Pendekatan Multiperspektif dalam Manajemen Penyakit Asma
Sumber: Medicinus Vol. 35 ISSUE 3, DECEMBER 2022
Dito Anurogo[1],[2]
[1]Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Makassar, Indonesia.
[2]International PhD Program for Cell Therapy and Regeneration Medicine, College of Medicine, Taipei Medical University, Taiwan
Abstrak Asma adalah suatu gangguan inflamasi kronis di saluran pernapasan. Tulisan ilmiah ini bertujuan untuk menjelaskan penyakit asma secara komprehensif, mencakup epidemiologi, etiologi, diet dan nutrisi, faktor genetik dan epigenetic, patofisiologi, penilaian kontrol asma, berikut tata laksana serta tren perkembangan terapi pada masa yang akan datang seperti penggunaan nanoteknologi. Kata kunci: asma, tata laksana, nanoteknologi.
Abstract Asthma is a chronic inflammatory disorder of the respiratory tract. This scientific review aims to provide comprehensive explanation about asthma, including epidemiology, etiology, diet and nutrition, genetic and epigenetic factor, pathophysiology, asthma control evaluation, imaging, management, and trend toward novel therapy in the future, such as nanotechnology. Keywords: asthma, management, nanotechnology.
Pendahuluan Asma adalah suatu gangguan inflamasi kronis di saluran pernapasan. Inflamasi kronis menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas, menimbulkan konstelasi gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, serta batuk, terutama malam dan atau dini hari.[1] Gejala episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi, dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.[2]
Penyakit asma ditandai dengan inflamasi saluran pernapasan yang terkait dengan perubahan struktural saluran pernapasan yang luas, mencakup hilangnya fungsi barrier epitel, hiperplasia sel goblet, penebalan membran basal retikuler subepitel melalui peningkatan deposisi protein matriks ekstraseluler, serta peningkatan massa otot polos di saluran pernapasan. Perubahan ini, yang disebut juga sebagai remodelling saluran pernapasan, menyebabkan penyempitan lumen saluran pernapasan yang berkontribusi terhadap obstruksi aliran udara.[3],[4]
Gambaran klinis asma lainnya adalah hiperesponsivitas saluran pernapasan; peningkatan sensitivitas terhadap agonis konstriktor inhalasi yang menyebabkan penyempitan saluran pernapasan berkesinambungan sebagai respons terhadap lingkungan. Pada sebagian besar pasien, gejala asma dikendalikan menggunakan corticosteroid inhalasi dan bronkodilator, terutama beta-2 adrenergic receptor agonists dan antikolinergik. Akan tetapi, pengobatan ini kurang memberikan outcome yang baik pada sebagian kecil pasien dengan derajat keparahan asma yang berat, oleh karena itu diperlukan adanya pengembangan terapi baru yang lebih efektif.[5]
Epidemiologi Survei memprediksi bahwa terdapat lebih dari 300 juta penderita asma di seluruh dunia, dan lebih dari 400 juta orang akan terdiagnosis asma pada masa depan. Prevalensi asma pada anak memiliki angka yang bervariasi menurut variasi geografis, namun prevalensi global diprediksikan juga dapat meningkat dari 9,1% menjadi 9,5% pada anak-anak dan dari 9,1% menjadi 10,4% pada remaja.[6] Studi lain mengungkapkan bahwa asma memengaruhi sekitar 262 juta jiwa pada tahun 2019 dan bertanggung jawab pada terjadinya 455 ribu kematian.[7]
Studi epidemiologi tentang asma pada anak-anak prasekolah berusia 3-6 tahun di Shanghai, Tiongkok menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) berhasil mengidentifikasi prevalensi anak-anak yang memiliki riwayat asma (16%), sedang menderita asma (11,2%), dan terdiagnosis asma oleh dokter (5,3%).[8]
Sebuah systematic review dan metaanalisis yang dilakukan pada anak-anak dan remaja di Iran menunjukkan prevalensi asma pada anak-anak sebesar 6% dan remaja sebesar 8%. Adapun prevalensi asma pada anak laki-laki (9%) tidak berbeda jauh dengan pada anak perempuan (8%). Di antara gejala asma, mengi (wheezing) memiliki prevalensi tertinggi (17% pada anak-anak dan 19% pada remaja) dan gangguan tidur memiliki prevalensi terendah (6% pada anak-anak dan 6% pada remaja).[9]
Di Indonesia, meskipun prevalensi asma belum diketahui pasti, namun diprediksi 2-5 % penduduk Indonesia menderita asma. Berdasarkan Survei Dokter Umum yang dilakukan di tahun 1992, beragam kuesioner telah dikirim ke 185 dokter umum di 17 kota di Indonesia. Persentase asma menunjukkan hasil sebesar 0,5-20% dengan nilai rata-rata 4,8% dari total pasien yang berobat ke dokter umum. Hasil penelitian oleh Perhimpunan Alergi-Imunologi Indonesia menunjukkan prevalensi asma pada kelompok umur 13-14 tahun sebesar 2,1% di Bandung dan sekitar 9% di Ujung Pandang. Nilai rata-rata dari 5.286 populasi anak yang mengalami mengi dalam 1 tahun terakhir mencapai 4,2%. Menurut situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (https://www.kemkes.go.id/article/view/20030900007/penderita-asma-di-indonesia.html) yang diakses pada 16 Mei 2022), Aceh Barat, Buol, Pohuwato, Sumba Barat, Boalemo adalah lima kota/kabupaten dengan prevalensi tertinggi secara nasional untuk penyakit asma, masing-masing dengan persentase sebesar 13,6%; 13,5%; 13%; 11,5%; dan 11%. Adapun tiga kota/kabupaten dengan prevalensi terendah untuk asma adalah Yahukimo, Langkat, dan Lampung Tengah, masing-masing dengan persentase sebesar 0,2%; 0,5%; dan 0,5%.
Etiologi Asma terdiri dari berbagai fenotipe heterogen yang berbeda dalam presentasi, etiologi, dan patofisiologi. Faktor risiko untuk setiap fenotipe asma yang telah diketahui yaitu faktor genetik, lingkungan, dan pejamu. Meskipun riwayat asma dalam keluarga sering terjadi, namun bukan merupakan faktor tunggal untuk perkembangan penyakit asma.[10] Peningkatan substansial dalam kejadian asma selama beberapa dekade terakhir, variasi geografis di kedua tingkat prevalensi dasar, dan besarnya peningkatan kasus mendukung hipotesis bahwa perubahan lingkungan memainkan peran besar dalam epidemi asma saat ini. Selain itu, pemicu lingkungan dapat memengaruhi asma secara berbeda pada waktu yang berbeda dalam masa hidup seseorang, dan faktor risiko yang relevan dapat berubah seiring waktu. Studi jangka pendek dari faktor risiko mungkin menyarankan kemungkinan asma yang lebih rendah, sedangkan faktor yang sama dapat dikaitkan dengan risiko yang lebih besar jika tindak lanjut lebih lama. Pola ini mungkin berhubungan dengan tumpang tindih antara fenotipe mengi yang berbeda pada anak usia dini, hanya beberapa yang bertahan sebagai asma di kemudian hari dan pada usia dewasa.[11]
Pengaruh Diet dan Nutrisi Studi observasional yang mengevaluasi tingkat nutrisi prenatal atau intervensi diet dan perkembangan penyakit atopik selanjutnya telah difokuskan pada makanan dengan sifat antiinflamasi (misalnya, asam lemak omega-3) dan antioksidan seperti vitamin E dan zink. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa konsumsi ikan atau minyak ikan yang lebih tinggi selama kehamilan dikaitkan dengan risiko penyakit atopik yang lebih rendah (khususnya eksim dan mengi atopik) hingga usia enam tahun.[12] Demikian pula, kadar vitamin E dan zink prenatal yang lebih tinggi telah dikaitkan dengan risiko pengembangan mengi yang lebih rendah hingga usia lima tahun. Namun, tidak teramati adanya efek perlindungan terhadap perkembangan penyakit atopik pada bayi yang ditunjukkan untuk diet ibu yang mengecualikan makanan tertentu (misalnya, susu sapi, telur) selama kehamilan.[13]
Terdapat riset yang melaporkan hubungan terbalik antara kadar vitamin D di tubuh ibu dengan mengi di awal kehidupan, namun tidak ada hubungan dengan atopi atau gejala pada kemudian hari.[14] Infeksi rhinovirus dapat meningkatkan mikrobiota saluran napas yang didominasi patogen yang meningkatkan risiko mengi. Meskipun antivirus spesifik untuk rhinovirus masih belum tersedia, mengidentifikasi faktor risiko penyakit mengi telah memberikan beberapa target potensial dan strategi lain untuk mengurangi risiko mengi yang disebabkan oleh rhinovirus dan eksaserbasi asma.[10]
Faktor Genetik Studi pada keluarga dan studi pada saudara kembar telah menunjukkan bahwa faktor genetik memainkan peran penting dalam perkembangan asma dan alergi, kemungkinan melalui beberapa jenis gen dengan efek sedang (yaitu gen yang terkait dengan risiko relatif dalam kisaran 1,2-2). Studi keterkaitan genom dan studi case control telah mengidentifikasi 18 wilayah genom dan lebih dari 100 gen yang terkait dengan alergi dan asma di 11 populasi yang berbeda.[15] Secara khusus, terdapat daerah yang direplikasi secara konsisten pada lengan panjang kromosom 2; 5; 6; 12; dan 13. Studi asosiasi individu yang tidak terkait juga telah mengidentifikasi lebih dari 100 gen yang terkait dengan alergi dan asma, 79 di antaranya telah direplikasi pada setidaknya satu studi yang lebih lanjut.[16]
Sebuah studi asosiasi genom baru-baru ini mengidentifikasi gen baru, ORMDL3, yang menunjukkan hubungan yang sangat signifikan dengan asma (p<10-12) untuk polimorfisme nukleotida tunggal rs8067378, odd ratio 1,84, CI 95% 1,43-2,42; sebuah temuan yang sekarang telah direplikasi di beberapa populasi.[17] Heterogenitas yang luas dalam dasar genetik asma, dan dalam interaksi gen dengan linkungan mungkin terjadi. Kegagalan untuk mengidentifikasi dan secara tepat mengukur paparan lingkungan dan waktu dapat menjelaskan beberapa kesulitan yang dimiliki oleh peneliti dalam mereplikasi asosiasi genetik.[18]
Profil ekspresi gen dipelajari dalam mengi (wheezing) yang bersifat intermitten dan persisten menggunakan sel CD4+ perifer, dan dibandingkan dengan kontrol normal tanpa mengi. Penelitian ini merupakan studi observasional dan deskriptif, namun dapat menggambarkan perbedaan ekspresi gen antara kedua kelompok mengi, dengan beberapa kesamaan di jalur yang melibatkan proliferasi dan apoptosis sel T. Kelompok lain mengikuti 202 penderita mengi prasekolah secara prospektif hingga usia sekolah, dan menguji hipotesis bahwa penggunaan senyawa organik volatil (volatile organic compounds/ VOC) dan kondensat napas yang dihembuskan akan meningkatkan nilai prognostik dari indeks prediktif konvensional. Mereka menunjukkan bahwa VOC dan kemungkinan gen terkait inflamasi (TLR-4, catalase, TNF-α) meningkatkan prediksi mengi persisten, tetapi penelitian ini juga merupakan ranah, dan menghasilkan hipotesis, yang memerlukan validasi dalam kelompok lain.[19],[20],[21]
Faktor Epigenetik Faktor epigenetik memiliki peranan fundamental di dalam patogenesis asma. Mekanisme epigenetik menghubungkan faktor genetik dan lingkungan dengan lintasan perkembangan asma. Fenomena epigenetik asma yang paling umum dipelajari adalah metilasi DNA, modifikasi histone, dan miRNA. Metilasi DNA adalah proses penambahan gugus metil, oleh DNA methyltransferase, pada cytosine (C) pada posisi 5 dengan pembentukan 5-methylcytosine, di mana nukleotida guanine (G) mengikuti nukleotida cytosine yang dikenal sebagai CpG. Metilasi pulau-pulau CpG (cluster of CpG) menghasilkan aktivasi atau penghambatan gen, namun umumnya represi, karena pulau-pulau itu ditemukan hampir di dekat gen transcription start site (TSS). Modifikasi histone umumnya terjadi di N-terminal dengan kemungkinan modifikasi pada setiap residu “dasar”, tetapi target residu yang umum untuk modifikasi adalah lysine, serine, arginine, dan tyrosine threonine. Asetilasi, metilasi, fosforilasi, ubiquitinasi, dan sumoilasi adalah mekanisme modifikasi histone yang terkenal. Asetilasi histone dan metilasi histone adalah yang paling banyak dipelajari dan lebih dikenal oleh kita. Histone acetyltransferases (HATs) dan histone deacetylases (HDACs) bekerja berlawanan satu sama lain karena asetilasi oleh HAT mendukung ekspresi gen dan deasetilasi oleh HDAC bertanggung jawab untuk pembungkaman gen. Penambahan fosfat, yaitu fosforilasi, dimediasi oleh kinase, sedangkan fosfatase menghilangkan fosfat. Demikian pula, ubiquitinasi histone dimediasi oleh ligase ubiquitin dan ditentang oleh peptidase spesifik ubiquitin, juga dikenal sebagai enzim deubiquitinating. Sumoylation histone dimediasi oleh protein sumoylation histone, juga dikenal sebagai small ubiquitin-like modifier (SUMO). Sebuah microRNA (miRNA) adalah 22-25 nukleotida molekul RNA noncoding kecil beruntai tunggal yang ditranskripsi dari DNA, namun miRNA tidak diterjemahkan menjadi protein dan berperan dalam ekspresi gen, baik dengan memblokir atau dengan mengubah stabilitas terjemahan mRNA. Perubahan status epigenetik menghasilkan ekspresi gen diferensial yang terkait dengan cytokine dan faktor transkripsi, menghasilkan berbagai presentasi fenotipik yang berbeda pada asma.
Patofisiologi Keterbatasan aliran udara pada asma bersifat kambuhan (recurrent) dan disebabkan oleh beragam perubahan saluran pernapasan, berupa: (1) hiperesponsivitas saluran napas, (2) bronkokonstriksi, (3) edema saluran napas, (4) airway remodeling, (5) disfungsi mitokondria, dan (6) angiogenesis. Berikut adalah penjelasannya:
1. Saluran pernapasan yang menjadi hiperesponsif (airway hyperresponsiveness) Hubungan antara inflamasi dan gejala klinis asma belum pasti. Hiperesponsivitas saluran pernapasan, suatu respons bronkokonstriksi berlebihan terhadap berbagai macam rangsangan, adalah patognomonis asma. Sejauh mana hiperesponsivitas saluran pernapasan ditentukan oleh respons kontraktilitas atas methacholine berkorelasi dengan derajat keparahan asma secara klinis.[22]
Mekanisme yang memengaruhi hiperesponsivitas saluran pernapasan beragam, seperti: inflamasi, neuroregulasi disfungsional, dan perubahan struktural. Inflamasi menjadi faktor utama untuk menentukan derajat hiperesponsivitas saluran pernapasan, dengan parameter histamine atau methacholine. Derajat peradangan yang diukur dengan beragam sel inflamasi di lesi tidak terkait erat dengan derajat keparahan asma secara klinis atau hiperesponsivitas saluran pernapasan.[23]
Hal ini menunjukkan bahwa faktor lain seperti perubahan struktural di dinding saluran pernapasan, penting untuk memediasi gejala klinis asma. Peningkatan responsivitas saluran pernapasan pada asma merupakan kelainan fisiologis utama yang muncul bahkan saat fungsi saluran pernapasan dinyatakan normal. Kemungkinan terdapat beberapa faktor yang mendasari peningkatan responsivitas terhadap agen konstriktor, terutama yang bekerja secara tidak langsung dengan melepaskan mediator bronkokonstriksi dari sel-sel saluran pernapasan atau yang memodifikasi karakteristik mekanis dinding saluran pernapasan. Hiperesponsivitas saluran pernapasan terjadi karena peningkatan pelepasan mediator berupa histamine dan leukotriene dari sel mast, abnormalitas otot polos saluran pernapasan, penebalan (edema) dinding saluran napas secara reversibel, dan beragam elemen irreversible seperti penebalan otot polos saluran pernapasan dan fibrosis. Saraf sensoris saluran pernapasan juga berkontribusi besar terhadap gejala, seperti batuk dan sesak di dada, karena saraf menjadi peka karena inflamasi kronis di saluran pernapasan. Terapi yang diarahkan untuk mengurangi inflamasi dapat menurunkan tingkat hiperesponsivitas saluran pernapasan dan meningkatkan pengendalian asma.[24],[25],[26]
2. Bronkokonstriksi Pada kasus asma, peristiwa fisiologis dominan yang menjadi penyebab gejala klinis adalah penyempitan saluran pernapasan diikuti gangguan aliran udara. Pada asma eksaserbasi akut, kontraksi otot polos bronkus (bronkokonstriksi) terjadi dengan cepat untuk mempersempit saluran napas sebagai respons terhadap paparan berbagai rangsangan termasuk alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut yang diinduksi alergen merupakan hasil pelepasan mediator yang bergantung IgE dari sel-sel mast, terdiri dari: histamin, triptase, leukotriene, dan prostaglandin yang secara langsung menjadikan otot polos saluran napas berkontraksi.[27]
Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid lainnya juga dapat menyebabkan obstruksi aliran udara akut pada beberapa pasien. Riset menunjukkan bahwa respons non-IgE-dependent ini juga melibatkan pelepasan mediator dari sel-sel saluran pernapasan.[28] Selain itu, stimulus lain, termasuk iritasi, olahraga, ataupun udara dingin dapat menyebabkan obstruksi aliran udara akut. Mekanisme yang mengatur respons saluran pernapasan terhadap faktor-faktor ini kurang jelas, namun intensitas respons tampaknya terkait dengan inflamasi saluran pernapasan. Stres juga berperan memicu eksaserbasi asma. Peningkatan generasi cytokine proinflamasi merupakan mekanisme yang mendasarinya.[29]
3. Edema saluran pernapasan Saat penyakit asma menjadi lebih persisten dan inflamasi menjadi semakin progresif, berbagai faktor dapat semakin membatasi aliran udara, seperti edema, peradangan, hipersekresi mukus, pembentukan sumbatan (plug) mukus, serta perubahan struktural termasuk hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas. Perubahan terakhir ini mungkin tidak merespons pengobatan biasa.[30]
4. Airway remodeling Pada beberapa orang yang menderita asma, keterbatasan aliran udara mungkin hanya sebagian yang bersifat reversibel. Perubahan struktural permanen dapat terjadi di saluran pernapasan. Hal ini terkait dengan hilangnya fungsi paru-paru secara progresif yang tidak dapat dicegah atau sepenuhnya reversibel dengan terapi saat ini. Remodeling jalan napas melibatkan aktivasi banyak sel struktural, dengan konsekuensi perubahan permanen pada jalan napas yang meningkatkan obstruksi aliran udara dan responsivitas jalan napas dan membuat pasien kurang responsif terhadap terapi. Perubahan struktural ini dapat mencakup penebalan membran sub-basement, fibrosis subepitel, hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas, proliferasi dan pelebaran pembuluh darah, serta hipersekresi dan hiperplasia kelenjar mukosa. Regulasi proses reparasi dan remodeling belum ditetapkan dengan baik, tetapi proses reparasi dan regulasinya kemungkinan besar merupakan peristiwa penting dalam menjelaskan sifat persisten penyakit dan keterbatasan respons terapeutik.[31],[3]
Integrin berperan sebagai regulator fundamental inflamasi, perbaikan, remodeling, dan fibrosis di paru-paru, terutama pada penyakit paru- paru kronis seperti asma. Integrin dapat memediasi sinyal dua arah melalui membran sel; pensinyalan dari dalam ke luar mengatur aktivitas pengikatan ekstraseluler integrin dan dengan demikian beralih ke konformasi aktif. Di sisi lain, pengikatan protein matriks ekstraseluler (extracellular matrix/ECM) pada integrin mengaktifkan sinyal yang ditransmisikan ke dalam sel yang dikenal sebagai pensinyalan luar- dalam. Peristiwa pensinyalan ini memodulasi peran dalam perlekatan sel, kelangsungan hidup, proliferasi, trafficking leukosit, diferensiasi sel, organisasi sitoskeleton, migrasi sel, ekspresi gen, tumorigenisitas, dan pH intraseluler. Fungsi integrin dan integrin adhesome membuat keduanya menjadi kandidat yang menarik untuk memahami bagaimana isyarat mekanis, termasuk kekuatan kontraktil dan kekakuan matriks, dapat memengaruhi proses remodeling saluran napas. Selain itu, integrin terkenal untuk mengatur leukosit dan trafficking sel inflamasi, yang juga dapat berimplikasi penting untuk pengembangan dan perkembangan asma dan untuk remodeling saluran napas.[36]
5. Disfungsi mitokondria Mitokondria berfungsi sebagai regulator homeostasis seluler di paru-paru. Mitokondria memiliki peran penting untuk menjalankan fungsi sel paru-paru yang berkarakteristik baik dan terspesialisasi. Mitokondria mengatur fungsi mukosilier, sekresi mukus, dan aging pada sel epitel saluran napas. Sejumlah jalur penting dalam sel epitel tipe dua alveolar diatur oleh mitokondria termasuk produksi surfaktan, penuaan, kematian sel terprogram, dan regenerasi. Makrofag alveolar serta sel imun lainnya menggunakan mitokondria untuk merespons infeksi dan melepaskan sinyal bahaya terkait mitokondria (damage-associated molecular patterns/DAMPs). Fagositosis dan pergeseran metabolisme imun dalam polarisasi sel imun juga bergantung pada mitokondria. Diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas melibatkan upregulation sejumlah jalur mitokondria dan protein dan sel endotel memanfaatkan mitokondria untuk merespons cedera.[37]
Disfungsi mitokondria sebagian besar dan ekstensif telah didokumentasikan dalam remodeling otot polos bronkial (bronchial smooth muscle/BSM). Perilaku dan proliferasi sel otot polos saluran napas (airway smooth muscle/ASM) bergantung pada aktivitas mitokondria dan berkontribusi pada patogenesis asma dengan mensekresi cytokine proinflamasi dan mediator lainnya. Secara umum, peningkatan massa dan fungsi mitokondria berhubungan dengan lebih banyak remodeling BSM pada asma.[38]
Jumlah dan densitas mitokondria di sel otot polos bronkus berkorelasi positif dengan area otot polos bronkus pada subkelompok penderita asma tidak berat. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan pentingnya mitokondria dalam perkembangan asma. Pemberian corticosteroid jangka panjang berpotensi menginduksi disfungsi mitokondria dan kerusakan oksidatif mitokondria serta dan DNA nukleus pada otot rangka. Masih belum diketahui apakah efek samping terapi corticosteroid jangka panjang pada asma berkorelasi dengan disfungsi mitokondria.[39]
6. Angiogenesis Angiogenesis ditandai dengan munculnya pembuluh darah baru dari pembuluh darah endotel yang sudah ada sebelumnya. Peristiwa ini merupakan proses fisiologis normal yang memainkan peran penting dalam perkembangan dan penyembuhan luka. Angiogenesis melibatkan beberapa tahapan. Tahap awal angiogenesis terjadi pada pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya dan terlokalisasi di dekat proses inflamasi. Tahap ini melibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, aktivasi sel endotel oleh faktor pertumbuhan, dan peningkatan mitosis endotel. Tahap berikutnya melibatkan degradasi membran basal endotel oleh matrix metalloproteinase. Hal ini diikuti oleh migrasi sel endotel menuju faktor angiogenik yang berbeda dan pembentukan titik cabang dan lumen kapiler. Tahap akhir terdiri dari pemodelan dan stabilisasi pembuluh kapiler baru. Pada bagian terakhir, sambungan sel endotel diperketat, membran basal terbentuk, dan perisit direkrut. Selain asma, angiogenesis juga merupakan proses fundamental pada patogenesis kanker, obesitas, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan penyakit kardiovaskular.[40]
Proteolisis menjadi regulator utama angiogenesis, protease seperti matrix metalloproteases (MMPs), keluarga yang terkait erat dengan protein a disintegrin and metalloproteinase (ADAM), yang mencakup ADAM dan ADAMTS (ADAM with thrombospondin motifs), serta sebagai protease cysteine dan serine, yang terlibat dalam regulasi angiogenesis.[41]
Orosomucoid-like protein 3 (ORMDL3) berkontribusi pada angiogenesis, meningkatkan ekspresi VEGF/MMP-9 kemungkinan melalui jalur ERK1/2. ORMDL3 dapat mengikat dan menghambat aktivitas kalsium ATPase retikulum sarkoplasma dan meningkatkan respons unfolded protein response (UPR). Unfolded protein response adalah sekelompok jalur transduksi sinyal intraseluler (IRE1, p-ERK, ATF6). p-ERK yang berperan penting dalam homeostasis. Perlu dicatat bahwa jalur p-ERK/eIF2α/ATF4 ditemukan untuk mengaktifkan ekspresi VEGF dalam sel endotel vaskular manusia. p-ERK diindikasikan sebagai penghubung antara ORMDL3 dengan faktor angiogenik, seperti VEGF. Korelasi antara ORMDL3 dan faktor angiogenik, seperti MMP-9 dan VEGF pada asma. Selama proses ini, ORMDL3 menginduksi upregulasi MMP-9 dan VEGF, dan berkontribusi pada angiogenesis saluran napas dan remodeling saluran napas asma. Riset ini berpotensi menemukan target terapi untuk preventif angiogenesis asma. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengkonfirmasi konklusi ini.[42],[43],[44]
Penilaian kontrol asma Penilaian praktis telah dikembangkan dalam Global Initiative for Asthma (GINA) 2021 sebagai pengendali asma pada dewasa, remaja, dan anak berusia 6-11 tahun. Terdapat empat buah pertanyaan dan masing-masing memiliki opsi jawaban: “ya” atau “tidak”. Pertanyaan tersebut mencakup apakah dalam empat minggu terakhir pasien memiliki: (1) gejala-gejala asma yang muncul pada siang hari lebih dari dua kali per minggu; (2) terbangun pada malam hari atau night waking karena serangan asma; (3) pernah menggunakan pereda/ reliever seperti golongan short-acting beta agonist (SABA) untuk mengatasi gejala asma lebih dari dua kali per minggu; atau (4) mengalami limitasi aktivitas karena asma. Apabila tidak satupun pertanyaan dijawab “ya”, maka asma pada pasien yang bersangkutan dapat dikatakan terkendali baik (well-controlled); bila didapatkan 1-2 pertanyaan yang dijawab dengan “ya”, maka asma dapat dikatakan terkontrol sebagian (partly controlled); namun bila dijumpai 3-4 jawaban “ya”, maka kondisi asma tersebut dapat dikatakan tidak terkontrol (uncontrolled).[45]
Berbeda dengan pada orang dewasa, diagnosis dan penilaian asma pada anak relatif lebih sulit. Beragam pertanyaan spesifik perlu ditanyakan untuk melakukan penilaian asma pada anak berusia 6-11 tahun, seperti: a. Penilaian kontrol asma 1. Evaluasi gejala yang muncul pada siang hari. Tanyakan seberapa sering anak batuk, mengi, dyspnea (sesak napas), napas terasa berat, atau sulit bernapas (berapa kali dalam seminggu atau sehari?). Apa saja pemicu gejala-gejala tersebut? Bagaimana semua itu diatasi? 2. Evaluasi gejala yang muncul pada malam hari. Apakah batuk, terbangun, terlihat lelah sepanjang hari? Jika gejala satu-satunya adalah batuk, pertimbangkan diagnosis lainnya, seperti rinitis atau gastroesophageal reflux disease. 3. Evaluasi pola penggunaan pereda/reliever. Seberapa sering medikasi pereda asma digunakan? Cek tanggal penggunaan inhaler atau resep terakhir. Bedakan antara penggunaan sebelum berolahraga dan penggunaan untuk meredakan gejala. 4. Evaluasi tingkat aktivitas. Olahraga/hobi/kesukaan apa saja yang dimiliki anak-anak, di sekolah dan di waktu luang mereka? Bagaimana tingkat aktivitas anak dibandingkan teman sebayanya? Berapa hari anak tidak masuk sekolah? Berusahalah mendapatkan gambaran akurat tentang keseharian anak dari anak tanpa interupsi orangtua.
b. Berbagai faktor risiko untuk luaran berat 1. Eksaserbasi. Tanyakan bagaimana infeksi virus memengaruhi asma pada anak? Apakah gejala-gejala terkait erat dengan atau mengganggu aktivitas saat di sekolah atau ketika berolahraga? Berapa lama gejala berlangsung? Berapa banyak episode yang berlangsung sejak evaluasi dokter dan tim medis terakhir? Adakah kunjungan ke dokter atau ke bagian gawat darurat? Adakah rencana aksi tertulis? Beragam faktor risiko untuk eksaserbasi termasuk riwayat eksaserbasi, pengendalian gejala yang buruk, ketidakpatuhan, tingkat sosioekonomi menengah ke bawah, serta reversibilitas bronkodilator persisten bahkan bila anak-anak memiliki sedikit gejala. 2. Fungsi paru-paru. Cek kurva dan teknik. Fokus utama pada forced expiratory volume in one second (FEV1) dan rasio FEV1/FVC (forced vital capacity). Gambarkan semua nilai ini sebagai persentase prediksi untuk melihat tren di masa mendatang. 3. Efek samping. Cek berat badan anak setidaknya setiap tahun. Asma berpotensi untuk dapat memengaruhi pertumbuhan anak. Kecepatan pertumbuhan dapat lebih lambat di tahun pertama hingga kedua saat terapi inhaled corticosteroids (ICS). Bertanyalah tentang frekuensi dan dosis ICS dan oral corticosteroids (OCS). a) Faktor-faktor terapi, berupa: teknik penggunaan inhaler, kepatuhan, dan tujuan/perhatian. b) Komorbiditas, berupa: rinitis alergi, eksem, alergi makanan, dan obesitas. c) Investigasi lainnya, berupa: buku harian dua minggu, tantangan saat berolahraga, dan hasil laboratorium.
Pencitraan (imaging) Sebagian besar studi pencitraan (imaging) akan tampak normal pada pasien asma. Dalam beberapa kasus, orang mungkin melihat bukti hiperinflasi pada hasil rontgen dada (chest X-ray/CXR) dengan pendataran diafragma.[46] Studi ini bertujuan untuk menilai pasien untuk kondisi lain yang mungkin menyerupai asma seperti pneumonia eosinofilik kronis, bronkiektasis, pneumonia pengorganisasian kriptogenik, dan emfisema di antara penyakit lainnya. Selain itu, CT dada mungkin berguna jika CXR tidak menunjukkan bukti kuat, tetapi masih ada kecurigaan yang mengarah pada asma. CT dada dapat lebih akurat menunjukkan kelainan saluran pernapasan, seperti benda asing atau trakeomalasia, yang mungkin menjadi penyebab mengi. Pemeriksaan ini juga dapat lebih baik menggambarkan bronkitis kronis atau bronkiektasis yang mungkin tidak mudah terlihat pada CXR. Dokter akan merekomendasikan untuk memulai dengan CXR pada pasien yang baru didiagnosis dengan asma untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari gejalanya.[47]
Tata Laksana Berikut ini manajemen asma sesuai rekomendasi Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2021:[48] 1. Diagnosis: Pada orang dewasa, remaja, dan anak-anak ≥6 tahun, konfirmasikan diagnosis asma sebelum memulai pengobatan, bila memungkinkan, karena seringkali lebih sulit setelahnya. Pada anak-anak ≤5 tahun, mengi berulang sering terjadi, tetapi asma lebih mungkin terjadi jika mereka mengalami mengi atau batuk dengan olahraga/tertawa/menangis atau tanpa adanya infeksi pernapasan dan jika mereka memiliki riwayat eksem atau rinitis alergi.
2. Terapkan siklus penilaian-pengobatan-review yang dipersonalisasi (individual): Manajemen asma harus melakukan pendekatan individu dan disesuaikan dalam siklus penilaian, pengobatan, dan peninjauan yang berkelanjutan untuk meminimalkan gejala dan mencegah eksaserbasi. Pertimbangkan pengendalian gejala, faktor risiko eksaserbasi dan efek samping, fungsi paru-paru, komorbiditas, keterampilan manajemen diri, serta tujuan, preferensi, dan kepuasan pasien dan/atau pengasuh (care giver).
3. Perawatan komprehensif: Penatalaksanaan asma tidak dapat dipukul rata untuk semua pasien (one-size-fits-all). Hal ini mencakup tidak hanya pengobatan tetapi juga tata laksana faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan komorbiditas, strategi nonfarmakologis, edukasi dan pelatihan keterampilan, terutama untuk teknik penggunaan inhaler dan kepatuhan.
4. Inhaled corticosteroids (ICS): Asma pada orang dewasa dan remaja tidak boleh dikelola hanya dengan beta-2-agonist kerja pendek (short-acting beta-2-agonists/SABA). Sebaliknya, untuk mengurangi risiko eksaserbasi parah, dan untuk mengendalikan gejala, semua orang dewasa dan remaja dengan asma harus diobati dengan terapi yang mengandung ICS, baik secara teratur setiap hari atau, pada asma ringan, dengan ICS-formoterol yang diminum sesuai kebutuhan untuk meredakan gejala. Pengobatan yang mengandung ICS juga direkomendasikan untuk semua anak berusia 6-11 tahun dengan asma, baik secara teratur atau, pada asma ringan, dengan menggunakan ICS setiap kali SABA digunakan. Perbedaan terdahulu antara asma “intermitten” dan “persisten ringan” tidak mengindikasikan respons yang berbeda terhadap ICS.
5. Jalur pengobatan: Pada tahun 2021, tata laksana asma untuk orang dewasa dan remaja yang dikeluarkan oleh GINA dibagi menjadi dua jalur, tergantung pada medikasi pereda/reliever yang digunakan. Dalam pendekatan lima langkah, pengobatan dapat ditingkatkan atau diturunkan dalam satu jalur, dengan menggunakan pereda yang sama pada setiap langkah, atau dapat dialihkan antar jalur, sesuai dengan kebutuhan dan preferensi pasien:
Jalur 1, dengan ICS-formoterol dosis rendah sebagai pereda/reliever. Jalur ini adalah pendekatan yang lebih disukai secara keseluruhan karena mengurangi risiko eksaserbasi parah, dibandingkan dengan menggunakan pereda SABA (dengan/tanpa pengontrol/controller), sambil mencapai kontrol gejala yang serupa, fungsi paru-paru yang serupa, dan beban corticosteroid oral yang lebih rendah. Pada langkah 1–2, ada alasan tambahan untuk memilih ICS-formoterol sesuai kebutuhan saja daripada SABA sesuai kebutuhan (sendiri atau dengan ICS harian): 1) pasien dengan asma “ringan” dapat mengalami eksaserbasi parah; 2) kepatuhan dengan ICS harian hampir secara universal buruk pada pasien dengan gejala ringan atau jarang, membuat mereka berisiko lebih tinggi mengalami eksaserbasi parah; dan 3) memulai pengobatan dengan SABA saja melatih pasien untuk menganggapnya sebagai pengobatan asma utama mereka. ICS-formoterol sesuai kebutuhan saja (tanpa controller) pada langkah 1–2 perlu dibedakan dari maintenance and reliever therapy (MART) pada langkah 3–5, di mana pasien juga menggunakan ICS-formoterol sebagai pengobatan pemeliharaan harian. MART juga merupakan pilihan untuk anak-anak 6–11 tahun di langkah 3–4. ICS-formoterol tidak boleh digunakan sebagai reliever untuk pasien yang memakai kombinasi ICS-LABA yang berbeda untuk terapi pemeliharaan.
Jalur 2, dengan hanya SABA sebagai reliever. Jalur ini merupakan pendekatan alternatif (misalnya, jika jalur 1 tidak memungkinkan atau tidak disukai oleh pasien tanpa eksaserbasi dalam satu tahun terakhir). Namun sebelum mempertimbangkan regimen dengan SABA sebagai reliever, perlu dipertimbangkan apakah pasien cenderung mematuhi terapi controller. Jika tidak, mereka akan menjalani pengobatan SABA saja. Untuk langkah 1, menggunakan ICS setiap kali SABA digunakan lebih baik daripada menggunakan SABA saja. Untuk kedua jalur, GINA menyediakan pendekatan terpadu dan pengambilan keputusan untuk asma yang sulit diobati dan asma berat, dengan terapi tambahan (add-on therapies) yang direkomendasikan di langkah kelima untuk asma berat, termasuk terapi biologi yang dipandu oleh fenotipe inflamasi.
6.Anak-anak ≤5 tahun: Kelola episode mengi pada awalnya dengan SABA inhalasi. Pertimbangkan untuk mencoba terapi controller (misalnya, selama 3 bulan) jika pola gejala menunjukkan asma, diagnosis alternatif telah disingkirkan, dan gejala pernapasan dan/atau episode mengi sering atau parah.
7.Meningkatkan dosis (stepping up): Sebelum meningkatkan pengobatan untuk mengendalikan gejala atau mencegah eksaserbasi, konfirmasikan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh asma, identifikasi dan atasi faktor risiko yang dapat dimodifikasi (termasuk teknik penggunan inhaler yang salah, ketidakpatuhan pengobatan, paparan lingkungan, dan multimorbiditas), serta edukasi pasien.
8.Menurunkan dosis (stepping down): Sekali asma terkontrol dengan baik selama 2-3 bulan, pertimbangkan untuk menurunkan dosis secara bertahap untuk menemukan dosis efektif minimum, dengan memantau pasien sesering mungkin. Step up dapat dilakukan apabila diperlukan.
9.Rencana tindakan pada penderita asma: Sebagai bagian dari manajemen mandiri pasien dengan asma, berikan rencana tindakan asma tertulis yang dipersonalisasi untuk semua pasien, tentu disesuaikan dengan literasi kesehatan mereka, sehingga mereka tahu bagaimana strategi untuk mengenali dan merespons asma yang memburuk.
10. Rujukan: Rujuk pasien untuk mendapatkan saran ahli jika salah satu dari kriteria berikut ini terpenuhi: a) Diagnosis asma tidak dapat dipastikan dengan pasti. Untuk anak-anak ≤5 tahun, benar-benar pertimbangkan rujukan untuk investigasi diagnostik lebih lanjut jika ada gejala yang sangat awal, kegagalan untuk merespons pengobatan, atau fitur yang menyarankan diagnosis alternatif (misalnya: hipoksemia, jari tabuh atau finger clubbing, gagal tumbuh). b) Diduga asma akibat kerja. c) Pasien memiliki faktor risiko apapun terkait dengan kematian akibat asma. d) Berbagai gejala atau eksaserbasi tetap tidak terkontrol meskipun dengan pemberian ICS –LABA dosis sedang/tinggi. e) Pasien memerlukan perawatan kesehatan yang mendesak atau corticosteroid oral lebih dari sekali setahun. f) Ada bukti atau risiko tinggi efek samping pengobatan. g) Terdapat dugaan alergi makanan.
Nanoteknologi dalam pengembangan terapi asma Asma merupakan penyakit heterogen, di mana polimorfisme genetik berinteraksi dengan faktor lingkungan. Meskipun tidak ada pengobatan khusus yang tersedia untuk asma karena patogenesisnya yang kompleks, kemajuan nanoteknologi telah membawa harapan baru untuk diagnosis dini, pengobatan, dan pencegahan asma.[49] Nanoteknologi dapat mencapai pengiriman obat atau gen yang ditargetkan, mengurangi efek toksik, dan meningkatkan bioavailabilitas obat. Modifikasi obat berteknologi nano dan pengembangan obat nano telah menjadi arah penelitian baru. Studi telah menunjukkan keamanan dan efektivitas nanocarrier.[50] Teknologi nano-modifikasi dari obat konvensional terutama mencakup penelitian dan pengembangan pembawa partikel nano dengan pola permukaan yang tepat, pengangkutan obat yang ada melalui reagen penargetan obat, dan sebagainya, untuk mencapai pengiriman obat yang ditargetkan, mengurangi toksisitas dan efek samping, dan meningkatkan solubilitas obat yang tidak larut.[51],[52]
Pencegahan dan pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang. Obat antiasma tradisional terutama diberikan secara intravena, oral, atau inhalasi. Agen inhalasi adalah obat utama untuk mempertahankan kontrol asma yang baik, dan ukurannya terkait erat dengan bioavailabilitas dan kemanjurannya.[53] Dibandingkan dengan pemberian obat sistemik, penghantaran obat yang ditargetkan melalui inhalasi memungkinkan obat untuk langsung mencapai paru-paru, sehingga menghindari efek lintas pertama dan meningkatkan bioavailabilitas. Glucocorticoid adalah obat yang paling efektif untuk mengendalikan peradangan saluran napas yang disebabkan oleh asma.[54] Glucocorticoid yang masuk melalui rute inhalasi memiliki efek antiinflamasi lokal yang kuat. Obat langsung bekerja pada saluran pernapasan, sehingga membutuhkan dosis lebih sedikit dan memiliki potensi efek samping sistemik yang lebih rendah.[55] Sebuah uji klinis multicenter yang mengevaluasi penggunaan fluticasone dalam pengobatan asma di Tiongkok menunjukkan bahwa setengah dari dosis inhaled corticosteroids (ICS) berdasarkan rekomendasi GINA mencapai kemanjuran yang sama dengan dosis yang direkomendasikan.[48] Meskipun terapi inhalasi hormon secara dramatis mengurangi efek samping (dibandingkan dengan terapi hormon sistemik), inhalasi hormon dosis tinggi jangka panjang juga dapat membawa beberapa reaksi yang merugikan seperti penghambatan aksis adrenal, infeksi jamur mulut, dan osteoporosis.[56] Untuk mengurangi efek samping dari inhalasi hormon dosis tinggi jangka panjang dan lebih meningkatkan ketersediaan hayati hormon, dendrimer PEGylated polyamidoamine (PAMAM), dendrimer tipikal, telah dipelajari dan diterapkan secara luas. PAMAM dapat digunakan sebagai pembawa beclomethasone dipropionate (BDP) dan obat tidak larut lainnya.[57],[58] Formulasi ini dapat meningkatkan kelarutan obat dan meningkatkan kapasitas akumulasi di paru-paru, sehingga meningkatkan bioavailabilitas obat, mengurangi dosis dan frekuensi dosis, serta mengurangi toksisitas dan efek samping. Selain itu, dendrimer telomer nontoksik yang terdefinisi dengan baik juga telah dilaporkan sebagai nanocarrier yang efisien dengan kapasitas pemuatan yang lebih besar dan stabilitas yang lebih baik daripada misel, selama lebih dari 6 bulan.[59] Nanocarrier ini juga dapat menghantarkan obat hidrofobik (misalnya, dexamethasone) ke dalam paru-paru secara langsung, sehingga mengurangi peradangan paru alergi serta mengurangi eosinofil dan cytokine inflamasi. Oleh karena itu, dibandingkan dengan dosis dexamethasone yang sama, dapat menangani hiperesponsivitas saluran napas di tingkat yang lebih besar.[60]
Nanovaksin untuk asma. Imunoterapi berbasis nanopartikel terhadap antigen tertentu yang menyebabkan asma merupakan area penelitian yang potensial. Para peneliti telah menemukan cara untuk mencegah dan menyembuhkan alergi tungau debu rumah dengan menggunakan vaksin berbasis nanopartikel. Para peneliti menguji vaksinasi khusus untuk IL-13/IL-4 manusia pada tikus yang mengaktifkan reseptor homolog, interleukin (IL)-4 reseptor alfa (IL-4Rα) dan menemukan bahwa kedua cytokine secara efektif dinetralkan dan menurunkan kadar IgE dipertahankan selama minimal 11 minggu setelah imunisasi. Hasilnya menunjukkan bahwa terapi jangka panjang yang hemat biaya untuk asma alergi dengan kombinasi vaksinasi IL-4 dan IL-13 dapat dilakukan, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan keamanan dan kemanjurannya. Jalur pensinyalan yang dimediasi oleh chemokine dan reseptor chemokine CC 3 (CCR3) penting untuk penemuan obat asma.[61],[62],[63]
Para peneliti mengembangkan peptida NP CCR3 inhibitor (R321) baru yang dapat menghambat transduksi sinyal reseptor CCR3. Eosinofil di saluran napas, paru-paru, dan darah dicegah dari akumulasi pada tikus asma sementara R321 juga mencegah awal hiperesponsivitas saluran napas pada tikus model asma.[64] Terapi gen telah memainkan peran penting dalam terapi berbagai gangguan dalam beberapa tahun terakhir, dan telah muncul sebagai salah satu isu yang paling banyak dibicarakan dalam komunitas medis saat ini. Penggunaan terapi gen dalam hubungannya dengan nanoteknologi mungkin terbukti menjadi pengobatan yang lebih aman untuk asma.[65] Chitosan-IFN-pDNA NPs (CIN) telah terbukti secara signifikan mengurangi asma alergi pada tikus yang terpapar ovalbumin melalui chitosan-IFN-pDNA NPs (OVA).[66] Limfosit T CD8+ khusus untuk OVA dan sel dendritik keduanya dapat dilindungi terhadap produksi kimia proinflamasi oleh CIN, menurut sebuah studi baru. Menurut para peneliti, pasien asma dapat mengambil manfaat dari kemampuan CIN untuk memodulasi sistem imunoregulator T helper tipe 1 dan tipe 2.[67]
Prognosis Prognosis asma orang dewasa tidak dijelaskan dengan baik seperti penyakit paru obstruktif kronis. Meskipun remisi lengkap mungkin terjadi, tingkat remisi rendah dan terbatas pada kasus yang lebih ringan. Gangguan fungsi paru-paru permanen berkembang pada beberapa pasien asma, dan risiko ini meningkat pada perokok.[68] Studi longitudinal menunjukkan bahwa asma berat memiliki prognosis yang lebih buruk berkaitan dengan perkembangan gangguan fungsi paru-paru permanen dan rawat inap dan kematian. Secara khusus, pasien dengan rawat inap sebelumnya ke unit perawatan intensif dan mereka dengan asma rapuh terus berada pada risiko tinggi komplikasi asma parah.[69] Secara keseluruhan, risiko kematian pada subjek asma meningkat menjadi kira-kira dua kali lipat pada subjek lain karena peningkatan risiko kematian akibat penyakit paru-paru. Studi terbaru menunjukkan bahwa pengobatan dini dan berkelanjutan dengan steroid inhalasi memiliki efek menguntungkan, tidak hanya pada gejala asma tetapi juga pada tingkat fungsi paru-paru, sehingga memperkuat pentingnya pengobatan dengan steroid inhalasi sesuai dengan pedoman saat ini.[70]
Kesimpulan Asma adalah gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan. Pedoman pengobatan terkini menekankan pentingnya diagnosis dan tata laksana asma berdasarkan penilaian objektif dan pendekatan individual. Tim medis perlu memahami patofisiologi asma untuk fenotipe jalan napas, bahkan pada anak-anak, berfokus pada terapeutik. Tim medis juga harus mempertimbangkan komorbiditas ekstrapulmonal serta faktor sosial dan lingkungan saat merencanakan tata laksana.
Pada masa depan, terdapat peluang luar biasa tentang teragnostik asma. Telah tersedia nanoteknologi, strategi –omics, terapi gen, imunoterapi, termasuk jalur monoklonal spesifik. Keterampilan klinis menjadi amat relevan bila didukung skill penguasaan teknologi berbasis nanoteknologi, imunologi, dan biologi molekuler.
DAFTAR PUSTAKA
Ong KY. What’s new in the Global Initiative for Asthma 2018 report and beyond. Allergo Journal International. 2019;28(2):63- 72.
Louis R, Satia I, Ojanguren I, Schleich F, Bonini M, Tonia T, et al. European Respiratory Society guidelines for the diagnosis of asthma in adults. European Respiratory Journal. 2022;60(3):2101585.
Heijink IH, Kuchibhotla VN, Roffel MP, Maes T, Knight DA, Sayers I, et al. Epithelial cell dysfunction, a major driver of asthma development. Allergy. 2020;75(8):1902-17.
Saglani S, Lloyd CM. Novel concepts in airway inflammation and remodelling in asthma. European Respiratory Journal. 2015;46(6):1796-804.
Michaeloudes C, Abubakar-Waziri H, Lakhdar R, Raby K, Dixey P, Adcock IM, et al. Molecular mechanisms of oxidative stress in asthma. Molecular Aspects of Medicine. 2021:101026.
Ferrante G, La Grutta S. The burden of pediatric asthma. Frontiers in pediatrics. 2018;6:186.
Vos T, Lim SS, Abbafati C, Abbas KM, Abbasi M, Abbasifard M, et al. Global burden of 369 diseases and injuries in 204 countries and territories, 1990–2019: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2019. The Lancet. 2020;396(10258):1204-22.
Ren J, Xu J, Zhang P, Bao Y. Prevalence and risk factors of asthma in preschool children in Shanghai, China: A cross-sectional study. Frontiers in pediatrics. 2022;9:793452.
Rahimian N, Aghajanpour M, Jouybari L, Ataee P, Fathollahpour A, Lamuch-Deli N, et al. The Prevalence of Asthma among Iranian Children and Adolescent: A Systematic Review and Meta-Analysis. Oxidative Medicine and Cellular Longevity. 2021;2021.
Jackson DJ, Gern JE. Rhinovirus infections and their roles in asthma: etiology and exacerbations. The Journal of Allergy and Clinical Immunology: In Practice. 2022;10(3):673-81.
Kwong CG, Bacharier LB. Phenotypes of wheezing and asthma in preschool children. Current opinion in allergy and clinical immunology. 2019;19(2):148.
Vassilopoulou E, Guibas GV, Papadopoulos NG. Mediterranean-Type Diets as a Protective Factor for Asthma and Atopy. Nutrients. 2022;14(9):1825.
Baïz N, Just J, Chastang J, Forhan A, de Lauzon-Guillain B, Magnier A-M, et al. Maternal diet before and during pregnancy and risk of asthma and allergic rhinitis in children. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2019;15(1):1-10.
Shen SY, Xiao WQ, Lu JH, Yuan MY, He JR, Xia HM, et al. Early life vitamin D status and asthma and wheeze: a systematic review and meta-analysis. BMC pulmonary medicine. 2018;18(1):1-18.
Hernandez-Pacheco N, Pino-Yanes M, Flores C. Genomic predictors of asthma phenotypes and treatment response. Frontiers in pediatrics. 2019;7:6.
Schoettler N, Rodríguez E, Weidinger S, Ober C. Advances in asthma and allergic disease genetics: Is bigger always better? Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2019;144(6):1495-506.
Ziani M, Henry AP, Hall IP. Association study between asthma and single nucleotide polymorphisms of ORMDL3, GSDMB, and IL1RL1 genes in an Algerian population. Egyptian Journal of Medical Human Genetics. 2021;22(1):1-7.
Morales E, Duffy D. Genetics and gene-environment interactions in childhood and adult onset asthma. Frontiers in pediatrics. 2019;7:499.
Kapitein B, Hoekstra MO, Nijhuis E, Hijnen D, Arets H, Kimpen J, et al. Gene expression in CD4+ T-cells reflects heterogeneity in infant wheezing phenotypes. European Respiratory Journal. 2008;32(5):1203-12.
Klaassen EM, van de Kant KD, Jöbsis Q, van Schayck OC, Smolinska A, Dallinga JW, et al. Exhaled biomarkers and gene expression at preschool age improve asthma prediction at 6 years of age. American journal of respiratory and critical care medicine. 2015;191(2):201-7.
Bush A. Pathophysiological mechanisms of asthma. Frontiers in pediatrics. 2019;7:68.
Brannan J, Lougheed MD. Airway Hyperresponsiveness in Asthma: Mechanisms, Clinical Significance, and Treatment. Frontiers in Physiology. 2012;3.
Yang Z, Zhuang J, Zhao L, Gao X, Luo Z, Liu E, et al. Roles of Bronchopulmonary C-fibers in airway Hyperresponsiveness and airway remodeling induced by house dust mite. Respiratory Research. 2017;18(1):199.
Murphy RC, Lai Y, Nolin JD, Aguillon Prada RA, Chakrabarti A, Novotny MV, et al. Exercise-induced alterations in phospholipid hydrolysis, airway surfactant, and eicosanoids and their role in airway hyperresponsiveness in asthma. American Journal of Physiology-Lung Cellular and Molecular Physiology. 2021;320(5):L705-L14.
Gans MD, Gavrilova T. Understanding the immunology of asthma: pathophysiology, biomarkers, and treatments for asthma endotypes. Paediatric Respiratory Reviews. 2020;36:118-27.
Papaioannou AI, Fouka E, Ntontsi P, Stratakos G, Papiris S. Paucigranulocytic Asthma: Potential Pathogenetic Mechanisms, Clinical Features and Therapeutic Management. Journal of Personalized Medicine. 2022;12(5):850.
Doeing DC, Solway J. Airway smooth muscle in the pathophysiology and treatment of asthma. Journal of applied physiology. 2013;114(7):834-43.
Simon D. Recent advances in clinical allergy and immunology. International archives of allergy and immunology.2018;177(4):324-33.
Fang L, Sun Q, Roth M. Immunologic and non-immunologic mechanisms leading to airway remodeling in asthma. International journal of molecular sciences. 2020;21(3):757.
Yang Y, Jia M, Ou Y, Adcock IM, Yao X. Mechanisms and biomarkers of airway epithelial cell damage in asthma: A review. The Clinical Respiratory Journal. 2021;15(10):1027-45.
Rutting S, Thamrin C, Cross TJ, King GG, Tonga KO. Fixed Airflow Obstruction in Asthma: A Problem of the Whole Lung Not of Just the Airways. Frontiers in Physiology. 2022:949.
Fehrenbach H, Wagner C, Wegmann M. Airway remodeling in asthma: what really matters. Cell and tissue research. 2017;367(3):551-69.
Hough KP, Curtiss ML, Blain TJ, Liu R-M, Trevor J, Deshane JS, et al. Airway remodeling in asthma. Frontiers in Medicine. 2020;7:191.
Coale JA, Ambrosi A, Denault DL, Diallo SN. Pulmonary System. Clinical Medicine for Physician Assistants. 2022:123. 35.Nourian Dehkordi A, Mirahmadi Babaheydari F, Chehelgerdi M, Raeisi Dehkordi S. Skin tissue engineering: wound healing based on stem-cell-based therapeutic strategies. Stem Cell Research & Therapy. 2019;10(1):111.
Joseph C, Tatler AL. Pathobiology of Airway Remodeling in Asthma: The Emerging Role of Integrins. Journal of Asthma and Allergy. 2022;15:595-610.
Cloonan SM, Kim K, Esteves P, Trian T, Barnes PJ. Mitochondrial dysfunction in lung ageing and disease. European Respiratory Review. 2020;29(157):200165.
Delmotte P, Marin Mathieu N, Sieck GC. TNFα induces mitochondrial fragmentation and biogenesis in human airway smooth muscle. American Journal of Physiology-Lung Cellular and Molecular Physiology. 2021;320(1):L137-51.
Zhou WC, Qu J, Xie SY, Sun Y, Yao HW. Mitochondrial dysfunction in chronic respiratory diseases: implications for the pathogenesis and potential therapeutics. Oxidative Medicine and Cellular Longevity. 2021;2021.
Eldridge L, Wagner EM. Angiogenesis in the lung. The Journal of physiology. 2019;597(4):1023-32.
Bajbouj K, Ramakrishnan RK, Hamid Q. Role of Matrix Metalloproteinases in Angiogenesis and Its Implications in Asthma. Journal of Immunology Research. 2021;2021.
Ding Z, Yu F, Sun Y, Jiao N, Shi L, Wan J, et al. ORMDL3 Promotes Angiogenesis in Chronic Asthma Through the ERK1/2/VEGF/ MMP-9 Pathway. Front Pediatr. 2021;9:708555.
Kim EJ, Lee H, Lee Y-J, Sonn JK, Lim Y-B. Ionizing Radiation regulates vascular endothelial growth factor-A transcription in cultured human vascular endothelial cells via the PERK/eIF2α/ATF4 pathway. International Journal of Radiation Oncology* Biology* Physics. 2020;107(3):563-70.
Chen J, Miller M, Unno H, Rosenthal P, Sanderson MJ, Broide DH. Orosomucoid-like 3 (ORMDL3) upregulates airway smooth muscle proliferation, contraction, and Ca2+ oscillations in asthma. Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2018;142(1):207-18. e6.
Reddel HK, Bacharier LB, Bateman ED, Brightling CE, Brusselle GG, Buhl R, et al. Global Initiative for Asthma Strategy 2021: Executive Summary and Rationale for Key Changes. Am J Respir Crit Care Med. 2022;205(1):17-35.
Richards JC, Lynch D, Koelsch T, Dyer D. Imaging of asthma. Immunology and Allergy Clinics. 2016;36(3):529-45.
Ullmann N, Mirra V, Di Marco A, Pavone M, Porcaro F, Negro V, et al. Asthma: differential diagnosis and comorbidities. Frontiers in pediatrics. 2018;6:276.
Reddel HK, Bacharier LB, Bateman ED, Brightling CE, Brusselle GG, Buhl R, et al. Global Initiative for Asthma Strategy 2021: executive summary and rationale for key changes. Eur Respir J. 2022;59(1).
Cheng WC, Chen CH. Nanotechnology bring a new hope for asthmatics. Ann Transl Med. 2019;7(20):516.
Xia W, Tao Z, Zhu B, Zhang W, Liu C, Chen S, et al. Targeted Delivery of Drugs and Genes Using Polymer Nanocarriers for Cancer Therapy. Int J Mol Sci. 2021;22(17):9118.
Patra JK, Das G, Fraceto LF, Campos EVR, Rodriguez-Torres MdP, Acosta-Torres LS, et al. Nano based drug delivery systems: recent developments and future prospects. Journal of nanobiotechnology. 2018;16(1):1-33.
Fu X, Shi Y, Qi T, Qiu S, Huang Y, Zhao X, et al. Precise design strategies of nanomedicine for improving cancer therapeutic efficacy using subcellular targeting. Signal transduction and targeted therapy. 2020;5(1):1-15.
Lipworth BJ. Treatment of acute asthma. The Lancet. 1997;350:S18-23.
He S, Gui J, Xiong K, Chen M, Gao H, Fu Y. A roadmap to pulmonary delivery strategies for the treatment of infectious lung diseases. Journal of Nanobiotechnology. 2022;20(1):1-22.
Patel R, Naqvi SA, Griffiths C, Bloom CI. Systemic adverse effects from inhaled corticosteroid use in asthma: a systematic review. BMJ Open Respir Res. 2020;7(1): e000756.
Williams DM. Clinical pharmacology of corticosteroids. Respiratory care. 2018;63(6):655-70.
Wang L, Feng M, Li Q, Qiu C, Chen R. Advances in nanotechnology and asthma. Annals of translational medicine. 2019;7(8):180. 58.Li X, Naeem A, Xiao S, Hu L, Zhang J, Zheng Q. Safety challenges and application strategies for the use of dendrimers in medicine. Pharmaceutics. 2022;14(6):1292.
Karthikeyan A, Senthil N, Min T. Nanocurcumin: A Promising Candidate for Therapeutic Applications. Front Pharmacol.2020;11:487.
Liu D, Long M, Gao L, Chen Y, Li F, Shi Y, et al. Nanomedicines Targeting Respiratory Injuries for Pulmonary Disease Management. Advanced Functional Materials. 2022;32(22):2112258.
Ballester M, Jeanbart L, de Titta A, Nembrini C, Marsland BJ, Hubbell JA, et al. Nanoparticle conjugation enhances the immunomodulatory effects of intranasally delivered CpG in house dust mite-allergic mice. Sci Rep. 2015;5(1):14274. 62.Gamazo C, Pastor Y, Larrañeta E, Berzosa M, Irache JM, Donnelly RF. Understanding the basis of transcutaneous vaccine delivery. Therapeutic delivery. 2019;10(1):63-80.
Givens BE, Geary SM, Salem AK. Nanoparticle-based CpG-oligonucleotide therapy for treating allergic asthma. Immunotherapy. 2018;10(7):595-604.
Grozdanovic M, Laffey KG, Abdelkarim H, Hitchinson B, Harijith A, Moon H-G, et al. Novel peptide nanoparticle–biased antagonist of CCR3 blocks eosinophil recruitment and airway hyperresponsiveness. Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2019;143(2):669-80. e12.
Roma-Rodrigues C, Rivas-García L, Baptista PV, Fernandes AR. Gene Therapy in Cancer Treatment: Why Go Nano? Pharmaceutics. 2020;12(3):233.
Ahmad A. Pharmacological Strategies and Recent Advancement in Nano-Drug Delivery for Targeting Asthma. Life. 2022;12(4):596.
Zhu X, Cui J, Yi L, Qin J, Tulake W, Teng F, et al. The role of T cells and macrophages in asthma pathogenesis: a new perspective on mutual crosstalk. Mediators of Inflammation. 2020;2020:7835284.
Trivedi M, Denton E. Asthma in Children and Adults-What Are the Differences and What Can They Tell us About Asthma? Front Pediatr. 2019;7:256.
Cevhertas L, Ogulur I, Maurer DJ, Burla D, Ding M, Jansen K, et al. Advances and recent developments in asthma in 2020. Allergy. 2020;75(12):3124-46.
O’Byrne P, Fabbri LM, Pavord ID, Papi A, Petruzzelli S, Lange P. Asthma progression and mortality: the role of inhaled corticosteroids. Eur Respir J. 2019;54(1):1900491.