M. Adi Firmansyah
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Yarsi Jakarta Pusat
Abstrak
Berdasarkan penilaian klinis, Rome III membagi konstipasi menjadi (1) konstipasi fungsional dan (2) irritable bowel syndrome (IBS) tipe konstipasi. Konstipasi fungsional secara umum diartikan sebagai konstipasi yang tidak disebabkan oleh penyebab sekunder atau tanpa disertai tanda bahaya (alarm symptoms). Pengetahuan tentang fisiologi defekasi sangat penting untuk dapat memahami patofisiologi konstipasi baik konstipasi primer maupun sekunder. Patofisiologi konstipasi fungsional dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yakni: 1) konstipasi dengan waktu transit lambat (slow-transit constipation/ STC); 2) gangguan evakuasi feses dengan waktu transit normal atau memanjang; dan 3) IBS dengan konstipasi. Prinsip pendekatan tata laksana konstipasi adalah dengan menekankan pada etiologi dan patofisiologi yang terjadi. Terapi nonfarmakologis (perubahan gaya hidup, latihan penguatan otot-otot dasar rongga panggul), terapi farmakologis, serta pembedahan memiliki porsi tersendiri dalam penatalaksanaan konstipasi.
Kata kunci: konstipasi fungsional, patofisiologi, tata laksana
PENDAHULUAN
Hampir sebagian besar orang pernah mengalami konstipasi. Konstipasi ditandai dengan jumlah frekuensi buang air besar (BAB) yang kurang dari tiga kali dalam seminggu. Gejala ini dapat menimbulkan masalah sosial dan dampak psikologis.1,2
Pasien yang mengalami konstipasi mempunyai persepsi gejala yang tidak serupa. Sebagian besar, pasien yakni sekitar 52%, akan mendefinisikan konstipasi sebagai usaha mengejan saat BAB. Sebagian lain menganggapnya sebagai feses yang keras dan berbentuk seperti pil atau butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%).2,3
Berdasarkan panduan Rome III, kita mengenal dua jenis kriteria konstipasi ditinjau dari penilaian klinis, yakni: (1) kriteria konstipasi fungsional dan (2) irritable bowel syndrome (IBS) tipe konstipasi. Tulisan berikut akan lebih menitikberatkan pada bagian patofisiologi dan tata laksana dari konstipasi fungsional.1,2
DEFINISI
Konstipasi diartikan sebagai gejala defekasi yang tidak memuaskan, yang ditandai dengan buang air besar kurang dari tiga kali dalam satu minggu atau kesulitan dalam evakuasi feses akibat feses yang keras. Konstipasi fungsional secara umum diartikan sebagai konstipasi yang tidak disebabkan oleh penyebab sekunder atau tanpa disertai tanda bahaya (alarm symptoms) seperti adanya perubahan ukuran feses, tes darah samar tinja positif, anemia defisiensi besi, adanya gejala obstruksi, usia di atas 50 tahun tanpa riwayat skrining kanker kolon sebelumnya, onset konstipasi yang baru, adanya perdarahan rektum, prolaps rektum, dan penurunan berat badan.1,3
Berdasarkan penilaian klinis, kriteria Rome III mendefinisikan konstipasi fungsional seperti yang dijelaskan dalam tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kriteria Rome III untuk Konstipasi Fungsional.3
Kriteria tersebut harus terpenuhi selama 3 bulan terakhir, dengan gejala awal sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan, dan tidak memenuhi kriteria irritable bowel syndrome (dapat dilihat pada tabel 2).
Tabel 2. Kriteria Rome III untuk Irritable Bowel Syndrome.3
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, prevalensi konstipasi berkisar antara 2 hingga 27% dengan jumlah kunjungan ke dokter sekitar 2,5 juta dan memerlukan 100.000 jumlah perawatan setiap tahunnya. Konstipasi lebih sering dikeluhkan oleh perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 4:1. Ribas dkk. di Spanyol menyatakan frekuensi tertinggi perempuan yang mengalami konstipasi berada pada rentang usia 30–35 tahun. Peningkatan angka kejadian konstipasi ini diduga berkaitan dengan adanya perubahan gaya hidup, komposisi diet masyarakat, dan adanya pengaruh faktor-faktor psikososial.1,2
Data dari 2.397 pemeriksaan kolonoskopi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam kurun waktu tahun 1998 hingga 2005 menunjukkan bahwa 9% (216 pasien) tindakan kolonoskopi dilakukan atas indikasi konstipasi. Data tersebut juga menunjukkan jumlah pasien perempuan lebih banyak dibandingkan lelaki. Dari jumlah tersebut, keganasan kolorektal ditemukan sebanyak 7,95%.1
PATOFISIOLOGI KONSTIPASI
Sebelum mengenal patofisiologi terjadinya konstipasi, sangat penting untuk memahami pengetahuan mengenai fisiologi defekasi. Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan dinding rektum ini akan membuat relaksasi sfingter anus interna (internal anal sphincter/ IAS) yang akan direspon dengan kontraksi sfingter anus eksterna (external anal sphincter/ EAS). Sfingter anus interna merupakan otot involunter yang terdiri dari otot polos dan mengatur sekitar 70% tonus anus saat istirahat (resting). Sedangkan sfingter anus eksterna, merupakan otot volunter, terdiri dari otot lurik dan mengatur sekitar 30% tonus sfingter saat istirahat.5,6
Saat proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka (Gambar 1) sehingga akan terbentuk suatu jalan lurus bagi feses untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengejan, terjadi peningkatan tekanan abdomen dan kontraksi rektum yang akan mendorong feses keluar melalui anus. Pada posisi jongkok, sudut antara anus dan rektum ini akan menjadi lurus akibat fleksi maksimal dari paha. Hal ini akan memudahkan proses defekasi dan tidak memerlukan tenaga mengejan yang kuat.5
Pada defekasi dengan posisi duduk, sudut antara anus dan rektum menjadi tidak cukup lurus sehingga membutuhkan tenaga mengejan yang lebih kuat. Kondisi pengejanan sekuat tenaga ini pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan konstipasi dan hemoroid.4,5
Secara ringkas, proses fisiologi defekasi ini ditampilkan pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Anatomi normal dan fisiologi rongga pelvis dalam penampang sagital.
Kiri: saat istirahat. Kanan: defekasi normal.5
Diadaptasi dari Andrews CN. The pathophysiology of chronic constipation.
Secara umum patofisiologi konstipasi dapat dibedakan menjadi dua yakni konstipasi primer dan sekunder. Dikatakan konstipasi primer apabila pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya kelainan organik dan biokimiawi. Sedangkan konstipasi sekunder, apabila konstipasi disebabkan oleh suatu penyakit organik, penyakit sistemik, obat-obatan, atau kondisi lain. Tabel 3 merangkum patofisiologi konstipasi secara umum.1,3
Tabel 3. Patofisiologi pembagian konstipasi.3,5
Konstipasi primer dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu 1) konstipasi dengan waktu transit normal (disebut juga sebagai konstipasi fungsional); 2) konstipasi dengan waktu transit lambat; dan 3) disfungsi anorektal.
Berdasarkan panduan dari World Gastroenterology Organization (WGO), patofisiologi konstipasi fungsional dibedakan atas tiga kelompok yakni: 1) konstipasi dengan waktu transit lambat (slow-transit constipation/ STC); 2) gangguan evakuasi feses, dengan waktu transit normal atau memanjang; dan 3) IBS dengan konstipasi. Tiga kelompok ini ditampilkan pada tabel 4.3,5
Tabel 4. Patofisiologi konstipasi fungsional.3,5
Konstipasi dengan waktu transit normal
Konstipasi jenis ini merupakan bentuk yang paling sering dijumpai dalam praktik sehari-hari dan biasanya disebabkan akibat sulitnya evakuasi feses yang keras. Pada pemeriksaan, waktu transit feses tidak memanjang dan masih dalam kisaran normal. Pasien sering mengeluhkan perut kembung, nyeri perut ataupun rasa tidak nyaman pada perut. Gejala yang ditunjukkan juga mirip dengan kriteria IBS tipe konstipasi. Umumnya konstipasi dengan waktu transit normal berkaitan dengan stres psikososial. Konstipasi fungsional umumnya merespon pada pemberian diet serat, penambahan laksatif ataupun obat-obatan prokinetik. Oleh sebab itu, biasanya konstipasi tipe ini jarang membutuhkan pemeriksaan waktu transit feces dan seringkali disebut sebagai konstipasi sederhana atau defisiensi serat. Jika terapi empiris tidak memberikan respon, maka pemeriksaan lebih lanjut sebaiknya dilakukan.2,3,5
Konstipasi dengan waktu transit lambat
Konstipasi dengan waktu transit lambat (slow transit constipation/ STC) menyebabkan gerakan usus yang sangat lambat (biasanya BAB kurang dari sekali per minggu) dan sering terjadi pada perempuan usia muda. Seringkali, pasien tidak merasakan urgensi untuk defekasi dan mengeluhkan perut kembung sertarasa tidak nyaman di perut. Inersia kolon adalah subtipe kelompok ini dengan waktu transit kolon yang sangat lambat dan tidak tampak adanya peningkatan aktivitas motorik setelah adanya asupan makanan atau setelah pemberian stimulan seperti bisacodyl atau agen kolinergik.5,7
Gangguan neuromuskular pada kolon diperkirakan sebagai penyebab terjadinya konstipasi jenis ini. Studi He dkk. menunjukkan adanya penurunan jumlah sel interstisial dari Cajal (interstitial cell of Cajal/ ICC). Penelitian lain oleh Tzavella dkk. menunjukkan penurunan jumlah neuron pleksus mienterikus serta penurunan neurotransmitter substansi-P. Selain itu, adanya hipoganglionosis, neuropati inflamatorik dan leiomyopathy degeneratif diduga sebagai penyebab STC.6,7
Disfungsi anorektal
Kelompok ini merupakan kumpulan kelainan anatomik dan fungsional anorektal yang menyebakan timbulnya gejala konstipasi. Pada disfungsi anorektal terjadi disinergi pada otot-otot dasar rongga panggul dan sfingter ani, atau terdapat struktur abnormal pada anorektal. Secara klinis, pasien biasanya mengeluh harus mengejan dan umumnya terpaksa menghabiskan waktu yang cukup lama di kamar mandi. Selain itu, pasien harus melakukan usaha evakuasi feses secara manual menggunakan jari ataupun dengan bantuan enema. Penggunaan laksatif terkadang tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pasien bahkan kadang merasa kesulitan dalam evakuasi feses yang berbentuk cair. Peningkatan tonus dasar rongga panggul biasanya menetap dan pada akhirnya akan menyebabkan hemoroid dan fisura ani yang berkepanjangan.7
Umumnya pasien dengan disinergi memiliki pola kebiasaan buang air besar yang buruk, defekasi yang menyakitkan, dan adanya riwayat trauma obstetrik atau trauma punggung, ataupun gangguan aksis otak-usus (brain-gut dysfunction). Sebagian kecil pasien ada juga yang memiliki riwayat kekerasan seksual atau fisik, ataupun gangguan asupan makanan.5,7,8,
PENATALAKSANAAN
Prinsip pendekatan tata laksana konstipasi adalah dengan menekankan pada etiologi dan patofisiologi yang terjadi. Pada konstipasi sekunder akibat penyakit metabolik, penyakit neurogenik, pengaruh obat-obatan atau adanya kelainan struktural, pengendalian terhadap penyakit dasar diharapkan dapat mengurangi atau memperbaiki gejala konstipasi yang ada. Namun, kebanyakan pasien dengan konstipasi tidak menunjukkan adanya kelainan morfologi atau biokimiawi, atau dengan kata lain, konstipasi fungsional. Ringkasan algoritma penatalaksanaan konstipasi secara umum disajikan dalam gambar 2 berikut.
Gambar 2. Algoritma tata laksana konstipasi kronik.5,9
Pada pasien konstipasi kronik yang tidak menunjukkan tanda bahaya (alarm symptoms) seperti hematoskezia, penurunan berat badan, adanya riwayat kanker usus besar pada keluarga, adanya anemia atau adanya perubahan dalam pola defekasi; usia di bawah 40 tahun; tidak ada kelainan pada pemeriksaan colok dubur dan diduga tidak ada konstipasi sekunder, maka terapi empiris dapat dimulai. Terapi empiris secara umum berupa terapi nonfarmakologis seperti modifikasi gaya hidup, peningkatan asupan serat dan air yang cukup, konsumsi probiotik, peningkatan aktivitas fisik, mengatur kebiasaan defekasi, menghindari mengejan, dan membiasakan buang air besar setelah makan. Terapi farmakologis umumnya menggunakan laksatif (bulk laxative, osmotic laxative, stimulant laxative, dan enema) ataupun nonlaksatif seperti obat-obatan prokinetik.3,5,9
Gambar 3. Algoritma tata laksana konstipasi waktu transit lambat dan normal.3,5,9
Pada konstipasi primer, pendekatan tata laksana dilakukan berdasarkan patofisiologi yang terjadi. Pada pasien dengan waktu transit normal, reasurrance dan edukasi, terutama mengenai pola kebiasaan buang air besar yang baik, sebenarnya cukup. Sedangkan untuk konstipasi dengan waktu transit melambat biasanya membutuhkan modifikasi diet seperti peningkatan asupan cairan dan serat, dan penggunaan pelunak tinja ataupun laksatif. Medikamentosa golongan prokinetik juga dapat membantu, termasuk penggunaan misoprostol (suatu analog prostaglandin), cisapride (agonis reseptor serotonin), ataupun tegaserod (untuk IBS dengan konstipasi).3,5,10
Untuk subtipe gangguan evakuasi feses atau disfungsi anorektal, tata laksana bergantung pada mekanisme yang mendasari (misalnya adanya disinergi otot dasar rongga panggul, penyakit Hirschprung, impaksi fekal, atau adanya sumbatan mekanik seperti rektokel, enterokel ataupun prolaps rektum). Untuk disinergi, pendekatan tata laksana adalah dengan modifikasi perilaku termasuk latihan penguatan otot-otot dasar rongga panggul dan otot rektosfingter melalui terapi neuromuskular, atau yang lebih dikenal dengan terapi biofeedback. Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan untuk kasus-kasus sumbatan mekanik ketika diduga hal ini sebagai penyebab keluhan pasien.6-8
Terapi Medikamentosa
Panduan dari American Gastroenterological Association (AGA) tahun 2013 tentang konstipasi menganjurkan peningkatan asupan serat secara bertahap dan atau penggunaan agen osmotik seperti larutan magnesium ataupun polyethylene glycol (PEG). Langkah penatalaksanaan selanjutnya adalah dengan penambahan laksatif stimulan seperti bisacodyl ataupun sediaan supositoria gliserol. Penggunaan laksatif sebaiknya diberikan dalam 30 menit setelah makan untuk menyelaraskan efek kerja obat ini dengan respons gastrokolon. Penggunaan obat baru seperti lubiprostone atau linaclotide dapat digunakan bila terapi laksatif tidak memberikan respons yang baik.3,4
Terapi biofeedback diketahui dapat memperbaiki gejala pada 70% pasien serta gangguan defekasi. Motivasi yang kuat dari pasien dan bantuan terapis, intensitas frekuensi latihan penguatan yang adekuat kontribusi dari psikolog dan ahli gizi, akan memberikan pengaruh terhadap kesuksesan terapi ini. Bagi pasien yang tidak menunjukkan kemajuan dengan terapi standar, mungkin memerlukan pemeriksaan lanjutan seperti manometri kolon atau uji barostat, meski mungkin terkendala pada ketersediaan fasilitas (lihat gambar 4).9
Latihan Penguatan Otot-otot Dasar Rongga Panggul
Terapi biofeedback dan latihan relaksasi diketahui telah banyak memberikan manfaat dan dapat mengurangi morbiditas. Terapi biofeedback dapat digunakan untuk melatih pasien agar merelaksasikan otot-otot dasar rongga panggul selama mengejan dan menyelaraskan antara relaksasi dan mendorong untuk mencapai defekasi yang efektif. Melalui proses pembelajaran ini, kontraksi otot-otot dasar rongga panggul akan mengalami relaksasi dan perlahan kordinasi di dalamnya akan menjadi normal. Biofeedback juga dapat memperbaiki koordinasi rekto-anal selama proses defekasi sehingga gejala konstipasi dapat membaik dan dapat mengurangi penggunaan laksatif.3,10
Gambar 4. Algoritma tata laksana konstipasi dengan gangguan defekasi.9
Terapi Pembedahan
Pada konstipasi dengan waktu transit yang lambat, apabila terapi empiris mengalami kegagalan, maka tindakan pembedahan seperti kolektomi total dengan anastomosis ileo-rektal dapat menjadi pertimbangan. Pasien harus dijelaskan bahwa prosedur ini bertujuan hanya untuk mengatasi gejala konstipasi, namun bukan berarti keluhan lain seperti nyeri perut tidak akan muncul lagi meskipun pola defekasi telah berjalan normal. Pada kasus dimana pasien mengalami perut kembung yang berat dan nyeri perut yang menyertai konstipasi transit lambat, venting ileostomy dapat membantu mengatasi kondisi ini, terutama jika sumber gejala diduga berasal dari usus halus atau kolon.3,4,9,10
KESIMPULAN
Dewasa ini, angka kejadian konstipasi mengalami peningkatan. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya perubahan gaya hidup, pola defekasi, komposisi diet masyarakat, dan adanya pengaruh faktor-faktor psikososial. Pengetahuan tentang fisiologi defekasi sangat penting untuk dapat memahami patofisiologi konstipasi baik konstipasi primer maupun sekunder. Konstipasi fungsional termasuk ke dalam konstipasi primer dimana tidak ditemukan adanya kelainan organik dan atau biokimiawi. Prinsip pendekatan tata laksana konstipasi adalah dengan menekankan pada etiologi dan patofisiologi yang terjadi. Secara umum, terapi empiris seperti modifikasi gaya hidup sehat, penggunaan medikamentosa, dan latihan penguatan otot-otot dasar rongga panggul dapat memperbaiki gangguan konstipasi yang terjadi. Apabila terapi empiris mengalami kegagalan atau pada kondisi dengan tanda bahaya, maka dapat dilakukan terapi pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
Simadibrata M, Makmun D, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A, editor. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia: konsensus nasional penatalaksanaan konstipasi di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2010. Ribas Y, Saldaňa E, Ragué JM, Clavé P. Prevalence and pathophysiology of functional constipation among women in Catalonia, Spain. Dis Colon Rectum 2011;54:1560–69.
Lindberg G, Hamid SS, Malfertheiner P, Thomsen OO, Fernandez LB, Garisch J, et al; World Gastroenterology Organisation. World Gastroenterology Organisation global guideline: Constipation--a global perspective. J Clin Gastroenterol 2011;45:483-7.
Tack J, Muller-Lissner S. Treatment of chronic constipation: Current pharmacologic approaches and future directions. Clin Gastroenterol Hepatol 2009;7:502-8.
Andrews CN, Storr M. The pathophysiology of chronic constipation. Can J Gastroenterol 2011;25:16B-21B.
He CL, Burgart L, Wang L, Pemberton J, Fadok TY, Szurszewski J, et al. Decreased interstitial cell of Cajal volume in patients with slow-transit constipation. Gastroenterology 2000;118:14-21.
Tzavella K, Riepl RL, Klauser AG, Voderholzer WA, Schindlbeck NE, Muller-Lissner SA. Decreased substance P levels in rectal biopsies from patients with slow transit constipation. Eur J Gastroenterol Hepatol 1996;8:1207-11.
Knowles CH, De Giorgio R, Kapur RP, Bruder E, Farrugia G, Geboes K, et al. The London Classification of gastrointestinal neuromuscular pathology: Report on behalf of the Gastro 2009 International Working Group. Gut 2010;59:882-7.
Rao SS. Biofeedback therapy for constipation in adults. Best Pract Res Clin Gastroenterol 2011; 25:159–66.
American Gastroenterological Association, Bharucha AE, Dorn SD, Lembo A, Pressman A. American gastroenterological association medical position statement on constipation. Gastroenterology 2013;144:211-7.
Sumber: Medicinus April 2019 vol. 32 issue 1