top of page

Kepatuhan Pasien padaPengobatan Hepatitis B


Corporate News - Infeksi virus hepatitis B merupakan suatu masalah kesehatan utama di dunia termasuk di Indonesia. Data WHO memperkirakan sepertiga penduduk dunia pernah terpajan virus ini dan 350-400 juta dinyatakan mengidap hepatitis B. Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan, prevalensi hepatitis semua tipe untuk semua umur mengalami peningkatan dari 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,2% di 2013. Dimana 21,8% dari kasus hepatitis tersebut adalah hepatitis B. Di Asia Tenggara sendiri, Indonesia berada pada posisi ke 2 pengidap hepatitis B tertinggi setelah Myanmar.


Hepatitis B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B yang dapat menyebabkan terjadinya hepatitis B akut yang kemudian akan sembuh secara spontan atau berkembang menjadi hepatitis B kronik. Penderita yang terinfeksi virus hepatitis B dan berkembang menjadi kronis akan melewati 4 fase perjalanan penyakit, yaitu:


Tabel 1. Fase perjalanan kronis penyakit hepatis B (adaptasi dari: Fung SK and Lok ASF. Treatment of chronic hepatitis B: who to treat, what to use, and for how long. 2004)


Memulai terapi hepatitis B

Menurut Konsesus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B (2017), indikasi terapi pada infeksi hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari empat kriteria, antara lain nilai serum HBV DNA, status HBeAg, nilai ALT (enzim penanda inflamasi atau kerusakan hati) dan gambaran histologi hati.


Nilai HBV DNA merupakan salah satu indikator yang penting, karena nilai ini menggambarkan besaran replikasi virus yang menginfeksi sel hati. Menurut penelitian, nilai HBV DNA dapat memberikan gambaran persentase angka kematian dan kesakitan yang paling kuat pada hepatitis B. Selain HBV DNA, status HBeAg juga memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan terapi.


Dalam tata laksana hepatitis B (2017) indikasi terapi pada hepatitis B dibedakan untuk pasien dengan HBeAg positif atau negatif non sirosis serta pasien sirosis. Pasien dengan hasil evaluasi berbeda akan memberi keputusan yang berbeda untuk memulai pengobatan meskipun jenis obat yang akan digunakan sama.


Tujuan terapi pada hepatitis B secara umum adalah melakukan supresi jangka panjang terhadap aktivitas virus hepatitis B, mencegah terjadinya transmisi atau penularan serta membantu meningkatkan kualitas hidup penderita. Terapi hepatitis B juga diberikan untuk memperlambat progresivitas penyakit hepatitis B yang akan berkembang menjadi sirosis, penyakit hati lanjut atau karsinoma hepatoselular (kanker hati).


Terdapat 2 jenis obat hepatitis B yang dapat digunakan yaitu golongan interferon dan golongan antiviral oral – analog nukleos(t)ida. Keduanya memiliki efikasi terapi yang hampir sama dengan risiko efek samping yang sebanding. Oleh karena itu, biasanya pasien juga akan dilibatkan untuk memutuskan pemilihan obat-obatan anti hepatitis B yang sesuai dengan keadaan dan kondisi pasien. Kepatuhan pada terapi menjadi kunci utama keberhasilan terapi hepatitis B.


Saat ini ada 5 obat yang termasuk dalam golongan analog nukleos(t)ida yaitu: lamivudine, telbivudine, adefovir dipivoxil, entecavir, tenofovir disoproxil fumarate. Analog nukleos(t)ida diketahui memiliki potensi yang baik untuk terapi pada hepatitis B, hanya saja untuk bisa mengeradikasi virus membutuhkan waktu terapi yang cukup lama. Sementara berdasarkan penelitian, risiko ketidakpatuhan pada terapi hepatitis B mungkin sekali terjadi.


Salah satu studi mengenai kepatuhan minum obat menunjukkan bahwa kepatuhan pasien biasanya akan menurun rata-rata hingga 50% jika harus meminum obat secara terus-menerus setelah 6 bulan. Pada terapi hepatitis B dengan menggunakan analog nukleos(t) ida ketidakpatuhan pasien rata-rata meningkat 10% dan 12% per tahunnya pada pasien yang mengkonsumsi adefovir atau entecavir. Penelitian mengenai ketidakpatuhan pasien hepatitis B yang dilakukan oleh Giang et al (2012) dalam Polis et al (2017), ketidakpatuhan pasien yang paling sering terjadi digambarkan dengan kejadian lupa minum obat (n=27; 56,3%), obat habis (n=5;10,4%), pasien terlalu sibuk yang mengakibatkan pasien lupa minum obat (n=4; 8.3%) dan perubahan rutinitas harian (n=5;10,4%).



Tabel 2. Perbandingan efikasi interferon dan oral analog nukleos(t)ida pada terapi hepatitis B (adaptasi dari EASL 2017).

ETV=entecavir, TDF=tenofovir disoproxil fumarate, TAF=tenofovir alafenamide fumarate


Menurut penelitian yang dilakukan oleh Peng J, et al (2015) dan Giang, et al (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien penderita hepatitis B selama periode pengobatannya yaitu:

  • riwayat terapi dengan analog nukleos(t)ida

  • lama durasi terapi dengan nukleos(t)ida

  • efek samping yang terjadi selama pengobatan

  • manfaat terapi

  • persepsi pasien terhadap progresivitas penyakit

  • persepsi pasien terhadap kesehatannya sendiri

  • persepsi pasien terhadap risiko sirosis hepatik

  • komplikasi pengobatan

  • infomasi yang didapat dari dokter atau paramedis yang merawat pasien dan dukungan dari keluarga atau orang terdekat.

Penelitian menyebutkan pasien hepatitis B naïve cenderung lebih patuh untuk menjalani terapi sesuai anjuran dibanding pasien yang sebelumya sudah pernah mendapatkan terapi yang serupa. Aturan pakai obat yang sederhana (1 kali sehari misalnya), efek samping yang dapat ditoleransi dengan baik serta progress terapi yang nyata juga meningkatkan kemauan pasien untuk tetap terus menjalani pengobatannya. Selain itu, tenaga medis seperti dokter ataupun perawat yang informatif juga disebutkan berpengaruh dalam keberhasilan terapi jangka panjang. Pasien yang mendapatkan informasi cukup terkait dengan hepatitis B dan terapinya maka akan lebih patuh dibanding dengan pasien yang tidak mendapatkan cukup informasi. Oleh karena itu, seperti pada umumnya penyakit kronis lainnya, terapi hepatitis B memerlukan kerjasama antara pasien, tenaga kesehatan dan keluarga/orang terdekat untuk membantu pasien hepatitis B bisa mencapai tujuan terapi dengan optimal.


Upaya-upaya mengkoreksi barrier minum obat seperti memilih obat analog nukleos(t)ida yang poten (rendah risiko resistensi seperti entecavir dan tenofovir) sehingga progres perbaikan dirasakan oleh pasien, memilih regimen pengobatan yang mudah dan minim efek samping, serta memastikan pasien mendapatkan informasi yang cukup dan jelas mengenai terapi hepatitis B dapat dilakukan dan ditingkatkan agar pasien semakin patuh dengan pengobatan yang dijalaninya.


Kesimpulan

  • Tujuan jangka panjang terapi hepatitis B adalah untuk menekan perkembangan virus hepatitis B, mencegah terjadinya transmisi serta membantu meningkatkan kualitas hidup pasien hepatitis B.

  • Pemilihan obat anti hepatitis B yang poten merupakan upaya yang bisa dilakukan untuk menekan perkembangan virus serta memperlambat progresivitas hepatitis B.

  • Golongan analog nukleos(t)ida merupakan pilihan antiviral hepatitis B oral yang diketahui memiliki potensi yang baik. Pemilihan analog nukleos(t)ida yang memiliki resistensi rendah terhadap mutasi virus seperti entecavir dan tenofovir dapat memberikan progres terapi yang lebih baik.

  • Kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan secara rutin dan sesuai anjuran memegang peranan penting dalam pencapaian target terapi yang diharapkan.

  • Pastikan pasien mendapat informasi yang cukup dan lengkap mengenai pengobatan hepatitis B untuk membantu pasien memilih pengobatan yang paling sesuai serta meningkatkan kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsesus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B. 2017

  2. Clinical Practice Guidelines on The management of hepatitis B virus infection. Journal of Hepatology 2017;67:370-98

  3. Fung SK and Lok ASF, Treatment of chronic hepatitis B: who to treat, what to use, and for how long?. Clinical Gastroenterology and hepatology 2004;2:839-49

  4. Giang L, Selinger CP, Lee AU. Evaluation of adherence to oral antiviral hepatitis B treatment using structured questionnaires. World Journal of Hepatology 2012;4(2):43-9

  5. Peng J, et al. Factors associated with adherence to nucleos(t)ide analogs in chronic hepatits B patiens: results from a 1 year follow up study. Patient preference and adherence 2015;9:41-5

  6. Polis S, et al. Adherence to hepatitis B antiviral therapy:a qualitative therapy. Gastroenterology nursing 2017;40(3):239-46


Sumber: Medicinus April 2019 vol. 32 issue 1

7 tampilan
bottom of page