regresi logistik ganda memiliki p value = 0,003.11 Kedua nilai tersebut menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hipertensi keluarga dengan kejadian hipertensi pada remaja. Hasil uji regresi logistik ganda menunjukkan nilai OR pada remaja yang memiliki riwayat hipertensi keluarga sebesar 3,884 (95% CI 1,588-9,498).11 Nilai tersebut menunjukkan bahwa remaja yang memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga berpeluang mengalami hipertensi 3,9 kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga. Sedangkan hubungan asupan natrium (p value = 0,048), asupan kalium (p value = 0,580), asupan kalsium (p value = 0,225), stres (p value = 0,102), dan jenis kelamin (p value = 0,076) tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan hipertensi pada remaja.


Penelitian di Pangkal Pinang menggunakan uji regresi linier ganda menunjukkan IMT/U memiliki p value = <0,001. Hal tersebut menunjukkan bahwa IMT/U berhubungan dan memiliki pengaruh terhadap kejadian hipertensi pada remaja. Diperoleh nilai OR pada remaja dengan status gizi lebih sebesar 4,85 (95% CI 3,03-6,66).23 Nilai tersebut menunjukkan bahwa remaja dengan status gizi lebih memiliki risiko 4,85 kali untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan remaja yang memiliki status gizi normal. Selain itu, ditemukan bahwa jenis kelamin (p value = 0,017) memiliki hubungan yang signifikan dengan hipertensi pada remaja yang mana tekanan darah pada laki- laki cenderung lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Sedangkan asupan natrium (p value = 0,076), riwayat hipertensi keluarga (p value = 0,481), dan aktivitas fisik (p value = 0,592) menunjukkan tidak adanya hubungan dengan hipertensi pada remaja.23


Penelitian di Jakarta Pusat menganalisis beberapa faktor risiko terkait hipertensi remaja. Hasil uji menggunakan uji Chi-square menunjukkan faktor risiko riwayat hipertensi keluarga memiliki p value = 0,0012. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat hipertensi dalam keluarga terhadap kejadian hipertensi pada remaja. Diperoleh nilai OR pada remaja dengan riwayat hipertensi dalam keluarga sebesar 2,69 (95% CI 1,20-6,02). Nilai tersebut menunjukkan bahwa remaja dengan riwayat hipertensi keluarga berpeluang mengalami hipertensi 2,69 kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga. Selain itu, ditemukan bahwa kegemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan hipertensi (p value <0,001). Diperoleh OR pada remaja dengan kegemukan sebesar 6,57 (95% CI 2,99-14,43) yang menunjukkan bahwa remaja dengan kegemukan memiliki risiko 6,57 kali lebih besar untuk mengalami hipertensi. Sedangkan jenis kelamin (p value = 0,119), berat lahir rendah (p value = 0,64), ras (p value = 1,000), aktivitas fisik (p value = 1,216), dan kebiasaan merokok (p value = 0,298) tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi pada remaja.24


Penelitian di Surabaya menggunakan desain penelitian kuantitatif yang menggunakan metode deskriptif korelasional dengan pendekatan cross-sectional. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan pengukuran. Kuesioner yang digunakan yaitu kuesioner food recall 24 hours, merokok, Depression Anxiety Stress Scales (DASS 42), Adolescent Physical Activity Recall Questionnaire (APARQ) yang diisi oleh subjek remaja. Dari hasil penelitian didapatkan hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi pada remaja dengan p value = 0,281yang menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan terhadap kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa riwayat keluarga tidak memiliki hubungan terhadap kejadian hipertensi (p value = 0,792). Terlihat bahwa adanya riwayat hipertensi pada keluarga tidak meningkatkan level hipertensi pada remaja. Selain itu didapatkan lebih banyak remaja yang hipertensi tanpa riwayat hipertensi dalam keluarga. Jumlah remaja pada hipertensi tingkat 1 dengan riwayat hipertensi remaja dan tanpa riwayat hipertensi sebanding. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa riwayat keluarga mempunyai hubungan yang negatif dengan risiko hipertensi.23 Fitriany dkk. (2015) memaparkan hasil penelitannya bahwa tidak ada perbedaan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik pada remaja dengan dan tanpa riwayat hipertensi dalam keluarga.25 Dari segi indeks massa tubuh (IMT), penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan kejadian hipertensi pada remaja (p value = 0,000; R = 0,355). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi natrium terhadap kejadian hipertensi (p value = 0,152).


Pengaruh faktor merokok terhadap hipertensi menunjukkan p value = 0,698, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada hubungan antara merokok dengan kejadian hipertensi pada remaja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriana, Lipoeto, dan Triana (2013) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian hipertensi pada remaja.26


Analisis faktor pengaruh stress psikogenik terhadap hipertensi menunjukkan p value = 0,345. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara stres psikogenik dengan kejadian hipertensi pada remaja. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hanifah (2016) bahwa stres tidak berhubungan dengan tekanan darah pada remaja.27 Stres meningkatkan resistansi vaskular perifer dan curah jantung serta menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis. Stresor dapat berasal dari banyak hal, seperti suara, infeksi, peradangan, nyeri, berkurangnya suplai oksigen, panas, dingin, trauma, pengerahan tenaga berkepanjangan, respons pada peristiwa kehidupan, obesitas, usia tua, obat-obatan, penyakit, pembedahan dan pengobatan medis dapat memicu respons stres (Black & Hawks, 2014).


Faktor status ekonomi orangtua terhadap kejadian hipertensi pada remaja menghasilkan analisis p value = 0,945. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara ekonomi orangtua terhadap kejadian hipertensi pada remaja. Aktivitas fisik pada remaja menunjukkan p value = 0,047; R = -0,178. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara aktivitas fisik terhadap kejadian hipertensi pada remaja. Pada Tabel 2 terlihat bahwa responden dengan aktivitas fisik yang rendah memiliki jumlah hipertensi tingkat 1 lebih banyak (5,6%) daripada responden dengan aktivitas fisik sedang dan tinggi (0,8% dan 1,6%). Kekuatan hubungan antar variabel sangat rendah dan negatif atau berbanding terbalik, sehingga semakin rendah aktivitas fisik maka risiko hipertensi semakin tinggi. Pada penelitian ini, aktivitas dilakukan di luar waktu pengambilan data penelitian. Remaja dengan aktivitas fisik yang tinggi ditemukan memiliki tekanan darah pada nilai yang semakin normal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriana, Lipoeto, dan Triana (2013) bahwa terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi, di mana risiko hipertensi remaja yang tidak aktif melakukan aktivitas 7,86 kali lebih besar dibandingkan remaja yang aktif melakukan aktivitas.


PEMBAHASAN


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasution et al, ditemukan bahwa kualitas tidur memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian hipertensi pada remaja.19 Penelitian ini selaras dengan penelitian di Turki yang menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan hipertensi pada remaja.28 Sebuah penelitian di Lituania, Eropa juga menunjukkan bahwa hipertensi berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada remaja.18


Kualitas tidur merupakan salah satu faktor risiko hipertensi pada remaja yang dapat diubah.29 Hal ini sesuai dengan penelitian di Padang yang menunjukkan bahwa remaja dengan kualitas tidur yang buruk memiliki tekanan darah sistolik dan diastolik yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja dengan kualitas tidur yang baik. Selain itu, hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah.20 Kualitas tidur yang buruk dapat mengubah hormon cortisol dan perubahan sistem saraf otonom dengan aktivasi peningkatan simpatis atau penurunan parasimpatis sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.30,31


Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Sabiq (2017) pada siswa SMA berumur 15-17 tahun. Hasil penelitian ini memperlihatkan tidak terdapat hubungan signifikan antara kualitas tidur terhadap peningkatan tekanan darah pada remaja di SMA Negeri 2 Lhokseumawe dengan p value = 0,231.32 Masalah hipertensi tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas tidur saja namun masih banyak faktor lain yang dapat memengaruhi seperti faktor genetik.


Penelitian di Pekanbaru menunjukkan bahwa indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) memiliki hubungan yang signifikan dengan tekanan darah. Berdasarkan penelitian tersebut, diprediksikan setiap kenaikan IMT/U sebesar 1 kg/m2 maka nilai tekanan darah sistolik dan diastolik akan meningkat masing-masing sebesar 2,339 mmHg dan 0,979 mmHg.21 Begitu juga dengan penelitian di Pangkal Pinang, IMT/U memiliki korelasi yang kuat dengan hipertensi pada remaja. Peningkatan IMT/U sebesar 1 kg/m2 diprediksikan dapat meningkatkan tekanan darah sebesar 4,85 mmHg.23 Temuan ini sesuai dengan penelitian cross-sectional di Amerika pada 714.922 remaja berusia 16- 19 tahun. Diprediksikan bahwa kenaikan IMT sebesar 1 kg/m2 dapat meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 3 mmHg. Kenaikan IMT sebesar 1 kg/m2 diprediksikan dapat menghasilkan tekanan darah sistolik di atas 130 mmHg.3


Penelitian lainnya di Semarang juga menunjukkan bahwa IMT/U memiliki hubungan yang signifikan dengan tekanan darah. Setelah dilakukan analisis multivariat dengan variabel indikator status gizi lainnya seperti lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang tinggi badan, dan lingkar leher, diperoleh bahwa IMT/U merupakan indikator yang paling berpengaruh terhadap tekanan darah baik pada remaja laki-laki maupun remaja perempuan.34,35 Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Depok, yang menunjukkan bahwa IMT/U memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi pada remaja. Remaja dengan status gizi lebih memiliki risiko 3,51 kali untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan remaja dengan status gizi normal.11 Hasil ini sesuai dengan penelitian di Nigeria dan Malaysia yang menunjukkan bahwa IMT/U merupakan indikator status gizi yang paling berpengaruh dibanding indikator status gizi lainnya terhadap tekanan darah.33,36 Temuan ini juga sesuai dengan penelitian di Makassar yang menunjukkan hubungan signifikan antara obesitas dengan kejadian hipertensi. Remaja dengan kelebihan berat badan memiliki risiko mengalami hipertensi lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan remaja dengan status gizi normal. 37


IMT/U merupakan salah satu pengukuran yang digunakan untuk mendeteksi kegemukan dan obesitas. Terdapat beberapa kemungkinan jalur patofisiologis yang menjelaskan kaitan antara tingginya IMT dengan peningkatan tekanan darah dan hipertensi. Pada kondisi obesitas, terjadi resistansi insulin dan gangguan fungsi endotel pembuluh darah yang menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorpsi natrium di ginjal yang menyebabkan peningkatan tekanan darah hingga menjadi hipertensi. Insulin meningkatkan produksi norepinephrine yang dapat meningkatkan tekanan darah.11 Kalil dan Haynes dalam Brady menyatakan bahwa peningkatan IMT yang terkait dengan peningkatan jumlah norepinephrine di ginjal menunjukkan hubungan antara aktivasi sistem saraf simpatis yang berhubungan dengan obesitas dan pelepasan renin.38 Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan meningkatkan aktivitas sistem renin angiotensin aldosterone (RAA). Aktivitas RAA meningkatkan tekanan darah secara langsung (vasokonstriksi yang dimediasi angiotensin II dan aktivasi sistem saraf simpatis lebih lanjut) dan secara tidak langsung (angiotensin II dan reabsorpsi tubular air dan garam yang dimediasi oleh angiotensin II dan aldosterone).


Berdasarkan penelitian Angesti et al di Depok, ditemukan bahwa riwayat hipertensi dalam keluarga memiliki hubungan signifikan dengan hipertensi pada remaja.11 Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diperoleh bahwa riwayat hipertensi keluarga merupakan faktor dominan hipertensi pada remaja, dan remaja dengan riwayat hipertensi dalam keluarga memiliki risiko mengalami hipertensi 3,9 kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga. Hasil ini sesuai dengan penelitian Yoo dan Park yang menemukan riwayat hipertensi dalam keluarga memiliki hubungan signifikan dengan hipertensi pada remaja, dan remaja dengan riwayat hipertensi keluarga memiliki risiko 3,05 lebih besar untuk mengalami hipertensi.15 Selain itu, riwayat hipertensi dalam keluarga merupakan faktor dominan terhadap kejadian hipertensi pada remaja.


Penelitian Pardede et al. di Jakarta Pusat menunjukkan riwayat hipertensi keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan hipertensi.39 Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Christofaro et al. di Brazil. Remaja dengan salah satu orang tua yang mengalami hipertensi memiliki risiko lebih besar untuk mengalami hipertensi dan risiko ini meningkat pada remaja dengan kedua orang tua yang mengalami hipertensi. Pola hidup orang tua memiliki pengaruh terhadap risiko hipertensi pada orang tua yang secara tidak langsung berpengaruh pada kemungkinan anak mereka mengalami hipertensi. Sebuah penelitian di Sri Lanka menunjukkan bahwa riwayat penyakit hipertensi dalam keluarga merupakan riwayat penyakit yang berpengaruh terhadap tekanan darah remaja dibandingkan dengan riwayat penyakit tidak menular lainnya seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular. Akan tetapi, hasil berbeda ditemukan pada penelitian Zuhrotul Fitria (2019), di mana ditemukan riwayat hipertensi pada keluarga tidak meningkatkan risiko hipertensi pada remaja, selain itu didapatkan lebih banyak remaja yang hipertensi tanpa riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.35 Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa riwayat keluarga mempunyai hubungan yang negatif dengan risiko hipertensi.23


Hubungan riwayat hipertensi keluarga terhadap kejadian hipertensi pada remaja bukan hanya disebabkan pengaruh dari pola hidup orang tua, tetapi juga dapat disebabkan oleh pengaruh genetik. Faktor genetik yang berperan pada kejadian hipertensi dapat diturunkan secara Mendelian atau hipertensi monogenik (monogenic hypertension) dan hipertensi yang dipengaruhi banyak gen (polygenic hypertension). Hipertensi monogenik terjadi karena mutasi gen yang merupakan akibat dari gangguan protein tubulus ginjal yang berperan dalam gangguan transpor natrium. Sedangkan hipertensi poligenik disebabkan oleh beberapa gen mayor dan banyak gen minor. Beberapa gen melibatkan sistem yang berperan pada mekanisme terjadinya hipertensi, yaitu sistem renin angiotensin aldosterone (RAA), sistem imun, inflamasi, dan G-protein/signal transduction pathway system. Hubungan antara faktor genetik dengan kejadian hipertensi memberikan hasil yang beragam, karena dipengaruhi berbagai faktor lain seperti ras, latar belakang, dan lingkungan yang berbeda. Hipertensi merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial, sehingga teori hipertensi poligenik dinilai lebih berperan dalam terjadinya hipertensi.11


Terdapat beberapa faktor risiko yang tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian hipertensi, yaitu asupan zat gizi mikro (natrium, kalium, dan kalsium), stres, jenis kelamin, aktivitas fisik, berat lahir rendah, dan kebiasaan merokok.11,23,35 Penelitian di Depok menunjukkan bahwa asupan natrium, kalium, dan kalsium tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian hipertensi.11 Hasil temuan tersebut sesuai dengan penelitian di Pangkal Pinang yang juga menunjukkan bahwa asupan natrium tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian hipertensi. Hubungan antara asupan natrium dengan risiko kejadian hipertensi sangat dipengaruhi oleh sensitivitas tubuh seorang individu terhadap jumlah natrium yang masuk ke dalam tubuh, sehingga setiap tubuh dapat memberikan hasil yang berbeda.23


Menurut profil kesehatan Indonesia 2017, prevalensi penduduk dengan tekanan darah tinggi secara nasional sebesar 30,9%. Prevalensi tekanan darah tinggi pada perempuan (32,9%) lebih tinggi dibanding dengan laki-laki (28,7%).40 Penelitian di Pangkal Pinang menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan dengan hipertensi sedangkan penelitian di Depok menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan dengan hipertensi, dan hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Zahrotul Fitria (2019).35 Perbedaan hasil dari kedua penelitian tersebut dapat disebabkan karena pada penelitian di Depok ditemukan lebih banyak perempuan (n=29) yang mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki (n=32) dengan selisih yang sangat kecil.10,11 Sedangkan pada penelitian di Pangkal Pinang ditemukan lebih banyak laki-laki (n=17) yang mengalami hipertensi dibandingkan perempuan (n=10) dengan selisih yang lebih banyak sehingga diperoleh hubungan yang bermakna.23 Laki-laki memiliki tekanan darah sistolik 10-14 mmHg lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.41 Hormon androgen pada laki- laki memberikan pengaruh peningkatan darah lebih tinggi dibandingkan perempuan. Selain itu, akumulasi lemak viseral yang lebih tinggi pada laki-laki berhubungan dengan tingginya aktivitas simpatik. Komponen dalam lemak viseral dapat mengkatalisis perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II yang berperan dalam peningkatan tekanan darah.42,43


Hasil penelitian Zahrotul Fitria (2019) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara merokok dengan kejadian hipertensi pada remaja. Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan, terdapat 5 responden dengan status merokok ringan dan 3 dari 5 responden mengalami prehipertensi. Berdasarkan data ini dapat diambil kesimpulan bahwa responden dengan status merokok dapat meningkatkan risiko hipertensi. Dua responden dengan status merokok masih dengan tekanan darah yang normal dapat kemungkinan karena jumlah rokok yang dikonsumsi lebih sedikit daripada yang telah memasuki level prehipertensi. Pada penelitian ini juga didapatkan data bahwa terdapat subjek laki-laki yang pernah mengonsumsi rokok tetapi saat data diambil subjek sudah berhenti merokok. Hal ini kemungkinan jika tekanan darah sudah kembali normal setelah tidak lagi terpapar zat-zat kimia pada rokok.35 Penelitian Tiya Yuliana (2017) menunjukkan bahwa nilai mean rank kelompok perokok aktif sebesar 47,33 dan perokok pasif sebesar 39,67, setelah dianalisis menunjukan nilai p = 0,150 (p >0,05). Konsumsi rokok akan berdampak pada tekanan darah 10-20 tahun yang akan datang. Zat-zat kimia yang terkandung dalam batang rokok seperti nikotin dan karbon monoksida yang masuk dalam aliran darah dapat menaikkan tekanan darah.44


KESIMPULAN


Dalam memahami penyebab hipertensi terdapat beberapa faktor risiko yang saling berkaitan dengan kejadian hipertensi pada remaja di Indonesia. Kualitas tidur, IMT/U, pola asupan gizi, kebiasaan merokok, aktivitas fisik dan riwayat hipertensi dalam keluarga berpengaruh terhadap kejadian hipertensi pada remaja. Remaja dengan kualitas tidur yang buruk memiliki risiko 4,1 kali lebih besar dibanding remaja dengan kualitas tidur yang baik, remaja dengan nilai IMT/U yang tinggi memiliki risiko hipertensi yang lebih besar yaitu 4,85 kali dibanding remaja dengan IMT/U normal, faktor merokok memiliki potensi memicu hipertensi dalam jangka panjang, selain itu remaja dengan riwayat hipertensi dalam keluarga memiliki risiko 3,9 kali lebih besar untuk mengalami hipertensi. IMT/U merupakan faktor dominan terhadap risiko hipertensi pada remaja.


SARAN


Permasalahan hipertensi perlu mendapatkan perhatian khusus terlebih pada usia remaja karena tekanan darah akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia. Salah satu tindakan pencegahan hipertensi pada remaja adalah menjaga status gizi yang normal dengan menerapkan konsep gizi seimbang, dan meningkatkan aktivitas fisik dan olahraga, atau dengan kata lain penerapan pola hidup sehat dianjurkan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari–hari. Selain itu, peningkatan pengetahuan tentang hipertensi pada para remaja juga perlu diberikan sehingga remaja memahami faktor risiko hipertensi, terlebih jika terdapat riwayat hipertensi di dalam keluarga dan dapat lebih memperhatikan kondisi kesehatannya khususnya kondisi tekanan darah.


UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada dosen pembimbing Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, serta teman-teman yang telah memberikan saran, komentar, dan dukungan dalam menyelesaikan penulisan artikel ini.


DAFTAR PUSTAKA


  1. Lasianjayani T & Martini S. Hubungan antara obesitas dan perilaku merokok terhadap kejadian hipertensi. J Berk Epidemiol. 2014;2(3):286-96.

  2. Kurnianingtyas B, Suyatno S, & Kartasurya M. Faktor risiko kejadian hipertensi pada siswa SMA di kota Semarang tahun 2016. J Kesehat Masy. 2017;5(2):70-7.

  3. Day WH. A Global Brief on Hyper Tension World Health Day 2013. Geneva: World Health Organization; 2013.

  4. Essouma M, Noubiap JJN, Bigna JJR, et al. Hypertension prevalence , incidence and risk factors among children and adolescents in Africa : a systematic review and meta-analysis protocol. BMJ Open. 2015;5(9):1-5; doi:10.1136/ bmjopen-2015-008472

  5. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

  6. Varda NM. Hypertension in Adolescent. Health 2016;8(11):1065-74.

  7. Flynn JT, Kaelber DC, Baker-Smith CM, et al. Clinical Practice Guideline for Screening and Management of High Blood Pressure in Children and Adolescents. Pediatrics 2017;140(3):e20171904

  8. Kit BK, Kuklina E, Carroll MD, et al. Prevalence of and Trends in Dyslipidemia and Blood Pressure Among US Children and Adolescents, 1999-2012. JAMA Pediatr. 2015;169(3):272-9. doi:10.1001/jamapediatrics.2014.3216

  9. Bloch KV, Klein CH, Szklo M, et al. ERICA: prevalences of hypertension and obesity in Brazilian adolescents. Rev Saúde Pública 2016;50(suppl 1):9s

  10. Nurmayanti & Achmad EK. Studi Validasi Ukuran Antropometri dan Komposisi Lemak Tubuh Terhadap Tekanan Darah Pada Siswa-Siswi Di SMAK 2 Penabur Jakarta Tahun 2014 Univ Indones. 2014:1-20

  11. Angesti AN, Triyanti T, & Sartika RAD. Riwayat Hipertensi Keluarga Sebagai Faktor Dominan Hipertensi pada Remaja Kelas XI SMA Sejahtera 1 Depok Tahun 2017. Bul penelit kesehat. 2018;46(1):1-10.

  12. Nuraini B. Risk factors of hypertension. J Major. 2015;4(5):10-19.

  13. Anyaegbu EL, Dharnidharka VR. Hypertension in the Teenager. Pediatr Clin North Am 2014 ;61(1):131-51. doi:10.1016/j. pcl.2013.09.011

  14. Sumayku IM, Pandelaki K, & Wongkar MCP. Hubungan indeks massa tubuh dan lingkar pinggang dengan tekanan darah pada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sam Ratulangi. J e-Clinic 2014;2(2):1-5.

  15. Yoo JE & Park HS. Relationship between parental hypertension and cardiometabolic risk factors in adolescents. J Clin Hypertens (Greenwich) 2017;19(7):678-83. doi: 10.1111/jch.12991.

  16. Naha NK, John M, Cherian VJ. Prevalence of hypertension and risk factors among school children in Kerala, India. Int J Contemp Pediatr. 2016;3(3):931-38.

  17. Kementrian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Hipertensi. 2014.

  18. Dulskiene V, Kuciene R, Medzioniene J, Benetis R. Association between obesity and high blood pressure among Lithuanian adolescents: a cross-sectional study. Ital J Pediatr. 2014:10(4):102.

  19. Nasution ATP, Ramayati R, Sofyani S, et al. Quality of sleep and hypertension in adolescents. Paediatr Indones. 2016;56(5):272-6. doi:10.14238/pi56.5.2016.272-6

  20. Luthfi M, Azmi S, Erkadius E. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah pada Pelajar Kelas 2 SMA Negeri 10 Padang. jurnal.fk.unand. 2017;6(2):318-23.

  21. Marlina Y, Huriyati E, Sunarto Y. Indeks massa tubuh dan aktivitas fisik dengan tekanan darah pada pelajar SMA. J Gizi Klin Indones. 2016;12(4):160-6.

  22. Kalangie VM, Warouw SM, Umboh A. Hubungan berat badan dengan tekanan darah pada siswa SMP di Kecamatan Pineleng. J e-Clinic 2016;4(1):1-5.

  23. Yusrizal M, Indarto D, Akhyar M. Risk of Hypertension in Adolescents with Over Nutritional Status in Pangkal Pinang, Indonesia. Journal of Epidemiology and Public Health 2016;1(1):27-36.

  24. Pardede SO, Yunilasari, Setyanto DB. Prevalence and Factors that Influence Hypertension in Adolescents in Central Jakarta. Am J Clin Med Res. 2017;5(4):43-8. doi:10.12691/ajcmr-5-4-1

  25. Fitriany J, Ramayati R, et al. Blood pressure and lipid profiles in adolescents with hypertensive parents. Paediatr Indones. 2016;55(6):333-8.

  26. Fitriana R, Lipoeto NI, Triana V. Faktor risiko kejadian hipertensi pada remaja di wilayah kerja puskesmas. J Kesehat Masy. 2013;7(1):10-5.

  27. Hanifah R, et al. Hubungan stres dan asupan natrium terhadap tekanan darah pada remaja SMA di kota Yogyakarta. UGM. 2016.

  28. Bal C, Öztürk A, Çiçek B, et al. The Relationship Between Blood Pressure and Sleep Duration in Turkish Children : A Cross-Sectional Study. J Clin Res Pediatr Endocrinol. 2018;10(1):51-8.

  29. Ewald DR & Haldeman LA. Risk Factors in Adolescent Hypertension. Glob Pediatr Heal. 2016;3:1-26. doi:10.1177/2333794X15625159

  30. Amanda H, Prastiwi S, Sutriningsih A. Hubungan kualitas tidur dengan tingkat kekambuhan hipertensi pada lansia di kelurahan Tlogomas kota Malang. Nurs News. 2017;2(3):437-47.

  31. Castro-Diehl C, Roux AVD, et al. Sleep Duration and Quality in Relation to Autonomic Nervous System Measures : The Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis (MESA). Sleep 2016;39(11):1927-40.

  32. Sabiq A, Fitriany J, Mauliza M. Hubungan kualitas tidur dengan peningkatan tekanan darah pada remaja di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Lhokseumawe. Ahmad Sabiq. Julia Fitriany. Mauliza. Averrous. 2017;3(1):1-15. https:// ojs.unimal.ac.id/index.php/averrous/article/view/447.

  33. Chorin E, Hassidim A, Hartal M, et al. Trends in Adolescents Obesity and the Association between BMI and Blood Pressure : A Cross-Sectional Study in 714,922 Healthy Teenagers. Am J Hypertens. 2015;28(9):1157-63. doi:10.1093/ ajh/hpv007

  34. Novianingsih E, Kartini A. Hubungan antara beberapa indikator status gizi dengan tekanan darah pada remaja. J Nutr Coll. 2012;1(1):169-75.

  35. Suryawan ZF. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi Pada Remaja. J Keperawatan Muhammadiyah. 2019;4(1):136-49.

  36. Ononamadu CJ, Ezekwesili CN, Onyeukwu OF, et al. Comparative analysis of anthropometric indices of obesity as correlates and potential predictors of risk for hypertension and prehypertension in a population in Nigeria. Cardiovasc J Afr. 2017;28(2):92-9. doi:10.5830/CVJA-2016-061.

  37. Kautsar F, Syam A, Salam A. Obesitas, asupan natrium dan kalium terhadap tekanan darah. J MKMI. 2014;10(4):187-92.

  38. Brady TM. Obesity-Related Hypertension in Children. Front Pediatr. 2017;25(5):1-7. doi:10.3389/fped.2017.00197

  39. Christofaro DGD, Mesas AE, Dias RMR, et al. Association between hypertension in adolescents and the health risk factors of their parents: An epidemiological family study. J Am Soc Hypertens. 2018; 12(3):182:9. doi:10.1016/j. jash.2017.12.011

  40. Kementrian Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2017; 2017.

  41. Maranon R, Reckelhoff JF. Sex and Gender Differences in Control of Blood Pressure. Clin Sci. 2015;125(7):311-8. doi:10.1042/CS20130140.Sex

  42. De Moraes ACF, Lacerda MB, Moreno LA, et al. Prevalence of High Blood Pressure in 122,053 Adolescents: A Systematic Review and Meta-Regression. Med. 2014;93(27):1-10. doi:10.1097/MD.0000000000000232

  43. Weisinger RS, Begg DP, Chen N, et al. The problem of obesity: is there a role for antagonists of the renin-angiotensin system? Asia Pac J Clin Nutr. 2007;16(Suppl 1):359-67.

  44. Yuliana T, Hartoyo M. Nurulita U. Perbedaan tekanan darah berdasarkan status merokok (studi di rusun Rawa Sawah Besar Kaligawe Semarang). e-journal stikes telogorejo. 2017. http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ ilmukeperawatan/article/view/655.

3 tampilan
bottom of page