top of page

Jumlah Kelenjar Ekrin dan Apokrin serta Gambaran Sel Radang Pada Pasien Bromhidrosis




Imroatul Ulya1, Muhammad Risman1, Oyong2, Endra Yustin Ellista Sari1, Indah Julianto1

1Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / Rumah Sakit DR. Moewardi, Surakarta

2Bagian Histopatologi Anatomi Rumah Sakit DR. Moewardi, Surakarta



Bromhidrosis adalah suatu kondisi keringat yang berlebih dan berbau tidak sedap. Salah satu faktor yang menyebabkan kondisi ini adalah perbedaan anatomis kulit ketiak pasien bromhidrosis seperti jumlah kelenjar ekrin, kelenjar apokrin serta infiltrasi sel radang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan jumlah kelenjar apokrin dengan kelenjar ekrin pada pasien bromhidrosis serta mengetahui gambaran infiltrasi sel radang pada pasien bromhidrosis dibandingkan dengan kontrol. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yang melibatkan tujuh subjek dengan bromhidrosis dan satu subjek kontrol dipilih secara acak, kemudian dilakukan biopsi plong dengan ukuran 5 mm pada daerah aksila dan dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji ANOVA. Subjek yang mengalami bromhidrosis memiliki jumlah kelenjar apokrin yang lebih banyak dibandingkan dengan kelenjar ekrin dengan rasio 2:1. Jumlah kelenjar aporin dan kalenjar ekrin pada subjek bromhidrosis dibandingkan dengan kontrol mempunyai perbedaan yang bermakna dengan signifikansi p=0,042 (p<0,05). Gambaran infiltrasi sel radang tidak memiliki perbedaan yang bermakna antara subjek dengan bromhidrosis dan kontrol yaitu gambaran infiltrasi sel radang minimal dominan limfosit pada bagian dermis atas. Berdasarkan hasil tersebut, tampak bahwa kelenjar apokrin lebih memiliki peranan dibandingkan kelenjar ekrin dalam terjadinya bromhidrosis. Sementara itu, peradangan pada sekitar kelenjar apokrin dan ekrin kurang memiliki peranan sebagai penyebab bromhidrosis.


Kata kunci: bromhidrosis, kelenjar apokrin, kelenjar ekrin, infiltrasi sel radang


PENDAHULUAN

Bromhidrosis adalah suatu kondisi kronis berupa adanya produksi keringat yang berlebih di area ketiak disertai dengan bau yang menyengat.1 Produksi keringat yang berlebih biasanya diakibatkan oleh produksi yang berlebihan dari kelenjar apokrin, kelenjar ekrin serta dekomposisi bakteri pada kelenjar apokrin maupun dengan produk keratinisasi di permukaan kulit.2 Peningkatan produksi keringat dari kelenjar ekrin dihubungkan dengan hipersekresi akibat stimuli dari saraf simpatetik atau kelainan morfologi dari kelenjar.3,4,5 Sebuah penelitian menunjukkan hasil biopsi pada pasien bromhidrosis didapatkan jumlah kelenjar apokrin yang lebih banyak serta ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Hal ini mungkin menjelaskan terjadinya peningkatan produksi dari kelenjar apokrin.3,6 Peningkatan sekresi dari kelenjar ekrin maupun apokrin menyebabkan lingkungan ketiak menjadi lembab. Peningkatan maserasi dari sel keratin akan menjadi daerah yang sempurna dalam pertumbuhan mikroorganisme (bakteri) dalam beberapa jam.7 Dekomposisi bakteri pada permukaan kulit maupun kelenjar akan mengubah zat hasil sekresi dan menghasilkan asam lemak yang menjadi penyebab bau tidak sedap.3,8,9


Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan adanya perubahan yang jelas dari histologi kulit ketiak dan kelenjar – kelenjar pada pasien dengan bromhidrosis. Adanya perbedaan hasil biopsi ketiak dari pasien bromhidrosis dengan normal bisa menjadi dasar untuk memahami histologi ketiak pada pasien bromhidrosis serta mengetahui penyebab yang paling berperan pada munculnya bromhidrosis.


Tujuan dan Manfaat Penelitian

Membandingkan jumlah kelenjar apokrin dengan ekrin pada pasien bromhidrosis dibandingkan subjek normal serta melihat gambaran infiltrasi sel radang pada pasien dengan bromhidrosis dibandingkan dengan kulit ketiak normal (kontrol).


Metode

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik yang dilakukan pada 8 subjek. Penelitian dilakukan di poliklinik Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi pada bulan April 2015.


B. Subjek penelitian

Subjek yang dipilih pada penelitian ini berjumlah 8 subjek yang terdiri dari 7 subjek yang memiliki riwayat bromhidrosis dan 1 subjek tanpa riwayat bromhidrosis sebagai kontrol. Subjek penelitian diambil dari karyawan RS. Dr Moewardi Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


Kriteria inklusi :

1. Subjek pria atau wanita berumur 30-50 tahun

2. Subjek dengan riwayat bromhidrosis

3. Subjek bersedia mengisi dan menandatangani formulir persetujuan penelitian


Kriteria eksklusi :

1. Subjek dengan kelainan hasil laboratorium pada masa pembekuan darah.

2. Subjek dengan riwayat penyakit metabolik


C.Variabel penelitian

Variabel bebas : Bromhidrosis

Variabel tergantung : Jumlah kelenjar apokrin, kelenjar ekrin dan infiltrasi sel radang.


D. Metode penelitian

Sampel biopsi kulit ketiak diambil dari 8 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan bersedia menandatangani formulir persetujuan penelitian. Sampel biopsi diambil dengan metode biopsi plong dengan ukuran 5 mm yang difiksasi pada formalin buffer dan dilakukan pengecatan menggunakan hematoksilin eosin. Kemudian dianalisis di bawah mikroskop cahaya untuk diperiksa jumlah kelenjar apokrin, kelenjar ekrin dan infiltrasi sel radang. Hasil analisa perbandingan antara jumlah kelenjar apokrin dan kelenjar ekrin dianalisa menggunakan SPSS 18 dengan tes ANOVA.


HASIL

Hasil dari penelitian ini adalah pada ketujuh preparat dari pasien bromhidrosis menunjukkan perbandingan jumlah kelenjar apokrin yang lebih banyak dibandingkan dengan kelenjar ekrin (Tabel 1) (Gambar 1). Hasil yang berbeda didapatkan pada kontrol, dimana kelenjar apokrin memiliki jumlah yang tidak jauh berbeda dengan kelenjar ekrin (Gambar 2). Jumlah rata-rata kelenjar apokrin dibandingkan dengan kelenjar ekrin memiliki rasio perbandingan 2:1. Pada perbandingan jumlah kelenjar apokrin dan kelenjar ekrin dibandingkan dengan kontrol, memiliki nilai signifikansi p = 0,042 (p < 0,05) dengan analisa tes ANOVA.


Preparat kontrol menunjukkan infiltrasi sel radang sangat minimal. Tampak beberapa infiltrat sel limfosit tersebar di papilla dermis dan sebagian kecil di sekitar periapendikular. Pada preparat bromhidrosis juga menunjukkan gambaran yang tidak jauh berbeda yaitu sebagian besar infiltrat sel radang tersebar di papilla dermis dibandingkan dengan di sekitar periapendikular. Infiltrat sel radang didominasi oleh sel limfosit dengan beberapa tampak terlihat sel neutrofil.







PEMBAHASAN

Bromhidrosis merupakan keadaan dimana adanya sekresi keringat yang berlebihan (hiperhidrosis) dan mengeluarkan bau yang tidak sedap (osmidrosis).10 Hiperhidrosis dari ketiak merupakan akibat dari aktifitas yang berlebih dari kelenjar ekrin, berbeda dengan osmidrosis

pada ketiak dimana yang paling berperan adalah kelenjar apokrin.11 Ukuran dari kalenjar apokrin juga diduga mempunyai peranan dalam produksi keringat yang berlebihan, dimana pada usia pubertas kelenjar ini akan lebih aktif berproduksi.12 Bau keringat yang tidak sedap berhubungan dengan interaksi antara kelenjar apokrin dan mikroorganisme. Adanya bakteri pada ketiak akan menyebabkan gangguan produksi normal dari kelenjar apokrin dan menghasilkan bau yang tidak sedap dalam beberapa jam.13 Kontaminasi dari bakteri terutama Corynebacteria berperan dalam bau keringat yang menyengat pada ketiak.2,8,14 Peningkatan pH ketiak menyebabkan peningkatan pertumbuhan dari bakteri tersebut.2 Bakteri tersebut menghasilkan asam lemak rantai pendek dan amonia sebagai penyebab dari bau.15


Berbagai penelitian telah dilakukan tentang adanya perubahan histologi pada bromhidrosis. Dilaporkan satu laporan histologi dari biopsi ketiak pada 10 kontrol subjek tanpa bau ketiak dan pada 20 pasien bromhidrosis.6,11 Didapatkan hasil pada bromhidrosis, kelenjar apokrin memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan kelenjar ekrin. Sedangkan pada kontrol kelenjar ekrin memiliki jumlah yang hampir sama dengan kelenjar apokrin.6,11 Bechara dkk melakukan penelitian pada 40 orang dengan hiperhidrosis lokal. Didapatkan rasio perbandingan kelenjar apokrin dan ekrin adalah 1,6:1 dengan pengklasifikasian tradisional (tanpa pewarnaan khusus).16 Hasil ini juga didapatkan oleh Lawrence dan Londsdale Eccles pada penelitiannya yang menyebutkan rasio kelenjar apokrin dan kelenjar ekrin adalah sebesar 1,5:1 pada 8 spesimen dengan hiperhidrosis.17 Penelitian paling baru dilakukan oleh Beer dkk, dengan menggunakan pengecatan imunohistokimia khusus untuk mendiskripsikan kelenjar apokrin dan kelenjar ekrin. Mereka melaporkan rasio jumlah kelenjar apokrin dan kelenjar ekrin adalah 1,5:1.18


Walter dkk19 melakukan penelitian observasi histologi pada 75 pasien didapatkan sebagian besar kelenjar apokrin mengalami perbesaran dan jumlah yang lebih banyak dengan gambaran infiltrasi sel radang tampak pada lapisan dermis bagian atas dan diantara sekitar saluran apokrin dan kelenjar tambahan lainnya. Hal ini dianggap sebagai reaksi peradangan bakteri akibat dari kelenjar yang tersumbat. Peningkatan infiltrasi sel mononuklear bisa terjadi secara fokal akibat dari trauma pencabutan bulu rambut ketiak.20


Pada penelitian ini, pada pasien bromhidrosis didapatkan jumlah kelenjar apokrin lebih banyak daripada kelenjar ekrin dengan rasio perbandingan 2:1. Perbedaan juga bermakna signifikan ketika dibandingkan dengan kontrol dengan nilai p sebesar 0,042 (p<0,05).


Gambaran infiltrasi sel radang tampak minimal pada hampir semua preparat dengan sebaran sebagian besar pada dermis bagian atas, didominasi sel limfosit dan tampak beberapa sel netrofil. Tidak ditemukan adanya infiltrasi sel radang pada sekitar periappendikular. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa bakteri tidak menimbulkan peradangan sampai pada kelenjar apokrin, tetapi bisa dikarenakan adanya dekomposisi bakteri dengan keratin pada permukaan rambut ataupun di folikel rambut.


KESIMPULAN

Perubahan gambaran histologipatologi pada pasien bromhidrosis memiliki peranan dalam penentuan penyebab dari bromhidrosis itu sendiri. Adanya jumlah kelenjar apokrin yang lebih banyak dibandingkan dengan kelenjar ekrin dan dibandingkan dengan kontrol serta gambaran infiltrasi sel radang yang tampak minimal pada hampir semua subjek menunjukkan bahwa kelenjar apokrin lebih memiliki peranan dibandingkan kelenjar ekrin dalam terjadinya bromhidrosis. Peradangan pada sekitar kelenjar kurang memiliki peranan sebagai penyebab bromhidrosis, kemungkinan karena dekomposisi bakteri hanya terjadi pada permukaan kulit.



DAFTAR PUSTAKA

  1. Seo S-H, Jang B-S, Oh C-K, Kwon K-S, Kim M-B. Tumescent Superficial Liposuction with Curettage for Treatment of Axillary Bromhidrosis. European Academy of Dermatology and Venereology. 2007;22:30-5.

  2. Coulson IH. Disorders of Sweat Glands. In: Burns T BS, Cox N, Griffiths C, editor. Rook’s text book of dermatology. 13. 8th ed.2010. p. 44.19-20.

  3. Plewig Gerd, Martin Schaller. Structure and Function of Eccrine, Apocrine, Apoeccrine and Seaceous Glands. In Bolognia JL, Jorizzo JL, Scaffer JV, editors. Dermatology. 2.3rd ed. Philadelphia. Elsevier Saunders; 2012. P. 489-94

  4. Miller JL. Disease of The Eccrine and Apocrine Sweat Glands. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Dermatology. 2. 3rd ed. Philadelphia: Elsavier Saunders;2012. p. 587-602

  5. Tobias V, Fung J.F, Sidra K, Jan D.S, Paul W. Hyperhidrosis: Evolving concepts and a comprhensive review.The Surgeon, Journal of the Royal Colleges of Surgeons of Edinburgh and Ireland. J.Surge.2010;8: 287-92

  6. Bang YH, Kim JH, Paik SW, Park SH, Jackson IT, Lebeda R. Histopathology of Apocrine Bromhidrosis. Department of Plastic Surgery Inha General Hospital & the Institute for Craniofacial and Reconstructive Surgery.1995:288-92

  7. Shelley, W.B., Hurley, H.J., Nicholas, A.C.: Axillary odor: Experimental Study of The Role of Bacteria, Apocrine Sweat and Deodorant. Arch Dermatol 1953; 68: p.430

  8. Christos C. Zouboulis, Tsatsou F. Disorders of the Apocrine Sweat Glands. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lefel Dj, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York; McGraw Hill; 2012: 1332-37

  9. James W.D., Berger T.G., Elston D.M.. Diseases of The Skin Appendages. In: Andrew’s Diseases of The Skin.11th ed. Saunder Elsevier: 2011:765-68

  10. Perera E, Sinclair R. Hyperhidrosis and Bromhidrosis. A Guide to Assessment and Management. Australian Family Physician.2013: 42: 5:266-9

  11. Ren-Yeu Tsai. Treatment of Excessive Axillary Sweat Syndromes (Hyperhidrosis, Osmidrosis, Bromhidrosis) with Liposuction.75

  12. Lonsdale-Eccles A, Leonard N, Lawrencet C. Axillary Hyperhidrosis : Eccrine or Apocrine?.Cinical and Experimental

  13. Dermatology. Departement of Dermatology, James Cook University Hospital 2002;28: 2-7 Shelley, W.B., Hurley, H.J., Nicholas, A.C.: Axillary Odor: Experimental Study of The Role of Bacteria , apocrine sweat and vdeodorant. Arch Dermatol: 1953 :68:430

  14. Kanlayavattanakul M, Lourith N. Body Malodours and Their Topical Treatment Agents. International Journal of Cosmetic Science. 2011;33:298-311.

  15. Froebe C., Simone A., Charig A., Eigen E., Axillary Malodor Production: A New Mechanism. Journal of The Society of Cosmetic Chemist. 1990;41;173-85

  16. Walter B.,Shelley, Edwin J.L. Histologic Observations on The Human Apocrine Sweat Gland in Health and Disease. J Invest Dermatol.1955; 249-263

  17. James A.G., Pople J.E., Parish W.E., Moore A.E., Dunbar N. Histological Evaluation of Hyperpigmentation on Female Filipino Axillary Skin. Int J of Cosmetic Science.2006; 28: 247-53

  18. Bechara FG, Sand M, Hoffmann K, Boorboor P, Altmeyer P, Stuecker M. Histological and Clinical Findings in Different Surgical Strategies for Focal Axillary Hyperhidrosis. Dermatol Surgery.2008;34(8):1001-9

  19. Beer GM, Baumuller S, Zech N, et al. Immunohistochemical differentiation and localization analysis of sweat glands in the adult human axilla. Plast Reconstr Surg 2006;117:2043–9

  20. Lawrence CM, Lonsdale Eccles AA. Selective sweat gland removal with minimal skin excision in the treatment of axillary hyperhidrosis: a retrospective clinical and histological review of 15 patients. Br J Dermatol 2006;155:115–8


Sumber: Medicinus April 2019 vol. 32 issue 1

26 tampilan
bottom of page