Sumber: Medicinus Edisi Agustus 2021 Volume 34, Issue 2
Apt. Yosephine Dian Hendrawati, M.Farm.
Medical Management Information - PT Dexa Medica
Herpes zoster atau shingles merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi varicella zoster virus (VZV) yang berasal dari infeksi laten pada ganglia sensori.1 Penyakit ini ditandai dengan ruam disertai nyeri akut, yang umumnya timbul di salah satu sisi tubuh atau wajah. Infeksi primer VZV diketahui menyebabkan penyakit cacar air (chicken pox). Setelah sembuh dari infeksi primer, virus bermigrasi dari lesi kulit ke bagian ganglia sensori spinal atau kranial kemudian menjadi dorman. Sebagian individu mengalami reaktivasi virus yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder yang kemudian dikenal sebagai herpes zoster.2
Saat reaktivasi, terjadi perpindahan virus sepanjang serabut saraf, menyebabkan kerusakan neuronal, hingga mencapai dermatom kulit di mana ruam vesikular terbentuk. Herpes zoster diawali dengan masa prodromal di mana umumnya pasien merasakan gatal atau nyeri sebelum ruam dan vesikel terbentuk. Perjalanan penyakit herpes zoster terdiri dari 3 fase utama, yakni fase akut (sekitar 1 bulan), fase nyeri subakut (munculnya nyeri dalam kurun waktu 30-90 hari setelah ruam sembuh), dan fase postherpetic neuralgia (PHN) yaitu nyeri yang terjadi lebih dari 90 hari setelah onset terbentuknya ruam. Nyeri pada herpes zoster berkembang dari nyeri akut yang berasal dari proses inflamasi, kemudian pada perjalanannya dapat menjadi nyeri neuropati kronis yang terjadi akibat adanya kerusakan serabut saraf dan sensitisasi sekunder.2 Nyeri kronis pada PHN merupakan sumber disabilitas dan dapat menetap dalam jangka waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah fase akut terlewati.1
Peluang terjadinya herpes zoster adalah 25-30% sepanjang hidup dan meningkat seiring bertambahnya usia, salah satunya akibat penurunan cell-mediated immunity (CMI) terhadap VZV.2,3 Herpes zoster juga lebih rentan dialami oleh mereka yang berada dalam kondisi immunocompromised, seperti resipien transplantasi organ, pasien yang menerima terapi dengan obat sitostatika, serta orang dengan HIV/ AIDS.3
Walaupun memiliki manifestasi utama berupa ruam kulit, herpes zoster pada dasarnya merupakan suatu penyakit jaringan saraf yang memiliki manifestasi akut dan kronis yang membutuhkan tata laksana multidisipliner. Komplikasi dari penyakit ini dapat berupa manifestasi dermatologis (infeksi bakterial sekunder), neurologis (postherpetic neuralgia, segmental paresis, stroke), optalmologis (keratitis, glaukoma sekunder), maupun visceral (pneumonia, hepatitis).2 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa herpes zoster dan komplikasinya, terutama postherpetic neuralgia, berdampak signifikan pada fisik, psikis, fungsional, dan aspek sosial dari pasiennya. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat keparahan nyeri yang dialami dengan keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Herpes zoster yang terjadi pada area wajah dapat menimbulkan komplikasi optalmologis yang berujung pada hilangnya penglihatan secara permanen.1 Usaha pencegahan serta tata laksana yang komprehensif diharapkan mampu memberikan outcome klinis yang baik serta peningkatan kualitas hidup pada pasien dalam jangka panjang.
Tata Laksana Herpes Zoster
Terdapat banyak pendekatan dalam penatalaksanaan kasus herpes zoster. Tata laksana herpes zoster bertujuan untuk mengendalikan durasi penyakit, nyeri akut, mempertahankan kualitas hidup pasien, serta meminimalisasi kejadian postherpetic neuralgia (PHN) dan komplikasi lainnya. Berdasarkan European consensus-based (S2k) Guideline on the Management of Herpes Zoster – guided by the European Dermatology Forum (EDF) in cooperation with the European Academy of Dermatology and Venereology (EADV), Part 2: Treatment, terdapat 3 bagian penting dalam tata laksana herpes zoster, yaitu:4
1. Terapi antiviral
Herpes zoster (HZ), seperti halnya banyak jenis infeksi virus lainnya, umumnya bersifat self-limiting selama tidak terjadi komplikasi. Secara umum, terapi dengan obat antivirus (aciclovir, valaciclovir, famciclovir, atau brivudin) direkomendasikan pada kondisi berikut:
Pasien berusia lebih dari 50 tahun.
HZ terjadi pada area kepala dan/atau leher.
Lokalikasi HZ dengan nyeri sedang hingga berat, lesi hemoragik atau nekrosis, melibatkan lebih dari 1 segmen, lesi abnormal, atau ada keterlibatan membran mukosa.
Pasien immunocompromised.
Pasien dengan riwayat penyakit kulit berat seperti dermatitis atopik.
HZ pada anak dan remaja yang menjalani terapi jangka panjang menggunakan salicylic acid atau corticosteroid.
Terapi antiviral juga dapat dipertimbangkan pada pasien yang berusia kurang dari 50 tahun yang menderita HZ pada bagian batang tubuh maupun ekstremitas, tanpa adanya risiko maupun tanda-tanda komplikasi.
Untuk dapat mengendalikan infeksi dengan baik, terapi antiviral direkomendasikan untuk diberikan sesegera mungkin, paling baik dalam kurun waktu 72 jam setelah onset gejala, atau setelahnya selama tampak vesikel baru yang muncul pada pasien yang memiliki risiko komplikasi, pada pasien dengan tanda-tanda penyebaran cutaneous, visceral atau neurologis, pada kasus HZ optalmik atau otis, serta pada pasien immunocompromised.
Terapi antiviral tidak disarankan untuk diberikan pada kasus HZ uncomplicated (gejala klasik, unilateral, terlokalisasi di area thoracic atau lumbar, pada pasien kurang dari 50 tahun tanpa tanda-tanda komplikasi) yang datang setelah periode 72 jam pasca- onset gejala.
2. Manajemen nyeri akut
Ruam pada herpes zoster (HZ) seringkali diawali dan disertai dengan sensasi sensorik yang muncul secara kontinu maupun episodik, seperti nyeri, paresthesia, dysaesthesia, allodynia, atau hyperesthesia. Karena sifatnya yang individual, direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan awal skala nyeri pada setiap pasien dengan HZ, baik menggunakan visual analog scale (VAS) maupun numeric rating scale (NRS).
Terapi analgesik untuk mengendalikan zoster-associated pain direkomendasikan untuk mengikuti 3 tahap WHO pain ladder, yaitu penggunaan analgesik non-opioid, opioid lemah, sampai dengan opioid yang lebih kuat tergantung pada pertimbangan klinis pasien, dan apabila derajat nyeri pada saat awal tergolong sedang hingga berat atau terdapat faktor risiko terjadinya postherpetic neuralgia (PHN), maka dapat dipertimbangkan penambahan terapi untuk nyeri neuropati dengan golongan antikonvulsan (contoh: pregabalin, gabapentin) atau antidepresan (contoh: amitriptyline).
3. Terapi lokal
Berdasarkan guideline di atas, tidak terdapat bukti ilmiah yang memadai untuk menyusun rekomendasi terapi lokal yang spesifik untuk kasus herpes zoster akut. Dalam situasi spesifik seperti HZ optalmik, direkomendasikan pemberian terapi dengan salep mata acyclovir dan obat steroid topikal. Beberapa pilihan terapi lokal yang digunakan dalam kasus herpes zoster antara lain aplikasi larutan normal saline steril, antiseptik ringan seperti larutan polyhexanide 20%, losion zinc oxide, anestesi lokal seperti lidocaine dan capsaicin, namun tidak banyak studi yang menguatkan penggunaannya.4,5
Peran Valaciclovir dalam Manajemen Herpes Zoster
Studi membuktikan manfaat dari pemberian terapi antiviral dalam membantu mengendalikan keparahan ruam, nyeri terkait, serta durasi penyakit pada kasus herpes zoster.6 Selama bertahun-tahun, aciclovir menjadi terapi farmakologis yang direkomendasikan dalam tata laksana herpes zoster, akan tetapi, potensi terapeutik aciclovir memiliki keterbatasan yang disebabkan karena bioavailabilitas yang rendah terkait kelarutan dan permeabilitas yang kurang baik. Setelah pemberian aciclovir per oral, absorpsi berlangsung lambat, variabilitas individu besar, serta menghasilkan nilai bioavailabilitas yang relatif rendah (15-30%).7
Valaciclovir adalah suatu molekul yang terdiri dari asam amino valine yang berikatan dengan molekul aciclovir (l-valyl ester of aciclovir). Valaciclovir merupakan prodrug dari aciclovir yang dikembangkan untuk mampu menghasilkan konsentrasi serum aciclovir yang lebih tinggi di dalam tubuh agar mampu mencapai tujuan pengobatan dengan lebih efektif. Valaciclovir merupakan antivirus yang aktif terhadap infeksi herpes simplex virus (HSV), Epstein-Barr virus (EBV), cytomegalovirus (CMV), dan varicella zoster virus (VZV), di mana HSV dan VZV adalah virus yang paling sensitif. Setelah pemberian per oral, >99% valaciclovir dihidrolisis dengan cepat menjadi senyawa aktif aciclovir dengan bioavailabilitas 3-5 kali lebih baik dibandingkan pemberian oral aciclovir. Hal ini memungkinkan regimen dosis yang jauh lebih sederhana dan nyaman untuk pasien dalam menjalani terapi dengan profil keamanan yang baik.8,9,10 Studi Beutner, et al. (1995) menunjukkan bahwa regimen dengan 1 g valaciclovir 3 kali sehari selama 7 hari superior dalam menangani herpes zoster-associated pain dan menurunkan kejadian serta durasi postherpetic neuralgia dibandingkan regimen 800 mg aciclovir 5 kali sehari selama 7 hari pada individu immunocompetent dengan herpes zoster. Dalam studi ini juga dilakukan pengukuran kadar plasma aciclovir, dan hasil pengukuran menunjukkan bahwa terapi dengan valaciclovir oral menghasilkan bioavailabilitas aciclovir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan terapi aciclovir oral.9 Achar, et al. (2011) juga telah melakukan studi prospektif, acak, tersamar, untuk melihat efikasi valaciclovir oral dibandingkan dengan aciclovir oral dalam menangani lesi dan nyeri herpes zoster. Hasilnya regimen 1 g valaciclovir 3 kali sehari selama 7 hari superior dibandingkan regimen 800 mg aciclovir 5 kali sehari selama 7 hari dalam memperbaiki lesi kulit pada pasien herpes zoster.11 Efikasi dan keamanan yang baik dari valaciclovir serta profil farmakokinetik yang memungkinkan pemberian dengan regimen yang lebih sederhana dapat membantu meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi.12
Kesimpulan
Tantangan dalam manajemen herpes zoster mencakup usaha meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap herpes zoster, program pencegahan penyakit melalui vaksinasi, serta pemberian terapi yang tepat untuk mampu menangani penyakit ini berikut komplikasinya. Edukasi yang tepat mengenai herpes zoster memungkinkan masyarakat mengenali gejala dan tanda-tanda penyakit dengan lebih dini sehingga terapi dapat diberikan segera dan menghasilkan outcome klinis yang lebih baik untuk membatasi kerusakan neuronal sebagai dampak dari infeksi. Kerusakan neuronal yang minim diharapkan mampu meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup pasien dalam jangka panjang.
Terapi antiviral dengan valaciclovir telah terbukti memberikan efikasi yang baik pada kasus herpes zoster dan mampu mengatasi keterbatasan dari aciclovir dengan menghasilkan bioavailabilitas dan respons klinis yang lebih baik serta profil keamanan yang sebanding. Bagian penting lain yang tidak boleh luput dari tata laksana herpes zoster adalah manajemen nyeri akut dengan pemilihan analgesik sesuai kondisi pasien mengikuti WHO pain ladder, dan apabila diperlukan dapat dipertimbangkan pemberian agen untuk tata laksana nyeri neuropati seperti golongan antikonvulsan (pregabalin atau gabapentin).
DAFTAR PUSTAKA
Johnson RW, Bouhassira D, Kassianos G, et al. Debate the impact of herpes zoster and post-herpetic neuralgia on quality- of-life. BMC Medicine 2010;8(37):1-13.
Johnson RW, Alvarez-Pasquin M, Bijl M, et al. Herpes zoster epidemiology, management, and disease and economic burden in Europe: a multidisciplinary perspective. Ther Adv Vaccines 2015;3(4):109-20.
Yawn BP and Gilden D. The global epidemiology of herpes zoster. Neurology 2013;81(10):928–30.
Werner RN, Nikkels FN, Marinovic B, et al. European consensus-based (S2k) Guideline on the Management of Herpes Zoster – guided by the European Dermatology Forum (EDF) in cooperation with the European Academy of Dermatology and Venereology (EADV), Part 2: Treatment. JEADV 2017;31:20–9.
Saguil A, Kane S, Mercado M. Herpes zoster and postherpetic neuralgia: prevention and management. Am Fam Physician 2017;96(10):656-63.
Johnson RW. Consequences and management of pain in herpes zoster. The Journal of Infectious Diseases 2002;186(1):S83–9.
Nair AB, Attimarad M, Al-Dhubiab BE, et al. Enhanced oral bioavailability of acyclovir by inclusion complex using hydroxypropyl-β-cyclodextrin. Drug Deliv 2014;21(7):540–7.
Ormrod D, Goa K. Valaciclovir: A review of its use in the management of herpes zoster. Drugs 2000;59(6):1317-40.
Beutner KR, Friedman DJ, Forszpaniak C, et al. Valaciclovir compared with acyclovir for improved therapy for herpes zoster in immunocompetent adults. Antimicrob Agents Chemother 1995;39:1546-53.
Arora A, Mendoza N, Brantley J, et al. Double-blind study comparing 2 dosages of valacyclovir hydrochloride for the treatment of uncomplicated herpes zoster in immunocompromised patients 18 years of age and older. The Journal of Infectious Diseases 2009;197(9):1289–95.
Achar A, Chakraborty PP, Ghosh T, et al. Clinical efficacy and tolerability of valacyclovir versus acyclovir in treatment of herpes zoster. Iran J Dermatol 2011;14:52-7.
Fife KH, Barbarash RA, Rudolph T, et al. Valaciclovir versus acyclovir in the treatment of first-episode genital herpes infection. Results of an international, multicenter, double-blind, randomized clinical trial. The Valaciclovir International Herpes Simplex.