Modalitas Terapi Vitiligo pada Anak
Sumber: Medicinus Vol. 35 ISSUE 3, DECEMBER 2022
Nathania Amelinda, Endra Yustin Ellistasari, Indah Julianto
Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD dr. Moewardi/Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Abstrak
Vitiligo merupakan gangguan pigmentasi berupa bercak putih tidak berpigmen pada kulit dan rambut akibat hilangnya fungsi melanosit. Vitiligo pada anak umumnya berhubungan dengan penyakit autoimun lain dan memberikan efek gangguan kosmetik serta psikososial yang serius. Modalitas terapi vitiligo pada anak terdiri dari terapi topikal, fototerapi, terapi sistemik, dan pembedahan. Vitiligo pada anak memiliki prognosis yang relatif baik dibandingkan dengan pada orang dewasa. Repigmentasi pada kasus vitiligo anak umumnya terjadi secara spontan dan kasus relapse jarang sekali didapatkan.
Kata kunci: vitiligo, anak, autoimun, repigmentasi
Abstract
Vitiligo is a pigmentation disorder characterized by depigmented patches on skin and hair due to functional loss of melanocytes. Vitiligo in children is generally associated with other autoimmune diseases and has serious cosmetic and psychosocial impact. Treatment modalities for vitiligo in children consist of topical therapy, phototherapy, systemic therapy, and surgery. Vitiligo in children has a relatively good prognosis compared to adult cases. Repigmentation in childhood vitiligo usually happen spontaneously and relapses are rare.
Keywords: vitiligo, children, autoimmune, repigmentation
Pendahuluan
Vitiligo merupakan gangguan pigmentasi yang ditandai dengan bercak putih tidak berpigmen pada kulit dan rambut karena hilangnya fungsi melanosit. Vitiligo dapat terjadi pada dewasa maupun anak-anak. Kondisi ini menyebabkan efek gangguan kosmetik dan psikososial yang serius, dan lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki. Berbeda dengan vitiligo pada kelompok usia dewasa, vitiligo pada anak umumnya berhubungan dengan riwayat keluarga dan penyakit autoimun lain dengan insidensi sebesar 3,3-27,3%.[5] Vitiligo dapat disertai dengan keterlibatan sistemik sebagai salah satu tanda dari suatu sindrom maupun penyakit autoimun lain, seperti penyakit tiroid autoimun, kelainan endokrin, penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, penyakit kulit lain (alopesia areata, dermatitis atopik), serta kelainan hematologi (anemia hemolitika autoimun).[6]
Manifestasi vitiligo anak tidak jauh berbeda dengan vitiligo dewasa. Lesi vitiligo berupa makula atau patch depigmentasi berbatas tegas tanpa sisik dan rasa gatal. Vitiligo anak dibagi menjadi dua kategori berdasarkan distribusi lesi yang ditemukan, yaitu vitiligo segmental (VS) dan vitiligo nonsegmental (VNS). Vitiligo nonsegmental merupakan jenis vitiligo yang paling sering ditemukan pada anak-anak.[7]
Modalitas terapi vitiligo pada anak berbeda-beda dan tergantung pada masing-masing individu. Sampai saat ini belum terdapat terapi vitiligo yang mutlak memberikan hasil memuaskan dan kesembuhan total. Tujuan dari terapi adalah untuk menciptakan warna kulit yang seragam dengan mengembalikan warna (repigmentasi) atau menghilangkan warna yang tersisa (depigmentasi). Repigmentasi spontan sangat jarang ditemukan, di mana repigmentasi >50% hanya dilaporkan sebesar 2,4% dalam rentang waktu 6 bulan. Beberapa jenis vitiligo atau lesi di lokasi tertentu mungkin dapat lebih atau kurang responsif terhadap pengobatan. Vitiligo segmental dengan usia onset yang lebih muda dari 14 tahun telah dikaitkan dengan penyakit yang lebih resistan (refractory). Prinsip tata laksana vitiligo anak adalah penanganan segera untuk mencegah kehilangan melanosit yang luas.
Vitiligo anak memiliki prognosis yang relatif baik dibandingkan orang dewasa. Komplikasi yang terjadi pada vitiligo anak umumnya berupa gangguan psikis seperti gangguan cemas dan depresi akibat perundungan serta efek samping yang berasal dari terapi yang digunakan. Vitiligo pada anak seringkali menimbulkan kekhawatiran bagi pasien dan orang tua pasien. Klinisi direkomendasikan untuk memberikan penilaian mengenai efek psikososial dan kualitas hidup pasien anak dengan vitiligo. Tujuan penyusunan tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui pilihan modalitas terapi vitiligo anak sehingga klinisi dapat menentukan pilihan terapi yang tepat.[8],[9],[12]
Definisi Vitiligo
Vitiligo merupakan gangguan pada kulit berupa proses depigmentasi yang disebabkan oleh berbagai faktor dan bersifat diturunkan (inherited) maupun didapat (acquired) serta ditandai oleh penurunan fungsi melanosit yang bersifat progresif. Kelainan ini pertama kali ditemukan pada tahun 1765 oleh Claude-Nicolas Le Cat di Belanda, namun sudah tercatat sejak tahun 2.200 SM. Kata vitiligo berasal dari bahasa Latin “vitium” yang berarti defek atau cacat.[7] Vitiligo telah diidentifikasi dalam kitab suci Weda kuno India Atharda Veda, awalnya disebut dengan kilas, yang berasal dari bahasa Sansekerta kil yang berarti bercak putih.[2]
Epidemiologi
Prevalensi vitiligo dilaporkan sebesar 0,5-2% penduduk dunia, di mana sepertiganya muncul pada masa anak-anak. Insidensi terbanyak dilaporkan di India, diikuti Meksiko dan Jepang. Berdasarkan onsetnya, vitiligo pada anak dikelompokkan menjadi dua, yaitu vitiligo onset dini yang muncul kurang dari usia 12 tahun dan vitiligo onset lanjut yang muncul lebih dari usia 12 tahun.[8],[13],[14] Zhang, dkk. (2016) melaporkan bahwa vitiligo lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,3:1 karena adanya stigma sosial dan alasan kosmetik.[5]
Insidensi vitiligo umumnya muncul pada kelompok usia 0-19 tahun dan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Studi epidemiologi oleh Dwiyana, dkk. (2017) melaporkan bahwa sebanyak 29% pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung mengalami vitiligo saat berusia di bawah 10 tahun.[5] Hingga saat ini belum terdapat studi yang meneliti epidemiologi vitiligo anak di Indonesia.
Etiologi
Vitiligo pada anak umumnya disebabkan oleh beberapa faktor seperti proses autoimun, defisiensi faktor pertumbuhan melanosit, mekanisme apoptosis melanosit, dan gangguan genetik. Vitiligo merupakan kondisi yang dapat menurun di dalam keluarga. Anak yang memiliki riwayat keluarga menderita vitiligo memiliki risiko sebesar 6-8% untuk mengalami vitiligo. Studi epidemiologi vitiligo anak oleh Chauhan, dkk. (2020) di India menemukan bahwa hampir sebagian besar kasus vitiligo muncul setelah terjadinya trauma fisik. Riwayat pembedahan, penyakit autoimun, dan stres psikologis menjadi penyebab lain yang jarang ditemukan.
Patogenesis
Melanosit merupakan tempat pembentukan melanin yang banyak ditemukan di kulit, yaitu pada bagian matriks rambut dan lapisan basal epidermis kulit, semua membran mukosa, sistem uveal, epitel retina, dan pada pembuluh darah stria di dalam telinga. Melanin merupakan produk utama dari melanosit dan merupakan penentu perbedaan warna kulit. Melanin disintesis dalam dua bentuk utama, yaitu warna coklat-kehitaman (eumelanin) dan warna merah-kekuningan yang mengandung sulfur (feomelanin). Melanosit mengandung organel-organel sitoplasma yang disebut melanosom, tempat pembentukan melanin dan tirosin. Melanosom bermigrasi sepanjang dendrit dari melanosit kemudian ditransfer ke dalam keratinosit pada stratum spinosum. Pada tipe kulit Fitzpatrick I & II putih melanosom mengelompok bersama membentuk kompleks melanosom yang terikat membran dan secara bertahap berdegenerasi ketika keratinosit bergerak menuju permukaan kulit. Pada tipe kulit Fitzpatrick IV-VI, jumlah melanositnya sama dengan jumlah melanosit pada tipe kulit I & II, tetapi ukuran melanosomnya lebih besar, tetap terpisah, dan secara persisten memenuhi seluruh ketebalan epidermis. Stimulus utama bagi pembentukan melanin adalah radiasi UV.[15]
Patogenesis vitiligo berkaitan dengan proses yang berkaitan dengan penurunan jumlah melanosit. Teori-teori patogenesis vitiligo yang diyakini sampai saat ini meliputi teori genetik, biokimia, autoimun, neural, dan teori integrasi. Vitiligo selain dipengaruhi faktor internal yaitu genetik juga dipengaruhi faktor eksternal seperti paparan sinar matahari, kehamilan, stres, dan paparan komponen sitotoksik.[16],[17]
a. Faktor genetik
Pasien vitiligo yang memiliki riwayat keluhan serupa dalam keluarganya telah dilaporkan sebanyak 7-36% kasus. Teori keterlibatan faktor genetik didukung dengan adanya peningkatan risiko terjadinya vitiligo sebanyak 7-10 kali lipat pada generasi pertama dalam keluarga seperti orangtua, saudara dan anak.[18] Gen yang memiliki peran dalam patogenesis vitiligo adalah alel spesifik melanosit yaitu tyrosinase, melanocortin 1 receptor (MC1R), dan oculocutaneous albinism (OCA) 2; gen terkait stress yaitu X-box binding protein (XBP); gen terkait imunitas dapatan yaitu NOD-like receptor family, pyrin domain containing 1 (NLRP) 1, toll-like receptor adaptor molecule (TICAM) 1, interferon induced with helicase C domain 1 (IFIH1), serta imunitas adaptif yaitu human leukocyte antigen (HLA-A), granzyme B (GZMB), interleukin 2 receptor α (IL2RA). Polimorfisme gen yang berperan dalam pigmentasi seperti gen tyrosinase, tyrosinase-related protein (TRP) 1, TRP 2, dan OCA 2 meningkatkan risiko autoimun sehingga melanosit mudah mengalami kerusakan. Polimorfisme gen tyrosinase dan XBP 1 diketahui dapat meningkatkan respons stres melanosit pada pasien vitiligo.[8],[19]
b. Faktor stres oksidatif
Hipotesis stres oksidatif menandakan adanya ketidakseimbangan kondisi redoks, hal ini meningkatkan produksi dari reactive oxygen species (ROS) sehingga terjadi destruksi melanosit yang menimbulkan depigmentasi makula. Cytokine inflamasi yang menyebabkan produksi ROS yang tinggi antara lain tumor necrosis factor-α (TNF-α), basic fibroblast growth factor (bFGF), interleukin-6 (IL-6) dan IL-1. Cytokines tersebut menyebabkan akumulasi ROS di melanosit, sehingga memicu kerusakan melanosit dan produksi autoantigen melalui proses apoptosis, stres retikulum endoplasma atau autofagi.[20] Mitokondria merupakan organel sitoplamik yang berperan penting dalam homeostasis. Disregulasi fungsi dari mitokondria terlibat dalam beberapa penyakit khususnya kerusakan sel dan jaringan terkait stres oksidatif. Yi, dkk. (2019) melaporkan disregulasi mitokondrial berhubungan dengan destruksi melanosit yang diinduksi stres oksidatif pada vitiligo.[21]
c. Autoimun
Patogenesis vitiligo berupa destruksi melanosit atau apoptosis dipengaruhi oleh autoantibodi, imunitas bawaan, imunitas adaptif, dan cytokine inflamasi. Sel T CD 8+ merupakan efektor yang memicu destruksi melanosit jika jumlahnya bertambah, sedangkan berkurangnya sel T CD 8+ dapat mencegah destruksi melanosit.[22],[23] Autoantibodi juga berperan dalam regulasi destruksi melanosit. Antibodi antimelanosit immunoglobulin G memediasi produksi dari human leukocyte antigen-DR (HLA-DR), intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1) and IL-8 yang berperan dalam respons inflamasi dan destruksi melanosit. Antigen spesifik melanosit pada vitiligo, antara lain glycoprotein 100 (gp100), melanoma antigen recognized by T cells (MART-1), tyrosinase, and tyrosinase related proteins 1 dan 2. Pada vitiligo, antibodi diproduksi terhadap antigen melanosit dan dilepaskan selama proses destruksi melanosit aktif oleh imunitas seluler. Klarquist, dkk. (2016) melaporkan bahwa keratinosit merupakan sumber utama dari produksi chemokine dan ditemukan gangguan sinyal interferon-γ (IFN-γ) pada vitiligo sehingga selanjutnya dapat dikembangkan terapi dengan target terapi IFN-γ.[24],[25]
d. Teori neural
Teori neural dicetuskan pada tahun 1959 karena adanya temuan vitiligo segmental terbatas di sepanjang dermatom saraf dan menunjukkan gejala hiperhidrosis serta gangguan emosional berupa stres emosional dapat memicu onset vitiligo. Hipotesis dari teori neural adalah sekresi mediator neurokimia dari akhiran saraf tertentu yang sitotoksik terhadap melanosit. Disregulasi sistem saraf baik lokal maupun sistemik dapat merusak melanosit dan berefek pada produksi melanin. Abnormalitas dari sistem saraf autonom juga ditemukan pada lesi vitiligo berupa penurunan tonus parasimpatis dan peningkatan tonus adrenergik. Peningkatan jumlah neurotransmitter dapat menyebabkan toksisitas sel secara tidak langsung, terjadi hipoksia seluler melalui vasokonstriksi lokal diikuti oleh produksi hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh stres.[26]
e. Teori integrasi/konvergen
Pasien vitiligo memiliki gambaran klinis yang bervariasi dan menyatakan riwayat timbulnya penyakit yang berbeda-beda sehingga memunculkan teori lain yaitu teori integrasi/konvergen. Pada teori integrasi/konvergen ini menyatakan bahwa bahwa stres, faktor genetik, mutasi, infeksi, akumulasi senyawa beracun, berubahnya lingkungan seluler, autoimunitas, gangguan migrasi dan/atau proliferasi melanosit saling berintegrasi dalam patogenesis vitiligo. Vitiligo tampak seperti suatu kumpulan sindrom dengan etiologi multikausal daripada hanya sebuah penyakit tunggal (Gambar 1).[27]
Gambar 1. Patogenesis vitiligo. Teori integrasi/konvergen yaitu etiologi multikausal dari vitiligo yang saling berintegrasi, meliputi defek genetik, autoimun, defek sistem saraf, stres oksidatif, trauma, stres, infeksi, dan defek intrinsik.[26]
Manifestasi KlinisBerdasarkan onsetnya, vitiligo pada anak dikelompokkan menjadi 2, yaitu onset dini (kurang dari usia 12 tahun) dengan adanya halo naevi, fenomena Koebner, riwayat keluarga dengan vitiligo dan dermatitis atopik, serta onset lanjut (lebih dari usia 12 tahun) dengan lesi akrofasial dan riwayat penyakit tiroid. Vitiligo umumnya muncul tanpa disertai gejala seperti rasa gatal, namun pasien mengeluhkan munculnya lesi berwarna putih, tak bersisik, berupa makula atau patch dengan batas tegas yang tersebar secara segmental atau nonsegmental. Folikel rambut pasien vitiligo juga dapat mengalami depigmentasi, yakni disebut leukotrikia.[7],[8],[10] Vitiligo pada anak terbagi menjadi dua bentuk, yaitu segmental (VS) dan nonsegmental (VNS) (Gambar 2). Vitiligo nonsegmental terbagi menjadi dua, yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal meliputi patch yang ditemukan pada wilayah fokal, akral, akrofasial, akro-orofasial, mucosal dan bibir, serta ujung jari. Vitiligo vulgaris dan universal merupakan bagian dari vitiligo generalisata.[8],[9]
Gambar 2. Klasifikasi vitiligo menurut morfologi dan distribusi[5],[7]
Vitiligo vulgaris merupakan tipe yang paling sering ditemukan pada vitiligo anak, diikuti oleh vitiligo fokal dan VS. Insidensi vitiligo akro- fasial dan mukosal lebih rendah, sedangkan tipe paling jarang adalah vitiligo universal. Vitiligo fokal selanjutnya dapat berkembang menjadi generalisata. Pada vitiligo segmental area dermatom yang sering terkena adalah segmen trigeminal, kemudian torakal, servikal, lumbar, dan sakral dengan mayoritas berupa lesi tunggal. Pada anak-anak, area yang sering terkena vitiligo adalah area wajah dan leher. Lesi inisial VNS dimulai dari area periokular, perinasal atau perioral, perineum, perianal, dan area popok (bayi) kemudian lesi kulit tersebut meluas secara bertahap ke area tubuh lain dengan pola simetris. Lesi awal berupa makula akan membesar dengan pola geografis tertentu atau muncul dalam bentuk lesi baru di area lain, tapi mayoritas pada pasien anak dengan vitiligo keterlibatan luas permukaan tubuh <20% (Gambar 3).[28],[29]
Fenomena Koebner dapat ditemukan pada VNS dan VS. Pada VS, fenomena Koebner terbatas hanya pada segmen yang terlibat. Fenomena Koebner lebih sering ditemukan pada anak karena tingginya mobilitas dan aktivitas bermain. Keterlibatan kulit kepala juga dilaporkan sebanyak 25%. Leukotrikia adalah perubahan warna rambut menjadi keabu-abuan tanpa adanya dasar area vitiligo di bawahnya sebelum usia 30 tahun, di mana kondisi ini sering ditemukan pada anak dengan vitiligo atau pada anggota keluarganya. Poliosis adalah perubahan terlokalisasi warna rambut menjadi putih pada pada pasien vitiligo, khususnya VS sebanyak 48% dengan area tersering adalah alis mata.[30],[31]
Gambar 3. Manifestasi klinis vitiligo segmental. A. Regio fasial tampak makula dan patch depigmentasi sesuai dermatom atau pola quasi dermatom nonsegmental tanpa melewati midline. B. Regio perineum et perianal tampak patch depigmentasi. C. Regio digiti pedis tampak makula et patch depigmentasi (vitiligo akral). D. Regio fasial tampak makula et patch depigmentasi disertai leukotrikia (lingkaran merah).[31]
Vitiligo Terkait Sindrom dan Penyakit AutoimunVitiligo tidak hanya menargetkan kulit tapi berpotensi juga memicu terjadinya sindrom atau penyakit tertentu yang berhubungan dengan mekanisme autoimun. Thomas Addison pada tahun 1855 pertama kali melaporkan adanya hubungan antara insufisiensi adrenal dengan vitiligo, selanjutnya telah dilaporkan beberapa penyakit sistemik dengan patogenesis autoimun berhubungan secara signifikan dengan vitiligo. Sebanyak 10-15% pasien vitiligo dilaporkan juga memiliki penyakit autoimun. Vitiligo generalisata dan universalis dilaporkan sering disertai dengan komorbid penyakit autoimun baik pada pasien maupun anggota keluarga, sedangkan vitiligo lokalisata dilaporkan lebih jarang terkait dengan penyakit autoimun.[32-34]
Vitiligo bukan hanya penyakit yang disebabkan oleh kelainan melanosit di kulit. Melanosit berasal dari tabung neural dan tersebar di seluruh tubuh, antara lain pada kulit, folikel rambut, membran mukosa, leptomeninges, mata (traktus uveus dan epitel retina), telinga bagian dalam (koklea, sistem vestibular), dan adiposit. Kelainan melanosit pada mata dan telinga biasanya tidak memberikan tanda relevan untuk klinisi, namun jika didapatkan keterlibatan dalam terhadap vitiligo perlu diwaspadai adanya keterlibatan sistemik. Vitiligo yang disertai perubahan pigmen pada fundus retina menandakan adanya keterlibatan penyakit okular dan gejala sistemik dengan leptomeningeal dan sel pigmen telinga seperti pada penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, birdshot retinopathy, opthalmia simpatis, dan vitiligo yang berkaitan dengan melanoma.[33],[35]
Vitiligo sering dikaitkan dengan penyakit autoimun terkait tiroid, baik hipertiroid atau hipotiroid, penyakit Grave, dan penyakit Hashimoto. Iacovelli, dkk. (2005) melaporkan dari 121 pasien vitiligo anak, 100 anak termasuk dalam VNS dan sebanyak 16% memiliki perubahan parameter tiroid (thyroid stimulating hormones [TSH], tiroksin [FT4], triiodotironin [FT3], antitiroid autoantibodi [anti-TPO Ab], dan antitiroglobulin antibodi [anti-TG Ab]), sedangkan 21 anak dengan VS tidak didapatkan adanya perubahan parameter fungsi tiroid. Berdasarkan hasil tersebut pasien dengan peningkatan autoantibodi, hormonal, dan echografi dianggap memiliki penyakit tiroiditis autoimun. Pemeriksaan penyakit tiroid pasien vitiligo dewasa termasuk dalam pemeriksaan screening rutin, namun pada vitiligo anak karena masih terbatasnya data hubungan antara penyakit tiroiditis autoimun belum ada pedoman mengenai hal ini.[36]
Diagnosis BandingDiagnosis banding vitiligo terdiri atas depigmentasi kongenital, hipopigmentasi pascainflamasi, infeksi, keganasan, dan kelainan genetik lainnya (Tabel 1). Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah patch hipopigmentasi yang muncul diwariskan atau tidak. Jika lesi didapatkan sejak lahir perlu disingkirkan kemungkinan hipomelanosis yang diwariskan atau diinduksi secara genetik, antara lain seperti piebaldisme dan tuberous sklerosis. Diagnosis banding lesi yang tidak diturunkan secara genetik yaitu pitiriasis versikolor dan hipopigmentasi pascainflamasi.[37]
Albino atau oculocutaneous albinism (OCA) merupakan kelainan kulit yang bersifat menurun secara autosomal resesif yang disebabkan oleh hilang atau menurunnya biosintesis melanin dalam melanosit. Albino disebabkan oleh gangguan pada gen OCA yang terdiri atas OCA 1 hingga 7. Gangguan melanosit pada pasien albino berada dalam jumlah yang normal sehingga membedakan dengan vitiligo. Pasien albino umumnya memiliki gejala tambahan pada mata seperti fotofobia, fotodisforia, gangguan refraksi mata, dan strabismus. Depigmentasi pasien albino terjadi secara menyeluruh pada kulit, rambut dan mata (Gambar 4). Pemeriksaan histopatologi pasien albino tidak menunjukkan adanya defek.[8],[38],[39]
Tabel 1. Diagnosis Banding Vitiligo Anak[9]
Gambar 4. Manifestasi klinis albino pada anak. Tampak depigmentasi secara menyeluruh pada kulit, rambut, dan mata.[39]
Piebaldisme merupakan kelainan kulit yang menurun secara autosomal dominan yang disebabkan mutasi gen c-Kit sehingga terdapat gangguan proliferasi, migrasi dan diferensiasi melanoblast. Depigmentasi khas pada piebaldisme terdapat pada rambut bagian depan dan dahi bagian tengah. Gejala depigmentasi piebaldisme umumnya hanya terjadi pada kulit dan tidak disertai gejala lainnya.[40] Perbedaan piebaldisme dengan vitiligo terdapat pada manifestasi klinis yang dimiliki, di mana pada pasien piebaldisme umumnya ditemukan makula hiperpigmentasi di dalam patch depigmentasi (Gambar 5). Piebaldisme merupakan kelainan yang muncul sejak lahir sementara vitiligo merupakan penyakit yang didapat (acquired).[41],[42]
Gambar 5. Manifestasi klinis piebaldisme pada anak tampak makula hiperpigmentasi di dalam patch depigmentasi.[41]
Sindrom Waardenburg (SW) merupakan kelainan depigmentasi yang disertai gangguan pendengaran dengan insidensi di bawah 0,1% dari seluruh penduduk dunia. Perbedaan vitiligo dengan SW terdapat pada gejala yang timbul. Sindrom Waardenburg terdiri atas empat bentuk, yakni SW 1 hingga 4. Diagnosis SW 1 dapat ditegakkan secara klinis apabila ditemukan 2 kriteria mayor dan 1 kriteria minor dari kriteria diagnosis sindrom Waardenburg. Kriteria mayor SW yaitu tuli sensorineural kongenital, rambut di atas dahi yang berwarna putih (white forelock), kelainan pigmen iris, distopia kantorum dan adanya riwayat keluarga dengan SW (Gambar 6). Kriteria minor SW meliputi hipopigmentasi kulit, synophrys, bagian dasar hidung yang lebar atau tinggi atau columella hidung yang rendah, hipoplasia cuping hidung, atau munculnya rambut berwarna abu-abu di bawah usia 30 tahun. Sindrom Waardenburg dapat disertai dengan tanda lain seperti tidak didapatkannya distopia kantorum yang menandakan SW 2, adanya kelainan muskuloskeletal yang merupakan tanda SW 3 dan megakolon aganglionik yang disebut sebagai SW 4.[40]
Psoriasis merupakan penyakit autoimun yang disebabkan proses inflamasi kronis yang diperantarai oleh sel T helper 1 (Th1). Penyakit ini berhubungan dengan gen human leucocyte antigen (HLA)-B dan HLA-C serta cenderung menurun dalam keluarga. Manifestasi klinis klasik psoriasis adalah plak eritematosa berbatas tegas yang disertai skuama berlapis. Pasien psoriasis umumnya mengeluhkan gejala berupa gatal dan munculnya lesi pada daerah yang sebelumnya mengalami trauma atau luka. Lesi psoriasis dapat muncul bersamaan dengan terjadinya vitiligo. Pasien dengan kelainan psoriasis dapat memiliki lesi berupa patch hipopigmentasi yang muncul setelah lesi psoriasis mengalami penyembuhan (Gambar 7).[40],[44]
Gambar 6. Manifestasi klinis sindrom Waardenburg tampak white forelock dan anomali pigmentasi pada iris.[40]
Gambar 7. Pasien psoriasis dengan lesi yang mengalami hipopigmentasi pascainflamasi44
Pityriasis alba adalah bentuk ringan dari dermatitis atopik yang umum terjadi pada daerah kepala, leher dan lengan atas. Kelainan kulit ini sering ditemukan pada anak-anak berusia 3-16 tahun dan biasanya berkaitan dengan riwayat atopik. Penyebab pityriasis alba umumnya berupa paparan sinar UV. Pityriasis alba ditandai oleh plak berskuama kering berwarna putih dengan batas tidak tegas yang terletak pada daerah yang sering terpapar sinar matahari (Gambar 8). Skuama pada pasien pityriasis alba terkadang tidak dapat ditemukan sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Pemeriksaan histologi pityriasis alba dapat menunjukkan hiperkeratosis, spongiosis, akantosis, dan infiltrasi limfosit. Patogenesis pityriasis alba dan vitiligo sama-sama berkaitan dengan faktor genetik dan inflamasi yang disebabkan oleh ROS.[41],[42],[43]
Gambar 8. Pasien anak dengan pityriasis alba pada pipi kiri tampak patch hipopigmentasi[42]
Tinea versicolor disebabkan oleh ragi jamur Malassezia furfur (M. furfur) pada kulit yang menimbulkan tanda berupa makula hipopigmentasi berbentuk oval dengan batas tegas yang dapat disertai skuama halus (Gambar 9). Anak-anak merupakan kelompok usia yang rentan mengalami infeksi kulit ini. Lesi tinea versicolor umumnya tersebar secara simetris dan terletak pada daerah tubuh bagian atas, bahu, daerah lipatan, wajah dan leher. Metabolit azelaic acid M. furfur menghambat tyrosinase sehingga menimbulkan gejala hipopigmentasi.[6],[44]
Pemeriksaan lampu Wood dapat digunakan untuk membedakan tinea versikolor dengan vitiligo. Lesi kulit pasien tinea versikolor akan berpendar dengan warna hijau-kekuningan, sementara pada pasien vitiligo tidak didapatkan fluoresensi.[46]
Gambar 9. Pityriasis versicolor pada daerah punggung tampak makula dan patch hipopigmentasi[41]
DiagnosisDiagnosis vitiligo pada anak dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pasien berupa makula depigmentasi, leukotrikia, dan fenomena Koebner.[6] Persebaran lesi vitiligo pada anak berbeda dengan pasien dewasa. Studi epidemiologi di Mesir oleh El-Husseiny, dkk. (2019) yang melibatkan 483 pasien vitiligo dari usia anak hingga dewasa melaporkan bahwa vitiligo pada anak umumnya terjadi pada area periokular dan sekitar wajah.[48] Distribusi lesi vitiligo pada pasien dewasa lebih sering ditemukan pada area dada dan abdomen, sedangkan leukotrikia atau poliosis dan fenomena Koebner merupakan tanda klinis yang umum ditemukan pada pasien vitiligo anak. Tanda lainnya yang dapat menunjukkan vitiligo pada anak adalah halo naevi, di mana temuan halo naevi berkaitan dengan vitiligo generalisata. Pasien vitiligo umumnya memiliki riwayat vitiligo atau penyakit autoimun dalam keluarga. Insidensi menurunnya vitiligo dalam keluarga adalah sebesar 3-46%.[4],[49]
Derajat keparahan vitiligo dapat dinilai berdasarkan luas keterlibatan permukaan kulit. Rules of nine oleh Wallace merupakan metode yang sering digunakan untuk menilai keterlibatan area pada vitiligo. Metode lain yang juga dapat digunakan yaitu planimetri digital dan fotografi digital dengan planimetri komputerisasi (Gambar 10). Derajat keparahan juga dinilai berdasarkan lokasi, seperti pada wajah, area genital dan dada termasuk area dengan derajat keparahan vitiligo yang tinggi.[50]
Gambar 10. Penilaian derajat keparahan vitiligo. A. Rules of nine oleh Wallace untuk menilai keterlibatan area pada vitiligo. B. Planimetri digital untuk mengukur luas lesi vitiligo.[50]
Lampu Wood merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat membedakan diagnosis vitiligo dari penyakit lainnya seperti pityriasis alba. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengarahkan sinar UV dengan panjang gelombang 360 nm pada lesi selama 60 detik di ruangan yang gelap. Jarak antara lesi dengan lampu Wood adalah 10-30 cm. Hasil pemeriksaan lampu Wood pada pasien vitiligo berupa gambaran daerah yang lebih terang dibandingkan daerah sekitarnya namun bukan berupa fluoresensi (Gambar 11). Pemeriksaan lampu Wood juga dapat digunakan untuk menilai kemajuan repigmentasi setelah terapi dengan graft.[47],[51]
Gambar 11. Hasil pemeriksaan lampu Wood pada pasien vitiligo yang menunjukkan makula depigmentasi[40]
Pemeriksaan dermoskopi merupakan prosedur noninvasif yang berguna dalam membedakan vitiligo dengan kelainan hipopigmentasi atau depigmentasi lain, untuk menentukan stabilitas lesi vitiligo, evaluasi terapi, dan menentukan prognosis terapi. Pola dermoskopi vitiligo dapat berupa pola trichrome (tiga warna), pola pigmentasi retikular, pigmentasi perifolikular, pigmentasi “salt and pepper”, pola starburst, pola polkadot, gambaran starburst, gambaran ekor komet, hiperpigmentasi marginal, reversed pigmentary network, dan leukotrikia. Tidak ditemukannya jaringan pigmen juga dapat ditemukan pada pasien vitiligo. Lesi satelit di sekitar lesi plakat vitiligo dapat memberikan gambaran seperti sago tapioka yang muncul pada dermatoskopi pasien vitiligo (Gambar 12).
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan mengingat vitiligo merupakan penyakit yang sering disertai kelainan autoimun lainnya. Vitiligo pada anak dapat disertai kondisi seperti diabetes tipe I, tiroiditis autoimun, lupus, rheumatoid arthritis (RA), dan inflammatory bowel disease (IBD). Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah T3, T4, TSH, anti-TPO, dan gula darah. Koinsidensi terjadinya vitiligo dengan gangguan autoimun lainnya sangat rendah sehingga pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan bila pasien menunjukkan gejala.[6],[42] Biopsi dan pemeriksaan histopatologi pasien vitiligo menunjukkan hilangnya melanosit pada membran basalis disertai degenerasi saraf, kelenjar sebasea, dan folikel rambut. Pengecatan imunohistokimia dengan Melan-A untuk analisis ekspresi dari melanosit dan pengecatan dengan Fontana-Masson untuk analisis ekspresi dari melanin (Gambar 12).[52]
Gambar 12. Gambaran dermoskopi vitiligo. A. Pola trichrome: kulit normal (panah merah), zona hipopigmentasi (panah biru), zona depigmentasi (panah kuning), leukotrikia (bintang merah). B. Reduced pigmentary network (panah hijau). C. Pigmentasi retikular (lingkaran hitam). D. Pigmentasi perifolikular dan hiperpigmentasi marginal (panah hitam)[52]
Gambar 13. Gambaran histopatologi pada lapisan epidermis menunjukkan hilangnya melanosit di membrana basalis (lingkaran hitam). (H&E, 400x)44
Tata Laksana Vitiligo
Terdapat sedikit perbedaan dalam menentukan terapi vitiligo anak dan dewasa disebabkan tuntutan secara estetik terutama dari keluarga dengan riwayat vitiligo. Pasien vitiligo anak belum dapat memutuskan sendiri terapi yang akan diperoleh, sehingga keputusan berdasarkan keinginan orang tua pasien. Orang tua pasien sering masih dalam fase penolakan terhadap penyakit anaknya sehingga menolak terapi yang disarankan atau orang tua ingin anak yang “sempurna” sehingga memaksakan terapi yang agresif. Dalam hal ini klinisi dapat bersikap lebih persuasif dan memberikan edukasi yang baik mengenai prinsip tata laksana vitiligo kepada pasien dan orang tuanya.[53]
Tujuan dari tata laksana vitiligo adalah untuk menciptakan warna kulit yang seragam dengan mengembalikan warna (repigmentasi) atau menghilangkan warna yang tersisa (depigmentasi). Prinsip tata laksana vitiligo anak adalah memberikan intervensi segera untuk mencegah hilangnya melanosit yang luas. Terdapat beberapa pertimbangan sebelum memberikan terapi vitiligo pada anak, umumnya berdasarkan usia, risiko efek samping terapi, dan kekhawatiran terapi dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, namun hal tersebut belum terbukti secara keilmuan. Pemilihan modalitas terapi perlu ditentukan secara saksama dengan mempertimbangkan efikasi dan toleransi terhadap efek samping modalitas terapi yang akan diberikan.[54]
Penatalaksanaan vitiligo tergantung pada jenis lesi vitiligo, lokasi dan stabilitas penyakit. Pilihan terapi vitiligo dapat berupa terapi topikal, fototerapi, terapi sistemik, pembedahan, dan beberapa terapi altenatif yang sedang dikembangkan. Terapi awal yang diberikan pada pasien vitiligo anak adalah terapi topikal. Keputusan untuk memulai fototerapi jika tidak didapatkan respons terapi pada pemberian topikal dan pasien dapat mengikuti instruksi saat fototerapi. Hingga saat ini belum ada terapi tunggal yang dapat memberikan hasil repigmentasi sempurna, sehingga direkomendasikan pemberian terapi kombinasi pada pasien vitiligo anak. Algoritma penatalaksanaan vitiligo pada anak dapat dilihat pada Gambar 14.[7]
Gambar 14. Algoritma tata laksana vitiligo pada anak (BSA: body surface area; NB-UVB: narrow band-ultraviolet B)
Metode pengobatan yang dapat digunakan untuk vitiligo pada anak meliputi:
a. Terapi topikalTerapi topikal merupakan lini pertama pilihan terapi vitiligo pada anak. Terapi topikal dapat diberikan pada lesi dengan keterlibatan <20% luas permukaan kulit atau dikombinasikan dengan modalitas terapi lain seperti fototerapi jika luas lesi >20% permukaan kulit. Obat topikal yang sering digunakan pada vitiligo, yaitu corticosteroid topikal, inhibitor calcineurin topikal, dan vitamin D topikal. Area predileksi lesi merupakan salah satu pertimbangan dalam memilih terapi topikal.
1. Corticosteroid topikalCorticosteroid topikal bekerja dengan memengaruhi semua sel yang terlibat dalam inflamasi, termasuk sel Langerhans epidermal. Pada vitiligo terjadi penurunan jumlah dan reseptor seluler antigen presenting cell (APC) yang berperan dalam inisiasi respons imunitas nonspesifik serta penurunan aktivitas sel natural killer (NK). Corticosteroid topikal menginduksi lipocortin yang menghambat phospholipase A2 dan pembebasan permukaan sel dari platelet-activating factor (PAF) dan arachidonic acid serta mediator inflamasi.[55] Reseptor glucocorticoid memberikan efek antiinflamasi dan imunosupresi dengan pengurangan jumlah sel Langerhans yang menyajikan antigen epidermal dan limfosit yang menyebabkan penurunan toksisitas seluler yang bergantung pada antibodi. Corticosteroid topikal pada tahap selanjutnya akan mengurangi sintesis dan sekresi IL-1, IL-2, IFN-γ, dan TNF-α sehingga menekan aktivitas vitiligo. Pasien dengan fenomena Koebner positif yang menandakan vitiligo aktif merespons lebih baik secara signifikan terhadap pemberian corticosteroid topikal.[56] Corticosteroid topikal tidak direkomendasikan penggunaannya pada area wajah, genital dan lipatan. Corticosteroid topikal yang direkomendasikan pada vitiligo anak adalah corticosteroid potensi sedang (mometasone furoate 0,1%) yang dapat digunakan dengan skema terputus (1 minggu terapi kemudian 1 minggu dihentikan, selama 6 bulan) untuk menghindari efek samping lokal, seperti atrofi kulit, telangiektasis, hipertrikosis, erupsi akneiformis, dan striae).[57]
2. Inhibitor calcineurin topikalInhibitor calcineurin topikal seperti tacrolimus 0,1%, tacrolimus 0,03%; dan pimecrolimus 1% bekerja dengan menghambat diferensiasi sel T dan menghambat produksi cytokine inflamasi dari Th1 dan Th2 (IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-10, GM-CSF, TNF-α, dan IFN-γ) sehingga terjadi efek imunosupresi. Inhibitor calcineurin juga dapat memicu migrasi melanosit dan produksi pigmentasi kulit. Inhibitor calcineurin topikal merupakan steroid-sparing agent yang dapat digunakan pada area wajah, genital dan area lipatan pada kasus vitiligo.[58] Tacrolimus 0,03% topikal direkomendasikan untuk anak berusia 2-15 tahun, sedangkan sediaan tacrolimus 0,1% digunakan untuk pasien berusia lebih dari 16 tahun. Tacrolimus topikal lebih efektif untuk anak usia kurang dari 5 tahun dengan lesi di area kepala dan wajah (vitiligo segmental area fasial) serta pada pasien dengan tipe kulit Fitzpatrick tipe II -IV, namun dilaporkan kurang efektif pada lesi akral dan pasien dewasa. Pada anak berusia 2-15 tahun disarankan penggunaan tacrolimus 0,03% sebanyak 2 kali sehari minimal selama 3 bulan untuk mencapai efek repigmentasi. Tipe repigmentasi setelah pemberian tacrolimus adalah tipe difus.[58],[59] Pimecrolimus adalah antibiotik makrolaktam (macrolide lactam) dengan struktur menyerupai tacrolimus. Struktur pimecrolimus lebih lipofilik dibandingkan dengan tacrolimus dan berikatan kuat secara spesifik dengan makrofilin 12 serta berfungsi sebagai inhibitor calcineurin. Pimecrolimus dapat menembus stratum korneum karena memiliki berat molekul rendah dan tersedia dalam bentuk sediaan krim sehingga secara kosmetik lebih diterima pemakaiannya oleh pasien. Mayoral, dkk. (2003) pertama kali melaporkan kasus vitiligo yang mengalami repigmentasi dengan terapi pimecrolimus, khususnya vitiligo pada area wajah, leher, periokular dan genital. Hal ini disebabkan karena pada area-area tersebut mengandung banyak melanosit karena memiliki folikel rambut yang padat. Pimecrolimus digunakan dua kali sehari. Secara umum efek samping pimecrolimus berupa iritasi ringan dapat ditoleransi dengan baik karena dapat membaik spontan setelah beberapa hari.[60],[61] Efek samping dari inhibitor calcineurin topikal antara lain iritasi, pruritus, sensasi terbakar, dan eritema. Efek samping sistemik tackrolimus yang diberikan secara oral atau intravena adalah kanker kulit nonmelanoma dan limfoma, sehingga dikhawatirkan hal yang serupa dapat terjadi pada pemberian tacrolimus topikal jika terjadi absorpsi. Beberapa penelitian melaporkan efek menunjukkan bahwa pemberian tacrolimus topikal menghasilkan absorpsi sistemik yang sangat rendah. Margolis, dkk. (2015) di Amerika merekomendasikan untuk tidak memberikan inhibitor calcineurin topikal pada anak berusia kurang dari 2 tahun karena dilaporkan dapat meningkatkan risiko keganasan. Tacrolimus dapat dikombinasikan dengan pemberian vitamin D topikal atau fototerapi dapat untuk meningkatkan efek penyembuhan.[7]
3. Vitamin D topikalPasien vitiligo pada anak dapat diberikan terapi dengan vitamin D topikal seperti calcipotriene atau tacalcitol, terutama pada lesi di wajah dan leher. Pemberian vitamin D topikal dapat menekan aktivitas autoimun yang diperantarai sel T, serta menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi dari keratinosit dan melanosit. Vitamin D juga meningkatkan ukuran melanosit dan kadar tyrosinase sehingga mendorong repigmentasi. Derajat repigmentasi yang dihasilkan vitamin D topikal berkisar antara 41-100%. Pemberian calcipotriene sebagai monoterapi dilaporkan kurang efektif dalam terapi vitiligo. Pemberian vitamin D topikal dianjurkan untuk dikombinasikan dengan vitamin D oral, inhibitor calcineurin topikal, dan paparan sinar matahari selama 10-15 menit atau fototerapi NB-UVB.[9-11] Calcipotriol/calcipotriene adalah analog vitamin D3 sintetis, umumnya dikombinasikan pemakaiannya dengan agen steroid topikal untuk mengurangi efek samping steroid topikal. Dosis maksimum per minggu adalah 100 g menggunakan sediaan kombinasi calcipotriene 0,005% dan betametasone propionate 0,05% untuk lesi kurang dari 30% area permukaan kulit, dengan durasi maksimal 4 minggu untuk sediaan salep dan 8 minggu untuk sediaan krim atau solusio. Efek samping calcipotriene atau tacalcitol yang pernah dilaporkan adalah iritasi kulit, hal ini yang mengakibatkan kurangnya kepatuhan terapi khususnya pada pasien anak. Pemberian calcipotriene satu kali per hari dikombinasikan dengan corticosteroid potensi sedang memberikan hasil yang baik pada lesi vitiligo fasial dan mengurangi atrofi kulit terkait corticosteroid.[62],[63]
b. Fototerapi dan terapi kombinasiModalitas fototerapi sering digunakan untuk terapi vitiligo pada anak, yaitu narrow band-ultraviolet B (NB-UVB), psoralen and ultraviolet A (PUVA), kombinasi UVA1 dan UVB serta laser eksimer 308 nm. Fototerapi bekerja dengan cara merekrut melanosit dari selubung akar luar folikel rambut. Repigmentasi dimulai dengan aktivasi dan proliferasi melanosit, diikuti oleh migrasi ke atas pada lapisan epidermis terdekat untuk menghasilkan pigmentasi perifolikular dan migrasi ke bawah menuju matriks rambut untuk menghasilkan melanin.[64]
1. Psoralen and ultraviolet A (PUVA)PUVA bekerja dengan merangsang selubung akar luar melanosit untuk bermigrasi ke epidermis. Pada terapi PUVA, migrasi terjadi akibat pelepasan cytokine dan mediator inflamasi dari keratinosit terdekat. Studi menunjukkan bahwa pengobatan PUVA menghasilkan pelepasan growth factor ke dalam sirkulasi darah yang dapat merangsang proliferasi melanosit dan sel-sel lainnya.[64],[65]
Terapi PUVA terdiri dari oral dan topikal. Terapi oral PUVA dengan pemberian 8-methoxypsoralen, 5-methoxypsoralen, atau 4,5,8-trimethylpsoralen 2 jam sebelum pemaparan dengan UVA, kemudian dipaparkan UVA (panjang gelombang 320-400 nm) yang dilakukan 2-3 kali per minggu. Terapi ini tidak disarankan untuk anak usia <12 tahun. Terapi PUVA topikal dilakukan dengan mengoleskan 0,1–0,01% 8-methoxypsoralen dalam petrolatum hidrofilik atau etanol pada lesi vitiligo kemudian dipaparkan dengan UVA 0,12-0,25 J/cm2 dilakukan 1-3 kali per minggu dengan peningkatan dosis hingga muncul eritema. Efek samping jangka pendek berupa eritema, pruritus, xerosis, dan reaksi fototoksik, sedangkan efek samping jangka panjang berupa gangguan aktinik kronis dan karsinogenesis.[66]
Fototerapi dengan PUVA awalnya merupakan terapi utama vitiligo pada anak, terutama pada lesi di wajah, dada, lengan dan kaki. Terapi PUVA tidak memberikan efek terapi yang maksimal untuk vitiligo pada bagian tubuh dengan jumlah folikel rambut yang sedikit. Anak- anak sering kali tidak dapat menoleransi psoralen oral, hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat memenuhi beberapa kriteria seperti menggunakan kacamata pelindung, menghindari paparan sinar matahari selama 24 jam pertama setelah terapi, dan kemampuan untuk berdiri dalam ruangan fototerapi dalam jangka waktu tertentu. Penggunaan PUVA saat ini telah digantikan dengan NB-UVB karena efek repigmentasi yang lebih baik dari NB-UVB dan meningkatnya risiko keganasan sebagai efek samping PUVA pada anak.[67]
2. Narrowband-ultraviolet B (NB-UVB)Fototerapi NB-UVB dengan panjang gelombang 311 nm merupakan pilihan lain yang dapat diberikan pada orang dewasa maupun anak- anak dengan vitiligo. Mekanisme aksi NB–UVB dalam repigmentasi masih belum diketahui dengan jelas. Lesi vitiligo yang diobati dengan NB-UVB menunjukkan repigmentasi dengan pola perifolikular dan repigmentasi tidak terlihat pada lesi dengan rambut amelanotik. NB-UVB juga merangsang melanosit di selubung akar luar folikel rambut. Metode fototerapi ini memberikan efek yang lebih baik pada individu berkulit hitam dan efektif mengatasi vitiligo pada daerah wajah dan leher.[3],[65] Dosis awal NB-UVB pada anak tidak berbeda dengan dewasa yaitu sebesar 200 mJ/cm2, ditingkatkan 10-20% berdasarkan respons klinis pasien sebanyak tiga kali seminggu dengan dosis maksimal terapi 1500 mJ/cm2 untuk area wajah dan 3000 mJ/cm2 area badan. Studi metaanalisis dan telaah sistematis oleh Bae, dkk. (2017) melaporkan bahwa efek terapi NB-UVB dapat muncul 3 bulan sejak terapi dimulai. Efektivitas maksimal terapi NB-UVB dapat muncul setelah paparan selama 12 bulan. Hasil studi ini juga menemukan bahwa terapi NB-UVB memberikan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan PUVA. Terapi ini sering dikombinasikan dengan golongan inhibitor calcineurin topikal namun penggunaannya harus disertai dengan pengawasan khususnya pada anak-anak. Kombinasi NB-UVB dengan inhibitor methoxyspsoralen memiliki kemungkinan kecil untuk memicu keganasan kulit,[68] Kanwar, dkk. (2005) melaporkan adanya risiko keganasan setelah pemberian fototerapi NB-UVB pada dewasa. Pada pasien anak data jangka panjang mengenai keamanan dan dosis kumulatif yang tepat masih terbatas. Rekomendasi NB- UVB pada anak dapat diberikan hingga 12 bulan dan jika setelah terapi selama 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan klinis maka terapi dapat dihentikan. Fototerapi NB-UVB masih menjadi tantangan bagi pasien anak karena pasien anak kesulitan untuk berdiri dalam ruang fototerapi dalam jangka waktu tertentu dan menggunakan pelindung untuk mata atau genital.[69] Perbaikan lesi vitiligo untuk menilai respons terapi NB-UVB dapat dievaluasi dengan vitiligo area severity index (VASI) yang ditemukan oleh Hamzavi dkk. (2004), yang membagi tubuh menjadi 5 segmen, yaitu tangan, ekstremitas superior, trunkus, ekstremitas inferior, dan kaki. Setiap unit tangan, contohnya telapak tangan atau bagian volar lengan sekitar 1% dari luas permukaan kulit. Area lesi yang terlibat dihitung pada tiap segmen dengan satuan unit tangan tersebut. Depigmentasi residual dihitung dengan persentase sebagai berikut: 100% depigmentasi, tanpa repigmentasi; 90% terdapat bintik-bintik pigmentasi; 75% area depigmentasi melebihi area pigmentasi; 50% area depigmentasi sama dengan area pigmentasi; 25% area pigmentasi melebihi area depigmentasi; dan 10% hanya sedikit bintik-bintik depigmentasi yang tampak.70 Respons terapi NB-UVB dinilai dengan area repigmentasi, diklasifikasikan sebagai repigmentasi sangat baik (>75%), sedang (50-75%), dan ringan (<50%). Berdasarkan repigmentasi yang dihasilkan dengan fototerapi, NB-UVB merupakan pilihan terapi yang relatif aman dan efektif khususnya pada NVS dengan repigmentasi sangat baik sebesar 45,4%.[71]
2. Laser eksimerTerapi laser eksimer adalah pilihan terapi yang aman dan efektif pada kasus vitiligo dewasa dan anak-anak. Kombinasi cahaya eksimer monokromatik dengan gas klorida xenon memancarkan cahaya dengan panjang gelombang 308 nm. Laser eksimer memancarkan cahaya berdenyut, monokromatik, dan koheren. Pemakaian laser eksimer untuk pengobatan vitiligo telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA). Laser dapat digunakan untuk memicu produksi pigmen terutama di area situs yang resistan dengan terapi lain.[72] Indikasi untuk terapi laser yang ditargetkan antara lain pada kasus vitiligo segmental dan nonsegmental lokal, vitiligo pada anak, lesi kecil dari onset terbaru, area yang sulit diterapi (lutut, siku dan kulit kepala) dan area anatomi yang resistan (ujung jari dan penonjolan tulang). Terapi laser eksimer dapat dikombinasikan dengan modalitas terapi lain untuk meningkatkan efek terapi. Pada VS yang tidak merespons baik pemberian laser eksimer dapat dikombinasikan dengan tindakan graft. Laser juga dapat digunakan untuk mencapai depigmentasi pada pigmen residual pada kasus vitiligo universal.[72],[73] Efek samping dari laser eksimer berupa efek lokal seperti rasa terbakar dan iritasi. Modalitas terapi ini bermanfaat bagi anak-anak karena umumnya anak-anak menderita vitiligo segmental dan lebih diterima karena anak- anak cenderung rentan mengalami claustrophobia dari ruangan fototerapi.[71]
a. Terapi sistemik1. Corticosteroid oralObat-obatan immunosupressant dan psoralen oral jarang diberikan pada vitiligo anak. Corticosteroid diberikan pada pasien anak dalam bentuk sediaan oral memberikan hasil yang baik, namun dapat menyebabkan efek samping menetap berupa sindrom Cushing dan penutupan prematur dari epifisis yang menyebabkan pertumbuhan terhambat. Majid, dkk. (2009) melaporkan pemberian corticosteroid oral dosis rendah dapat mengurangi efek samping dengan dosis dexamethasone 0,1 mg/kgBB atau methylprednisolone 0,5-0,8 mg/kgBB.74 Anak dengan vitiligo yang bersifat progresif dapat menerima terapi corticosteroid oral dosis rendah seperti betametasone dan methylprednisolone. Dosis yang diberikan adalah betametasone/dexamethasone 5 mg oral (dexamethasone 5 mg dosis tunggal atau 2,5 mg dua hari berturut-turut tiap bulan) kemudian ditingkatkan dosisnya 7,5 mg/hari jika kurang efektif dan diturunkan kembali menjadi 5 mg/hari setelah progresivitas penyakit terkontrol. Terapi ini dipertahankan hingga lesi stabil (2-4 bulan). Efek samping yang ditimbulkan terapi ini tergolong minimal namun tetap memiliki risiko terjadinya kekambuhan (relapse) setelah terapi dihentikan.[75]
2. CyclosporineCyclosporine merupakan inhibitor calcineurin oral yang berfungsi sebagai imunomodulator. Pada vitiligo terjadi influks limfosit berlebihan yang dapat menghancurkan melanosit sehingga terjadi depigmentasi. Cyclosporine menghambat fosforilasi dari nuclear factor of activated T cells (NFAT) yang berperan dalam transkripsi IL-2 yaitu cytokine utama untuk aktivasi sel T. Dosis cyclosporine yang direkomendasikan yakni sebesar 3 mg/kg/hari. Taneja, dkk. (2019) melaporkan bahwa cyclosporine dapat menghambat perkembangan vitiligo dan menginduksi repigmentasi. Terdapat laporan efek samping ringan cyclosporine setelah 6 bulan terapi berupa nyeri kepala, mual, muntah dan hipertensi transien. Taneja juga melaporkan perbaikan lesi vitiligo pada subjek berusia 7-18 tahun dengan pemberian cyclosporine 2,5–3,3 mg/kg/hari selama 8 bulan.[63],[77],[78]
3. MethotrexatePada vitiligo terjadi peningkatan signifikan ekspresi TNF-α di area lesi dibandingkan perilesi, nonlesi, atau kulit normal. Methotrexate merupakan obat antimetabolit dan antifolat yang dapat menurunkan jumlah sel T sehingga menghambat pembentukan TNF-α. Terapi konvensional vitiligo dengan steroid menimbulkan banyak efek samping sedangkan fototerapi membutuhkan biaya yang relatif besar, sehingga methotrexate dapat dijadikan alternatif terapi pengganti. Dosis methotrexate yang diberikan yaitu 10-15 mg/m2/minggu atau 0,3-0,6 mg/kg/minggu bersamaan dengan suplementasi asam folat. Nageswaramma, dkk. (2018) melaporkan respons terapi yang baik pada subjek berusia 17 tahun yang mendapatkan methotrexate 15 mg/minggu dan suplementasi asam folat berupa repigmentasi lesi di area yang terpapar sinar matahari seperti wajah, ekstremitas, dan trunkus superior, namun kurang berespons baik pada lesi di telapak tangan dan kaki serta mukos. Efek samping methotrexate dapat menyebabkan mielosupresi dan hepatotoksisitas sehingga pemeriksaan laboratorium darah perlu rutin dilakukan seperti pemeriksaan darah lengkap serta tes fungsi hepar dan ginjal.[63],[79]
4. Ginkgo bilobaGinkgo biloba atau maidenhair tree berasal dari bahasa Jepang Gin Kyo, yang berarti silver apricot dan biloba yang merupakan bentuk daun biolobus (dua lobus). Mekanisme spesifik dari Ginkgo biloba pada vitiligo belum diketahui. Ginkgo biloba dilaporkan memiliki efek antiinflamasi, imunomodulator, dan antioksidan sehingga berpotensi menurunkan stres oksidatif pada vitiligo. Ginkgo biloba telah terbukti menurunkan ROS pada makrofag dan sel endotelial serta melindunginya dari UVB yang terinduksi dan menyebabkan toksisitas. Szczurko, dkk. (2011) melakukan studi pada remaja dengan vitiligo vulgaris yang mendapatkan dosis Ginkgo biloba 60 mg diminum dua kali sehari selama 3 bulan, menunjukkan perbaikan skor VASI hanya sebesar 15% tanpa adanya efek samping berupa gangguan koagulasi darah. Penelitian mengenai terapi Ginkgo biloba pada anak dengan vitiligo masih terbatas namun dilaporkan memberikan efek samping migrain dengan repigmentasi yang kurang memuaskan.[80],[81]
KamuflaseKamuflase kosmetik merupakan terapi tambahan yang dapat diterapkan pada pasien anak, yang bertujuan untuk mengurangi stigma negatif dari lingkungan sekitar serta meningkatkan kualitas hidup pasien anak khususnya pada lesi vitiligo di area wajah. Pasien biasanya menggunakan metode ini sebagai metode tambahan dari terapi medis atau jika terapi medis yang diberikan tidak berhasil.[31],[82] Kamuflase dapat bersifat sementara maupun permanen. Kamuflase sementara dapat menggunakan pewarna cair, remedial cosmetic camouflage, dan produk penggelap kulit, sedangkan kamuflase permanen menggunakan tato oksida besi. Dihydroxyacetone (DHA) merupakan produk penggelap warna kulit yang dapat menyamarkan lesi depigmentasi pada vitiligo. DHA mewarnai stratum korneum menjadi berwarna coklat karena sifat oksidatifnya dan memberikan pigmentasi sementara dengan warna lebih gelap setelah diinduksi dengan sinar UV. Meskipun terapi ini belum pernah dilaporkan sebelumnya pada anak dengan vitiligo, namun kemungkinan dapat menjadi alternatif terapi harian yang nyaman karena tahan lama dan murah. DHA tergolong aman untuk diaplikasikan secara topikal dengan efikasi yang lebih baik pada kulit gelap. Efek samping terapi ini adalah dermatitis kontak alergi, kerusakan deoxyribonucleic acid (DNA) dan mutasi keratinosit.[83]
PembedahanPembedahan sebagai terapi vitiligo pada lesi vitiligo lokal yang stabil (segmental dan nonsegmental) dan tidak berespons terhadap modalitas terapi lain. Vitiligo dikatakan stabil apabila memenuhi tanda-tanda berikut, yaitu tidak terdapat lesi baru, hilangnya fenomena Koebner, ukuran lesi menetap, repigmentasi spontan, dan hasil tes minigraft yang positif. Tanda-tanda vitiligo yang stabil harus menetap selama minimal 4 bulan atau 1 tahun. Terapi pembedahan umumnya tidak dilakukan pada anak-anak karena lesi segmental atau fokal yang stabil akan meluas sesuai proporsi pertumbuhan tubuh mereka. Keberhasilan prosedur terapi pembedahan bergantung pada imobilitas pascaoperasi pada area operasi, di mana hal tersebut sulit dicapai pada pasien anak-anak. Pada anak yang lebih tua dan remaja dapat diberikan penjelasan mengenai prosedur dan kerja sama selama tindakan. Faktor penghambat keberhasilan terapi pembedahan adalah area lesi yang luas dan risiko koebnerisasi pada area donor.[84]
Prinsip dasar pembedahan adalah transfer melanosit dari kulit bebas lesi ke lesi vitiligo dalam bentuk graft jaringan atau seluler. Teknik pembedahan yang umum dilakukan untuk pasien vitiligo anak adalah suction blister epidermal grafting (SBEG) dan autologous noncultured epidermal cell suspension grafting (NCES).[85],[76]
Metode NCES ditemukan oleh Gauthier dan Surleve-Bazeille tahun 1992 untuk terapi vitiligo dan menunjukkan hasil bervariasi.[85] Area donor dipersiapkan dari area berambut pada paha lateral berukuran 10% dari area donor, kemudian dibersihkan dan dianestesi dengan lignocaine 2%. Split thicknes skin graft dilakukan kemudian disimpan dalam wadah berisi normal saline dan dicampurkan dengan tripsin- ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA), lalu diinkubasi pada suhu 37°C dalam CO2 5% selama 1 jam. Trypsin-EDTA lalu dibuang dan diteteskan phospathe-buffered saline (PBS) untuk memisahkan sel dengan jaringan. Sisa jaringan lalu dibuang dan hasil suspensi disentrifugasi pada 78 g selama 5 menit. Supernatan yang dihasilkan dibuang, lalu pellet yang berisi melanosit diambil dan ditambahkan PBS 1-3 ml. Area resipien dibersihkan dan dianestesi dengan lignocaine 2% lalu dilakukan dermabrasi dengan batas 5 mm dari tepi lesi. NCES ditransfer ke area resipien lalu ditutup dengan dressing. Keuntungan dari tindakan ini adalah hanya dengan area donor yang kecil dapat digunakan untuk area resipien yang lebih luas, rasa tidak nyaman dan nyeri yang ringan, teknik penempatan graft seluler yang mudah, serta kecocokan warna yang memuaskan.[85]
Metode SBEG dilakukan pertama kali oleh Falabella pada tahun 1971.87 SBEG paling nyaman dan efektif pada anak-anak dan remaja. Area donor diambil dari bagian anterolateral paha kemudian dibersihkan. Penyedotan dilakukan pada area donor menggunakan spuit 50 cc dengan tekanan negatif 300 mmHg. Bula akan terbentuk setelah 2 jam dan membesar. Area resipien dibersihkan dan dilakukan dermabrasi hingga muncul bintik-bintik perdarahan. Atap bula lalu dipotong dan diletakkan pada area resipien, kemudian ditutup dengan dressing. Keuntungan dari metode ini adalah prosedur yang relatif sederhana dan tidak membutuhkan peralatan khusus serta tidak terdapat bekas luka pada area donor atau resipien yang akan menyembuh dalam waktu yang bersamaan. Tingkat keberhasilan teknik ini lebih baik pada anak dibandingkan dewasa. Gupta, dkk. (1999) melaporkan repigmentasi >75% pada 86,7% patch dari 80% pasien vitiligo anak yang diterapi dengan SBEG. Keberhasilan terapi prosedur ini membutuhkan imobilisasi jangka waktu lama. Derajat repigmentasi akibat pembedahan berkisar antara 85-95%.[85],[86],[88]
Budania, dkk. (2012) melaporkan studi yang membandingkan NCES dan SBEG untuk terapi vitiligo stabil.[85] Studi tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan metode yang aman dan efektif untuk mencapai repigmentasi dan memiliki efek samping minimal. NCES dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan SBEG, berupa pencapaian repigmentasi memuaskan (90-100%) pada NCES (71%) dibandingkan SBEG (27%), kepuasan pasien dan penurunan skor dermatology life quality index (DLQI) yang lebih tinggi dengan metode NCES dibandingkan SBEG. Namun pada SBEG didapatkan repigmentasi yang lebih cepat 4 minggu dibandingkan dengan NCES.[84],[89]
Terapi dengan pembedahan membutuhkan biaya yang cukup besar, waktu yang lama, berisiko memunculkan fenomena Koebner pada daerah graft, serta kurang efektif dalam mengobati lesi yang luas. Pembedahan pada vitiligo anak umumnya dikombinasikan dengan fototerapi seperti NB-UVB atau terapi topikal seperti krim pimecrolimus 1%.[90]
Platelet rich plasma (PRP)Platelet rich plasma (PRP) adalah peningkatan konsentrasi dari autologous platelet yang disuspensi dalam plasma setelah disentrifugasi. PRP terdiri dari preparat, yaitu pure platelet plasma, leukosit – PRP, pure platelet rich-fibrin serta leukosit dan platelet rich-fibrin. Melalui sekresi granul alfa dari platelet, PRP meningkatkan pelepasan growth factor, molekul adhesi, dan chemokine yang jika berinteraksi dengan lingkungannya akan memicu diferensiasi sel, proliferasi, dan degenerasi. Growth factor utama yang dihasilkan adalah platelet-derived growth factor (PDGF) A-B, transforming growth factor (TGF) alpha-beta, vascular endothelial growth factor (VEGF), epidermal growth factor (EGF), fibroblast growth factor (FGF), connective tissue growth factor (CTGF) dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1). Sekresi growth factor dari platelet dimulai 10 menit setelah aktivasi. PRP juga memicu pengeluaran mediator dan modulator inflamasi serta beberapa cytokine antiinflamasi, antara lain antagonis reseptor IL-1, soluble TNF receptor (sTNF-R) I, IL-4, IL-10, IL-13, dan IFN-γ.[91-93]
Ibrahim dkk. (2016) melaporkan terdapat respons terapi yang sangat baik (repigmentasi >75-100%) pada vitiligo nonsegmental yang diberikan terapi PRP dikombinasikan dengan NB-UVB dibandingkan dengan terapi NB-UVB saja dan hasil analisis histologi didapatkan peningkatan jumlah melanosit. Abdelghani, dkk. (2017) dan Kadry, dkk. (2018) memberikan repigmentasi >75% pada 40% pasien yang diterapi PRP dikombinasikan dengan laser CO2 fraksional dan repigmentasi >50% pada 60% pasien. Khattab, dkk. (2020) juga melaporkan hasil terapi yang baik pada pasien vitiligo yang diterapi PRP dikombinasikan dengan laser eksimer yang dinilai berdasarkan visual analog scale (VAS).[94-96]
Platelet rich plasma (PRP) merupakan tindakan yang tergolong aman dengan efek samping minimal berupa ekimosis dan nyeri pada lokasi injeksi yang dapat dicegah dengan mengoleskan krim anestesi 45-60 menit sebelum injeksi. Efek samping penggunaan PRP dilaporkan terjadi fenomena Koebner pada wanita dengan tipe kulit Fitzpatrick IV dengan vitiligo fasial nonsegmental setelah injeksi ke-3.[97],[98]
KonselingKonseling berperan penting dalam vitiligo pada masa kanak-kanak. Edukasi kepada orang tua mengenai dampak perkembangan penyakit terhadap perkembangan pribadi anak dan keluarga sangat diperlukan. Anak-anak yang lebih tua perlu dievaluasi mengenai persepsi mereka terhadap penyakit, cacat kosmetik, dan interaksi mereka dengan teman sebaya. Pada orang tua harus juga diberikan informasi mengenai kemungkinan risiko munculnya vitiligo pada saudara kembar atau saudara kandung dan saudara sepupu serta risiko munculnya penyakit autoimun terkait.[28],[45]
PrognosisVitiligo pada anak cenderung memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pada dewasa. Pasien vitiligo dengan penyakit autoimun lainnya cenderung memiliki vitiligo yang tidak stabil. Vitiligo periokuler juga menandakan prognosis yang baik dan cenderung dapat sembuh dengan sendirinya. Perjalanan penyakit vitiligo segmental lebih dapat diprediksi dan penyebaran lesi umumnya terjadi dalam 3-24 bulan. Repigmentasi vitiligo segmental maupun nonsegmental pada pasien anak dapat terjadi secara spontan dengan kemungkinan yang lebih tinggi dibandingkan pada orang dewasa. Kejadian kekambuhan (relapse) vitiligo anak sangat jarang ditemukan.[7],[8]
KomplikasiAnak dengan vitiligo umumnya mengeluhkan bahwa kelainan kulit yang dialami mengganggu penampilan. Anak dengan vitiligo umumnya mengalami perundungan dan ejekan sehingga dapat mengalami gangguan cemas dan depresi. Tingkat depresi dan kecemasan berkaitan dengan luas lesi vitiligo. Lesi vitiligo yang terdapat pada wajah, lengan, dan kaki paling dianggap mengganggu kepercayaan diri. Sebanyak 66% anak dengan vitiligo menganggap bahwa kelainan yang dialami bersifat mengganggu. Depresi dan kecemasan umumnya terjadi pada anak-anak usia 15-17 tahun dan hal ini dapat mengganggu perkembangan sosial pasien vitiligo seiring dengan bertambahnya usia.[7]
Komplikasi okular jarang ditemukan pada pasien anak dengan vitiligo. Studi oleh Raju dan Nagaraju (2016) melaporkan satu pasien vitiligo dengan katarak dan satu pasien dengan membran papiler yang persisten. Jakku, dkk. (2019) melaporkan bahwa vitiligo berhubungan dengan iritis dan tuli sebagian. Komplikasi vitiligo lainnya umumnya berhubungan dengan efek samping terapi seperti rasa gatal, eritema dan fototoksisitas akibat fototerapi.[6],[11],[48]
KesimpulanVitiligo umum ditemukan pada anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Patogenesis vitiligo pada anak umumnya berkaitan dengan teori autoiomun, di mana paling sering berkaitan dengan penyakit tiroid autoimun. Manifestasi klinis vitiligo pada anak terbagi menjadi onset dini dan onset lanjut dengan sebaran lesi segmental atau nonsegmental. Diagnosis vitiligo didasarkan pada gambaran klinis berupa makula atau patch depigmentasi batas tegas, leukotrikia, dan fenomena Koebner. Pemeriksaan tambahan seperti lampu Wood, dermoskopi, dan biopsi histopatologi dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis. Penatalaksanaan vitiligo anak lini pertama menggunakan corticosteroid topikal atau kombinasi dengan inhibitor calcineurin topikal, vitamin D topikal, PUVA, NB-UVB, dan corticosteroid sistemik. Pembedahan diindikasikan untuk pasien vitiligo stabil yang tidak merespons terapi medis sebelumnya, yaitu NCES dan SBEG. Terapi terkini dengan injeksi PRP juga memberikan respons terapi berupa repigmentasi yang sangat baik dengan risiko efek samping yang rendah. Prognosis vitiligo anak umumnya baik dan repigmentasi dapat terjadi secara spontan. Komplikasi vitiligo jarang ditemukan namun gangguan psikologis akibat vitiligo dapat ditemukan pada anak-anak usia remaja, sehingga konseling dan edukasi kepada pasien, orangtua, dan lingkungan mengenai penyakit dan dampak perkembangan penyakit terhadap psikologis pasien penting untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Spritz R, Andersen G. Genetics of vitiligo. Dermatol Clin. 2017;35(2):245–55.
Speeckaert R, Van Geel N. Vitiligo: An update on pathophysiology and treatment options. Am J Clin Dermatol. 2017;18(6):733–
44.
Nicolaidou E, Mastraftsi S, Tzanetakou V, Rigopoulos D. Childhood vitiligo. Am J Clin Dermatol. 2019;20(4):515–26.
Chauhan PS, Sharma H, Dhattarwal N, Mahajan VK, Mehta KS, Sharma A, dkk. Characteristics of vitiligo in children and adolescents. Skinmed. 2020;18(5):278–85.
Dwiyana RF, Marindani V, Agustina R, Setiawan, Idjradinata PS, Sutedja E. Clinico-epidemiological profile of vitiligo patients in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Maj Kedokt Bandung. 2017;49(2):132–8.
Lotti T, D’Erme AM. Vitiligo as a systemic disease. Clinics in dermatology. 2014;32(3):430-4.
Dhar S, Srinivas SM. Pediatric vitiligo. Dalam : Relhan V, Garg VK, Ghunawat S, Mahajan K, penyunting. Comprehensive Textbook
on Vitiligo. Edisi ke-1. Boca Raton: CRC Press; 2021.h.71–5.
Ezzedine K, Silverberg N. A practical approach to the diagnosis and treatment of vitiligo in children. Pediatrics. 2016;138(1):1–
14.
Karagüzel G, Sakarya NP, Bahadır S, Yaman S, Ökten A. Vitamin D status and the effects of oral vitamin D treatment in children with vitiligo: A prospective study. Clin Nutr ESPEN. 2016;15:1–4.
Polat M, Özge U. Topical vitamin D analogs. Dalam : Relhan V, Garg VK, Ghunawat S, Mahajan K, penyunting. Comprehensive Textbook on Vitiligo. Edisi ke-1. Roca Baton: CRC Press; 2021.h.119–23.
Gianfaldoni S, Tchernev G, Wollina U, Lotti J, Satolli F, França K, dkk. Vitiligo in children: A better understanding of the disease.
Open Access Maced J Med Sci. 2018;6(1):181–4.
Jakku R, Thappatla V, Kola T, Kadarla RK. Vitiligo-an overview. Asian J Pharm Res Dev. 2019;7(5):113–23.
Wan J, Lin F, Zhang W, Xu A, Degiorgis J, Lu H, dkk. Novel approaches to vitiligo treatment via modulation of mTOR and NF-κb pathways in human skin melanocytes. Int J Biol Sci. 2017;13(3):391.
Li S, Zhu G, Yang Y, Jian Z, Guo S, Dai W, dkk. Oxidative stress drives CD8+ T-cell skin trafficking in patients with vitiligo through CXCL16 upregulation by activating the unfolded protein response in keratinocytes. J Allergy Clin Immunol. 2017;140(1):177– 89.
Bolognia JL, Orlow SJ. Melanocyte-biology. Dalam : Bolognia JL, Schaffer JV, Cerroni L, penyunting. Dermatology. Edisi ke-4. China: Elsevieer;2018.h.1075-85.
Didona D, Didona B, Paolino G, Dante R, Caro C. Etiopathogenesis. Dalam : Relhan V, Garg VK, Ghunawat S, Mahajan K, penyunting. Comprehensive Textbook on Vitiligo. Edisi ke-1. Roca Baton: CRC Press;2021.h.21–8.
Arora A, Kumaran M. Pathogenesis of vitiligo: An update. Pigment Int. 2017;4(2):65.
Majumder PP. Genetics and Prevalence of Vitiligo Vulgaris. Dalam: Hann SK, Nordlund JJ, and Lerner AB, penyunting. Vitiligo: A monograph on the basic and clinical science. Oxford : Blackwell Science Ltd;2000,h.18–20.
Frisoli ML, Harris JE. Vitiligo: Mechanistic insights lead to novel treatments. J Allergy Clin Immunol. 2017;140(3):654–62.
Xie H, Zhou F, Liu L, Zhu G, Li Q, Li C, dkk. Vitiligo: How do oxidative stress-induced autoantigens trigger autoimmunity? J Dermatol Sci. 2016;81:3-9.
Yi X, Guo W, Shi Q, Yang Y, Zhang W, Chen X, dkk. SIRT3-dependent mitochondrial dynamics remodeling contributes to oxidative stress-induced melanocyte degeneration in vitiligo. Theranostics. 2019;9:1614-33.
Dwivedi M, Laddha NC, Shah K, Shah BJ, Begum R. Involvement of interferon-gamma genetic variants and intercellular adhesion molecule-1 in onset and progression of generalized vitiligo. J Interferon Cytokine Res. 2013;33:646-59.
Miniati A, Weng Z, Zhang B, Therianou A, Vasiadi M, Nicolaidou E, dkk. Stimulated human melanocytes express and release interleukin-8, which is inhibited by luteolin: relevance to early vitiligo. Clin Exp Dermatol. 2014;39:54-7.
Iannella G, Greco A, Didona D, Didona B, Granata G, Manno A, dkk. Vitiligo: pathogenesis, clinical variants and treatment approaches. Autoimmun Rev. 2016;15:335-43.
Klarquist J, Eby JM, Henning SW, Li M, Wainwright DA, Westerhof W, dkk. Functional cloning of a gp100-reactive T-cell receptor from vitiligo patient skin. Pigment Cell Melanoma Res. 2016;29:379-84.
Njoo MD, Westerhof W. Vitiligo. Pathogenesis and treatment. Am J Clin Dermatol. 2001;2(3):167–81.
Mohammed GF, Gomaa AH, Al-Dhubaibi MS. Highlights in pathogenesis of vitiligo. World Journal of Clinical Cases: WJCC. 2015; 3(3): 221.Mazereeuw-Hautier J, Harper J. Vitiligo. Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, penyunting. Textbook of pediatric dermatology. Edisi ke-2. Oxford: Blackwell Publishing Ltd;2006.h.1041-56.
Handa S, Dogra S. Epidemiology of childhood vitiligo: A study of 625 patients from north India. Pediatr Dermatol. 2003;20:207- 10.
Prcic S, Djuran V, Mikov A, Mikov I. Vitiligo in children. Pediatr Dermatol 2007;24: 666.
Messenger AG, Sinclair RD, Farrant P, de Berker DAR. Acquired disorders of hair. Dalam : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. Oxford: Wiley-Blackwell;2010.h.66.1-66.100.
Hercogova J, Schwartz RA, Lotti TM. Classification of vitiligo: A challenging endeavor. Dermatol Ther. 2012;25:10-6.
Lotti T, Hercogová J, penyunting. Vitiligo – problems and solutions. New York, NY: Marcel Dekker Inc.;2004:18–66.
Onunu AN, Kubeyinje EP. Vitiligo in the Nigerian African: A study on 351 patients in Benin City in Nigeria. Int J Dermatol. 2003:42:800–2.
Lotti T, D’Erme AM. Vitiligo as a systemic disease. Clinics in dermatology. 2014;32(3):430-4.
Iacovelli P, Sinagra JL, Vidolin AP, Marenda S, Capitanio B, Leone G, dkk. Relevance of thyroiditis and of other autoimmune diseases in children with vitiligo. Dermatology. 2005;210(1):26-30.
Palit A, Inamadar AC. Childhood vitiligo. IJDVL. 2012;78(1):30.
Marçon CR, Maia M. Albinism: Epidemiology, genetics, cutaneous characterization, psychosocial factors. An Bras Dermatol. 2019;94(5):503–20.
Federico JR, Krishnamurthy K. Albinism. Treasure Islands: StatPearls Publishing;2021.h.1–10.
Goh BK, Pandya AG. Presentations, signs of activity and differential diagnosis of vitiligo. Dermatol Clin. 2017;35(2):135–44.
Patel TJ, Rodney IJ, Halder RM. Disorders of hypopigmentation and depigmentation. Dalam : Vashi NA, Maibach HI, penyunting. Dermatoanthropology of ethnic skin and hair. Edisi ke-1. Cham: Springer International Publishing;2017.h.215–31.
Saleem MD. Biology of human melanocyte development, piebaldism, and waardenburg syndrome. Pediatr Dermatol. 2019;36(1):72–84.
Cabral-Pacheco GA, Garza-Veloz I, Campuzano-García AE, Díaz-Alonso AP, Flores-Morales V, Rodriguez-Sanchecabraz IP, dkk. Expression levels of inflammatory and oxidative stress-related genes in skin biopsies and their association with pityriasis alba. Medicina (B Aires). 2020;56(7):1–11.
Sharquie KE, Salman HA, Yaseen AK. Psoriasis and vitiligo are close relatives. Clin Cosmet Investig Dermatol. 2017;10:341–5.
Rendon A, Schäkel K. Psoriasis pathogenesis and treatment. Int J Mol Sci. 2019;20(1475):1–28.
Sharquie KE, Noaimi AA, Abdulkadhim LM. Pityriasis alba versus vitiligo clinical and histopathological study. J Cosmet
Dermatological Sci Appl. 2018;8(3):140–50.
Maymone MBC, Watchmaker JD, Dubiel M, Wirya SA, Shen LY, Vashi NA. Common skin disorders in pediatric skin of color. J
Pediatr Heal Care. 2019;33(6):727–37.
48.Wang Y-J, Chang C-C, Cheng K-L. Wood’s lamp for vitiligo disease stability and early recognition of initiative pigmentation after epidermal grafting. Int Wound J. 2017;14(6):1391–4.
El-Husseiny R, Abd-Elhaleem A, Salah El-Din W, Abdallah M. Childhood vitiligo in Egypt: clinico-epidemiologic profile of 483 patients. J Cosmet Dermatol. 2021;20(1):1–6.
Thng S, Chuah SY, Gan EY. Age and vitiligo: childhood, pregnancy, and late-onset vitiligo. Dalam : Picardo M, Taïeb A,
penyunting. Vitiligo. Edisi ke-1. Cham: Springer Natu; 2019.h.141–51.
Taïeb A, and Picardo M; VETF Members. The definition and assessment of vitiligo: A consensus report of the Vitiligo European Task Force. Pigment Cell Res. 2007;20:27–35.
Al Aboud DM, Gossman W. Woods light. Treasure Islands: StatPearls Publishing; 2020.h.1–5.
Taïeb A, Seneschal J, Mazereeuw-Hautier J. Special Considerations in Children with Vitiligo. Dermatologic clinics. 2017;35(2):229-33.
Taieb AV, Alomar A, Böhm M, Dell’Anna ML, De Pase A, Eleftheriadou V, dkk. Guidelines for the management of vitiligo: the
European Dermatology Forum consensus. British Journal of Dermatology. 2013;168(1):5-19.
Neema S, Khunger N. Vitiligo and other disorder of hypopigmentation. Dalam: Chatterjee M, Neema S, Malakar S. Dermoscopy in darker skin. India : Jaypee brother medical publisher;2018.h.35-8.
Camisa C, Garofola C. Topical Immunomodulatory Drugs: Topical Corticosteroids. Dalam: Wolverton SE, penyunting. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy. Edisi ke-4. Philadelpia: Elsevier;2021.h.511-27.
Van der Veen JPW, Wind BS, Taieb. A Topical corticosteroids. Dalam: Picardo M, Taieb A, penyunting. Vitiligo. New York : Springer;2010.h.327-38.
Silverberg NB. Pediatric vitiligo. Pediatric Clinics. 2014;61(2):347-66.
Udompataikul M, Boonsupthip P, Siriwattanagate R. Effectiveness of 0.1% topical takrolimus in adult and children patients with vitiligo. J. Dermatol. 2011;38(6):536–40.
Silverberg JI, Silverberg NB. Topical takrolimus is more effective for treatment of vitiligo in patients of skin of color. J. Drugs Dermatol. 2011;10(5):507–10.
Silverberg NB, Lin P, Travis L, Farley Li J, Mancini AJ, Wagner AM, dkk. Takrolimus ointment promotes repigmentation of vitiligo in children: A review of 57 cases. J. Am. Acad. Dermatol. 2004;51(5):760–6.
Seirafi H, Farnaghi F, Firooz A, Vasheghani-Farahani A, Alirezaie NS, Dowlati Y. Pimecrolimus cream in repigmentation of vitiligo. Dermatology. 2007;214(3):253-9.
Mayoral FA, Gonzalez C, Shah NS, Arciniegas C. Repigmentation of vitiligo with pimecrolimus cream: A case report. Dermatology. 2003;207(3):322-3.
Agarwal K, Podder I, Kassir M, Vojvodic A, Schwartz RA, Wollina U, dkk. Therapeutic options in vitiligo with special emphasis on immunomodulators: A comprehensive update with review of literature. Dermatologic therapy. 2020;33(2):13215.
Faria AR, Tarlé RG, Dellatorre G, Mira MT, Castro CC. Vitiligo-Part 2-classification, histopathology and treatment. Anais brasileiros de dermatologia. 2014;89(5):784-90.
Staricco RG. Activation of amelanotic melanocytes in the outer root sheath of the hair follicle following ultraviolet exposure. J Invest Dermatol. 1962;39:163–4.
Parsad D, Kanwar AJ, Kumar B. Psoralen-ultraviolet A vs. narrow-band ultraviolet B phototherapy for the treatment of vitiligo. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2006;20:175–7.
Gianfaldoni S, Wollina U, Tchernev G, Lotti J, França K, Lotti T. Vitiligo in children: A review of conventional treatments. OAMJMS. 2018;6(1):213.
Novaković LB. UVA based phototherapy: PUVA, PUVA Sol, and UVA1 phototherapy. Dalam: Gupta S, Olsson MJ, Parsad D, Lim HW, van Geel N, Pandya AG, penyunting. Vitiligo: Medical and surgical management. edisi ke-1. Hoboken: Wiley Blackwell;2018.h.105–12.
Bae JM, Jung HM, Hong BY, Lee JH, Choi WJ, Lee JH, dkk. Phototherapy for vitiligo: A systematic review and meta-analysis. JAMA Dermatology. 2017;153(7):1–9.
Hamzavi I, Jain H, McLean D, Shapiro J. Parametric modelling of narrowband UV-B phototherapy for vitiligo using a novel quantitative tool, the vitiligo area scoring index. Arch Dermatol. 2004;140:677–83.
Kanwar AJ, Dogra S. Narrow band UVB for the treatment of generalized vitiligo in children. Clin Exp Dermatol. 2005;30(4):332– 6.
Cho S, Zheng Z, Park YK, Roh MR. The 308 nm excimer laser: A promising device for the treatment of childhood vitiligo. Photodermatology, photoimmunology & photomedicine. 2011;27(1):24-9.
Park KK, Liao W, Murase JE. A review of monochromatic excimer light in vitiligo. Br J Dermatol. 2012;167(3):468–78.
Nisticò S, Chiricozzi A, Saraceno R, Schipani C, Chimenti S. Vitiligo treatment with monochromatic excimer light and takrolimus: Results of an open randomized controlled study. Photomed Laser Surg. 2012;30(1):26–30.
Majid I, Masood Q, Hassan I, Khan D, and Chisti M. Childhood vitiligo: Response to methylprednisolone oral minipulse therapy and topical fluticasone combination. Indian J Dermatol. 2009;54:124–7.
Sarkar R, Bansal S. Childhood vitiligo. Dalam : Oranje AP, Al-Mutairi N, Shwayder T, penyunting. Practical Pediatric Dermatology: Controversies in diagnosis and treatment. Edisi ke-1. Cham;2016.h.133–9.
Taneja A, Kumari A, Vyas K, Khare A, Gupta L, Mittal A. Cyclosporine in treatment of progressive vitiligo: An open-label, single-arm interventional study. IJDVL. 2019; 85(5):528–31.
Choi Y, Lim WS, Jin SY, Lee JH, Lee SH, Lee AY. Vitiligo lesions improved after oral cyclosporine in a patient with vitiligo and atopic dermatitis. Korean J Dermatol. 2012;50(2):159-62.
Nageswaramma S, Vani T, Indira N. Efficacy of methotrexate in Vitiligo. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences. 2018;17(5):16–9.
Dugoua JJ, Mills E, Perri D, Koren G. Safety and efficacy of ginkgo (Ginkgo biloba) during pregnancy and lactation. Can J Clin Pharmacol. 2006;13(3):277–84.
Szczurko O, Shear N, Taddio A, Boon H. Ginkgo biloba for the treatment of vitilgo vulgaris: An open label pilot clinical trial. BMC Complement Altern Med. 2011;11:21.
Ramien ML, Ondrejchak S, Gendron R, Hatami A, McCuaig CC, Powell J, dkk. Quality of life in pediatric patients before and after cosmetic camouflage of visible skin conditions. J Am Acad Dermatol. 2014;71(5):935–40.
Sarveswari KN. Cosmetic camuflage in vitiligo. Indian J Dermatol. 2010;55(3):211-4.
Budania A, Parsad D, Kanwar AJ, Dogra S. Comparison between autologous noncultured epidermal cell suspension and suction blister epidermal grafting in stable vitiligo: A randomized study. Br J Dermatol. 2012;167(6):1295-301.
Holla AP, Kumar R, Parsad D, Kanwar AJ. Modified procedure of noncultured epidermal suspension transplantation: Changes are the core of vitiligo surgery. J Cutan Aesthet Surg 2011;4:44–5.
Gupta S, Shroff S, Gupta S. Modified technique of suction blistering for epidermal grating in vitiligo. Int J Dermatol.1999;38:306–9.
Gauthier Y, Surleve-Bazeille J. Autologous grafting with noncultured melanocytes: a simplified method for treatment of depigmented lesions. J Am Acad Dermatol. 1992;26:191–4.
Falabella R. Epidermal grafting: An original technique and its application in achromic and 76. granulating areas. Arch Dermatol. 1971;104:592–600.
Tsuchiyama K, Watabe A, Sadayasu A, Onodera N, Kimura Y, Aiba S. Successful treatment of segmental vitiligo in children with the combination of 1-mm minigrafts and phototherapy. Dermatology. 2016;232:237–41.
Wang HL, Avila G. Platelet rich plasma: myth or reality? Eur J Dent. 2007;1:192–4.
Hesseler MJ, Shyam N. Platelet-rich plasma and its utility in medical dermatology: A systematic review. J Am Acad Dermatol. 2019;81:834–46.
Woodell-May J, Matuska A, Oyster M, Welch Z, O’Shaughnessey K, Hoeppner J. Autologous protein solution inhibits MMP-13 production by IL-1beta and TNF alpha-stimulated human articular chondrocytes. J Orthop Res. 2011;16:1320–6.
Ibrahim ZA, El-Ashmawy AA, El-Tatawy RA, Sallam FA. The effect of platelet-rich plasma on the outcome of short-term narrowband-ultraviolet B phototherapy in the treatment of vitiligo: A pilot study. J Cosmet Dermatol. 2016;15:108–16.
Abdelghani R, Ahmed NA, Darwish HM. Combined treatment with fractional carbon dioxide laser, autologous platelet-rich plasma, and narrow band ultraviolet B for vitiligo in different body sites: A prospective, randomized comparative trial. J Cosmet Dermatol. 2017;17:365–72.
Kadry M, Tawfik A, Abdallah N, Badawi A, Shokeir H. Platelet-rich plasma versus combined fractional carbon dioxide laser with platelet-rich plasma in the treatment of vitiligo: A comparative study. Clin Cosmet Investig Dermatol. 2018;11:551–5.
Khattab FM, Abdelbary E, Fawzi M. Evaluation of combined excimer laser and platelet rich plasma for the treatment of nonsegmental vitiligo: A prospective comparative study. Journal of cosmetic dermatology. 2020;19(4):869-77.
Mercuri SR, Vollono L, Paolino G. The usefulness of platelet-rich plasma (PRP) for the treatment of vitiligo: State of the art and review. Drug Des Devel Ther. 2020;14:1749.