top of page

Peran Analgesik Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs) dan Analgesik Non-NSAID


Peran Analgesik Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs) dan Analgesik Non-NSAID dalam Penanganan Nyeri Nosiseptif

Sumber: Medicinus April 2022 vol. 35 issue 1

Jan S. Purba

Departemen Neurologi RSCM, FK UI


Abstrak


Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau yang digambarkan dalam istilah kerusakan tersebut. Pengalaman nyeri berfungsi sebagai salah satu mekanisme perlindungan tubuh yang paling penting. Memahami mekanisme nyeri sangat penting bagi setiap dokter karena nyeri adalah masalah global yang melampaui semua spesialisasi medis. Nyeri yang menetap atau berkembang dalam jangka waktu yang lama disebut sebagai nyeri kronis. Berbeda dengan nyeri akut yang muncul tiba-tiba sebagai respons terhadap cedera tertentu, nyeri kronis bertahan dari waktu ke waktu dan seringkali resistan terhadap perawatan medis. Tujuan dari manajemen nyeri adalah untuk meredakan gejala dan meningkatkan tingkat fungsi individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Sejumlah jenis obat telah digunakan dalam pengelolaan nyeri kronis.

Kata kunci: NSAID, nyeri kronis


Abstract


Pain is an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage, or described in terms of such damage. The experience of pain serves as one of the most important protective mechanisms of the body. Understanding the mechanisms of pain is important for any clinician since chronic pain is a global problem that transcends all medical specialties. Chronic pain describes pain that persists or progresses over a long period of time. In contrast to acute pain that arises suddenly in response to a specific injury and is usually treatable, chronic pain persists over time and is often resistant to medical treatment. There are variety of treatment options for people with chronic pain. The goal of pain management is to provide symptom relief and improve an individual’s level of functioning in daily activities. A number of types of medications have been used in the management of chronic pain.

Keywords: NSAID, chronic pain


Pendahuluan


International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.[1] Nyeri bukanlah suatu penyakit melainan sebuah keluhan atau tanda klinis. Nyeri dapat disebabkan oleh sesuatu yang kasat mata seperti akibat cedera fisik, ataupun disebabkan oleh sesuatu yang tidak tampak, seperti infeksi serta juga penyakit degeneratif seperti osteoartritis, rheumatoid arthtritis, nyeri neuropati, nyeri kepala tipe tegang, juga migren dan nyeri visceral. Sebagai suatu keluhan atau tanda klinis, secara patologis nyeri dapat bersifat serius dan fatal jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, oleh sebab itu American Pain Society merekomendasikan pemeriksaan nyeri agar masuk ke dalam anamnesis, pada urutan ke-lima sesudah pemeriksaan denyut jantung, tekanan darah, suhu tubuh, dan pernapasan.


Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi terjadinya


Berdasarkan batasan lamanya diderita, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan kronis. Spitzer (1987) memberi batasan akut sampai dengan 7 hari dan nyeri yang berlangsung lebih lama daripada itu digolongkan sebagai nyeri kronis.[3] CDC memberikan batas 4 minggu untuk jenis nyeri punggung bawah akut, sementara Deyo (1991) memberi batasan sampai 6 minggu dan yang lebih lama daripada itu adalah nyeri kronis.[4],[5] Dari sekian banyak pendapat diambil satu kesepakatan bersama, yakni tergolong nyeri akut jika dialami di bawah 3 bulan, sedangkan yang masih berlangsung sesudahnya tergolong nyeri kronis.[6],[7]


Nyeri akut


Nyeri akut umumnya berupa nyeri yang datang tiba-tiba, dengan penyebab yang spesifik, baik yang terlihat maupun tidak. Umumnya karakteristik nyeri akut bersifat tajam. Suatu nyeri dapat disebut sebagai nyeri akut atau berdurasi pendek jika berlangsung sekitar 3 (tiga) bulan, sementara yang lebih panjang durasinya digolongkan ke dalam jenis nyeri kronis.


Nyeri kronis


Nyeri kronis adalah nyeri yang disebabkan karena sensitivitas yang abnormal sebagai respons terhadap aktivasi serat A-β mekanoreseptor ambang rendah. Keadaan ini biasanya menghasilkan sensasi yang tidak berbahaya. Durasi yang panjang dari nyeri kronis dapat berdampak signifikan pada kualitas hidup penderita.[6],[7] Nyeri kronis ini dapat memicu disabilitas yang menonjol, misalnya nyeri punggung bawah dan leher sebagai penyebab utama disabilitas yang ternyata menduduki peringkat ketiga dalam populasi pekerja buruh.[8] Secara patologi, hal yang terjadi di sumsum tulang belakang menjelaskan perubahan dalam sistem somatosensorik seperti peningkatan rangsang, penurunan mekanisme penghambatan, serta reorganisasi struktural.


Nyeri kronis memiliki dampak finansial yang buruk dan signifikan, baik bagi individu maupun masyarakat. Sebuah penelitian di Chili menunjukkan bahwa biaya nyeri muskuloskeletal kronis dapat mencapai 0,5% dari seluruh biaya kesehatan, sedangkan biaya penanggulangan migrain di Inggris dapat mencapai £835 juta per tahun.[9],[10]


Patofisiologi nyeri


Menjelaskan mekanisme terjadinya nyeri sangat penting sebagai panduan untuk menilai klinis serta menentukan tindakan perawatan yang paling tepat untuk penderita.[11] Merskey and Bogduk (1994) serta Smart, et al. (2010) mengklasifikasikan mekanisme nyeri sebagai ‘nosiseptif’, neuropati perifer dan sentral, yang menunjukkan indikator klinis baik subjektif maupun objektif untuk masing-masing jenis nyeri tersebut.[1],[12],[13]


Nyeri neuropati perifer disebabkan oleh adanya lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf perifer yang melibatkan berbagai mekanisme patofisiologi yang terkait dengan perubahan fungsi dan respons saraf. Mekanisme berupa hipereksitabilitas, produksi impuls yang abnormal, serta sensitivitas mekanik, termal dan kimia.


Kesadaran tentang faktor-faktor yang dapat memodifikasi nyeri dan persepsi nyeri dapat membantu dalam menentukan mekanisme nyeri yang paling tepat untuk pasien.11 Nyeri nosiseptif dikaitkan dengan aktivasi terminal reseptif perifer dari neuron aferen primer sebagai respons terhadap bahan kimia berbahaya (peradangan), rangsangan mekanik atau iskemik.[13]


Terapi farmakologis


Meskipun penelitian nyeri dalam 3 dekade terakhir terus berlangsung secara intensif, namun manajemen nyeri masih menjadi tantangan bagi dokter beserta tim medis untuk mendapatkan perawatan yang tepat bagi pasien. Penanggulangan nyeri secara umum dikelompokkan untuk setiap jenis nyeri, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati. Terapi nyeri nosiseptif dapat dilakukan dengan menggunakan obat dari kelompok analgesik nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), misalnya etoricoxib, celecoxib, piroxicam, etodolac, ketorolac, diclofenac, dll.). Selain itu terapi juga dapat dilakukan dengan melibatkan penggunaan analgesik non-NSAID seperti paracetamol, obat relaksan otot, opioid, dll.[14],[15],[16]


Berbeda dengan nyeri nosisetif, nyeri neuropati umumnya ditangani dengan pemberian obat golongan antikonvulsan seperti gabapentin, pregabalin, topiramate, oxcarbazepine, dll. serta obat golongan antidepresan seperti amitriptyline.[17],[18],[20],[21] Efek terapeutik sebagai analgesik tidak hanya menargetkan mediator nyeri nosiseptif di sistem perifer namun juga berperan terhadap nyeri kronis pada susunan saraf pusat dengan menggunakan golongan obat antikonvulsan serta antidepresan.[21],[22]


Beberapa kelompok analgesik non-NSAID yang dikenal antara lain kombinasi opioid lemah (tramadol) dan acetaminophen/paracetamol (contoh: Ultracet, Patral). Selain itu dari kelompok NSAID dikenal berbagai macam zat aktif seperti: etoricoxib, etodolac, diclofenac, naproxen, piroxicam, indomethacin, sulindac, ketorolac, ibuprofen, ketoprofen, meloxicam, dll. Walaupun cara kerja dari obat-obat NSAID ini tidak berbeda satu dengan lainnya, namun efikasi antara satu jenis dengan jenis lainnya bisa berbeda. Berdasarkan hasil uji klinik pada penderita osteoartritis, rheumatoid arthritis akut, ankylosing spondilitis, nyeri punggung bawah, nyeri akut pascaoperasi, termasuk bedah mulut (gigi) serta dismenorea, etericoxib memberikan efikasi analgesik yang sangat baik.[23],[24],[25] Selain itu, penggunaan etoricoxib preoperatif pada tindakan ginekologi sederhana ternyata dapat mengurangi kebutuhan fentanyl untuk terapi nyeri.[26]


Pemberian analgesik NSAID bertujuan untuk menghambat pembentukan prostaglandin di daerah di mana inflamasi terjadi, yakni dengan menginhibisi kerja enzim cyclooxygenase (COX) di perifer. Enzim ini bekerja dalam biosintesis prostaglandin, prostacyclin, dan thromboxane.[27],[28] Pelepasan prostaglandin dari jaringan yang rusak, misalnya akibat trauma, akan mencetuskan reaksi lokal berupa inflamasi yang nantinya akan menjadi sumber nyeri.[29],[30] Terdapat beberapa golongan enzim COX yang dikenal, seperti kelompok COX-1, COX-2 dan COX-3. Dalam praktiknya yang populer dibahas sampai sekarang adalah golongan COX-1 dan COX-2. COX-1 ditemukan di beberapa lokasi jaringan seperti lambung, platelet, ginjal, dan sinovial, dan disebut juga sebagai substansi housekeeping karena sangat dibutuhkan tubuh, sedangkan COX-2 ditemukan juga di sinovial, jaringan otak, ginjal, dan alat reproduksi wanita.[31] Pada umumnya kadar enzim COX-2 ini sangat rendah. Kadar ini bisa meningkat jika terjadi inflamasi. Enzim COX-2 berperan mengonversi arachidonic acid menjadi prostaglandin H, yang kemudian dirobah menjadi spesies atau jenis prostanoid yang spesifik, misalnya prostaglandin E2. Keberadaan COX-2 dipicu oleh interleukin 1-β dan TNFα, yang keduanya terbentuk beberapa jam setelah permulaan inflamasi, sehingga obat antiinflamasi yang selektif menghambat COX-2 tidak efektif terhadap nyeri nosiseptif atau inflamasi yang berlangsung cepat. Obat demikian bisa efektif pada nyeri kronis (misalnya: rheumatoid arthritis), di mana COX-2 secara kronis dihasilkan sebagai respons inflamasi yang persisten.[32]


Perlu diketahui juga bahwa penggunaan NSAID dalam jangka waktu yang panjang dapat menimbulkan masalah pada sistem pencernaan seperti mual, muntah, diare, perdarahan lambung, dispepsia, serta efek terhadap sistem jantung dan ginjal (retensi garam dan cairan, hipertensi). Oleh sebab itu, WHO memberikan peringatan untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan NSAID.[33], [34]


Kesimpulan


Nyeri secara umum dapat dikelompokan ke dalam jenis nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati. Terapi nyeri nosiseptif dapat dilakukan dengan menggunakan obat dari kelompok analgesik nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) misalnya etoricoxib celecoxib, piroxicam, etodolac, diclofenac, dll.). Selain itu, analgesik golongan non-NSAID juga dapat digunakan, seperti paracetamol, obat relaksan otot, opioid, dll. Walaupun cara kerja dari obat-obat NSAID ini tidak berbeda antara satu jenis dengan jenis lain, akan tetapi hasil uji klinik pada penderita osteoartritis, rheumatoid arthritis akut, ankylosing spondilitis, nyeri punggung bawah, nyeri akut pascaoperasi termasuk bedah mulut (gigi) serta dismenorea, etoricoxib memberikan efikasi analgesik yang sangat baik. Sementara untuk nyeri neuropati, terapi umumnya melibatkan obat dari golongan antikonvulsan (contoh: gabapentin, pregabalin) dan antidepresan (contoh: amitriptyline).


DAFTAR PUSTAKA


  1. Merksey H, Bogduk N (eds). Classification of chronic pain: description of chronic pain syndromes and definition of pain terms, 2nd edition. Seattle: International Association for the Study of Pain (IASP); 1994.

  2. Loeser JD. MD Pain: The Fifth Vital Sign. APS Bulletin 2003:13.

  3. Spitzer WO. Scientific approach to the assessment and management of activity-related spinal disorders: a monograph for clinicians. Report of the Quebec Task Force on spinal disorders. Spine 1987;12(Supp):S1-59.

  4. Centers for Disease Control and Prevention. Acute Low Back Pain. Available at https://www.cdc.gov/acute pain/lowback-pain/index.html cited April 1, 2022.

  5. Deyo RA. Non-operative treatment of low back disorders. In: Frymoyer JW (Ed.). The Adult Spine: Principles and Practice. New York, NY: Raven Press, 1991.

  6. Bigos S, Bowyer O, Braen G, et al. Acute low back problems in adults. Clinical practice guideline 14.AHCRP Publication No. 95-0642. Rockville, MD: Agency for Health Care Policy and Research, Public Heart Service, US Department of Health and Human Services, 1994

  7. Gow P. Acute low back pain. In: Rowbotham DJ and Macintyre PE (eds.). Clinical Pain Management. Acute Pain, London, Arnold 2003:pp.405-18.

  8. GBD 2016 Disease and Injury Incidence and Prevalence Collaborators, Global, regional, and national incidence, prevalence, and years lived with disability for 328 diseases and injuries for 195 countries, 1990–2016: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016. The Lancet 2017;390(10100):1211–59.

  9. Vargas C, Bilbeny N, Balmaceda C, et al., Costs and consequences of chronic pain due to musculoskeletal disorders from a health system perspective in Chile. Pain Rep. 2018;3(5):e656.

  10. Osumili B, McCrone P, Cousins S, and Ridsdale L. The economic cost of patients with migraine headache referred to specialist clinics. Headache 2018;58:287–94.

  11. Graven-Nielsen T and Arendt-Nielsen L. Assessment of mechanisms in localized and widespread musculoskeletal pain Nat Rev Rheumatol. 2010;6(10):599-606.

  12. Smart KM, Blake C, Staines A, Doody C. Clinical indicators of ‘nociceptive’, ‘peripheral neuropathic’ and ‘central’ mechanisms of musculoskeletal pain. A Delphi survey of expert clinicians. Man Ther 2010;15:80-7.

  13. Świeboda P, Filip R, Prystupa A, Drozd M. Assessment of pain: types, mechanism and treatment. Pain. 2013;2(7).

  14. Nachemson A. Latest knowledge of low back pain: a critical look. Clin Orthop and Related Res 1992;279:8-20.

  15. Van Tulder M, Koes BW, Assendelft WJJ, Bouter LM (eds). The effectiveness of conservative treatment of acute and chronic LBP. Amsterdam: EMGO Institute, 1999.

  16. Van Tulder M. Low Back Pain: Summery of systematic review and clinical guidelines. Refresher Course Syllabus, Giamberardino A M (ed.), IASP Press, Seattle 2002: pp.267-70.

  17. McCleane GJ. Does gabapentin have an analgesic effect on background, movement and referred pain? A randomized, double-blind, placebo controlled study. Pain Clinic 2001;13:103-7.

  18. Siddall PJ, Cousins MJ, Otte A, et al. Pregabalin in central neuropathic pain associated with spinal cord injury. Neurology 2006;67:1792-800.

  19. Yildimir K, Sisecioglu M, Karatay S, et al. The effectiveness of gabapentin in patient with chronic radiculopathy. The Pain Clinic 2003;15:213-8.

  20. Gallagher RM. Management of neuropathic pain: translating mechanistic advances and evidence-based research into clinical practice. Clin J Pain 2006;22:S2–8.

  21. Jackson KC, Onge EL. Antidepressant pharmacotherapy: considerations for the pain clinician. Pain Pract 2003;3:135–43.

  22. Goucke CR. The management of persistent pain. Med J Aust 2003;178:444-7.

  23. Birbara CA, Puopolo AD, Munoz DR, et al. Treatment of chronic low back pain with etoricoxib, a new cyclo-oxygenase-2 selective inhibitor: improvement in pain and disability—a randomized, placebocontrolled, 3-month trial. J Pain 2003;4:307–15.

  24. Bombardier C, Laine L, Reicin A, et al. Comparison of upper gastrointestinal toxicity of rofecoxib and naproxen in patients with rheumatoid arthritis. VIGOR Study Group. N Engl J Med. 2000;343:1520–8.

  25. Brooks P, Kubler P. Etoricoxib for arthritis and pain management. Therapeutics and Clinical Risk Management 2006;2:45–57.

  26. Liu W, Loo CC, Chiu JW, Tan HM, Ren HZ, Lim Y. Analgesic efficacy of pre-operative etoricoxib for termination of pregnancy in an ambulatory centre. Singapore Med J 2005;46:397-400.

  27. Brooks PM and Day RO. Nonsteroidal antiinflammatory drugs differences and similarities. N Eng J Med 1991;324:1716-25.

  28. Insel PA. Anaagesic-antipyretics and antiinflammatory agents; drugs employed in the treatment of rheumatoid arthritis and gout. In: Gilman AG, Rall TW, Nies AS et al. (eds). Good man and Gilman’s the pharmacological basis of therapeutics. 8th ed. V. 1. Singapore: McGraw-Hill Inc, 1992: pp.638-81.

  29. Alon E, Niv D, Varrasi G, et al. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs in the control of postoperative pain. Pain Digest 1996;6:145-52.

  30. Dahl JB, Kehlet H. Non-steroid anti-inflammatory drugs: rational for use in severe postoperative pain. Br J Anasth 1991;66:703-12.

  31. Zarghi A and Arfae S. Selective COX-2 Inhibitors: A Review of Their Structure-Activity Relationships. Iran J Pharm Res.2011;10(4):655–83.

  32. Urban MK. COX-2 specific inhibitors offer improved advantages over traditional NSAIDs Orthopedics 2000;23(7 Suppl):S761-4.

  33. Schaffer D, Florin T, Eagle C, et al. Risk of serious NSAID-related gastrointestinal events during long-term exposure: A systematic review. Med J Aust. 2006;185(9):501–6.

  34. Rahme E, Nedjar H. Risks and benefits of COX-2 inhibitors vs non-selective NSAIDs: Does their cardiovascular risk exceed their gastrointestinal benefit? A retrospective cohort study. Rheumatology (Oxford) 2007;46(3):435–8

6 tampilan
bottom of page