top of page

Kromoblastomikosis Penyakit Jamur yang Terabaikan


Kromoblastomikosis Penyakit Jamur yang Terabaikan Sumber: Medicinus Vol. 36 ISSUE 1, APRIL 2023 Danu Yuliarto, Achmad Satya Negara, Harijono Kariosentono, Nugrohoaji Dharmawan, Nurrachmat Mulianto Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, RSUD Dr. Moewardi, Surakarta

Abstrak Kromoblastomikosis merupakan infeksi jamur profunda pada kulit dan jaringan subkutan yang disebabkan oleh jamur berpigmen atau jamur dematiaceous. Penyakit ini merupakan endemi di daerah tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kromoblastomikosis lebih banyak ditemukan pada laki-laki dewasa yang bekerja di area pertanian, tukang kebun, maupun tukang kayu. Diagnosis kromoblastomikosis ditegakkan melalui pemeriksaan kerokan kulit, kultur mikroskopik, atau ditemukan sel muriform atau medlar bodies pada pemeriksaan histopatologi maupun kultur. Gambaran klinis bervariasi, lesi awal berupa papul yang menyebar secara lambat selama beberapa bulan sampai tahun, kemudian lesi akan membentuk suatu plak dengan bagian tengah atrofi. Banyak pasien tidak terdiagnosis pada tahap awal perkembangan penyakit dikarenakan tahap ini jarang terlihat. Pengobatan kromoblastomikosis meliputi pembedahan lesi awal dan terapi farmakologis dengan agen antifungal seperti itraconazole, yang paling umum digunakan dalam pengobatan kromoblastomikosis. Prognosis kromoblastomikosis tidak terlalu baik, kecuali pada lesi yang baru. Kata kunci: Kromoblastomikosis, penyakit terabaikan, sel muriform

Abstract Chromoblastomycosis is a deep fungal infection of the skin and subcutaneous tissue caused by pigmented or dematiaceous fungi. This disease is endemic in tropical and subtropical regions such as Asia, Africa, and Latin America. Chromoblastomycosis is more common in adult men who work in agricultural areas, work as gardeners, or as carpenters. The diagnosis of chromoblastomycosis is confirmed by the finding of muriform cells or medlar bodies obtained from skin scrapings, microscopic culture, or tissue histopathological examination. The clinical feature varies, the initial lesion is a papule that spreads slowly over several months or years, and then this lesion will form a plaque with atrophic center. Many patients go undiagnosed at the early stage of the disease because this stage is rarely seen. Treatment of chromoblastomycosis includes surgery for the initial lesion and pharmacological therapy using antifungal agent such as itraconazole, the most commonly used drug for the treatment of chromoblastomycosis. The prognosis for chromoblastomycosis is poor, except on new lesions. Keywords: chromoblastomycosis, neglected disease, muriform bodies

Pendahuluan Kromoblastomikosis (KBM) atau dikenal sebagai kromomikosis adalah infeksi jamur profunda pada kulit dan jaringan subkutan yang disebabkan oleh jamur berpigmen atau jamur dematiaceous yang mengakar ke dalam dermis dari lingkungan yang bersifat kronis residif.1,2 Diagnosis KBM menjadi kontroversi dalam beberapa dekade. Penyakit ini dilaporkan terjadi pada tahun 1914 di Brasil oleh Maximilliano Willibaldo Rudolph, yang menulis Über Die Brasilianische Figueira (tentang pohon ara Brasil) pada sebuah jurnal di Jerman. Rudolph, yang bekerja sebagai dokter di negara bagian Minas Gerais di Brasil tengah, melihat enam pasien dengan lesi yang menonjol seperti kutil pada tungkai bawah, yang populer dikenal sebagai “pohon ara”. Rudolph melaporkan isolasi dua kultur jamur hitam dan beludru dari empat pasien ini dengan gambaran mikroskopis cukup mirip dengan Fonsecaea pedrosoi, yaitu salah satu penyebab yang paling banyak pada kasus KBM di wilayah tersebut. Artikel lain sebelumnya menyatakan bahwa terdapat beberapa klinisi dan bukti epidemiologi kasus misetoma di Madagaskar pada tahun 1903 dan 1909 yang dilaporkan oleh Bruas dan Fontoynont, namun kemungkinan bukan merupakan “kaki Madura” atau kasus misetoma, melainkan KBM. Demikian pula, Hoffmann mencatat bahwa pada tahun 1904, Guiteras telah mengamati kasus “chapa” (piring) di Kuba, sebuah nama populer untuk penyakit yang menyerupai infeksi KBM.2-6

Nama chromoblastomycosis digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1922 oleh Terra dkk. di Brasil untuk membedakan penyakit ini dengan penyakit jamur cutaneous yang dikenal sebagai “verrucous dermatitis”. Karena nama baru chromoblastomycosis menunjukkan bahwa agen etiologi penyakit berupa ragi berbentuk tunas di jaringan, Moore dan Almeida mengusulkan sebuah denominasi baru, chromomycosis sebagai pengganti chromoblastomycosis.7 Seiring waktu, nama kromomikosis digunakan sebagai payung untuk mencakup kelompok heterogen dan beragam penyakit mikosis yang disebabkan oleh spektrum fungi melanin (dark-pigmented) yang luas. Hal ini akhirnya dikoreksi pada tahun 1974 oleh Ajello dkk., yang menciptakan sebuah istilah baru, yaitu phaeohyphomycosis (PHM), untuk menentukan semua infeksi yang secara klinis dan patologis berbeda dari KBM. Berbagai nama populer dan ilmiah KBM di berbagai negara dapat dilihat pada Tabel 1.1,3,8

Epidemiologi Infeksi jamur ini ditemukan secara sporadis di Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan jarang ditemukan di Amerika Utara. Infeksi juga ditemukan di area Karibia, Afrika, Australia, dan Jepang. Infeksi ini sering terjadi terutama pada pekerja laki-laki di pedesaan. Sebagian besar kasus dilaporkan di daerah beriklim tropis dan subtropis lembap yaitu di Amerika, Asia, dan Afrika. Tingkat tertinggi prevalensi dilaporkan di Meksiko, Kuba, Venezuela, Republik Dominika, Kolombia, dan Brasil. Kromomikosis di Asia sering dijumpai di Jepang, Sri Lanka, dan India.1-3

Gambar 1. Distribusi global kromoblastomikosis berdasarkan rangkaian kasus yang dilaporkan.1


Di negara-negara tropis dan subtropis, kejadian kromoblastomikosis lebih banyak ditemukan pada laki-laki dengan rentang usia 30-50 tahun yang bekerja di sektor pertanian (sekitar 70% dari kasus) karena berisiko terpapar oleh bagian tanaman yang merupakan faktor penyebab terjadinya kromomikosis. Di Jepang, perbandingan kejadian pada pria dan wanita hampir sama yaitu 1:0,8. Kromomikosis paling sering ditemukan di daerah tubuh bagian atas, bokong, dan tungkai, terutama kaki yang paling sering terkena kontak dengan bahan yang mengandung jamur penyebab penyakit seperti tanah, tanaman, atau kayu yang membusuk.3,9

Jamur penyebab KBM paling sering dijumpai di Karibia yaitu F. pedrosoi, di mana F. monophora mungkin juga tumbuh, seperti yang ditemukan di Kuba. Cladophialophora carrionii ditemui di Puerto Riko.1,10 Kromoblastomikosis juga dilaporkan di semua negara Amerika Selatan, kecuali Chili. Di Brasil, KBM bersifat endemik terutama pada wilayah utara Brasil, dengan 872 kasus yang dilaporkan selama 1 dekade terakhir. Prevalensi KBM di Brasil adalah 6,4 kasus per tahun (71 kasus dalam 11 tahun).2,11

Tabel 1. Nama popular dan istilah kedokteran kromoblastomikosis di dunia1,3,8


Insidensi KBM di Asia tertinggi ditemukan di Jepang dengan insiden 1/416.000. Kano pada tahun 1930 di Jepang, melaporkan seorang pasien wanita dengan karakteristik infeksi seperti KBM di area wajah yang disebabkan oleh Hormiscium dermatitidis (saat ini Exophiala dermatitidis). Beberapa ratus kasus KBM juga telah dilaporkan dari China daratan setelah laporan Yew pada tahun 1951.1,3,12

Etiologi Penyebab dari kromoblastomikosis adalah infeksi beberapa spesies jamur dari golongan dermatiaceae yang dikenal sebagai saprofit, yaitu:13

  1. Fonsecaea pedrosoi dan Cladophialophora carrionii: merupakan spesies penyebab kromomikosis tersering. Kedua spesies ini banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis

  2. Fonsecaea compactum: banyak terdapat di daerah lembap

  3. Phialophora verrucosa dan Rhinocladiella aquaspersa: insidennya jarang.

Jamur penyebab KBM ini terdapat di mana-mana, terbanyak pada tumbuhan, kayu busuk, dan tanah. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung pada kulit yang mengalami trauma. Perjalanan penyakit ini tergolong lambat, dapat terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun, yang diawali dengan masuknya jamur melalui abrasi kulit. Infeksi ini sering menyerang bagian tubuh yang tidak terlindungi seperti tungkai bawah, terutama telapak kaki, punggung kaki, dan bokong.1,14

Patogenesis Beberapa faktor virulensi potensial yang terlibat dalam perkembangan penyakit ini seperti remodelling dinding sel jamur, sekresi enzim proteolitik dan hidrolitik, hidrofobisitas, terutama adanya melanin sebagai faktor virulensi dan patogen pada infeksi kromoblastomikotik yang serupa dengan infeksi jamur patogen lainnya. Faktor-faktor yang signifikan untuk patogenisitas KBM adalah melanin, sel muriform, adhesi sel, dan hidrofobisitas. Saat terjadinya inflamasi, jamur ini merusak dinding sel yang tebal atau bagian badan sklerotik (muriform) dan muncul tanda hiperplasia pseudoepiteliomatous yang seringkali diikuti oleh eliminasi transepidermal dari organisme tersebut.2,15,18

Respons imun tubuh yang berperan pada patogenesis KBM terbagi menjadi respons imun humoral dan respons imun yang diperantarai sel. Pada respons imun humoral, pasien dengan kromomikosis menghasilkan antibodi spesifik. Selain IgG spesifik, IgM dan IgA juga dihasilkan pada KBM. Respons imun yang diperantarai sel pada KBM masih belum diketahui, apakah berasal dari bagian jamur yang menginvasi yaitu spora, hifa, ataupun carotic body. Sel jamur KBM dapat dideteksi dalam sitoplasmik vakuola makrofag kulit. Makrofag kemudian mempresentasikan antigen jamur ke sitoplasma. Pada KBM menunjukkan peningkatan ekspresi CD 86, HLA-DR, dan CD 83 reseptor. Sousa dkk. (2008) menyatakan pada pasien KBM derajat berat, sel dendritik menghasilkan sejumlah besar IL-10 dan sejumlah kecil IFN γ.8 Gimenes dkk. (2006) menganalisis setelah perawatan selama 6 bulan, pada lesi KBM didapatkan IFN-γ yang meningkat. Setelah 1 tahun pengobatan terjadi proliferasi sel T, sehingga sekresi IFN-γ dan IL-10 menurun. 15,16,21

Gejala klinis Lesi awal dari infeksi biasanya ditemukan pada kaki, lutut, tangan dan tungkai atas. Arturo Carrion pada tahun 1950 memperkenalkan klasifikasi berdasarkan bentuknya, dengan lima tipe yang berbeda, yaitu nodular, plak, tumor, sikatrikal, dan verukosa.1,3,15 Gambaran klinis bervariasi, lesi awal berupa papul yang menyebar secara lambat selama beberapa bulan sampai tahun. Kemudian lesi ini akan membentuk suatu plak dengan bagian tengah yang atrofi. Bentuk yang agak sering berupa verukosa menyebar secara lambat dan lokal. Pada tahap awal banyak pasien tidak terdiagnosis dikarenakan tahap ini jarang terlihat oleh klinisi. Lesi awal dapat berlanjut ke bentuk klinis dan tingkat keparahan yang berbeda.17

Gambar 2. Lesi kromoblastomikosis dengan berbagai derajat keparahan. (A-B) Ringan. (C-D) Moderat. (E-F) Severe.1


Lesi tipe nodular berupa lesi yang menonjol, lembut, berwarna kusam hingga merah muda, permukaan halus, verukosa atau bersisik, secara bertahap dapat menjadi tumor. Lesi jenis tumor, ukurannya lebih besar dan lebih menonjol, berbentuk papilomatosa, kadang berlobus- lobus disertai krusta dan keratosis. Jenis ini paling sering terjadi pada area kaki dan tibia, memiliki gambaran menyerupai kembang kol (cauliflower).1,15,21 Lesi verukosa ditandai dengan hiperkeratosis menyerupai veruka vulgaris. Lesi plakat merupakan bentuk tersering pada KBM dengan berbagai bentuk dan ukuran, berwarna kemerahan sampai keunguan dan bersisik pada permukaannya. Lesi sikatrikal adalah lesi kulit dengan atropik jaringan parut, sementara di pusat lesi terjadi proses penyembuhan, lesi dapat berbentuk lesi anular dan melengkung dalam lesi. Lesi hanya mengenai satu ekstremitas. Komplikasi dari KBM termasuk limfedema lokal, yang bisa menjadi elefantiasis dan karsinoma skuamosa pada beberapa lesi kronis.1,3,22

Diagnosis banding Kromoblastomikosis dapat didiagnosis banding dengan berbagai penyakit lain, baik yang disebabkan oleh infeksi jamur lain, protozoa, maupun penyakit non-infeksi lainnya, seperti blastomikosis, tuberkulosis kutis verukosa, dan sporotrikosis.3,7 Blastomikosis adalah mikosis kronis yang disebabkan oleh patogen dimorfik Blastomyces dermatitidis, lokasi infeksi terutama adalah paru yang menyebar hingga ke kulit, tulang, dan sistem saraf pusat.6 Lesi lebih sering simetris, biasanya memengaruhi wajah dan ekstremitas. Lesi awal berupa papula atau nodul, kemudian menjadi ulkus dengan banyak nanah. Semakin lama lesi akan melebar dan membentuk hiperkeratosis, dengan ulserasi di daerah tengah dengan atau tanpa jaringan parut.6,7

Diagnosis banding lain yaitu tuberkulosis kutis verukosa. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan juga reaksi terhadap vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Predileksi pada area yang mudah mengalami trauma seperti tangan atau ekstremitas bawah. Lesi dapat soliter namun dapat juga multipel berupa papul asimptomatik atau papulopustular berwarna ungu. Lesi kemudian menjadi plak verukosa dengan tepi irregular, meluas secara perlahan, dan permukaan kulit mengalami fisura dengan eksudat serta krusta.3,14

Sporotrikosis adalah diagnosis banding lain KBM, yaitu infeksi jamur subkutan atau sistemik yang disebabkan oleh jamur dimorfik Sporothrix schenckii, yang ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Variasi klinis tersering yakni sekitar 15% dari kasus adalah infeksi yang terjadi pada satu lokasi saja, terbanyak pada kulit dengan gambaran granuloma yang berkembang menjadi ulkus, nodul satelit, atau ulkus lain yang terbentuk di sekitar lesi primer, tetapi dalam pemeriksaan mikroskopis langsung S. schenckii sulit didapatkan karena hanya terdapat dalam jumlah kecil. Organisme ini dapat diisolasi dengan mudah pada agar Sabouraud.1,3,7

Kromoblastomikosis harus dibedakan dari tuberkulosis, kusta, misetoma, blastomikosis, leishmaniasis, dan sifilis tersier.1 Tuberkulosis dan kusta dapat hadir sebagai nodul pada kulit. Sifilis tersier memiliki manifestasi klinis yang hampir serupa dengan berbagai kelainan kulit. Penegakan diagnosis dapat dilakukan berdasarkan temuan klinis dan mikroskopis. Lesi KBM bersifat kronis dengan klinis polimorfik. Hal ini penting untuk membedakan KBM dari penyakit endemik lainnya yang terjadi di beberapa wilayah geografis, terutama pada pasien yang mengalami lesi kutaneous berkepanjangan atau subkutan. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi dan mikologi.1,11,14

Pemeriksaan penunjang Diagnosis KBM memerlukan pemeriksaan laboratorium melalui pemeriksaan mikologi langsung dan/atau histopatologi. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya sel muriform dalam jaringan serta melalui kultur. Diagnosis KBM relatif tidak sulit, jamur berpigmen dapat dengan mudah ditemukan pada lesi superfisial dengan warna hitam titik kecil (seperti cabai rawit). Struktur ini diamati dengan mudah berupa krusta hematik kecil, serabut seluler, dan struktur jamur yang dihasilkan eliminasi transepitel. Kerokan kulit yang berisi krusta dan fragmen jaringan diklarifikasi dengan menggunakan larutan potassium hydroxide (KOH) 10-40%. Sel-sel muriform tunggal atau berkerumun digambarkan sebagai sel polyhedral (chest-nut like) dengan diameter 5-12 µm, biasanya berpigmen gelap, berdinding tebal, dan disilangkan oleh septa melintang dan longitudinal menyerupai dinding bata coklat. Diagnosis standar didasarkan pada ditemukannya badan medlar yang diperoleh dari kerokan kulit, kultur mikroskopis, atau histopatologi.1,11,12

Kultur mikrobiologi sangat penting untuk menentukan agen etiologi, dan dapat dilakukan menggunakan agar Sabouraud atau agar Sabouraud yang dilengkapi dengan cycloheximide. Jamur merupakan agen etiologi dari kromomikosis yang tumbuh perlahan pada media standar dan membentuk koloni hitam. Identifikasi kultur untuk menunjukkan adanya jenis yang berbeda tetapi sporulasi spesifik dan mekanisme sporulasi, baik tunggal atau beberapa, dapat dilihat di setiap organisme. Jamur yang terisolasi harus berasal dari turunan Chaetothyriales. Oleh karena itu, identifikasi spesies yang benar sangat penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Identifikasi kultur penting karena spesies Fonsecaea mungkin kurang sensitif terhadap antijamur dibanding C. carrionii. Selain itu, identifikasi juga dapat berkontribusi untuk data epidemiologi dan keragaman agen etiologi di seluruh dunia. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan respons granulomatosa dengan abses neutrofil. Organisme jamur penyebab KBM umumnya tampak sebagai sel berpigmen coklat, tunggal, atau dalam kelompok kecil, memiliki septa tunggal atau ganda, memiliki dinding sel yang tebal, dan biasanya terdapat dalam sel raksasa atau dalam abses neutrofil. Pada kultur, organisme akan membentuk koloni berwarna hitam dengan bulu halus pada permukaannya.13,14

Demikian pula dengan mikosis implantasi lainnya, tes serologis dan intradermal belum distandardisasi untuk KBM dan tidak digunakan secara rutin di laboratorium. Namun, menurut data dari studi serologis in-house, tes semacam itu mungkin bisa membantu seroepidemiologis dan diagnostik. Esterre dkk. (1997) mengembangkan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk pemeriksaan kromoblastomikosis. Peneliti tersebut memperoleh hasil reaksi positif pada 6,2% sampel di Madagaskar barat, yang menunjukkan adanya individu asimtomatik.15,16 Vidal dkk. (2004) mempelajari 60 sampel serum dari pasien di Brasil dengan immunodiffusion dan ELISA untuk antibodi IgG anti-Fonsecaea. Variabel positif teramati dengan kedua teknik namun nilai spesifisitas 90%. Reaksi intradermal yang dibuat dengan filtrat kultur (chromomycin) juga digunakan untuk epidemiologis survei, menunjukkan adanya hipersensitivitas tertunda terhadap infeksi KBM pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik.17

Tata laksana Kromoblastomikosis merupakan penyakit jamur yang tergolong sulit diobati (recalcitrant), dan tata laksananya masih menjadi tantangan bagi klinisi hingga saat ini, terutama pada presentasi klinis yang berat. Dalam kebanyakan kasus, berbagai modalitas metode fisik yang tersedia digunakan sebagai terapi adjuvant dalam kombinasi dengan agen antijamur, termasuk pembedahan, termoterapi, terapi laser, dan photodynamic therapy (PDT).1,3,23-25

Menurut beberapa hasil penelitian, itraconazole (ITZ) dapat digunakan sebagai terapi lini pertama, dengan tingkat kesembuhan 15-80%. Terapi dengan itraconazole dilaporkan dilakukan dengan dosis pulse 400 mg per hari selama 6-12 bulan, yang terdiri dari periode berurutan 1 minggu per bulan. Terbinafine adalah obat antijamur lain yang paling sering digunakan untuk pengobatan KBM dengan dosis yang direkomendasikan sebesar 200-500 mg/hari. Terbinafine (TBF) memiliki tingkat kesembuhan yang serupa dengan ITZ, merupakan turunan allylamine oral dengan efek fungistatik dan fungisidal melalui penghambatan squalene-epoxidase, yang mengganggu biosintesis ergosterol dan fungsi membran jamur, berbeda dengan turunan triazole, yang dimetabolisme melalui jalur sitokrom P450 3A4, TBF dimetabolisme melalui jalur sitokrom P450 2D6.21,22,25

Pembedahan standar dengan margin dan kuretase yang sesuai dan elektrodesikasi direkomendasikan untuk lesi kecil dan reguler. Beberapa laporan kasus menggunakan Moh’s mycrograpic surgery, terutama pada pasien dengan lesi terbatas, dengan kemampuan melakukan pemantauan histopatologis hingga terbukti tidak adanya aktivitas jamur (sel muriform).23 Laser CO2 photocoagulation adalah salah satu metode lain yang dapat digunakan. Laser CO2 memancarkan panjang gelombang 10.600 nm. Laser telah diaplikasikan baik sebagai monoterapi dan dikombinasikan dengan modalitas terapi lainnya.17,25

Cryotherapy tidak diragukan lagi sebagai terapi fisik dengan hasil terbaik yang dilaporkan, terutama bila digunakan pada kombinasi dengan antijamur sistemik. Cryotherapy direkomendasikan terutama untuk lesi kecil atau kurang dari 15 cm, cryotherapy harus dilakukan pada bagian dan interval waktu yang berbeda. Lesi pada lipatan kulit yang lebih besar harus dihindari agar tidak terjadi fibrosis sekunder dan mengurangi risiko sequelae seperti skar.17,24

Photodynamic therapy (PDT) adalah modalitas terapeutik baru ini yang berpengaruh pada KBM yang serupa dengan keratosis aktinik atau jenis kanker kulit lainnya. Photodynamic therapy menggabungkan foton cahaya yang terlihat dari sebuah panjang gelombang yang tepat untuk merangsang molekul intraseluler dari photosensitizer.1,17 Seperti halnya pada infeksi jamur lain, pencegahan merupakan hal penting yang perlu dilakukan, termasuk pada kasus KBM. Karena penyakit ini disebabkan oleh beberapa jenis trauma transkutan, penggunaan alat pelindung seperti sarung tangan, sepatu, dan pakaian yang memadai dapat mengurangi risiko infeksi jamur tersebut, terutama untuk individu dengan pekerjaan yang berisiko.3,5

Prognosis Kromoblastomikosis telah dikenal selama satu abad, namun masih tetap menjadi masalah klinis yang belum terselesaikan. Kasus kekambuhan pada kromoblastomikosis sering dilaporkan. Selain itu, terdapat banyak isu mengenai jamur penyebab kromomikosis, pengaruh lingkungan, distribusi geografis, dan penanganan patogenisitas. Prognosis kromomikosis tidak begitu baik, kecuali pada lesi yang baru.1,3,5

Kesimpulan Kromoblastomikosis merupakan penyakit jamur yang terabaikan yang bersifat endemik pada daerah tropis dan subtropis di wilayah geografis negara-negara berkembang berpenghasilan rendah di Asia, Afrika, serta Amerika Latin. Organisme penyebab KBM umumnya adalah Fonsecaea pedrosoi, F. monophora, Cladophialophora carrionii, Rhinocladiella aquaspersa, spesies Phialophora, dan Exophiala. Kromoblastomikosis sering terjadi pada laki-laki dewasa seperti buruh tani, tukang kebun, tukang kayu, dan pekerja lainnya yang terkontaminasi bahan tanah serta tanaman. Lesi KBM harus diklasifikasikan sesuai lima jenis lesi klasik yang telah didefinisikan yaitu nodular, tumoral (seperti kembang kol), samar, jaringan parut, dan plak. Diagnosis KBM memerlukan konfirmasi laboratorium melalui pemeriksaan mikologi langsung dan histopatologi. Dapat ditemukan sel muriform dalam sampel klinis penyakit ini. Pengobatan meliputi pembedahan pada lesi awal dan terapi antijamur untuk bentuk klinis yang lebih lanjut. Itraconazole merupakan obat antijamur yang paling umum digunakan dalam pengobatan KBM. Terapi fisik lainnya dapat membantu, terdiri dari terapi laser dan photodynamic therapy. Pencegahan infeksi harus diarahkan pada inokulasi transkutan traumatik terutama pada pasien yang rentan dengan risiko pekerjaan. Prognosis kromomikosis tidak begitu baik, kecuali pada lesi yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Telles FQ, Hoog SD, Santos DWCL, Salgado CG, Vicente VA, Bonifaz A, et al. Chromoblastomycosis. Clin Microbiol Rev. 2017;30:233-76.

  2. Hay RJ. Deep fungal infections. Dalam Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. McGraw Hill; 2012.h.2312–7.

  3. Telles FQ, Esterre P, Blanco MP, Vitale RG, Salgado CG, Bonifaz A. Chromoblastomycosis: an overview of clinical manifestations, diagnosis and treatment. Medical Mycology 2009;47:3-15.

  4. Schwartz RA, Baran E. Chromoblastomycosis. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1092695-print

  5. Telles FQ. Chromoblastomycosis: A neglected tropical disease. Rev. Inst. Med. Trop. Sao Paulo 2015;57(19):46-50.

  6. Hoz RML, Baddley JW. Subcutaneous Fungal Infections. Curr Infect Dis Rep. 2012 14:530–9.

  7. Hoog GSD, Telles FQ, Haase G, Zeppenfeldt GF, Angelis DA, Ende AHGGV, et al. Black fungi: clinical and pathogenic approaches. Medical Mycology 2000;38(1):243–50.

  8. Sousa MGT, Azevedo CMPS, Nascimento RC, Ghosn EEB, Santiago KL, Noal V, et al. Fonsecaea pedrosoi infection induces differential modulation of costimulatory molecules and cytokines in monocytes from patients with severe and mild forms of chromoblastomycosis. Journal of Leukocyte Biology 2008;84:864-70.

  9. Brun S, Zumelzu C, Hoanganh MB, Levy A, Hermoso DG, Laroche L, et al. First case of chromoblastomycosis from Bangladesh. Medical Mycology 2015;10:1–3.

  10. Ameen M. Chromoblastomycosis: clinical presentation and management. Clin and Exp Dermatol. 2009;34:849–54.

  11. Samaila M, Abdullahi K. Cutaneus Manifestation of Deep Mycosis: An Experience in a Tropical Pathology Laboratory. Indian J Dermatol. 2011;56(3):282-6.

  12. Kim M, Lee S, Sung H, Won C, Chang S, Lee M, et al. Clinical Analysis of Deep Cutaneous Mycoses: A 12-year experience at a single institution. Mycoses 2012;55:501-6.

  13. Tracoso A, Bava J. Chromoblastomycosis. New England Journal Medicine 2009;361:22.

  14. Francisco GB, Eduardo G. Cutaneus Tuberculosis. Clinics in Dermatology 2007;25:173–80.

  15. Esterre P, Jahevitra M, Andriantsimahavandy A. Humoral immune response in chromoblastomycosis during and after therapy. Clin Diagn Lab Immunol. 2000;7:497–500.

  16. Esterre P, Andriantsimahavandy A, Raharisolo C. Natural history of chromoblastomycosis in Madagascar and the Indian Ocean. Bull SocPathol Exot. 1997;90:312–7.

  17. Vidal MS, Castro LG, Cavalcante SC, Lacaz CS. Highly specific and sensitive, immunoblot-detected 54 kDa antigen from Fonsecaea pedrosoi. Med Mycol. 2004;42:511–5.

  18. Ahsan MK, Al Attas KM, Buraik MA, Al-Sheikh AM, dan Bajawi SM. Hidden under a cauliflower-like growth: A case of cutaneous chromoblastomycosis and response to combination therapy. Journal of Dermatology & Dermatologic Surgery 2017;21(2):81-3.

  19. Kazemi A. An Overview on the Global Frequency of Superficial Cutaneous Mycoses and Deep Mycoses. Jundishapour J Microbiol. 2013;6(3):202-4.

  20. Castro LGM, Pimentel ERA, Lacaz CS. Treatment of chromomycosis by cryosurgery with liquid nitrogen: 15 years’ experience. International Journal of Dermatology 2003;42:408–12.

  21. 21.Gimenes VMF, Criado PR, Martins JEC, Almeida SR. Cellular immune response of patients with chromoblastomycosis undergoing antifungal therapy. Mycopathologia. 2006;162:97–101.

  22. Bonifaz A, Paredes-Solis V, Saul A. Treating chromoblastomycosis with systemic antifungals. A current review of physical and antifungal therapies for chromoblastomycosis. Expert Opin Pharmacother. 2004;5:247–54.

  23. 23.Pavlidakey GP, Snow SN, Mohs FE. Chromoblastomycosis treated by Mohs micrographic surgery. J Dermatol Surg Oncol. 1986;12:1073–5.

  24. Bonifaz A, Martínez-Soto E, Carrasco-Gerard E, Peniche J. Treatment of chromoblastomycosis with itraconazole, cryosurgery and combination of both. Int J Dermatol. 1997;36:542–7.

  25. Bonifaz A, Saul A, Paredes-Solis V, Araiza J, Fierro-Arias L. Treatment of chromoblastomycosis with terbinafine: experience with four cases. J Dermatolog Treat. 2005;16:47-51.

bottom of page