![](https://static.wixstatic.com/media/70df39_e781f7663b7e4d7291157dbc799caf1d~mv2.webp/v1/fill/w_828,h_552,al_c,q_85,enc_auto/70df39_e781f7663b7e4d7291157dbc799caf1d~mv2.webp)
Manajemen Multiple Myeloma pada Kelompok Lanjut Usia
Manajemen Multiple Myeloma pada Kelompok Lanjut Usia
Sumber: Medicinus Vol. 37 ISSUE 1, MARCH 2024
Yosephine Dian Hendrawati
Medical Affairs Dexa Group
Abstrak
Population aging merupakan fenomena yang tak terhindarkan seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini menimbulkan berbagai konsekuensi yang perlu diantisipasi dengan baik, terutama pada sektor kesehatan. Penuaan yang merupakan hasil akumulasi kerusakan molekuler dan seluler secara bertahap, dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, termasuk penyakit keganasan (kanker). Multiple myeloma merupakan salah satu jenis keganasan yang banyak ditemukan pada kelompok lanjut usia. Angka kejadian multiple myeloma diprediksi akan meningkat secara signifikan seiring dengan pergeseran demografi yang terjadi. Hingga saat ini, multiple myeloma masih digolongkan sebagai penyakit yang belum dapat disembuhkan, namun adanya perkembangan medis dan obat-obatan terkini memungkinkan upaya pencapaian kontrol penyakit yang lebih baik. Meskipun demikian, diperlukan pemahaman yang mendalam terkait berbagai faktor yang dapat memengaruhi hasil terapi pada kelompok lanjut usia. Kemampuan untuk melakukan penilaian yang komprehensif disertai dengan tata laksana multidisipliner akan sangat membantu pasien multiple myeloma untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal dengan tetap mempertahankan kualitas hidup yang baik.
Kata kunci: multiple myeloma, population aging, geriatri, komorbiditas
Abstract
Population aging is an inevitable global phenomenon as a result of life expectancy improvement due to advances and development in various aspects. There are certain consequences to be anticipated, particularly in the health sector. Aging is characterized by a gradual, lifelong accumulation of molecular and cellular damage that ultimately leads to numerous diseases and malignancies. Multiple myeloma, a plasma cell malignancy, is largely a disease of older adults and is estimated to increase significantly alongside the demographic shift. Multiple myeloma remains considered incurable, but by virtue of medical and pharmaceutical development, attainment of better disease control can be expected. Nevertheless, a good understanding of various factors that could affect clinical outcomes in this particular age group is fundamental. Comprehensive geriatric assessment as well as multidisciplinary approach may help geriatric myeloma patients to achieve favorable disease control while preserving good quality of life.
Keywords: multiple myeloma, population aging, geriatric, comorbidity
Pendahuluan
Perkembangan sosioekonomi seiring waktu memungkinkan terjadinya berbagai kemajuan dalam kehidupan manusia, termasuk teknologi medis, sehingga memungkinkan usia harapan hidup manusia di muka bumi menjadi relatif lebih panjang. Disadari atau tidak, hal ini akan membuat negara-negara di seluruh dunia berhadapan dengan fenomena pergeseran demografi berupa population aging, atau kondisi di mana proporsi kelompok usia lanjut lebih tinggi di dalam suatu populasi. Selain bertambah panjangnya usia harapan hidup, population aging juga dipengaruhi oleh penurunan jumlah kelahiran. United Nations World Report on Population Aging (1950–2050) mendefinisikan aging society sebagai situasi di mana proporsi populasi berusia ≥60 tahun mencapai 10% dari total populasi; atau proporsi populasi berusia ≥65 tahun mencapai 7% dari total populasi. Berdasarkan United Nations World Population Prospects 2019, diprediksikan bahwa pada tahun 2050, 1 dari 6 penduduk di dunia akan berusia di atas 65 tahun, meningkat dibanding tahun 2019 di mana 1 dari 11 penduduk berusia di atas 65 tahun. WHO juga menyatakan bahwa pada tahun 2050, 80% populasi berusia lanjut akan tinggal di negara berpenghasilan rendah serta menengah.1,2,3,4
Population aging atau yang dikenal juga dengan istilah the silver tsunami membawa banyak konsekuensi yang harus siap dihadapi oleh berbagai pihak, salah satunya dalam hal kesehatan. Secara biologis, penuaan merupakan hasil dari akumulasi berbagai macam kerusakan baik di level molekuler maupun seluler pada kurun waktu tertentu. Hal ini secara bertahap akan menyebabkan penurunan kapasitas fisik dan mental, meningkatnya risiko penyakit, dan pada akhirnya kematian. Terdapat berbagai gangguan kesehatan yang diketahui berkaitan dengan penuaan, dan tidak jarang kelompok lanjut usia tersebut mengalami beberapa jenis gangguan kesehatan sekaligus. Pada kelompok berusia ≥60 tahun, penyebab utama disabilitas dan kematian bersumber dari hilangnya fungsi pendengaran, penglihatan dan pergerakan, serta dari berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, stroke, demensia, dan juga penyakit keganasan (kanker).3,4
Multiple myeloma merupakan salah satu jenis keganasan yang banyak ditemukan pada populasi lanjut usia dengan median usia saat diagnosis ditegakkan yaitu 70 tahun. Sekitar dua pertiga pasien berusia lebih dari 65 tahun dan sepertiga lainnya berusia lebih dari 75 tahun pada saat terdiagnosis.5 Hal ini membuat multiple myeloma menjadi salah satu ancaman kesehatan yang perlu diperhatikan ketika dunia menghadapi pergeseran demografi. Berdasarkan data yang diambil dari Global Burden of Disease 2019, diketahui bahwa angka kejadian dan kematian akibat multiple myeloma telah mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu 30 tahun (1990-2019). Angka kejadian multiple myeloma diprediksikan akan terus meningkat dengan adanya population aging, meskipun tingkat kematian diharapkan dapat ditekan seiring dengan adanya kemajuan di bidang teknologi medis.6 Smith, dkk. (2009) melakukan studi epidemiologi dan memproyeksikan bahwa pada tahun 2010-2030 total kejadian kanker di Amerika Serikat akan mengalami peningkatan sebesar 45%, secara khusus pada populasi berusia ≥65 tahun serta akan terjadi peningkatan persentase jumlah penyakit kanker dari 61% menjadi 70%. Multiple myeloma diprediksi menjadi jenis keganasan dengan tingkat kenaikan persentase tertinggi sebesar 57% dari tahun 2010-2030, yang menempatkannya pada urutan ketiga setelah kanker lambung (67%) dan hati (59%).7
Secara umum, terdapat banyak tantangan dalam manajemen multiple myeloma mengingat penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan memiliki risiko kekambuhan yang tinggi. Namun, tantangan tersebut menjadi lebih besar pada pasien multiple myeloma lanjut usia, di mana berbagai faktor dapat memengaruhi outcome klinis pada kelompok usia tersebut. Penurunan fungsi fisiologis serta disfungsi organ yang banyak terjadi pada populasi lanjut usia meningkatkan peluang terjadinya berbagai komorbiditas pada kelompok usia ini. Adanya komorbiditas seringkali menjadi kriteria eksklusi dalam berbagai uji klinis sehingga representasi kelompok lanjut usia dalam penelitian untuk menemukan pendekatan terapi baru menjadi terbatas. Selain itu, kelompok lanjut usia juga memiliki risiko kerentanan (frailty) yang lebih tinggi, sehingga lebih mudah mengalami kejadian yang tidak diharapkan (adverse reactions) pada paparan stressor yang lebih tinggi, contohnya terapi yang lebih agresif.5 Dengan adanya berbagai faktor ini, diperlukan pendekatan multidisipliner yang mencakup ketepatan diagnosis, manajemen terapi yang mengikutsertakan penilaian kondisi geriatri secara komprehensif untuk mengoptimalkan outcome dan meminimalisasi risiko toksisitas dengan regimen yang tersedia, serta pemantauan untuk memastikan pemeliharaan kualitas hidup pasien multiple myeloma.
Patofisiologi dan diagnosis multiple myeloma
Multiple myeloma adalah suatu keganasan yang terjadi pada sel plasma, yaitu komponen sel dalam sistem imun yang merupakan hasil diferensiasi akhir sel limfosit B dan memiliki peran penting dalam sistem imunitas humoral melalui fungsinya dalam memproduksi antibodi. Adanya error dalam proses fisiologis yang berkaitan dengan maturasi sel plasma serta spesifisitas antigen dapat memicu terjadinya transformasi maligna pada sel plasma. Multiple myeloma merupakan kelainan sel plasma yang paling signifikan secara klinis sekaligus merupakan salah satu keganasan hematologi yang paling banyak ditemukan selain lymphoma dan leukemia.8,9
Proses perkembangan dan maturasi sel B melibatkan beberapa tahapan kompleks yang memungkinkan terjadinya error yang dapat menyebabkan terjadinya multiple myeloma. Setelah proses rearrangement pada heavy chain dan light chain pada fase sel B immature, sel B akan bertransisi dari sumsum tulang ke jaringan limfoid untuk menjalani proses maturasi. Adanya stimulasi dari T-cell-dependent cytokine akan menginduksi tahapan proses aktivasi sel B yang kompleks sehingga menghasilkan sel limfosit B dengan tingkat afinitas reseptor yang lebih tinggi serta imunitas yang dapat bertahan lebih lama. Proses ini mencakup perubahan somatik yang disebut somatic hypermutation (SHM) dan class switch recombination (CSR). SHM merupakan suatu proses yang bertujuan untuk meningkatkan afinitas antigen-antibodi, sementara CSR merupakan suatu proses yang memungkinkan produksi beberapa isotipe immunoglobulin dengan spesifisitas antigen yang sama. Pada kedua tahap inilah kesalahan genomik (genomic errors) rentan terjadi. Kesalahan dalam proses fisiologis perkembangan sel B dapat diawali dengan primary genetic events seperti hyperdiploidy dan translokasi. Selanjutnya, dapat diikuti dengan secondary events seperti mutasi pada jalur onkogenik, delesi, atau mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi tumor suppressor, perubahan epigenetik, serta perubahan microenvironment di sumsum tulang, yang berujung pada transisi ke arah myeloma simtomatik. Tahap terminal dari penyakit ini ditandai dengan adanya sel maligna yang berada di sirkulasi sistemik dan/atau menginfiltrasi organ tubuh lainnya.8
Diagnosis multiple myeloma (MM) didasarkan pada temuan satu atau lebih myeloma defining events (MDE) yang disertai bukti adanya 10% atau lebih sel plasma clonal pada sampel sumsum tulang, atau adanya plasmasitoma yang dibuktikan dengan biopsi. Myeloma defining events terdiri dari gambaran klinis hiperkalsemia/hyperCalcemia, gagal ginjal/Renal failure, Anemia, atau lesi lisis tulang/lytic Bone lesions (sering disingkat dengan istilah CRAB), yang disertai 3 (tiga) biomarker spesifik yaitu: sel plasma sumsum tulang clonal ≥60%, rasio serum free light chain (FLC) ≥100, dan lebih dari satu lesi fokal pada pemeriksaan MRI.10
Multiple myeloma simtomatik dapat didahului dengan dua kondisi premaligna, yang secara berurutan dikenal dengan monoclonal gammopathy of undetermined significance (MGUS) dan smoldering myeloma (SMM; atau yang disebut juga asymptomatic myeloma).8 Pada kedua kondisi ini, belum dijumpai bukti kerusakan organ yang dinilai melalui kriteria CRAB, namun abnormalitas sudah dapat diamati melalui hasil pemeriksaan biomarker.8,10
Prognosis multiple myeloma
Terdapat data yang bervariasi mengenai tingkat survival pada kasus multiple myeloma. Studi acak terkontrol yang menggunakan terapi modern menunjukkan angka median survival sekitar 6 tahun. Pada analisis subset kelompok yang memenuhi kriteria untuk autologous stem-cell transplantation (ASCT), 4-year survival rates dilaporkan lebih dari 80% dengan median overall survival (OS) lebih dari 8 tahun. Tingkat survival yang lebih rendah dijumpai pada kelompok pasien yang berusia >75 tahun, dengan angka OS sekitar 5 tahun. Dengan adanya perkembangan terapi untuk multiple myeloma seperti terapi antibodi monoklonal serta agen-agen terapeutik baru lainnya selama beberapa tahun terakhir, maka tingkat survival dapat diharapkan lebih tinggi. Walaupun demikian, pada akhirnya tingkat survival merupakan sesuatu yang bersifat multifaktorial. Secara khusus pada kelompok lanjut usia, poor performance status serta komorbiditas menjadi faktor yang sangat memengaruhi prognosis, namun relatif jarang terekam pada setting uji klinik.10
Tata laksana multiple myeloma
Peningkatan survival yang signifikan pada kasus multiple myeloma (MM) selama 10-15 tahun terakhir tidak lepas dari hadirnya pilihan-pilihan terapi baru yang mendapatkan persetujuan untuk digunakan pada tata laksana penyakit ini.10 Berdasarkan NCCN guidelines untuk multiple myeloma versi 3. 2023, pasien MM simtomatik dapat memulai terapi awal untuk myeloma beserta terapi untuk gangguan skeletal (bone-targeting treatment), serta terapi suportif untuk manajemen gejala. Di samping itu, dapat juga dievaluasi kelayakan pasien untuk menjalani transplantasi sel punca setelah terapi awal diberikan, apabila prosedur tersebut memungkinkan untuk dilakukan di fasilitas kesehatan yang dapat diakses.11
Autologous stem-cell transplantation (ASCT) atau transplantasi sel punca merupakan modalitas terapi utama pada kasus MM, walaupun penggunaannya memiliki limitasi terkait akses dan ketersediaan yang mungkin berbeda di berbagai tempat, khususnya di sebagian negara berkembang, serta terkait kriteria kelayakan (eligibility) yang harus dipenuhi pasien. Adanya pilihan terapi baru seperti golongan immunomodulatory imide drugs (IMiDs), proteasome inhibitors (PIs), serta antibodi monoklonal tidak menggantikan fungsi ASCT, melainkan justru memperkuat peran dari ASCT sebagai standard of care untuk mencapai tingkat respons yang lebih tinggi. Hingga saat ini belum terdapat konsensus mengenai batas usia untuk dapat menjalani prosedur ASCT, namun secara umum penggunaan modalitas high-dose therapy/autologous stem- cell transplantation (HDT/ASCT) digunakan pada pasien yang berusia kurang dari 65 tahun tanpa komorbiditas berat. Walaupun demikian, usia lanjut tidak serta-merta membuat pasien MM tidak dapat menjalani prosedur ini selama kondisi klinis (yang dinyatakan melalui performance status) dan kondisi komorbiditas memungkinkan.12
Sebuah studi retrospektif, single-center, melibatkan 437 pasien MM yang diberikan terapi HDT lini pertama serta peripheral blood SCT (PBSCT) antara tahun 2000-2014, menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan pada progression-free survival (PFS) serta tren overall survival (OS), khususnya pada pasien lanjut usia (66-75 tahun). Perbaikan ini tampak lebih jelas setelah memasuki tahun 2008, di mana terapi MM lebih banyak melibatkan agen terapi baru seperti bortezomib dan lenalidomide.13
Secara umum, ASCT dihindari pada pasien dengan performance status yang buruk (dinilai berdasarkan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group 3-4), klasifikasi status fungsional New York Heart Association kelas III-IV, sirosis hepatik, serta nilai diffusing capacity of the lungs for carbon monoxide (DLCO) <50%.14 Pada kelompok pasien yang bukan merupakan kandidat ASCT, modalitas terapi yang dapat diandalkan adalah terapi sistemik/kemoterapi. Regimen kemoterapi pada kasus MM umumnya terdiri dari kombinasi 3 obat (triplet), yang mencakup 2 obat yang berbeda golongan dan steroid. Pasien yang tidak dapat menoleransi regimen triplet dapat memulai pengobatan dengan regimen kombinasi 2 obat terlebih dahulu, dan penambahan obat ketiga dapat dilakukan setelah terjadi perbaikan performance status. Penilaian tingkat kerentanan (frailty assessment) perlu dilakukan pada kelompok usia yang lebih tua. Modifikasi dosis dapat dipertimbangkan berdasarkan usia dan status fungsional pasien.11
Proteasome inhibitor (PI) merupakan golongan obat yang penting dalam tata laksana multiple myeloma dan mantle cell lymphoma. Obat ini juga sedang menjalani beberapa uji klinik untuk jenis keganasan lainnya. Proteasome merupakan kompleks protein multikatalitik yang berfungsi untuk mendegradasi berbagai protein seluler. Degradasi protein memiliki fungsi seluler yang sangat penting dalam regulasi berbagai fungsi sel di dalam tubuh, termasuk kontrol siklus sel, respons terhadap kerusakan DNA, dan apoptosis. Selain lisosom yang bertugas dalam degradasi beberapa protein sitoplasma, diketahui bahwa sekitar 80% protein intraseluler mengandalkan jalur ubiquitin/proteasome dalam proses degradasinya. Jalur ubiquitin/proteasome diawali dengan perlekatan ubiquitin pada protein yang menjadi target degradasi. Selanjutnya, protein tersebut akan dikenali oleh proteasome yang bertugas memediasi proses degradasi protein.15,16 Bortezomib, suatu proteasome inhibitor, memiliki mekanisme kerja utama menghambat degradasi protein yang berperan pada pelepasan nuclear factor-κB (NF-κB) yang mengatur proliferasi sel, apoptosis, serta angiogenesis. Bortezomib terbukti efektif pada kasus MM, baik yang belum pernah diterapi sebelumnya, maupun pada kasus MM yang mengalami kekambuhan atau tidak merespons terapi yang diberikan sebelumnya (relapse/refractory).17 NCCN guidelines merekomendasikan bortezomib yang diberikan dalam regimen bersama lenalidomide dan dexamethasone (VRD) sebagai preferred regimen pada pasien MM yang belum pernah mendapatkan terapi sebelumnya, baik yang merupakan kandidat transplantasi maupun yang tidak memenuhi kriteria untuk dapat menjalani transplantasi. Regimen ini juga dapat digunakan pada relapse/refractory settings.11
Golongan immunomodulatory imide drugs (IMiDs) seperti thalidomide dan analognya juga memegang peranan penting dalam tata laksana MM. Thalidomide sendiri pertama kali dikenal sebagai agen sedatif dan antiemetik yang digunakan pada ibu hamil, namun penggunaannya dihentikan setelah diketahui memiliki efek teratogenik. Beberapa dekade kemudian, studi menunjukkan bahwa thalidomide memiliki aktivitas antimyeloma yang poten, namun penggunaannya terbatas akibat toksisitas yang muncul seperti somnolence, konstipasi, neuropati, serta peningkatan insiden venous thromboembolism (VTE), khususnya saat dikombinasikan dengan dexamethasone. Oleh karena itu, dikembangkan molekul-molekul analog thalidomide seperti lenalidomide dan pomalidomide yang memiliki aktivitas antiinflamasi, imunomodulator, antiproliferatif, serta antiangiogenik, dengan profil toksisitas yang lebih baik.18 Selain sebagai bagian dari regimen yang digunakan pada fase induksi (primer) bersama dengan dexamethasone dan bortezomib, lenalidomide juga menjadi preferred regimen yang direkomendasikan pada fase maintenance.11
Hasil penelitian preklinik dan uji klinik menunjukkan bahwa lenalidomide memiliki dua mekanisme aksi yang bertanggung jawab pada tercapainya kontrol penyakit MM yang relatif cepat dan bertahan lama, yaitu dengan aktivitas tumorisidal langsung dan imunomodulasi. Efek tumorisidal lenalidomide berasal dari beberapa aktivitas seperti induksi tumor suppressor genes dan aktivasi beberapa caspase, sedangkan efek imunomodulator berasal dari aktivasi sel T dan sel natural killer (NK), serta peningkatan ekspresi death effector molecules (Gambar 1).19
![](https://static.wixstatic.com/media/70df39_d49da11f726c4823af6438a9edcbbdf0~mv2.png/v1/fill/w_471,h_476,al_c,q_85,enc_auto/70df39_d49da11f726c4823af6438a9edcbbdf0~mv2.png)
Gambar 1. Gambaran mekanisme aksi lenalidomide pada kasus MM. IFN: interferon; Ig: immunoglobulin; IL: interleukin; MM: multiple myeloma; NK: natural killer; VEGF: vascular endothelial growth factor.19
Sebuah systematic review dan metaanalisis dari tujuh studi klinis acak yang melibatkan 2.357 pasien MM pada fase induksi maupun maintenance menunjukkan bahwa kelompok pasien MM yang belum pernah diterapi sebelumnya dan menerima regimen yang mengandung lenalidomide mencapai tingkat overall response (OR) dan complete response (CR) yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, demikian pula pada kelompok pasien yang mengalami relapse/refractory disease. Pasien relapse/refractory yang menerima regimen yang mengandung lenalidomide juga mencapai tingkat 3–year progression- free survival (PFS) dan 3-year OS yang lebih baik secara signifikan. Pada fase maintenance, terapi lenalidomide menunjukkan perbaikan yang signifikan pada tingkat 3-year PFS, dan pengaruh yang sebanding dalam hal 3-year OS serta berhubungan dengan kejadian second primary malignancy (SPM) yang lebih tinggi. Oleh karena itu, penggunaannya perlu mempertimbangkan manfaat dan risiko bagi pasien.20 Pada kelompok pasien tertentu, lenalidomide dapat digunakan dengan dosis yang dimodifikasi, misalnya tidak melebihi 10-15 mg/hari sebagai terapi awal, serta disesuaikan berdasarkan fungsi ginjal serta hasil hitung darah untuk meminimalisasi mielosupresi yang berat dan berkepanjangan.21
Pentingnya geriatric assessment dalam tata laksana multiple myeloma pada kelompok lanjut usia
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasien multiple myeloma (MM) didominasi oleh kelompok berusia lanjut. Kelompok pasien lanjut usia memiliki heterogenitas yang tinggi, sehingga penentuan status fit atau frail (rentan) idealnya dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai faktor, baik secara klinis, fungsional, kognitif, maupun sosioekonomi. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan dalam hal strategi assessment untuk menentukan tingkat kerentanan pasien agar dapat memberikan terapi yang optimal. Hal ini juga diharapkan dapat mencegah undertreatment pada pasien yang fit maupun overtreatment pada pasien yang frail. Comprehensive geriatric assessment (CGA) merupakan suatu prosedur sistematis untuk melakukan penilaian objektif status kesehatan pasien. Walaupun demikian, CGA tergolong prosedur yang memakan waktu dan menjadikannya sulit untuk diterapkan sebagai prosedur rutin dalam praktik klinis. Terdapat beberapa modifikasi sistem geriatric assessment yang dapat diadopsi untuk kelompok pasien lanjut usia, seperti Katz and Akpom’s basic activities of daily living (ADL) scale, Lawton and Brody’s instrumental ADL (IADL) scale, dan Charlson Comorbidity Index (CCI).21
Geriatric assessment yang memadai dapat memandu pengambilan keputusan terkait terapi yang lebih baik. Sebagaimana halnya penyakit keganasan lainnya, pencapaian complete response tentu merupakan sesuatu yang penting dan diinginkan. Akan tetapi, pada kelompok geriatri dengan MM, upaya pencapaian complete response dengan terapi yang agresif terkadang berpotensi meniadakan manfaat klinis akibat reaksi toksisitas yang terjadi. Penetapan strategi terapi yang mampu menyeimbangkan aktivitas pengendalian penyakit dengan toksisitas yang mungkin ditimbulkan merupakan sesuatu yang bersifat fundamental. Selain itu, pilihan terapi diharapkan mampu mempertahankan fungsi kognitif dan kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas, serta meningkatkan kualitas hidup. Penentuan dosis, jadwal, serta rute administrasi dapat menimbulkan perbedaan yang substansial dalam hal profil keamanan dari regimen terapi yang diberikan.21
Dari berbagai jenis obat yang digunakan dalam tata laksana multiple myeloma, lenalidomide serta dexamethasone memberikan manfaat berupa bentuk sediaan dengan rute administrasi per oral sehingga pasien tidak perlu sering berkunjung ke rumah sakit. Berbeda dengan agen kemoterapi injeksi yang harus diberikan di bawah supervisi dokter serta tenaga kesehatan lainnya, pengobatan per oral melibatkan komitmen pasien untuk mengikuti instruksi pengobatan yang telah diberikan agar terhindar dari kesalahan dosis, obat, maupun jadwal, serta tetap patuh minum obat selama durasi yang telah ditentukan.21,22 Beberapa studi telah menunjukkan tingkat kepatuhan (adherence) yang kurang optimal pada penggunaan lenalidomide, khususnya pada geriatri. Diperlukan riset dan pengetahuan yang mendalam terkait faktor penyebab ketidakpatuhan minum obat agar tenaga kesehatan dapat membantu mengidentifikasi pasien yang rentan serta menerapkan strategi yang efektif untuk mengoptimalkan tingkat kepatuhan dan keberhasilan pengobatan. Kerja sama yang baik antara dokter, farmasis, serta pasien juga mutlak diperlukan. Terdapat catatan pengalaman perbaikan kepatuhan penggunaan obat di ranah onkologi melalui berbagai strategi yang dapat diupayakan oleh farmasis, seperti penggunaan jurnal minum obat (therapy diaries) yang di dalamnya terdapat pengingat dan jadwal konseling, pengingat melalui pesan teks atau sambungan langsung secara berkala, maupun program spesifik yang diterapkan untuk mendampingi pasien dalam menggunakan obat dengan benar.22,23
Kesimpulan
Multiple myeloma merupakan jenis keganasan yang perlu diwaspadai seiring dengan terjadinya pergeseran demografi secara global (population aging). Perkembangan dalam pilihan pengobatan multiple myeloma memberikan harapan untuk mencapai kontrol penyakit yang lebih baik, namun banyaknya faktor yang memengaruhi kondisi fisik populasi lanjut usia seringkali meningkatkan kompleksitas dalam penentuan strategi terapi. Kelompok lanjut usia merupakan kelompok dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, sehingga diperlukan suatu penilaian yang komprehensif untuk menentukan tingkat kerentanan (frailty) sehingga dapat mencegah undertreatment pada pasien yang fit maupun overtreatment pada pasien yang frail. Pendampingan terapi pada kelompok geriatri membutuhkan pendekatan multidisipliner dan kerja sama yang baik antara tenaga kesehatan, pasien, serta care giver agar pasien mampu mencapai tingkat kesembuhan yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Li L, Du T, Hu Y. The effect of population aging on healthcare expenditure from a healthcare demand perspective among different age groups: Evidence from Beijing City in the People’s Republic of China. Risk Manag Healthc Policy. 2020;13:1403–12. doi: 10.2147/RMHP.S271289.
United Nations, Department of Economic and Social Affairs Population Division. World population ageing 2019: Highlights. (cited Jan 31st, 2023). Available from: https://www.un.org/en/development/desa/ population/publications/pdf/ageing/WorldPopulationAgeing2019-Highlights.pdf
World Health Organization. Ageing and health. (cited Jan 31st, 2023). Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/ageing-and-health
World Health Organization. World report on ageing and health. (cited Jan 31st, 2023). Available from: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/186463/9789240694811_eng. pdf?sequence=1&isAllowed=y
Kaweme NM, Changwe GJ, Zhou F. Approaches and challenges in the management of multiple myeloma in the very old: Future treatment prospects. Front Med. 2021;8:612696. doi: 10.3389/fmed.2021.612696.
Zhou L, et al. Measuring the global, regional, and national burden of multiple myeloma from 1990 to 2019. BMC Cancer 2021;21(1):606. doi: 10.1186/s12885-021-08280-y.
Smith BD, et al. Future of cancer incidence in the United States: Burdens upon an aging, changing nation. J Clin Oncol. 2009;27(17):2758-65. doi: 10.1200/JCO.2008.20.8983.
Heider M, et al. Multiple myeloma: Molecular pathogenesis and disease evolution. Oncol Res Treat. 2021;44(12):672–81. doi: 10.1159/000520312.
International Agency for Research on Cancer. GLOBOCAN 2020 World. (cited Feb 1st, 2023). Available from: https://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/900-world-fact-sheets.pdf
Rajkumar SV. Multiple myeloma: 2022 update on diagnosis, risk-stratification and management. Am J Hematol. 2022;97(8):1086–107.
National Comprehensive Cancer Network. NCCN Guidelines Version 3.2023. (cited Apr 3rd, 2023). Available from: https://www.nccn.org/professionals/physician_gls/pdf/myeloma.pdf
Al Hamed R, et al. Current status of autologous stem cell transplantation for multiple myeloma. Blood Cancer J. 2019; 9(4):44. doi: 10.1038/s41408-019-0205-9.
Neukirchen J, et al. Favourable outcome of elderly patients with multiple myeloma treated with tandem melphalan 100 high-dose therapy, autologous stem cell transplantation and novel agents-a single center experience. Blood. 2016;128(22):3460. doi: 10.1182/blood.V128.22.3460.3460
Parrondo RD, et al. Autologous stem-cell transplantation for multiple myeloma in the era of novel therapies.JCO Oncol Pract. 2020;16(2):56-66. doi: 10.1200/JOP.19.00335.
Fricker LD. Proteasome Inhibitor Drugs. Annu Rev Pharmacol Toxicol. 2020;60:457–76. doi: 10.1146/ annurev-pharmtox-010919-023603.
Tu Y, et al. The Ubiquitin proteasome pathway (UPP) in the regulation of cell cycle control and DNA damage repair and its implication in tumorigenesis. Int J Clin Exp Pathol. 2012;5(8):726–38.
Robak P, Robak T. Bortezomib for the treatment of hematologic malignancies: 15 years later. Drugs R D. 2019;19(2):73–92. doi: 10.1007/s40268-019-0269-9.
Latif T, et al. Thalidomide and its analogues in the treatment of multiple myeloma. Exp Hematol Oncol. 2012;1(1):27. doi: 10.1186/2162-3619-1-27.
Davies F, Baz R. Lenalidomide mode of action: linking bench and clinical findings. Blood Rev. 2010;24(Suppl.1):S13–9. doi: 10.1016/S0268-960X(10)70004-7.
Qiao S, et al. Efficacy and safety of lenalidomide in the treatment of multiple myeloma: A systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Chin Med J (Engl). 2015;128(9):1215-22. doi: 10.4103/0366- 6999.156134.
Larocca A, Palumbo A. How I treat fragile myeloma patients. Blood. 2015;126(19):2179-85. doi: 10.1182/ blood-2015-05-612960.
Santoleri F, et al. Adherence to and effectiveness of lenalidomide after 1 year of treatment in a real world setting. J Oncol Pharm Practice. 2022;28(1):24-30. doi: 10.1177/1078155220980807.
Mian H, Fiala M, Wildes TM. Adherence to lenalidomide in older adults with newly-diagnosed multiple myeloma. Clin Lymphoma Myeloma Leuk. 2020;20(2):98–104.e1. doi: 10.1016/j.clml.2019.09.618.