top of page

Lymphedema:Diagnosis dan Terapi



Medisa Primasari

Residen Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/

RSUD Dr. Soetomo, Surabaya


Abstrak

Lymphedema merupakan kondisi akibat gangguan transportasi aliran limfa yang menyebabkan terjadinya akumulasi cairan limfatik di ruang interstitial. Gangguan transportasi aliran limfa dapat disebabkan oleh kelainan kongenital ataupun yang didapat, seperti akibat trauma, infeksi, keganasan, dan pascatrombosis vena. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi dan progresi penyakit berupa terapi non-operatif dan terapi operatif. Terapi konservatif yang dilakukan berupa edukasi perawatan kulit, manual lymphatic drainage (MLD), kompresi dengan short-stretch bandage, serta latihan ringan. Adapun terapi pembedahan dilakukan pada kondisi berat dan mengalami gangguan fungsional yang tidak membaik dengan terapi non-operatif. Pada lymphedema derajat awal, terapi yang dapat dilakukan adalah metode fisiologis seperti lympholymphatic bypass, lymphovenous bypass serta transfer kelenjar limfa; sedangkan pada lymphedema berat dengan jumlah jaringan fibroadiposa yang tinggi, digunakan metode reduksi yang terdiri dari eksisi langsung atau liposuction.


Kata kunci: lymphedema, lympholymphatic bypass, lymphovenous bypass, transfer kelenjar limfa, terapi lymphedema


Pendahuluan

Lymphedema merupakan kondisi yang terjadi akibat gangguan transportasi aliran limfa yang menyebabkan terjadinya akumulasi cairan limfatik di ruang interstitial. Kondisi ini menyebabkan pembengkakan pada satu atau beberapa area tubuh. Lymphedema dapat terjadi pada ekstremitas, batang tubuh, perut, kepala dan leher, genitalia eksterna serta pada organ dalam.1


Lymphedema dapat terjadi secara primer (lymphedema primer) akibat dari gangguan sistem limfa secara kongenital, atau secara sekunder (lymphedema sekunder) akibat faktor lain seperti infeksi dan keganasan.2 Di Amerika Serikat, sebanyak 20-50% pasien kanker payudara dengan eksisi total kelenjar limfa aksila saat masektomi mengalami lymphedema. 3,4


Terapi untuk lymphedema dapat berupa terapi non-operatif dan terapi operatif. Terapi non-operatif paling sederhana dimulai dari edukasi tentang perawatan kulit dan elevasi kaki yang bisa dilakukan secara berkelanjutan oleh pasien sendiri hingga terapi yang harus dilakukan dengan bantuan dan pengawasan tenaga medis. Pemahaman klinisi tentang tujuan terapi serta derajat lymphedema dapat membantu efektifitas dalam tatalaksana lymphedema. 5


Lymphedema merupakan kondisi yang kronis dan progresif sehingga jika tidak ditangani dengan baik, akan menyebabkan masalah dalam aktivitas fisik dan gangguan psikologis.2,3 Pendekatan multidisiplin harus dilakukan pada pasien dengan lymphedema secara holistik. Kerjasama yang baik dalam tatalaksana antara spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, kulit, bedah plastik/vaskular, serta fisioterapis, ahli gizi dan psikolog dapat membantu pasien mencapai kualitas hidup yang optimal.2 Walaupun belum ada terapi definitif yang dapat menyembuhkan lymphedema, penegakan diagnosis serta tatalaksana yang sesuai dapat mencegah progresi serta komplikasi yang dapat terjadi.5


Patogenesis dan Etiologi lymphedema

Lymphedema terjadi akibat dari akumulasi cairan kaya protein pada rongga interstitial. Pada individu yang normal, pembuluh darah kapiler mendorong cairan ke ruang interstitial, yang kemudian sebagian besar cairan di ruang interstitial akan kembali ke pembuluh darah kapiler. Sistem limfa bertugas untuk menghilangkan cairan yang tersisa dari ruang interstitial. Namun jika terjadi gangguan transportasi pada pembuluh limfa, maka dapat terjadi akumulasi cairan kaya protein di ruang interstitial.6


Penyebab dari lymphedema dibagi menjadi dua yaitu genetik/kongenital (lymphedema primer) atau akibat dari faktor sekunder (lymphedema sekunder), seperti trauma, infeksi, keganasan, atau pascatrombosis vena (bagan 1).3 Faktor genetik yang menyebabkan lymphedema primer adalah mutasi dari beberapa gen yang berpengaruh dalam pembentukan saluran limfa, seperti GJC2, FOXC2, CCBE1, VGFR-3, PTPN14, GATA2, and SOX18.2 Lymphedema primer yang terjadi pada awal kelahiran hingga sebelum usia 35 tahun disebut sebagai lymphedema praecox (angka kejadian 65-80%), sedangkan jika manifestasi klinis muncul di atas usia 35 tahun maka disebut lymphedema tarda. 3


Trauma sebagai akibat dari terapi kanker atau reseksi kulit, luka bakar, dan paparan radiasi pada pembuluh limfa dapat menjadi penyebab terjadinya lymphedema. 3 Selain kanker payudara, terapi untuk keganasan lain seperti melanoma, sarcoma, serta keganasan pada ginekologi, kepala-leher serta urologi berhubungan dengan angka kejadian lymphedema sebanyak 17%.4 Namun demikian, infeksi filariasis masih menjadi penyebab tertinggi terjadinya lymphedema di negara berkembang.4


Bagan 1. Etiologi penyebab terjadinya lymphedema.3


Tanda Klinis dan Penegakan Diagnosis


Pasien dengan lymphedema akan merasakan gejala seperti nyeri, pembengkakan disertai rasa berat, penurunan fungsi anggota tubuh, serta penurunan kualitas hidup.4 Jika tidak segera mendapatkan penanganan, penumpukan cairan limfa dalam waktu lama akan menstimulasi fibroblast, adiposit, keratinosit, serta infiltrasi neutrophil dan kolagen yang menyebabkan terjadinya permasalahan pada kulit seperti fibrosis limfostatik, pengerasan lapisan kulit, papilloma, serta lipatan kulit semakin dalam, serta infeksi yang berulang seperti selulitis atau limfangitis.4,7


Perubahan dari jaringan ikat subkutan, tekstur, serta suhu pada kulit dapat dievaluasi lebih dalam dengan palpasi. Ketebalan dari lapisan dermis dan terjadinya fibrosis dapat dinilai dengan Stemmer’s sign. Jika kulit pada dorsum jari tangan atau ibu jari kaki tidak bisa diangkat dengan mudah, maka dapat diartikan Stemmer’s sign positif, yang menandakan terdapat fibrosis pada lapisan kulit. Namun demikian, hasil negatif tidak mengekslusi kemungkinan adanya lymphedema. 2


Pengukuran lingkar dan volume anggota tubuh sering digunakan dalam diagnosis dan melihat progresi dari penyakit. Pengukuran dilakukan pada lokasi yang dicurigai mengalami pembengkakan dan kemudian dibandingkan dengan sisi kontralateralnya. Jika lebih dari sama dengan 2 cm atau 200 ml lebih maka bisa dikonfimasi adanya pembengkakan.4


Dalam menetukan derajat dari lymphedema, International Society of Lymphology (ISL) membagi menjadi 4 tingkatan berdasarkan tampilan klinis, diameter edema, dan dengan atau tanpa adanya pitting edema (tabel 1).5


Tabel 1. Klasifikasi derajat lymphedema berdasarkan tampilan klinis dan pitting edema berdasarkan International Society of Lymphology (ISL).5


Dalam beberapa kasus, penegakan diagnosis lymphedema memerlukan pemeriksaan penunjang (bagan 2). Lymphoskintigraphy merupakan salah satu pemeriksaan radiologis tambahan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis lymphedema. Dengan menyuntikkan radiolabeled colloid pada area yang akan diperiksa, kemudian transportasi cairan limfa diikuti dengan menggunakan gamma counter. Selain lymphoskintigraphy, pemeriksaan radiologis lain yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan MRI, CTscan dan USG. Pada MRI dan CT scan, lymphedema menunjukkan gambaran sarang lebah pada subkutan. Pemeriksaan non-invasif lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan tonometer jaringan, perometri dan bioimpendance spectroscopy.3


Bagan 2. Bagan penegakan diagnosis lymphedema.2,3,4,7

Terapi Konservatif

Complex decongestive therapy (CDT) merupakan rangkaian terapi yang digunakan dalam tatalaksana lymphedema sekunder. Prinsip yang digunakan dalam CDT bertujuan untuk memperlancar aliran limfa dengan melakukan pemijatan dan kompresi pada area yang mengalami pembengkakan.4 Secara umum, CDT dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif yang dilakukan setiap satu atau dua kali sehari selama 4-6 minggu serta fase pemeliharaan yang dilakukan oleh pasien sendiri. Pada fase intensif, pasien diberikan edukasi perawatan kulit, terapi manual lymphatic drainage (MLD), kompresi dengan short-stretch bandage, serta latihan ringan.3


Edukasi tentang cara merawat kulit penting untuk dilakukan pada kedua fase CDT. Beberapa edukasi yang penting untuk diberikan meliputi2 :

  • Penggunaan pelembab

  • Menghindari trauma

  • Menghindari terapi panas ataupun sauna

  • Menghindari pemasangan akses intravena pada lokasi yang mengalami edema

  • Menggunakan alas kaki atau pelindung saat beraktivitas untuk menghindari gigitan serangga, atau iritasi dari zat kimia (detergen, cairan pembersih lantai, dan lain-lain)

  • Menggunakan pembersih badan yang lembut, tidak mengandung sabun, dengan pH netral untuk mencegah terjadinya selulitis pada kulit yang mengering Manual lymphatic drainage (MLD) merupakan terapi utama pada fase ini. Prinsip yang digunakan dalam terapi ini adalah

memberikan pijatan lembut ke arah proksimal. Tindakan pemijatan ini dimaksudkan untuk meregangkan saluran limfa dan diharapkan bisa memperbaiki kontraktilitas saluran limfa.2,4 Syarat dari pemberian pijatan dan tekanan dalam MDL adalah bebas dari rasa nyeri dan tidak menyebabkan ketidaknyamanan pasien.2


Terapi lain dalam rangkaian CDT adalah penggunaan short-stretch bandage atau pembalutan multilayer. Kompresi dengan short-stretch bandage saat ini lebih dipilih dibandingkan dengan penggunaan stocking kompresi karena memberikan tekanan yang lebih baik dan stabil, sehingga dapat meningatkan transportasi aliran limfa lebih baik.4


Saat ini, terapi kompresi tidak hanya dicapai dengan menggunakan pembalut atau stocking kompresi, namun dapat pula menggunakan intermittent pneumatic compression. Alat ini dapat memberikan stimulasi kontraksi otot untuk memompa aliran pembuluh limfa. Walaupun beberapa studi menunjukkan efektivitas dari penggunaan teknologi ini jika dikombinasikan dengan stocking kompresi, sampai saat ini belum ada konsensus yang dengan jelas merekomendasikan penggunaan intermittent pneumatic compression.3


Latihan fisik pada terapi lymphedema ditujukan untuk 2 hal, yaitu melatih otot dan sendi agar dapat berkontraksi secara efektif memompa aliran darah limfa dan untuk menurunkan berat badan.3 Jenis latihan fisik yang bisa dilakukan pada penderita lymphedema adalah melawan atau tanpa tahanan, isometrik dan aerobik yang diulang dan progresif sesuai gerakan yang dilatih oleh terapis.2 Obesitas serta peningkatan berat badan pasca operasi meningkatkan resiko kejadian lymphedema sekunder serta perburukan lymphedema sebanyak 4-5x.8,9


Terapi Operatif

Terapi pembedahan diindikasikan bagi pasien dengan kondisi berat dan mengalami gangguan fungsional yang tidak membaik dengan terapi non-operatif. Teknik operasi yang dipilih dapat mengangkat kelebihan jaringan fibroadiposa (disebut juga teknik reduksi) serta teknik fisiologis yang bertujuan untuk menormalkan aliran pembuluh darah limfa.3,4 Pemilihan teknik pembedahan disesuaikan dengan derajat lymphedema dan jumlah jaringan fibroadiposa yang ada.4 Teknik fisiologis meliputi lympholymphatic bypass, lymphovenous bypass serta transfer kelenjar limfa. Sedangkan teknik reduksi terdiri dari eksisi langsung atau liposuction (bagan 3).3


Bagan 3. Pilihan teknik operatif lymphedema.3



Metode Fisiologis

Lympholymphatic bypass dilakukan dengan memindahkan graft jaringan lunak yang mengandung pembuluh limfa superfisial dari area paha anterior ke regio sehat yang lebih proksimal dari area edema.3 Pilihan bypass lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat anastomosis dari pembuluh darah limfa dengan pembuluh darah vena regional pada bagian distal dan proksimal limfa yang mengalami gangguan aliran. Prosedur ini disebut dengan lympovenous bypass atau anastomosis lymphaticovenular. Anastomosis antara limfavena regional dilakukan untuk menghubungkan pembuluh limfa bagian distal dengan bagian proksimal dari area edema (gambar 1).3,10


Prosedur lain yang dapat dilakukan untuk mengembalikan fungsi fisiologis dari sistem limfa adalah pemindahan kelenjar limfa (transfer kelenjar limfa) dari area yang sehat (paling sering diambil dari inguinalis superfisial) sebagai graft atau flap bebas dengan teknik bedah mikro (vascularized lymph node transfer/VLNF).3 Pada metode VLNF, jaringan lunak yang didalamnya terdapat beberapa kelenjar limfa diambil bersamaan dengan arteri dan vena yang menutrisinya untuk dipindahkan ke area kelenjar limfa yang mengalami gangguan. Setelah dipindahkan ke area resipien, pembuluh darah arteri dan vena donor disambungkan ke pembuluh darah arteri dan vena resipien. Dengan adanya pasokan nutrisi dari arteri, kelenjar limfa dapat mendukung limfangiogenesis untuk membentuk jalan baru untuk drainase cairan limfa. Namun metode VLNF ini memiliki risiko menyebabkan terjadinya lymphedema pada area donor.3,11


Walaupun belum ada konsensus yang pasti mengenai kapan tepatnya tindakan lymphatic bypass dilakukan, namun beberapa peneliti merekomendasikan prosedur ini dilakukan pada derajat awal lymphedema. Jika pada kondisi dengan akumulasi jaringan fibroadiposa yang tinggi, metode reduksi lebih dipilih.3


Metode Reduksi

Metode reduksi, baik dengan eksisi langsung atau liposuction menjadi teknik yang dipilih pada lymphedema yang dengan jumlah jaringan fibroadiposa yang tinggi (gambar 2). Dua prosedur yang dikenal dalam eksisi langsung adalah prosedur Charles dan Sistrunk. Pada prosedur Charles yang dilakukan pada ekstremitas inferior, dilakukan eksisi secara melingkar pada kulit hingga sedalam fasia. Kemudian, defek ditutup dengan menggunakan skin graft. Untuk lymphedema pada ekstremitas superior, dilakukan prosedur Sistrunk dengan cara eksisi berbentuk elips pada bagian medial lengan dan dilakukan penutupan langsung. Namun, metode ini sangat invasif dengan morbiditas yang tinggi, seperti nyeri, komplikasi penyembuhan luka, infeksi dan fistula pembuluh darah limfa.3,4


Penelitian oleh Brorson (1998) dan O’brien (1898) menyebutkan bahwa liposuction merupakan terapi lini pertama untuk lymphedema, namun ada pula yang mengatakan bahwa liposuction dilakukan sebagai terapi lini kedua jika pembedahan mikro tidak menjadi pilihan, atau gagal.3


Adapun indikasi dari liposuction adalah edema nonpitting dengan volume dari jaringan fibroadiposa pada area edema >600 ml dibandingkan dengan kontralateralnya, serta pada pasien yang gagal dalam terapi non-operatif selama 3 bulan.3 Penelitian prospektif menyebutkan bahwa pada pasien dengan breast-cancer related lymphedema (BCRL), teknik liposuction ini dapat menurunkan volume sebanyak 50-100%. Namun karena deposisi jaringan fibroadiposa terjadi dengan cepat (dalam 3 bulan), kondisi ini hanya dapat dipertahankan jika compression garments digunakan secara terus menerus.4,12


Gambar 2. Teknik operatif dengan metode reduksi dalam tatalaksana lymphedema. A, eksisi langsung. B, liposuction. 4


Kesimpulan

Gangguan transportasi aliran limfa baik akibat kelainan kongenital ataupun yang didapat, seperti trauma, infeksi, keganasan, dan pasca trombosis vena memerlukan penegakan diagnosis dan terapi yang sesuai, baik secara non-operatif maupun operatif. Penegakan diagnosis diawali dari penggalian anamnesis tentang riwayat penyakit keluarga/penyakit dahulu, dan didukung dengan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan tambahan radiologis ataupun nonradiologis.


Tatalaksana lymphedema harus dilakukan secara holistik dengan pendekatan multidisiplin. Kolaborasi antara spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, kulit, bedah plastik/vaskular, serta fisioterapis, ahli gizi dan psikolog dapat membantu pasien dengan lymphedema mencapai kualitas hidup yang optimal.


Terapi untuk lymphedema dimulai dengan terapi non-operatif yang dilakukan dan didampingi oleh terapis kemudian terapi berkelanjutan yang dilakukan oleh pasien sendiri untuk mencegah progresivitas penyakit. Terapi pembedahan diindikasikan bagi pasien dengan kondisi berat dan mengalami gangguan fungsional yang tidak membaik dengan terapi non-operatif. Metode yang digunakan pada terapi pembedahan dimulai dari metode fisiologis yang bertujuan untuk mengembalikan transportasi aliran limfa secara fisiologis dengan cara menghubungkan saluran limfa dengan pembuluh darah vena atau saluran limfa, serta dengan metode pemindahan kelenjar limfa donor ke area yang mengalami gangguan transportasi limfa. Namun jika jumlah jaringan fibroadiposa pada area lymphedema tinggi, maka metode yang digunakan adalah dengan liposuction atau dengan eksisi langsung pada area yang mengalami pembengkakan.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Keast DH, Despatis M, Allen JO, & Brassard A, 2015. Chronic oedema/lymphoedema: under-recognised and undertreated. Int Wound J., 12(3): pp. 328 – 333. Doi: 10.1111/iwj.12224

  2. Borman P, 2018. Lymphedema diagnosis, treatment, and follow-up from the view point of physical medicine and rehabilitation specialists. Turk J Phys Med Rehabil., 64(3): pp. 179–197. doi: 10.5606/tftrd.2018.3539

  3. Levine SM, Chang DW & Mehrara BJ, 2014. Lympedema: diagnosis and treatment. In: Thorne CH, Gurtner GC, Chung KC, Gosain A, Mehrara B, Rubin P, & Spear SL, eds., Grabb and Smith’s Plastic Surgery. 7th ed., Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, pp. 980 – 989.

  4. Dayan JH, Ly CL, Kataru RP, & Mehrara BJ, 2018. Lymphedema: pathogenesis and novel therapies. Annu Rev Med., 69: pp. 263 – 276. doi: 10.1136/annurev-med-060116-022900

  5. Executive Committee, 2016. The diagnosis and treatment of peripheral lymphedema: 2016 consensus document of the International Society of Lymphology. Lymphology, 49(4): pp. 170 – 184.

  6. Ridner SH, 2013. Pathophysiology of lymphedema. Semin Oncol Nurs., 29(1): pp. 4–11. doi: 10.1016/j.soncn.2012.11.002

  7. Michelini S, 2010. Lymphedema etiology, epidemiology and clinical staging. In: Michelini S, Failla A, Moneta G, Cardone M, editors. Compression therapy in lymphatic Insufficiency. Milano: Cizeta-Medicali, pp. 14 – 18..

  8. McLaughlin SA, Wright MJ, Morris KT, Giron GL, Sampson MR, Brockway JP, Hurle KE, Riedel ER, & Van Zee KJ, 2008. Prevalence of lymphedema in women with breast cancer 5 years after sentinel lymph node biopsy or axillary dissection: objective measurements. J Clin Oncol., 26(32): pp. 5213 – 5219. doi: 10.1200/JCO.2008.16.3725

  9. Werner RS, McCormick B, Petrek J, Cox L, Cirrincione C, Gray JR, & Yahalom J, 1991. Arm edema in conservatively managed breast cancer: obesity is a major predictive factor. Radiology, 180: pp. 177 – 184. doi: 10.1148/ radiology.180.1.2052688

  10. Chang EI, Skoracki RJ, & Chang DW, 2018. Lymphovenous anastomosis bypass surgery. Semin Plast Surg., 32(1): pp. 22 – 27. doi:10.1055/s-0038-1636510

  11. Becker C, 2015. Autologous lymph node transfers. J Reconstr Microsurg., 32(1): pp. 28 – 33. doi:10.1055/s-0035-1563393

  12. 12. Carl HM, Walia G, Bello R, Clarke-Pearson E, Hassanein AH, Cho B, Pedreira R, & Sacks JM, 2017. Systematic review of the surgical treatment of extremity lymphedema. J Reconstr Microsurg., 33(6): pp. 412 – 425. doi: 10.1055/s-0037- 1599100


Sumber: Medicinus Agustus 2020 vol. 33 issue 2


21 tampilan
bottom of page