Raissa, Cintyadewi Wignjosoesastro, Ricky Setiawan
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Perubahan kuku merupakan salah satu manifestasi klinis yang terjadi pada penderita infeksi HIV. Perubahan ini dapat menjadi gejala awal dan berkaitan dengan derajat keparahan immunocompromised. Terdapat beberapa kelainan kuku yang dapat terjadi pada penderita infeksi HIV, namun yang tersering adalah onikomikosis. Artikel ini membahas mengenai kelainan kuku yang berhubungan dengan infeksi HIV serta tatalaksananya.
Kata kunci: kelainan kuku, perubahan kuku, infeksi HIV, immunocompromised
PENDAHULUAN
Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan global termasuk di Indonesia. Virus ini menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh karena berkurangnya CD4 yang berperan dalam sistem imun dan menyebabkan ODHA (Orang dengan HIV AIDS) mudah terkena penyakit infeksi oportunistik.1,2 Etiologi dari penyakit ini adalah HIV-1 yang merupakan penyebab dari hampir seluruh infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 umumnya di daerah Afrika Barat. Transmisi terjadi melalui hubungan seksual, darah atau produk darah dan perinatal.1
Pada artikel ini akan dibahas mengenai kelainan kuku sebagai salah satu keluhan awal pasien dengan infeksi HIV. Adanya kelainan ini juga dapat mencerminkan derajat immunocompromised.
EPIDEMIOLOGI
Di dunia diperkirakan terdapat 33,2 juta penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Pada tahun 2013, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia memperkirakan peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dari 0,38% di tahun 2011 menjadi 0,5% di tahun 2016, terutama pada populasi laki-laki dan perempuan risiko rendah. Pada tahun 2016 diperkirakan total penduduk yang merupakan ODHA di Indonesia berjumlah 785.821 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun 2011 yaitu sebanyak 545.428 ODHA. 2,3
Salah satu komplikasi yang dapat dialami oleh ODHA adalah gangguan kulit. Lesi kulit dapat muncul pada setiap stadium dari infeksi HIV, terutama pada infeksi HIV stadium lanjut dengan angka CD4 <200/mm3. Namun dapat pula menjadi keluhan awal. Prevalensi keluhan mukokutan pada ODHA dapat mencapai 90%. 4
Berdasarkan studi yang dilakukan di Turki pada tahun 2006 hingga 2012, dilakukan pemeriksaan 306 ODHA dan ditemukan bahwa kelainan kulit yang muncul dapat berupa infeksi atau noninfeksi. Kelainan kulit infeksi seperti infeksi jamur yaitu kandidiasis oral, onikomikosis, tinea pedis, dan tinea korporis, infeksi bakteri yaitu: folikulitis, acne vulgaris, dan tuberkulosis, infeksi virus yaitu: herpes zoster, kondiloma akuminata, herpes simpleks, dan moluskum kontagiosum, infeksi lain seperti skabies dan pedikulosis. Kelainan kulit noninfeksi yang dapat ditemukan yaitu hiperpigmentasi, xerosis, dermatitis seboroik, sarkoma kaposi, psoriasis, dan alopesia.4
Kelainan kuku yang paling sering muncul pada pasien dengan HIV positif adalah onikomikosis. Onikomikosis merupakan infeksi jamur dermatofit pada kuku, dapat berbentuk onikomikosis subungual distal dan lateral, onikomikosis superfisial, putih, maupun onikomikosis subungual proksimal. Prevalensi onikomikosis meningkat empat kali lipat pada ODHA dibandingkan populasi umum.4,5 Prevalensi onikomikosis di dunia sebesar 2-13%, dan 11-67% dari seluruh penderita memiliki sistem imun yang rendah.6
ANATOMI KUKU7
Kuku merupakan salah satu adneksa kulit, yang mengandung lapisan tanduk (keratin) dan terdapat pada ujung jari tangan dan kaki. Bagian-bagian dari kuku adalah:
Matriks kuku: bagian kuku pembentuk jaringan kuku baru yang mengandung saraf, limfa, dan pembuluh darah. Bagian ini berfungsi untuk produksi sel pembentuk lempeng kuku.
Dinding kuku (nail wall): lipatan kulit yang menutupi bagian atas pinggir kuku.
Dasar kuku (nail bed): kulit yang ditutupi kuku
Alur kuku (nail groove): celah antara dinding dan dasar kuku
Akar kuku (nail root): bagian proksimal kuku
Lempeng kuku (nail plate): bagian tengah kuku
Lunula: bagian dari lempeng kuku yang berwarna putih berbentuk crescent dekat akar kuku
Eponikium: dinding kuku bagian proksimal, kulit yang menutupi bagian permukaan lempeng kuku
Hiponikium: epitelium yang berada di bawah lempeng kuku di dekat ujung jari, untuk melindungi dasar kuku.
Gambar 1. Anatomi Kuku 8
KELAINAN KUKU
Terdapat banyak perubahan mukokutaneus atau penyakit kulit spesifik yang berkaitan dengan infeksi HIV, namun hanya sedikit studi yang membahas tentang perubahan kuku yang terjadi berhubungan dengan infeksi HIV. Tinea pedis dan onikomikosis merupakan kelainan tersering pada pasien dengan infeksi HIV.9,10 Kelainan ini dapat menyerang1 dari 3 pasien HIV positif.9
Onikomikosis merupakan salah satu manifestasi infeksi HIV yang terjadi pada sepertiga dari pasien infeksi HIV dengan prevalensi 15-40%.10,11 Karakteristik onikomikosis pada HIV ialah melibatkan banyak kuku, spesies yang terisolasi merupakan spesies yang umum dan jarang, serta resisten terhadap terapi konvensional.10 Onikomikosis pada HIV lebih sering mengenai kuku jari kaki, dengan tipe yang paling banyak terjadi ialah onikomikosis subungual proksimal. Hal ini menjadi salah satu patognomonik dari infeksi HIV.12
HIV menyebabkan imunosupresi yang memungkinkan jamur menginvasi seluruh kuku dan menyebabkan distrofi. Ini dapat menjadi manifestasi awal dari imunosupresi dan lebih sering terjadi jika angka CD4 mendekati atau kurang dari 450 sel/μl.11
Korting et al. menemukan bahwa frekuensi tersering dari onikomikosis yaitu pada infeksi HIV stadium terminal. Onikomikosis dapat diamati sejak stadium awal, namun keterlibatan 10-20 jari paling sering dialami pada stadium lanjut. Meskipun sensitivitas terhadap antimikroba normal, namun onikomikosis pada pasien dengan HIV lebih sulit untuk diterapi. Hal ini karena seringkali terdapat koinfeksi dan adanya patogen lain.10
Spesies jamur multipel dan jamur oportunistik lain yang tidak umum sering diperoleh pada kultur pasien terinfeksi HIV dan dapat mencerminkan derajat immunocompromised.11,12 Dari dermatofita yang diisolasi, Trichophyton rubrum merupakan dermatofita terbanyak, diikuti Trichophyton mentagrophyte.10,11 Diantara jamur nondermatofita terisolasi, didapatkan Candida spp., Aspergillus niger, Cladosporium spp., Scytalidium hyalinum, Penicillium spp., dan Gymnoascus dankaliensis. Aspergilus spp. masih merupakan kontroversi sebagai kontaminan penyebab onikomikosis. Beberapa studi sudah menyatakan bahwa patogen tersebut memiliki peran dalam terjadinya onikomikosis. Selain Aspergilus spp., juga ditemukan Aspergillus sclerotiorum, Aspergillus flavus, dan Aspergillus tamarii.11
Gambar 2. Onikomikosis11
Perubahan pada morfologi dan warna dari lunula dapat menjadi indikasi adanya penyakit kulit maupun sistemik. Sebagian besar kondisi ini merupakan kelainan yang didapat. Lunula dapat menjadi hilang atau lebih kecil secara progresif pada orang yang memiliki ukuran lunula normal sebelumnya. Seringkali mikrolunula atau anolunula secara seragam terjadi pada seluruh jari.13
Penelitian yang dilakukan oleh Galahaut et al. menyatakan argumen valid bahwa anolunula total merupakan penanda baru infeksi HIV. Anolunula total meningkat seiring waktu pada pasien dengan HIV positif. Insidensi anolunula total meningkat secara signifikan pada pasien yang didiagnosis HIV lebih dari 6 bulan dibandingkan dengan pasien yang didiagnosis HIV kurang dari 6 bulan. Selain itu, peningkatan insiden anolunula total sebanding dengan derajat keparahan HIV yaitu dari stadium 1 hingga 4.13
Hingga saat ini belum diketahui penyebab anolunula pada infeksi HIV, kemungkinan disebabkan adanya perubahan sistem vaskuler atau limfatik. Pembuluh darah pada lipatan kuku bagian proksimal dapat dipengaruhi oleh penyakit sistemik. Disfungsi dan kerusakan endotelial telah diterangkan pada infeksi HIV. HIV sendiri berkaitan dengan aterosklerosis prematur. Kerusakan dan disfungsi endotelial yang menyebabkan gangguan pertumbuhan kuku hingga terjadi anolunula hanya dapat dibuktikan dari perubahan histologi pada pasien dengan HIV positif.13
Gangguan fungsi limfatik merupakan penjelasan dari penyebab anolunula hingga sindrom kuku kuning (Yellow Nail Syndrome / YNS). Pada YNS, terjadi perubahan rata-rata laju pertumbuhan kuku biasanya kurang dari 1 per 10 dari normal. Hilangnya lunula dapat terjadi karena pertumbuhan kuku yang lambat. Yellow nail syndrome merupakan penyakit yang jarang terjadi dan penyebabnya tidak diketahui. Karakteristik yang didapatkan berupa perubahan warna menjadi kuning, penebalan kuku dengan pertumbuhan lambat, limfedema kronik, dan manifestasi respiratori, seperti bronkiektasis atau efusi pleura. Kuku yang terkena YNS bergerigi karena pertumbuhan yang terganggu dan onikolisis dapat terjadi pada satu atau lebih kuku.13
Pada infeksi sistemik seperti HIV dapat timbul leukonikia. Leukonikia atau white nails merupakan perubahan warna kuku menjadi putih.14 Ada empat bentuk dari leukonikia yaitu leukonikia punctata, striata, parsialis, dan totalis.9,15 Pada infeksi sistemik seperti HIV dapat timbul leukonikia striata, yaitu adanya garis putih paralel transversal di kuku. Leukonikia timbul karena keratinisasi abnormal dengan granula keratohialin persisten pada lempeng kuku.15 Mekanisme terjadinya perubahan warna ini masih belum diketahui. Namun, keratinisasi abnormal matriks, parakeratosis persisten, dan disosiasi serabut keratin berperan penting terhadap modifikasi refleksi cahaya yang dipantulkan dari lempeng kuku. Selain itu, disorganisasi dari fibril keratin menyebabkan disfraksi cahaya pada sel parakeratotik, yang menghasilkan penampilan opaque pada lempeng kuku.14 Leukonikia proksimal atau subtotal telah dilaporkan ditemukan pada lebih dari 10% pasien dengan HIV positif.9
Perubahan kuku lain yang cukup sering terjadi ialah melanonikia longitudinal yang berhubungan atau tanpa hubungan dengan terapi zidovudine.9,10 Adanya hubungan langsung antara obat antiretroviral dengan munculnya leukonikia masih diperdebatkan. Antiretroviral utama yang berhubungan dengan perubahan pigmentasi pada kulit dan pelengkapnya adalah zidovudine. Obat ini dapat menyebabkan hiperpigmentasi pada mukosa, kulit, dan kuku, berkisar dari biru terang hingga abu-abu gelap atau coklat. Penurunan laju pertumbuhan kuku terjadi pada pasien yang mendapat terapi zidovudine.13 Lamivudine menyebabkan alopesia dan paronikia. Abacavir berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas, rhabdomiolisis, dan nekrolisis epidermal toksik. Nevirapine dapat menginduksi eksantema makulopapular yang muncul 4-6 minggu setelah memulai terapi.9
TATALAKSANA
Terapi untuk kelainan kuku yang menyertai infeksi HIV diindikasikan apabila terdapat selulitis ataupun dirasakan nyeri dan berdasarkan keinginan pasien untuk mendapatkan terapi.16 Pada kebanyakan kasus, modalitas terapi kelainan kulit pada pasien positif HIV serupa dengan pada pasien HIV negatif. 17
Pada onikomikosis subungual distal, onikomikosis subungual proksimal serta onikomikosis superfisial putih, diberikan pilihan terapi dosis denyut secara oral (berdasarkan tingkat efektivitas) berupa terbinafine 250 mg/hari, selama 1 minggu setiap bulannya atau itraconazole 400 mg/hari, selama 1 minggu setiap bulannya maupun fluconazole 150 mg/minggu. Onikomikosis kandida dan kelainan kuku akibat jamur seperti Aspergillus, Scopulanopsis dapat diberikan terapi oral (berdasarkan tingkat efektivitas) berupa itraconazole 400 mg/hari selama 1 minggu setiap bulan atau terbinafine 250 mg/hari selama 1 minggu setiap bulan. Pemberian terapi pada kuku jari tangan selama 2 bulan, sementara pada kuku jari kaki selama 3 bulan. 16-18
Terapi dengan fluconazole 400 mg/minggu selama 6 bulan telah menunjukkan efektivitas pada pasien immunocompromised. Selain itu, fluconazole memiliki interaksi obat yang lebih ringan dibandingkan dengan itraconazole. Tingkat kesembuhan sekitar 76% dengan terbinafine, dan 48% dengan fluconazole.16 Terbinafine sangat efektif untuk infeksi dermatofita, tetapi tidak diprediksi efektif untuk infeksi fungal nondermatofita. Itraconazole bersifat fungistatik terhadap dermatofita, jamur nondermatofita dan ragi.17 Terbinafine, itraconazole, maupun fluconazole dapat menyebabkan efek hepatotoksisitas sehingga perlu dilakukan pemantauan fungsi dan gejala-gejala gangguan liver sebelum, selama dan setelah terapi, terutama pada pasien dengan penyakit liver. 16
Terapi topikal sebagai terapi tunggal onikomikosis umumnya kurang efektif. Ciclopirox16 atau amorolfine18 topikal nail lacquer dapat digunakan untuk pasien yang tidak dapat diberikan terapi sistemik karena adanya penyakit komorbiditas, atau bila satu kuku saja yang terkena. Penelitian menunjukkan tingkat kesembuhan sebesar 7%. Tindakan pembedahan dapat dilakukan dengan ekstraksi kuku pada infeksi kuku atau dermatofitoma.16 Apabila onikomikosis tidak memberikan respons terhadap pengobatan (setidaknya setelah 3 bulan terapi), perlu dipertimbangkan diagnosis alternatif untuk kelainan kuku seperti trauma, psoriasis maupun lichen planus.18
Sementara studi yang membahas manajemen pada anolunula, leukonikia dan melanonikia yang berkaitan dengan infeksi HIV masih terbatas.
KESIMPULAN
Terdapat banyak perubahan mukokutaneus atau penyakit kulit spesifik yang berkaitan dengan infeksi HIV, termasuk di dalamnya adalah kelainan kuku. Pemeriksaan kuku pada pasien dengan infeksi HIV menjadi sangat penting karena frekuensi terjadinya perubahan kuku dapat berkaitan dengan derajat keparahan imunosupresi. Onikomikosis merupakan kelainan tersering yang dialami pasien dengan infeksi HIV, dengan prevalensi 15-40%. Onikomikosis ini melibatkan banyak kuku, terutama kuku jari kaki, dengan tipe yang paling banyak terjadi ialah onikomikosis subungual proksimal. Spesies jamur lain juga sering didapatkan pada kultur. Insidensi anolunula total meningkat secara signifikan pada pasien yang didiagnosis HIV terutama lebih dari 6 bulan. Pada infeksi sistemik seperti HIV dapat pula ditemukan leukonikia striata, baik proksimal maupun subtotal. Perubahan kuku lain yang cukup sering terjadi ialah melanonikia longitudinal dengan atau tanpa hubungan dengan zidovudine sebagai terapi antiretroviral. Tatalaksana yang diberikan umumnya tidak jauh berbeda pada paseien yang mengalami kelainan kuku dengan HIV negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Omobolaji TC, Rajesh TG. Update on Human Immunodeficiency Virus (HIV)-2 Infection. Clinical Infectious Diseases: an Official Publication of the Infectious Diseases Society of America. 2011;52:780-781.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. 2011: 1-2, 9.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016. 2013; 13-14.
Aydin OA, Karaosmanoglu HK, Korkusuz R, et al. Mucocutaneous manifestation and the relationship to CD4 lymphocyte counts among Turkish HIV/AIDS patients in Istanbul, Turkey. Turkish Journal of Medical Sciences. 2015;45: 89-91.
Moreno-Coutino G, Arenas R, Reyes-Teran G. Clinical presentation of onychomycosis in HIV/AIDS: A Review of 280 Mexican Cases.Indian Journal of Dermatology. 2011;56(1): 120-121.
Schmidt BM, Holmes C. Proximal white onychomycosis in a immunocompetent patient: A Case Report. Scientific Research Publishing. 2015;4:43.
Soepardiman Lily, Legiawati Lili. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. p. 378.
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. Vol 1. The McGraw-Hill Companies; 2012. p. 1010.
Pielasinski-Rodríguez U, et al. Leuconiquia total adquirida en paciente infectado por el virus de la inmunodeficiencia humana. Actas Dermosifiliogr. 2012;103:934-5.
Cribier B, Mena ML, Rey D, et al. Nail changes in patients infected with human immunodeficiency virus. Arch Dermatol. 1998;134:1216-1220.
Surjushe A, Kamath R, Oberai C, et al. A clinical and mycological study of onychomychosis in HIV infection. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2007;73:397-401.
Kaviarasan PK, Jaisankar TJ, Thappa D, et al. Clinical variations in dermatophytosis in HIV infected patients. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2002;68:213-6.
Gahalaut P, Misra N, Chauhan S, et al. Anolunula in fingernails among patients infected with HIV. ISRN Dermatology. 2014. Available from: http://dx.doi.org/10.1155/2014/271230.
Angoori GR, Koppada D. Idiopathic total leukonychia involving fingernails: A report of two cases. Arch Med Health Sci 2015;3:302-5.
James WD, Berger TG, Elston DM. Disease of the skin appendages. Andrews’ Diseases of the Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Amsterdam: Saunders; 2011:769-81.
Ross D, Coffey S. Dermatologic conditions. 2011. Primary Care of Veterans with HIV. Available from: http://www.hiv.va.gov/ provider/manual-primary care/dermatologic.asp
Ian CT. Dermatologic manifestasions in HIV disease. 2007. Available from: http://www.info.gov.hk/aids/
Sumber: Medicinus April 2019 vol. 32 issue 1