top of page

Pahami Tentang Hipoglikemia Agar Lebih Waspada

Diperbarui: 21 Jul 2021





Pendahuluan

Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang mendapatkan obat antidiabetes.1 Pengetahuan mengenai hipoglikemia dan obat apa saja yang sering menyebabkan hipoglikemia menjadi penting untuk pasien tersebut agar dapat meningkatkan compliance pasien diabetes melitus dalam penggunaan obat antidiabetes. Bagi orang awam, hipoglikemia mungkin masih menjadi istilah yang agak asing dibandingkan dengan istilah hiperglikemia. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang lebih tinggi dari batas normal. Sebaliknya, hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang lebih rendah dari kadar glukosa darah normal.


Regulasi kadar glukosa pada orang normal2

Pada orang sehat terdapat dua macam hormon yang berperan dalam mengatur kada glukosa darah, yaitu insulin dan glukagon. Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta yang terdapat di dalam organ pankreas, sedangkan glukagon dihasilkan oleh sel alfa di dalam pankreas. Insulin bekerja dengan cara meningkatkan proses pengambilan glukosa dari dalam darah oleh sel-sel tubuh, sehingga terjadi penurunan kadar glukosa darah. Sementara itu, glukagon berfungsi untuk meningkatkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan produksi glukosa dari hati dan meningkatkan proses glukoneogenesis. Meningkatnya kadar glukosa darah akan memberikan sinyal ke pankreas agar sekresi insulin ditingkatkan dan sekresi glukagon diturunkan, sehingga akan terbentuk keseimbangan homeostasis kadar glukosa yang normal.


Secara normal, setelah seseorang makan, sekresi insulin akan meningkat agar terjadi pengambilan glukosa pada hati dan jaringan perifer secara optimal. Sedangkan glukagon akan berkerja secara berlawanan yaitu sekresi glukagon menjadi berkurang. Pada saat kadar glukosa darah rendah (misalnya pada orang berpuasa), sekresi glukagon akan meningkat, sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cara menstimulasi pemecahan glikogen yang tersimpan dalam hati menjadi glukosa dan meningkatkan proses glukoneogenesis.


Gambar 1. Peran insulin dan glukagon dalam mengatur kadar glukosa darah

(diambil dari: Experimental & Molecular Medicine (2016) 48, e219; doi:10.1038/emm.2016.6)

(diambil dari: Experimental & Molecular Medicine (2016) 48, e219; doi:10.1038/emm.2016.6)


Kategori hipoglikemia3,4

Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi dalam penanganan atau terapi diabetes melitus yang ditakuti, baik diabetes melitus tipe 1 maupun tipe 2.3


American Diabetes Association (ADA, 2020) dalam standar penanganan medis diabetes melitus 2020 membagi hipoglikemia menjadi tiga derajat berdasarkan kadar glukosa darah. Pertama, hipoglikemia derajat 1, jika kadar glukosa darah <70 mg/dl (3,9 mmol/l) dan ≥54 mg/dl (3,0 mmol/dl). Orang dengan diabetes memiliki gangguan respons hormon pengatur gula darah pada kondisi hipoglikemia. Oleh karena itu, kadar glukosa <70 mg/ dlmenjadi salah satu parameter klinis yang penting, tidak tergantung pada keparahan gejala hipoglikemia akut. Kategori berikutnya adalah hipoglikemia derajat 2 jika kadar glukosa darah <54 mg/dl (3,0 mmol/l). Hipoglikemia derajat 2 adalah awal di mana gejala neuroglikopenia mulai muncul dan diperlukan tindakan segera untuk memulihkan kondisi hipoglikemia tersebut. Kategori terakhir adalah hipoglikemia derajat 3. Kategori ini adalah jika terjadi insiden yang lebih parah, yang ditandai dengan penurunan status mental dan/atau fisik pasien, di mana dibutuhkan bantuan dari orang lain untuk penanganannya, misalnya sampai terjadi pingsan, koma atau kejang. Salah satu yang masuk dalam kategori ini adalah koma hipoglikemia.3,4


Tabel 1. Klasifikasi hipoglikemia menurut ADA - 2020

(diambil dari: Diabetes Care 2020;43(Suppl. 1):S66–S76 | https://doi. org/10.2337/dc20-S006)


Insiden atau kejadian hipoglikemia ini termasuk sering dan biasa terjadi, namun angka insidensinya tidak mudah untuk ditentukan karena sering kali bersifat asimtomatis sehingga tidak terlaporkan. Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan untuk mengetahui dan memahami hal ini untuk mencegah efek dan kondisi yang lebih parah lagi.4


Gejala dan tanda hipoglikemia4,5

Gejala hipoglikemia dibedakan menjadi dua kategori, gejala neurogenik dan gejala neuroglikopenia (neuroglycopenia). Gejala neurogenik muncul karena adanya aktivasi sistem saraf otonom. Gejala neurogenik dan tanda yang diakibatkan oleh peningkatan pelepasan epinefrin antara lain gemetar, cemas, gelisah, berkeringat, jantung berdebar atau palpitasi, mulut kering, pucat, dan dilatasi pupil mata. Sedangkan gejala yang dimediasi oleh aktivasi saraf kolinergik meliputi keringat dingin atau diaphoresis, rasa lapar, dan kesemutan (paresthesia). Pada orang tanpa diabetes, gejala ini juga dapat muncul jika kadar glukosa darah turun sampai kurang lebih pada kadar 3,9 mmol/l pada orang dewasa dan kadar 3,2 mmol/l pada anak-anak.


Gejala neuroglikopenia terjadi sebagai akibat dari penurunan kadar glukosa di dalam otak. Timbulnya gejala neuroglikopenia dapat menjadi tanda yang dapat dikenali oleh orang di sekitar penderita hipoglikemia. Gejala neuroglikopenia meliputi abnormal mentation, iritabilitas, kebingungan, kesulitan berbicara, ataksia, kesemutan, sakit kepala, terdiam dalam beberapa saat atau stupor, dan jika tidak tertangani dengan baik dapat berakibat pada kejang, koma bahkan dapat menyebabkan kematian. Gejala neuroglikopenia juga dapat termasuk penurunan neurological fokal sementara (transient focal neurological deficits) seperti diplopia (pandangan ganda) maupun kelemahan otot, lumpuh sebagian atau hemiparesis.


Tabel 2. Gejala neurogenik dan neuroglikopenia pada hipoglikemia

(Tabel diambil dari: Briscoe VJ, et al. 2006)


Berbagai faktor penyebab hipoglikemia6,7,8

Penyebab terjadinya hipoglikemia dapat bervariasi, namun kondisi ini memang seringkali terjadi pada pasien dengan diabetes melitus dan pada umumnya terkait dengan pengobatan yang digunakan. Obat-obat diabetes seperti insulin ataupun obat golongan sulfonylurea merupakan penyebab paling sering terjadinya hipoglikemia. Injeksi jenis insulin yang salah, dosis yang berlebih atau injeksi ke dalam otot dan bukan subkutan dapat menjadi penyebab terjadinya hipoglikemia. Begitu juga, obat-obatan golongan sulfonylurea kerja panjang misalnya glibenclamide lebih sering menyebabkan terjadinya hipoglikemia dibandingkan dengan yang kerja pendek misalnya gliclazide dan glipizide. Selain itu, beberapa obat lain juga pernah dilaporkan menyebabkan terjadinya hipoglikemia, misalnya metformin dan rosiglitazone. Kombinasi antara metformin dengan obat golongan sulfonylurea dilaporkan memiliki risiko yang lebih besar untuk menyebabkan terjadinya hipoglikemia yang parah, bahkan meningkatkan risiko kematian. Pada umumnya, terjadinya hipoglikemia terkait penggunaan metformin terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan makanan dengan dosis metformin.


Pola makan juga dapat menjadi salah satu penyebab hipoglikemia. Mengurangi asupan karbohidrat dari biasanya tanpa menyesuaikan dosis insulin atau obat antidiabetes merupakan salah satu hal yang memicu terjadinya hipoglikemia. Puasa, menunda makan atau melewatkan makan juga dapat menyebabkan hipoglikemia. Konsumsi alkohol dapat meningkatkan sekresi insulin dan menghambat hati untuk memproduksi glukosa sehingga dapat terjadi penurunan kadar glukosa darah. Selain itu, aktivitas fisik yang berlebihan juga dapat menjadi penyebab hipoglikemia. Aktivitas fisik akan meningkatkan proses pembakaran glukosa menjadi energi. Jika tidak diimbangi dengan asupan yang cukup, bisa menyebabkan penurunan kadar glukosa darah yang ekstrim.


Kondisi lain yang terkait dengan hipoglikemia, selain pada penderita diabetes, adalah hipoglikemia reaktif. Hipoglikemia reaktif dapat bersifat idiopatik, kondisi patologi saluran pencernaan maupun terjadi akibat defisiensi enzim secara kongenital. Hipoglikemia alimentary merupakan salah satu bentuk dari hipoglikemia reaktif yang terjadi pada pasien yang pernah menjalani pembedahan gastrointestinal bagian atas misalnya gastrektomi, gastrojejunostomi, vagotomi, maupun piroloplasti dan mengakibatkan waktu transit dan absorpsi glukosa di usus menjadi sangat singkat. Defisiensi enzim kongenital meliputi intoleransi fruktosa, galaktosemia, dan sensitivitas leusin pada anak-anak. Pada orang dengan intoleransi fruktosa dan galaktosemia adalah suatu penyakit defisiensi enzim hati yang menyebabkan terjadinya penghambatan pembentukan glukosa dari hati ketika ada asupan makanan yang mengandung fruktosan atau galaktosa. Sedangkan leusin akan memicu terjadinya respons sekresi insulin yang berlebihan yang menyebabkan terjadinya hipoglikemia reaktif pada anak-anak yang mengalami sensitivitas leusin. Beberapa penyebab lainnya antara lain kehamilan, insufisiensi adrenal, hipopituitarisme, kelaparan, maupun glikosuria renalis.


Selain itu, obat-obatan lain juga dicurigai dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Sebagai contoh salisilat dan antagonis reseptor beta-adrenergik, dapat menyebabkan hipoglikemia pada kasus overdosis, namun jarang sekali terjadi pada dosis standar. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa obat-obatan beta-bloker, terutama yang nonselektif betabloker, dapat menyebabkan hipoglikemia tanpa disadari (hypoglycemia unawareness) dengan menurunkan berbagai gejala adrenergic hipoglikemia seperti termor maupun palpitasi atau jantung berdebar-debar. Hipoglikemia juga sering terjadi pada pasien rawat inap seperti pasien sepsis atau penyakit kritis lainnya, pasien tanpa asupan per oral.


Tabel 3. Obat-obat yang dapat menyebabkan hipoglikemia


(diambil dari: https://www.uspharmacist.com/article/addressinghypoglycemic-emergencies)


Akibat hipoglikemia4, 7, 8

Prognosis dari hipoglikemia tergantung dari penyebab, keparahan penurunan kadar glukosa darah, dan durasi atau berapa lama terjadinya hipoglikemia tersebut. Jika kondisi hipoglikemia dapat diketahui dengan segera dan dapat ditangani dengan baik akan memberikan hasil perbaikan yang baik pula. Sebaliknya, jika tidak segera diketahui dan menjadi semakin parah, maka prognosisnya pun akan menjadi lebih buruk karena dapat menyebabkan diabetes melitus. Jika seseorang mengalami hipoglikemia reaktif, pada umumnya lebih mudah ditangani dengan mengubah pola makan.


Salah satu akibat apabila hipoglikemia tidak tertangani dengan baik adalah koma diabetik. Pada kondisi normal, penurunan kadar glukosa darah akan mengaktifkan mekanisme homeostasis tubuh dengan meningkatkan sekresi glukagon dan menurunkan sekresi insulin. Jika mekanisme fisiologis ini gagal untuk menjaga kadar glukosa darah untuk kembali normal, akan menimbulkan gejala neurogenik. Jika tidak ditangani dan kadar glukosa darah terus menurun akan menimbulkan gejala neuroglikopenia yang ditandai dengan adanya gangguan kesadaran dari penderita maupun dapat terjadi kejang. Kadar glukosa darah yang turun sampai pada kadar 41-49 mg/dL (2,3-2,7 mmol/L) dapat memicu terjadinya kehilangan kesadaran atau koma dan kerusakan neurologis yang permanen dapat terjadi jika kadar glukosa darah tidak segera dikoreksi. Salah satu studi menunjukkan bahwa pada kondisi terjadi penurunan kadar glukosa di dalam otak dapat meningkatkan produksi superoksida hypoglikemia dengan adanya aktivasi enzim NADPH oksidase yang dapat meningkatkan risiko kematian sel-sel neuron. Studi ini juga menunjukkan bahwa produksi superoksida hipoglikemia dan enzim NADPH oksidase dapat diturunkan seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah. Oleh karena itu, jika terjadi hipoglikemia seharusnya dengan segera dikoreksi untuk menurunkan risiko yang lebih parah seperti kematian sel neuron pada otak.




Gambar 2. Rangkaian respons terhadap penurunan kadar glukosa darah (diambil dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1838950/pdf/ JCI0731669.pdf)


Selain efek secara fisiologis, hipoglikemia juga memiliki efek secara psikososial di mana dapat menurunkan kualitas hidup penderita serta interaksi sosialnya. Kondisi-kondisi tersebut juga dapat memicu timbulnya kecemasan atau ansietas yang justru juga dapat mempengaruhi proses terapi diabetes yang berakibat pada terapi yang suboptimal. Hal ini justru ditakutkan bahwa penderita maupun keluarga penderita justru malah lebih menerima kondisi dengan kadar glukosa darah yang tinggi, dan menjadi takut untuk menurunkan atau mengontrol kadar glukosa darah menggunakan terapi yang dianjurkan. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan terapi menjadi suboptimal.


Penanganan dan pencegahan hipoglikemia4,10

Terutama pada pasien diabetes, edukasi mengenai hipoglikemia termasuk faktor risiko penyebab hipoglikemia, pengenalan, dan pengetahuan mengenai tanda dan gejala hipoglikemia dan pengukuran rutin kadar glukosa darah untuk mengetahui kadar glukosa dan cara penanganan hipoglikemia menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui. Jika kadar glukosa darah turun sampai <70 mg/dl (3,9 mmol/l) dianjurkan untuk segera memberikan pertolongan untuk mencegah agar tidak semakin menurun. Pada orang dewasa, pemberian karbohidrat dalam bentuk glukosa sebesar 20 gram dapat meningkatkan kadar glukosa darah sekitar 45-65 mg/dl (2,5 – 3,6 mmol/l). Sedangkan, pada penderita anak-anak dianjurkan memberikan glukosa 9 gram untuk anak dengan berat badan 30 kg atau 15 gram untuk anak dengan berat badan 50 kg. Studi menunjukkan bahwa pemberian asupan glukosa pada dosis tersebut, pada anak-anak, dapat terjadi peningkatan kadar glukosa sekitar 1-1,3 mmol/l dalam waktu 10 dan 2-2,1 mmol/l dalam waktu 15 menit. Oleh karena itu, dianjurkan untuk melakukan pengukuran kadar glukosa darah dalam waktu 10-15 menit setelah pemberian glukosa pada penderita hipoglikemia. Jika respons tidak sesuai dengan yang diharapkan, dianjurkan untuk mengulangi pemberian glukosa sesuai dosis yang dianjurkan tersebut. Selain itu, pada umumnya, setelah pemberian glukosa, penderita juga dianjurkan untuk mengonsumsi sumber karbohidrat lainnya seperti roti, susu, biskuit, maupun buah. Karbohidrat dari bahan makanan tersebut merupakan jenis karbohidrat yang lebih lama tercerna, sehingga dapat membantu mempertahankan kadar glukosa darah setelah pemberian glukosa oral. Namun, pemberian coklat atau makanan yang mengandung lemak sebaiknya dihindari pada penanganan awal hipoglikemia, karena makanan jenis ini memiliki waktu pencernaan dan pelepasan glukosa yang lebih lambat. Untuk kejadian hipoglikemia yang lebih parah, memang dianjurkan untuk meminta pertolongan orang lain atau sesegera mungkin menghubungi fasilitas kesehatan terdekat.


Penderita diabetes juga dianjurkan untuk selalu menyediakan makanan yang mengandung glukosa sebagai pertolongan pertama pada saat mulai merasakan gejala-gejala hipoglikemia. Bahan makanan tersebut antara lain tablet glukosa, permen, madu, sirup jagung, minuman botol yang mengandung glukosa seperti soda atau jus. Namun, perlu dihindari adalah mengonsumsinya dalam jumlah yang berlebihan, karena hal ini justru malah dapat meningkatkan kadar glukosa melebih target yang seharusnya. Dalam penangan hipoglikemia, ada yang dinamakan dengan aturan 15-15 (15-15 rule) yaitu cukup dengan 15 gram karbohidrat atau glukosa dan lakukan pengecekan kadar glukosa 15 menit setelahnya.


Kesimpulan

Hipoglikemia adalah penurunan kadar glukosa dalam darah di bawah kadar normal. Pada umumnya penurunan kadar glukosa darah sampai <70mg/dl (3,9 mmol/l) sudah memunculkan gejala, baik gejala neurogenik maupun neuroglikopenia. Penderita sebaiknya mengenali berbagai macam gejala hipoglikemia sehingga menjadi lebih waspada dan dapat melakukan tindakan penangan sesegera mungkin untuk menghindari efek yang lebih buruk jika terjadi hipoglikemia.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Putra RJS, Achmad A, Rachma H. Kejadian efek samping potensial terapi obat anti diabetes pasien diabetes melitus berdasarkan algoritma naranjo. Pharmaceutical Journal of Indonesia 2017;2(2):45-50.

  2. Roder PV, et al. Pancreatic regulation of glucose homeostasis. Experimental & Molecular Medicine 2016;48:219.

  3. American Diabetes Association. Glycemic Targets: Standards of Medical Care in Diabetes—2020. Diabetes Care 2020;43:66–76.

  4. Abraham MB, et al. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2018: Assessment and management of hypoglycemia in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes 2018;19:178-92.

  5. Briscoe VJ, Davis SN. Hypoglycemia in Type 1 and Type 2 Diabetes: Physiology, Pathophysiology, and Management. Clinical Diabetes 2006;24(3):115-21.

  6. Hypoglycemia: Essential Clinical Guidelines. | doi: http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.86994

  7. Hamdy O. Hypoglycemia treatment and management. (cited 2020 Feb 10). Available from: URL: https:// emedicine.medscape.com/article/122122-overview

  8. Thome J, Byom D, Addressing hypoglycemic emergencies. US Pharm. 2018;43(10):2-6. Available from: URL: https://www.uspharmacist.com/article/addressing-hypoglycemic-emergencies

  9. Cryer PE. Hypoglycemia, functional vrain failure, and brain death. J Clin. Invest. 2007’117:868-70.

  10. American Diabetes Association. Hypoglycemia (Low Blood sugar). (cited 2020 Feb 10). Available from URL: https://www. diabetes.org/diabetes/medication-management/blood-glucose-testing-and-control/hypoglycemia


Sumber: Medicinus Mei 2020 vol. 33 issue 1

DAPATKAN KABAR TERBARU SEPUTAR DUNIA MEDIS

Anda berhasil mendaftar!

DIKELOLA OLEH PT GLOBAL URBAN ESENSIAL
bottom of page