DR. Dr. M. Adrianes Bachnas, SpOG(K)-FM
Divisi Fetomaternal, Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Rumah Sakit Dr. Moewardi, Solo
Abstrak
Tujuan mulia dari suatu kehamilan adalah untuk melahirkan insan yang berkualitas, guna mengemban amanah sang Maha Pencipta di muka bumi ini. Tidak hanya lahir selamat yang diharapkan, namun juga lahir sehat, kuat, dan cerdas. Cerdas baik secara intelektualitasnya, maupun mental, spiritual, dan sosial. Untuk itu, dibutuhkan otak yang baik dan sehat.
Otak adalah mikroprosesor sentral pada tubuh manusia. Otak berfungsi sebagai pusat penyimpanan dan analisis data. Otak berfungsi sebagai pusat pengendali seluruh proses fisiologis tubuh yang meliputi seluruh sistem organ, pusat informasi sensoris dan reaksi motorik, serta sebagai pusat seluruh bentuk intelegensi.
Segala bentuk kondisi yang berpotensi menimbulkan jejas pada otak merupakan ancaman serius yang harus diantisipasi dengan baik. Persalinan preterm dan pertumbuhan janin yang terhambat adalah kondisi patologis tersering yang berpotensi tinggi untuk menimbulkan jejas otak. Jejas otak yang terjadi dapat ringan hingga berat dan dapat bersifat permanen. Pada kondisi ringan kemungkinan hanya intelegensi saja yang terpengaruh, seperti kemampuan numerik, verbal, dan komunikasi sosial yang berkurang. Sementara pada kondisi berat seperti cerebral palsy, dapat berakibat seorang individu menjadi tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain di sepanjang kehidupannya.
Neuroproteksi otak janin antenatal menjadi langkah yang sangat penting dalam tata laksana problematika di atas. Belum adanya bentuk terapi dengan hasil yang memuaskan terhadap jejas otak yang sudah terlanjur terjadi, menggiring kita untuk dapat melakukan prediksi dan tindakan preventif terhadap segala bentuk kondisi patologis selama kehamilan dan persalinan yang berpotensi mencederai otak janin. Hal ini adalah konsep dasar dari neuroproteksi otak janin antenatal.
Kata kunci: neuroproteksi, persalinan preterm, pertumbuhan janin terhambat
Abstract
Exalted obstetrics not merely fulfill the obligation to deliver babies safely but beyond, to deliver babies on their most optimal condition to grow up and to be a noble person. Neuroprotection should be implemented in daily practice. Brain, as the central part of the human body, plays an extremely important role for all of the human cells, tissue, organs, and systems activities. Any kind of physiological process in human body is related to brain control. There would be no human in optimal condition without optimal brain function.
Preterm delivery and fetal growth restriction are two of the many pathologic conditions in pregnancy that could potentially injure fetal brain. Injured brain would result in major lifelong neurological deficits. There isn’t any cure for these, so prediction and prevention are barely necessary. Neuroprotection is a concept which all efforts are given to minimize the insult to the fetal brain due to such pathologic problems as mentioned before.
Preterm birth, either spontaneously or iatrogenic, puts the risk for fetus to get brain damage. Hypoxic situations in the early minutes after birth lead to inflammation and apoptosis process, causing neuronal injury, neuronal death, and demyelination. Antenatal magnesium sulfate administration has found to give significant aid to hinder this condition and in the end showing a substantial reduction in the number of cerebral palsy cases.
Fetal growth restriction remains an unsolved dilemma in maternal-fetal medicine. It is mostly related with placental insufficiency that causes chronic hypoxia and nutrition deprivation. Low dose aspirin in the first trimester soon as the poor placentation is known to be happen remains the solid evidence exists. Nutritional intervention such as a balanced intake of protein and calory, also micronutrients supplementation are somehow still worthy enough to accompany the timely decision of terminating pregnancy.
Keywords: neuroprotection, preterm, fetal growth restriction
Pendahuluan
Neuroproteksi otak janin antenatal adalah langkah intervensi untuk mencegah jejas otak janin selama kehamilan, proses persalinan, serta sesaat setelah dilahirkan. Langkah intervensi tersebut dapat dipandang secara luas ataupun sempit.1 Secara luas, dalam pengertian bahwa neuroproteksi meliputi seluruh bentuk pencegahan/ intervensi terhadap potensi jejas otak bahkan jauh hari sebelum proses jejas tersebut terjadi. Misalnya, plasentasi yang buruk akan berakibat kegagalan fungsi plasenta dalam menghantarkan nutrisi dan oksigen, janin akan menjadi kurang nutrisi dan hipoksia sehingga secara kronis jejas otak terjadi.2 Kegagalan plasenta ini sudah dapat dideteksi sebelum kerusakan otak janin terjadi. Pada umur kehamilan 11-13 minggu kerusakan plasenta dapat dinilai dari adanya hambatan vaskular pada arteria uterina. Hambatan vaskular tersebut tergambar dari indeks resistansi vaskular yang tinggi (PI= >1,5) serta takik prediastolik pada sonografi Doppler velosimetri.3 Kerusakan plasenta dapat juga direpresentasikan dari kadar hormon proangiogenik yang rendah yaitu placental growth factor (PlGF) dan pregnancy associated plasma protein A (PAPP-A); serta hormon antiangiogenik yang tinggi: soluble fms-like tyrosine kinase type 1 (sFlt-1). Kadar hormon atau marker biologis tersebut dapat dinilai secara laboratoris dengan sampel serum darah ibu.4 Pada trimester pertama, volume plasenta serta panjang crown-rump length di bawah 5 persentil dapat juga dijadikan prediksi pertumbuhan janin.5 Pemberian aspirin dosis rendah (75-150 mg/hari) sebelum umur kehamilan 16 minggu secara signifikan dapat mengurangi risiko tersebut. Pada kondisi patologis lain, persalinan preterm mengakibatkan bayi yang dilahirkan berisiko untuk mengalami asfiksia. Asfiksia tersebut akan mengakibatkan hipoksia sel otak hingga terjadinya jejas neuronal.6 Risiko persalinan preterm relatif dapat diprediksikan jauh hari sebelumnya. Adanya riwayat prematuritas, panjang serviks rendah (<2,5 cm) pada pemeriksaan ultrasonografi, dan kadar fetal fibronektin (fFN) yang tinggi pada lendir serviks merupakan prediktor yang baik terhadap risiko persalinan preterm. 7 Melakukan pengikatan serviks (serklase) pada serviks pendek ataupun memberikan obat kombinasi docosahexaenoic acid (DHA) dan progesteron pada risiko prematuritas lainnya secara signifikan dapat mereduksi risiko tersebut dalam jumlah yang signifikan. Kemudian terkait prematuritas iatrogenik yang mayoritas diakibatkan oleh preeklamsia, pemberian aspirin dosis rendah pada trimester 1 hingga aterm telah terbukti sangat efektif untuk mencegahnya.6,7 Intervensi-intervensi tersebut adalah bentuk dari neuroproteksi yang dipandang secara luas.
Secara lebih sempit, neuroproteksi dapat dipandang sebagai intervensi yang dilakukan pada saat proses jejas otak sedang berlangsung. Misalnya proses persalinan preterm yang sudah tidak dapat dicegah baik alami maupun iatrogenik, maka dapat diberikan magnesium sulfat antenatal untuk meningkatkan ketahanan sel otak melalui peningkatan hormon neurotropik dan blokade jalur apoptosis dan inflamasi.8 Memberikan oksigenasi, hidrasi, intervensi nutrisi, serta pemilihan waktu dan cara terminasi pada janin yang sudah terdeteksi terhambat pertumbuhannya juga merupakan bentuk neuroproteksi dalam lingkup yang sempit.9
Pembahasan kali ini ditujukan untuk menjelaskan secara singkat kaidah neuroproteksi dalam spektrum yang sempit untuk persalinan preterm dan secara luas pada kasus pertumbuhan janin terhambat.
1. Neuroproteksi Terhadap Persalinan Preterm
Persalinan preterm adalah salah satu patologi kehamilan yang sering terjadi. Satu di antara delapan ibu hamil akan melahirkan preterm dan sekitar 1 juta persalinan preterm terjadi per tahunnya di Indonesia.10,11 Persalinan preterm dapat merupakan suatu proses yang alami ataupun iatrogenik akibat indikasi maternal maupun fetal. Terlepas dari etiologi prematuritas, dogma utama pada persalinan preterm adalah ‘semakin prematur seorang bayi, maka semakin buruk jejas otak yang dapat terjadi’. Dogma ini didukung oleh data ilmiah yang menunjukkan bahwa persalinan sebelum usia kehamilan 28 minggu akan meningkatkan risiko janin yang dilahirkan untuk menderita cerebral palsy menjadi 80 kali lebih tinggi, dan jika persalinan terjadi di rentang usia kehamilan 28-32 minggu akan meningkatkan risiko sekitar 30 kali.12 Persalinan preterm yang terjadi secara spontan hampir selalu terkait dengan proses inflamasi intrauteri. Proses inflamasi tersebut sudah merupakan suatu proses yang akan mencetuskan jejas otak janin. Sementara terkait dengan prematuritasnya, paru-paru yang belum mature dan surfaktan paru yang belum tersedia dalam jumlah yang cukup akan mengakibatkan fungsi napas tidak optimal dan berakhir dengan asfiksia yang mengakibatkan hipoksia. Hipoksa yang terjadi mengakibatkan dominasi metabolisme anaerob dalam tubuh janin yang dapat memicu aktivasi proses inflamasi dan apoptosis yang akan mengakibatkan kerusakan neuronal, aksonal, dan demielinisasi pada otak janin.1
1.1. Peran Magnesium Sulfat Antenatal dalam Neuroproteksi
Magnesium sulfat antenatal, selama ini dikenal sebagai salah satu medikamentosa penting dalam penanganan preeklamsia dan eklamsia. Magnesium sulfat yang diberikan mampu menurunkan kejadian kejang serta morbiditas dan mortalitas maternal. Lebih dari itu studi menunjukkan bahwa kejadian cerebral palsy pada bayi yang dilahirkan juga secara signifikan menjadi lebih rendah. Berangkat dari data tersebut, maka serangkaian penelitian berskala besar kemudian dirancang khusus untuk membuktikan efek neuroproteksi magnesium sulfat antenatal terhadap otak janin pada persalinan prematur. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut telah membuktikan peran magnesium sulfat antenatal terhadap penurunan kejadian defisit motorik sedang-berat pada prematuritas.1,13,14
Magnesium sulfat antenatal telah dibuktikan mampu menstimulasi produksi hormon neurotropik otak (BDNF, NGF, NT-3, NT-4) yang secara langsung menjaga otak dari kerusakan akibat hipoksia maupun jejas lain. Magnesium sulfat dapat meningkatkan kadar Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) pada bayi prematur hingga setara dengan bayi mature. Hormon ini memiliki fungsi sentral dalam proses neurogenesis, dendritogenesis, sinaptogenesis, mielinisasi, dan migrasi neuronal.8
Magnesium bebas yang masuk pasca pemberian magnesium sulfat antenatal bekerja secara aktif pada reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDAr) di sel saraf, sehingga mencegah terjadinya rangsangan glutamate untuk memulai jalur inflamasi (IL-6, IL-8, IL-1B, TNF-a) yang merusak otak pada kondisi hipoksia. Magnesium mampu mencegah kerusakan demielinisasi aksonal akibat VCAM-1 dan ICAM-1 serta menurunkan aktivitas caspase-3 dan caspase-9 yang berlebih pada kondisi hipoksia. Magnesium juga mampu menghambat keluarmasuknya kalsium ke dalam sel sehingga mengakibatkan relaksasi otot polos. Relaksasi ini bermanfaat bagi terjadinya vasodilatasi pembuluh darah otak, khususnya sekitar area paraventrikular, sehingga menambah suplai oksigen yang dibutuhkan untuk menjaga sel tidak mengalami kerusakan ataupun kematian.1
1.2 Rekomendasi Dosis dan Cara Pemberian Magnesium Sulfat Antenatal Terkait Neuroproteksi
Hingga saat ini, terdapat dua strategi pemberian magnesium sulfat antenatal yang disepakati, yaitu:15-18
a) Empat gram bolus lambat dosis tunggal melalui jalur intravena atau intramuskular
Cara ini dipandang lebih sesuai untuk kasus risiko persalinan prematur di mana bayi belum tentu akan lahir dalam 24 jam, misalnya: preterm premature rupture of the membranes (pPROM), partus prematurus imminens, dan tindakan fetal surgery. Mekanisme neuroproteksi utama yang diharapkan adalah mekanisme stimulasi produksi neurotropik (BDNF, NGF, NT-3, NT-4). Melalui stimulasi neurotropik ini maka maturasi otak serta ketahanannya akan menjadi lebih baik. Makanisme ini mirip seperti mekanisme pemberian kortikosteroid antenatal untuk merangsang produksi surfaktan paru-paru pada janin prematur. Pada strategi pemberian ini dianjurkan untuk melakukan pemberian ulang magnesium sulfat (seperti poin nomor 2), bila kasus tersebut kemudian masuk ke dalam kondisi persalinan preterm yang sudah tidak dapat dipertahankan. Pemberian magnesium sulfat antenatal ulang tersebut ditujukan sebagai blok inflamasi dan apoptosis.
b) Empat gram bolus lambat intravena dilanjutkan 1 gram per jam hingga maksimal 24 jam atau hingga bayi lahir sebelum 24 jam
Cara ini sesuai pada kasus persalinan preterm yang sudah tidak dapat dicegah misal persalinan preterm fase aktif atau bila terminasi kehamilan atas indikasi medis harus dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam.
1.3. Kekhawatiran Dalam Pemberian Magnesium Sulfat Antenatal
a) Komplikasi berupa depresi napas, henti napas dan henti jantung
Magnesium juga merupakan zat yang berpotensi memblok kalsium masuk dan keluar sel sehingga dapat berakibat lumpuh otot. Lumpuh otot yang paling dikhawatirkan adalah lumpuh otot di jalur napas dan lumpuh otot jantung. Namun sebenarnya, kelumpuhan otot hanya akan terjadi pada kondisi hipermagnesemia pascapemberian magnesium sulfat. Hipermagnesemia sendiri dapat terjadi hanya bila magnesium sulfat diberikan dalam jumlah yang sangat besar atau durasi pemberian yang sangat lama. Penelitian ilmiah terkait memperlihatkan hipermagnesemia hanya terjadi bila dosis yang masuk telah melebihi 250 g atau masa pemberian telah lebih dari 5 hari. Sedangkan pada konteks neuroproteksi, dosis magnesium sulfat maksimal yang didapatkan pasien hanya berkisar antara 4-28 gram sehingga secara rasional risiko hipermagnesemia relatif rendah, yang artinya peluang terjadinya depresi napas atau henti jantung pun relatif kecil. Kadar magnesium darah pada pemberian dosis 4-28 g akan berada pada kisaran 3-5 mEq/l. Kadar ini jauh dari 7 mEq/l saat refleks patela mulai hilang; 10 mEq/l saat depresi napas terjadi; 15 mEq/l saat blokade jantung mulai terjadi; dan 25 mEq/l saat henti jantung terjadi. Data di atas sejalan dengan rekomendasi FDA yang menyebutkan bahwa pemberian magnesium sulfat antenatal tergolong sangat aman (kategori A) dan hanya akan berpotensi memberikan efek samping yang buruk bila diberikan lebih dari 5 hari (kategori D).19-21
b) Perdarahan postpartum akibat atonia uteri
Efek relaksasi otot yang ditimbulkan oleh magnesium dikhawatirkan terjadi sesaat pascasalin, terlebih bila diberikan hingga sesaat sebelum janin lahir. Relaksasi otot rahim yang berakibat atonia uteri dikhawatirkan berakibat pada terjadinya perdarahan postpartum dini. Sementara itu, pemberian magnesium sulfat antenatal dalam konsep neuroproteksi pada persalinan preterm memang paling optimal diberikan hingga saat bayi lahir atau maksimal sampai 24 jam, sehingga hal tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Namun demikian, kekhawatiran ini sebenarnya tidak memiliki dasar bukti ilmiah. Penggunaan magnesium sulfat antenatal dalam konsep neuroproteksi hanya akan memberikan peningkatan kadar magnesium dalam serum darah maternal hingga maksimal 5 mEq/l, sementara untuk kelumpuhan otot besar seperti patela baru akan terjadi setelah kadar magnesium lebih dari 7 mEq/l. Hasil studi literatur juga memperlihatkan pada pemberian magnesium sulfat antenatal dengan durasi kurang dari 24 jam tidak didapatkan peningkatan risiko terjadinya atonia uteri secara bermakna.22
c) Komplikasi pada neonatus
Beberapa literatur lama mengingatkan akan bahaya paparan magnesium antenatal pada janin sesaat sebelum dilahirkan, di mana pemberian magnesium sulfat antenatal dapat mengakibatkan lemas otot napas neonatus hingga terjadi asfiksia. Namun ternyata perkembangan bukti ilmiah yang ada memperlihatkan sebaliknya. Beberapa metaanalisis memperlihatkan bahwa kekhawatiran akan efek samping pemberian magnesium sulfat antenatal tersebut adalah tidak benar. Kejadian neonatus dengan skor APGAR rendah, sindrom respiratory distress, rawat intensif, membutuhkan oksigen kadar tinggi, intubasi hingga penggunaan ventilator mekanik, enterokolitis nekrotikans; tidak berbeda bermakna antara neonatus yang dilahirkan oleh ibu yang mendapatkan pemberian magnesium sulfat antenatal dengan yang tidak mendapatkan.20 Sebagai penutup pada sub-bahasan ini, bahwa pemberian magnesium sulfat antenatal direkomendasikan sebagai neuroproteksi otak janin pada persalinan prematur (24-34 minggu) untuk mencegah defect neurologis permanen akibat kelahiran prematur. Cara pemberian yang direkomendasikan adalah 4 gram dilanjutkan 1 gram per jam pada proses persalinan preterm yang tidak dapat dihindari lagi atau 4 gram dosis tunggal pada ancaman persalinan preterm yang masih mungkin dapat dihindari.1 Neuroproteksi melalui pemberian magnesium sulfat antenatal dapat mengurangi kejadian cerebral palsy. Pemberian magnesium sulfat antenatal pada persalinan preterm juga secara bermakna mengurangi bentuk disfungsi sensoris dan motorik serta beberapa bentuk defisit neurologis lain.12 Bila dikaitkan dengan jumlah persalinan per tahun di Indonesia, maka penerapan neuroproteksi pada persalinan preterm dengan pemberian magnesium sulfat antenatal dapat menghindarkan lebih dari tiga ribu generasi penerus bangsa untuk menderita cerebral palsy per tahunnya, serta lebih dari 66 ribu kasus untuk dunia.17
2. Neuroproteksi Terhadap Pertumbuhan Janin terhambat
Pertumbuhan janin terhambat, lebih mengerucut terjadi akibat kegagalan plasentasi atau kerusakan plasenta. Hal tersebut berdampak pada gagalnya plasenta menjalankan fungsinya untuk menghantarkan oksigen dan nutrisi yang cukup kepada janin. Sementara faktor lain yang juga dapat mengakibatkan kondisi patologis ini adalah kelainan kongenital, infeksi, malnutrisi, gangguan hormonal, serta gangguan metabolisme maternal. 23 Janin dengan taksiran berat kurang dari 10 persentil belum tentu merupakan pertumbuhan janin terhambat, kecuali bila disertai malformasi struktur dan atau malfungsi organ. Kejadian pertumbuhan janin terhambat yang hampir selalu terjadi preterm menambah dilema tersendiri dalam pengambilan keputusan klinis. Keputusan klinis untuk melahirkan janin atau menunda hingga aterm. Bila terlalu cepat dilahirkan maka risiko prematuritas akan mengancam; sementara bila terlalu lama menunda maka risiko kerusakan organ vital janin yaitu otak, ginjal, jantung, pembuluh darah, dan organ endokrin juga dihadapi.24 Kerusakan organ yang paling dikhawatirkan adalah kerusakan otak karena dapat bersifat permanen. Kerusakan tersebut dapat terjadi dalam derajat ringan yaitu penurunan intelektualitas, maupun berat seperti cerebral palsy. Kerusakan organ lain yang terjadi secara tersembunyi juga merupakan pertimbangan yang harus diperhatikan. Kerusakan ini tidak akan muncul segera setalah lahir melainkan nantinya di usia dewasa. Risiko hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, diabetes, dan stroke pada usia dewasa meningkat secara signifikan pada individu yang dilahirkan dengan riwayat hambatan pertumbuhan janin.25 Demikian pula pada berbagai aspek kecerdasan yang telah dibuktikan dari data ilmiah, dijumpai lebih rendah secara bermakna pada individu yang lahir dalam kondisi pertumbuhan janin yang terhambat dibandingkan tanpa riwayat tersebut.26
2.1. Lintasan Waktu Pada Pertumbuhan Janin Terhambat
Plasentasi terjadi dalam beberapa tahapan, namun secara sederhana dipahami sebagai dua gelombang utama plasentasi. Pada masa plasentasi, trofoblas mencari jalur koneksi terhadap arteria spiralis desidua dan kemudian terjadilah remodeling vaskular yang menyatukan keduanya. Kegagalan remodeling vaskular berakibat terbentuknya pembuluh darah yang kaku dan sempit. Kekakuan dan sempitnya pembuluh darah berakibat hipoksia dan hiponutrisi janin. Tahanan vaskular yang tinggi pada kegagalan remodeling vaskular dapat dinilai dengan menggunakan ultrasonografi Doppler velosimetri. Plasentasi yang gagal pada gelombang pertama (umur kehamilan 8-10 minggu) memunculkan tampilan ultrasonografi Doppler velosimetri berupa tampilan spektral takik prediastolik dan indeks pulsatilitas yang tinggi (>1.5) pada pengukuran laju darah. Tampilan ini dinilai pada pemeriksaan ultrasonografi di umur kehamilan 11-13 minggu. Gambaran lain yang dapat dinilai adalah volume plasenta yang kecil, rendahnya laju vaskular dan kepadatan jalinan vaskular pada plasenta, serta panjang janin (CRL) yang lebih pendek. Parameter-parameter tersebut penting untuk dinilai karena intervensi yang dapat dilakukan secara efektif harus segera dilakukan sebelum gelombang kedua plasentasi antara 16-18 minggu terjadi. Intervensi terhadap perbaikan plasenta yang dimulai setelah gelombang kedua selesai relatif tidak efektif. Bila kegagalan plasentasi terjadi melewati gelombang kedua maka akan terjadi kegagalan fungsi plasenta yang permanen yang berakibat hipoksia serta hiponutrisi pada janin. Kondisi patologis ini mengakibatkan pertumbuhan janin yang terhambat. Tampilan-tampilan ultrasonografi yang abnormal dapat mengenali proses pertumbuhan janin terhambat pada umur-umur kehamilan selanjutnya.27
Duktus venosus janin akan memperlihatkan tampilan spektral Doppler yang abnormal yaitu terbaliknya gelombang-A, disertai angka tahanan vaskular yang tinggi pada fase awal pertumbuhan janin yang terhambat. Janin kemudian akan tumbuh di bawah garis kurva pertumbuhan normal, memiliki lingkar perut yang kecil, serta jumlah cairan ketuban yang sedikit. Janin juga menjadi tidak bugar, yang dapat diperlihatkan dari skor biofisik yang buruk. Kerusakan otak yang terjadi dapat berasal dari kerusakan struktur daerah paraventrikel baik gambaran ekogenik maupun sistik. Perbandingan aliran serebral dan plasenta yang terbalik merupakan gambaran sonografis yang dapat dinilai sebelum kerusakan struktur terjadi. Nilai potong yang mencerminkan kondisi ini adalah nilai rasio tahanan vaskular serebral berbanding plasenta (C/P ratio) kurang dari satu. Hal ini terjadi dikarenakan mekanisme proteksi alami tubuh untuk mempertahankan organ paling penting ketika tubuh janin benar-benar dalam kondisi hipoksia, yaitu dengan melakukan redistribusi aliran darah secara lebih deras pada otak dan kelanjar adrenal. Suatu fenomena yang disebut dengan fenomema brain sparing. Saat inilah otak janin bisa dikatakan sedang menjerit meminta pertolongan, dan melahirkan bayi adalah keputusan klinis yang terbaik (timely delivery) meskipun masih dalam keadaan prematur.28
2.2. Neuroproteksi pada pertumbuhan janin terhambat dengan aspirin dosis rendah
Penggunaan aspirin dosis rendah untuk mencegah pertumbuhan janin terhambat menjadi salah satu isu penting pada bidang fetomaternal. Dalam 10 tahun terakhir setidaknya dijumpai lebih dari lima puluh penelitian dengan topik terkait isu ini. Hasil-hasil penelitian yang dapat diringkas terhadap isu tersebut adalah bahwa memberikan aspirin dosis rendah antara 75-150 mg/hari sebelum umur kehamilan 16 minggu secara bermakna dapat mengurangi kejadian pertumbuhan janin terhambat beserta komplikasi hingga lebih dari separuhnya (RR=0,46; CI:0,33-0,64). Berbeda dengan data di atas, bila intervensi dimulai setelah lewat dari umur kehamilan 16 minggu maka hasilnya tidak signifikan.29
Aspirin dosis rendah yang diberikan disarankan untuk diminum malam hari sebelum tidur dan tidak dalam kondisi perut kosong. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan efektivitas terapi serta mencegah efek samping berupa iritasi lambung. Data lain menunjukkan bahwa aspirin dosis rendah dengan cara pemberian seperti di atas selain menurunkan kejadian pertumbuhan janin terhambat, secara signifikan juga dapat menurunkan kejadian preeklamsia dan persalinan preterm.30
Aspirin dosis rendah dianjurkan untuk diberikan secara konsisten hingga umur kehamilan 37 minggu. Belum ada data yang menunjukkan bahwa pemberian aspirin dosis rendah ini dapat memberikan efek samping terhadap janin. Pemberian aspirin dosis tinggi (lebih dari 500 mg) pada trimester ketiga dapat mengakibatkan penutupan awal foramen ovale dan duktus arteriosus serta mengakibatkan gangguan koagulasi ringan pascasalin. Namun hal ini tidak terjadi pada pemberian aspirin dosis rendah dalam strategi neuroproteksi yang hanya menggunakan dosis 150 mg atau kurang.29,30
2.3. Neuroproteksi Pada Pertumbuhan Janin Terhambat Dengan Asupan Kalori-Protein Seimbang
Hal yang sering menjadi salah kaprah adalah mayoritas masyarakat mengetahui bahwa untuk memperbaiki pertumbuhan janin diperlukan makanan dan minuman yang manis dan berkalori tinggi saja. Padahal pola makan minum tersebut justru tidak akan membantu mencapai apa yang diharapkan dan justru sebaliknya, mengakibatkan kondisi menjadi semakin buruk. Transpor gula pada plasenta terjadi melalui jalur transpor yang difasilitasi, khususnya oleh transporter gula tipe-4 (GLUT-4). Asam amino esensial, khususnya arginin, lisin dan taurin bertugas untuk membentuk komponen GLUT-4 tersebut, sehingga tanpa kecukupan protein maka mustahil gula dapat dibawa dalam jumlah yang cukup kepada janin. Lisin sebagai komponen asam amino esensial bila ditinjau tersendiri, terbukti mampu menjadi prekrusor yang baik dalam proses pembentukan massa otot melalui jalur aktivitas mTOR, RAPTOR, dan PRAS-40. Namun perlu diperhatikan, bila hanya protein saja yang diberikan, maka tidak akan terjadi proses anabolisme yang dicetuskan oleh perubahan metabolisme insulin melalui peningkatan aktivitas IGF-1. Yang terjadi justru kenaikan glukagon, sebuah hormon katabolik, sehingga metabolisme keton akan mengakibatkan lipolisis serta destruksi massa otot.31
Kesimpulannya adalah memberikan intervensi nutrisi dengan asupan protein dan kalori secara berimbang adalah intervensi nutrisi terbaik dalam tatalaksana kasus pertumbuhan janin terhambat, namun dengan syarat bahwa arus darah pada plasenta dan tali pusat masih menjalankan fungsinya untuk menghantarkan oksigen dan nutrisi dengan baik.
2.4. Neuroproteksi Pada Pertumbuhan Janin Terhambat Dengan Multimikronutrien
Berbagai mikronutrien diperlukan dalam proses tumbuh kembang janin. Kecukupan nutrisi tersebut adalah salah satu poin penting dalam mencegah pertumbuhan janin terhambat. Kondisi defisiensi nutrisi terhadap folat, besi, kalsium, magnesium, vitamin D, vitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin B kompleks, zink, selenium, DHA, EPA serta mikronutrien lainnya telah terbukti secara signifikan meningkatkan kejadian pertumbuhan janin terhambat.31,32
Secara harfiah, kecukupan nutrisi pada janin meliputi suatu proses kompleks yang melibatkan diet ibu, status endokrin dan metabolisme, adaptasi kardiovaskular terhadap proses kehamilan, serta fungsi plasenta. Diet sehari-hari ternyata bukan faktor utama yang menentukan kecukupan mikronutrisi pada ibu hamil. Data penelitian berskala besar melaporan bahwa persentase ibu hamil di Indonesia dengan insufisiensi atau defisiensi mikronutrien cukup tinggi. Pola makan yang tidak variatif, porsi yang kurang, dan tidak memperhatikan proporsi jenis makanan untuk kecukupan gizi secara benar menjadi salah satu penyebab utama defisiensi nutrisi dan mikronutrien. Budaya makan dengan pola setengah porsi sayur dan buah, seperempat porsi karbohidrat, dan seperempat porsi protein tampaknya masih harus disosialisasikan secara masif dan terus-menerus di masyarakat Indonesia.33-35
Pemahaman mengenai suplementasi mikronutrien pada dosis intervensi atau dosis rumatan rasanya juga belum banyak dimengerti oleh masyarakat dan bahkan tenaga kesehatan. Penegakan diagnosis insufisiensi atau defisiensi nutrisi sering terkendala dengan mahalnya biaya pemeriksaan dan kemampuan laboratorium dalam memeriksa komponen nutrisi tersebut.36
Terkait dengan mikronutrien yang mampu menghambat proses inflamasi serta apoptosis, kombinasi antiinflamasi nutrisional seperti vitamin E, vitamin C, dan zink serta suplementasi DHA dosis tinggi mampu meningkatkan superoxide dismutase (SOD) yang mampu menghambat lepasnya NF-κB dari ikatan I-κB, sehingga jalur yang mencetuskan pelepasan agen inflamasi khususnya dari sel T-helper tipe 1 yaitu IL-1, IL-6, TNF alfa dapat diminimalisasi dan proses inflamasi dapat dihambat atau dihentikan. Antiinflamasi nutrisional juga terbukti mampu menghambat proses kematian sel atau apoptosis melalui supresi produksi caspase-3 dan caspase-9. Antiinflamasi nutrisional mampu menghambat produksi VCAM-1 sehingga proses demielinisasi yang merisak sinaps saraf dapat dicegah. Pada kesimpulannya, antiinflamasi dan antiapoptosis nutrisional yang merupakan kumpulan mikronutrien yang disuplementasikan pada pertumbuhan janin terhambat tergolong aman dan mampu mendukung proses neuronalisasi, dendritogenesis, sinaptogenesis, mielinisasi, migrasi neuronal, dan pembentukan hormon neurotropik dengan baik.37-40
PENUTUP
Konsep neuroproteksi antenatal pada kehamilan dengan potensi persalinan preterm dan hambatan pertumbuhan janin sudah seharusnya dapat dipahami dan diimplementasikan pada setiap layanan kesehatan ibu hamil di Indonesia. Harapannya adalah bayi yang dilahirkan dapat terhindar dari jejas otak yang permanen, sehingga setiap kehamilan di Indonesia dapat melahirkan insan yang memiliki kesehatan dan kecerdasan yang optimal guna menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas dan unggul.
DAFTAR PUSTAKA
Bachnas MA, Akbar MIA, Dachlan EG, Dekker G. The role of magnesium sulfate (MgSO 4 ) in fetal neuroprotection . J Matern Neonatal Med. 2019;0(0):1–13.
Sebire NJ, Sepulveda W. Correlation of placental pathology with prenatal ultrasound findings. J Clin Pathol. 2008;61(12):1276–84.
Berkley E, Chauhan SP, Abuhamad A. Doppler assessment of the fetus with intrauterine growth restriction. American Journal of Obstetrics and Gynecology 2012;206(4):300–8.
Kim MY, Buyon JP, Guerra MM, Rana S, Zhang D, Laskin CA, et al. Angiogenic factor imbalance early in pregnancy predicts adverse outcomes in patients with lupus and antiphospholipid antibodies: Results of the PROMISSE study. Am J Obstet Gynecol. 2016;214(1):108.e1-14.
Burton GJ, Jauniaux E. Pathophysiology of placental-derived fetal growth restriction. Am J Obstet Gynecol. 2018;218(2):S745–61.
Giannubilo S, Tranquilli A. Anticoagulant Therapy During Pregnancy for Maternal and Fetal Acquired and Inherited Thrombophilia. Curr Med Chem. 2012;19(27):4562–71.
Di Renzo GC, Gratacos E, Kurtser M, Malone F, Nambiar S, Sierra N, et al. Good clinical practice advice: Prediction of preterm labor and preterm premature rupture of membranes. Int J Gynecol Obstet. 2019;144(3):340–6.
Bachnas MA, Mose JC, Effendi JS, Andonotopo W. Influence of antenatal magnesium sulfate application on cord blood levels of brain-derived neurotrophic factor in premature infants. J Perinat Med.2014; 42(1):129–34.
Nardozza LMM, Caetano ACR, Zamarian ACP, Mazzola JB, Silva CP, Marçal VMG, et al. Fetal growth restriction: current knowledge. Arch Gynecol Obstet. 2017;295(5):1061–77.
Blencowe H, Cousens S, Chou D, Oestergaard M, Say L, Moller A, et al. Born Too Soon: The global epidemiology of 15 million preterm births. Reprod Health. 2013;10(Suppl 1):1–14.
Beck S, Wojdyla D, Say L, Betran AP, Merialdi M, Requejo JH, et al. The worldwide incidence of preterm birth: A systematic review of maternal mortality and morbidity. Bull World Health Organ. 2010;88(1):31–8.
Brookfield KF, Elkomy M, Su F, Drover DR, Carvalho B. Optimization of Maternal Magnesium Sulfate Administration for Fetal Neuroprotection: Application of a Prospectively Constructed Pharmacokinetic Model to the BEAM Cohort. J Clin Pharmacol. 2017;57(11):1419–24.
Magpie Trial Follow-Up Study Collaborative Group MTF-USC. The Magpie Trial: a randomised trial comparing magnesium sulphate with placebo for pre-eclampsia. Outcome for children at 18 months. BJOG [Internet]. 2007;114(3):289–99.
Crowther CA, Hiller JE, Doyle LW, Haslam RR, Australasian Collaborative Trial of Magnesium Sulphate (ACTOMg SO4) Collaborative Group. Effect of Magnesium Sulfate Given for Neuroprotection Before Preterm Birth. JAMA. 2003;290(20):2669.
Peebles D, Kenyon AP. Magnesium Sulphate to Prevent Cerebral Palsy following Preterm Birth. RCOG Sci Impact Pap. 2014;29:7.
American College of Obstetricians and Gynecologists Committee on Obstetric Practice, Society for Maternal-Fetal Medicine. Committee Opinion No. 455: Magnesium Sulfate Before Anticipated Preterm Birth for Neuroprotection. Obstet Gynecol [Internet]. 2010;115(3):669–71.
South Australia Guidelines. Clinical Guideline: Magnesium sulphate for neuroprotection of the fetus in women at risk of preterm birth. 2019.
WHO. WHO recommendation on the use of magnesium sulfate for fetal protection from neurological complications. 2015;1–7.
Bain E, Middleton P, Yelland L, Ashwood P, Crowther C. Maternal adverse effects with different loading infusion rates of antenatal magnesium sulphate for preterm fetal neuroprotection: the IRIS randomised trial. BJOG An Int J Obstet Gynaecol. 2014;121(5):595–603
Sumber: Medicinus Agustus 2020 vol. 33 issue 2