Susanti Rosmala Dewi, Anggana Rafika Paramitasari, Suci Widhiati, Nurrachmat Mulianto
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
ABSTRAK
Latar Belakang: Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi Sarcoptes scabiei var. hominis. Insidensi dan prevalensi skabies sangat tinggi di Indonesia terutama pada lingkungan masyarakat pesantren, karena buruknya sanitasi lingkungan. Krim permethrin masih dianggap sebagai pilihan terapi utama dalam penatalaksanaan skabies. Harga obat yang relatif mahal dan pengolesan di seluruh tubuh dalam jangka waktu lama menyebabkan tingkat kepatuhan yang rendah. Tujuan: Membandingkan efektifitas terapi losion permethrin 1% dengan krim permethrin 5% pada pengobatan skabies. Metode: Penelitian eksperimental dengan teknik consecutive sampling, terdiri dari 40 sampel pasien skabies yang memenuhi kriteria inklusi, kemudian dibagi dalam 2 kelompok secara acak. Kelompok I diberi losion permethrin 1% saat mandi pada seluruh tubuh lalu didiamkan 10 menit selama 3 hari berturut-turut. Kelompok II diberi krim permethrin 5% selama 8 jam sebelum tidur. Setelah 1 minggu dilakukan evaluasi klinis untuk menilai kesembuhan penyakit. Data diolah menggunakan program SPSS versi 17 dan dianalisis menggunakan uji t-test. Hasil: Pada kelompok I sebelum menggunakan losion permethrin 1% didapatkan nilai Visual Analogue Scale (VAS) dengan gatal derajat ringan 30%, sedang 40%, berat 25% dan sangat berat 5% sedangkan setelah penggunaan didapatkan gatal derajat ringan 55%, sedang 35% dan berat 10% dengan nilai p=0,076. Pada kelompok II sebelum menggunakan krim permethrin 5% didapatkan keluhan gatal derajat ringan 16,7%, sedang 50%, berat 27,8% dan sangat berat 5,6% sedangkan setelah penggunaan didapatkan tidak gatal sebesar 10%, gatal derajat ringan 50%, dan sedang 30% dengan nilai p=0,001. Tidak ditemukan perbedaan derajat gatal yang bermakna antara kelompok yang menggunakan losion permethrin 1% dengan krim permethrin 5% (p=0,140). Kesimpulan: Meskipun tidak ada perbedaan derajat gatal yang signifikan setelah
penggunaan obat losion permethrin 1% maupun krim permethrin 5%, namun terdapat penurunan derajat gatal yang bermakna dengan menggunakan krim permethrin 5%, sehingga sediaan ini lebih superior dibandingkan dengan losion permethrin 1% dalam pengobatan skabies.
Kata Kunci: derajat gatal, skabies, losio permetrin 1%, krim permetrin 5%.
PENDAHULUAN
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis.1 Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis di wilayah beriklim tropis dan subtropis.2 Prevalensi skabies berkisar di rentang 6-27% dari populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak dan remaja. Di Indonesia, skabies menempati urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies yang dilaporkan di Puskesmas di seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6-12,95%.3
Cara penularan tungau ini dapat terjadi secara langsung melalui kontak antara kulit dengan kulit serta kontak seksual, atau secara tidak langsung melalui perantaraan benda seperti pakaian, alas tidur, handuk, dan lain-lain.4 Beberapa faktor yang berhubungan erat dengan penyakit skabies antara lain: status sosial ekonomi yang rendah, hygiene dan sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk, umur dan ras.5
Manifestasi klasik skabies (tanda kardinal) berupa gatal di seluruh tubuh yang intens yang dapat dinilai dengan Visual Analogue Scale (VAS) dan umumnya tidak mengenai wajah serta kepala, pruritus memburuk di malam hari, lesi sebagian besar terletak di daerah predileksi yaitu sela-sela jari, pada permukaan fleksor pergelangan tangan, siku, aksila, gluteus, genitalia, payudara wanita, serta terbentuk terowongan dan nodul (umumnya di daerah genital dan aksila). Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut. Untuk mengonfirmasi diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan langsung dengan menemukan tungau dewasa atau immature, telur maupun feses tungau yang diambil pada terowongan yang terbentuk di kulit dengan cara kerokan kulit.4,6 Hasil kerokan kulit kemudian diberi perlakuan dengan potassium hydroxide (KOH) lalu dilihat dibawah mikroskop.6
Terdapat beberapa pilihan untuk penatalaksanaan skabies dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti efektivitas, toksisitas, efek samping, harga, kepraktisan serta kenyamanan pemakaian obat. Pilihan pertama dalam pengobatan skabies adalah permethrin
karena efek toksik yang relatif rendah serta dinilai efektif untuk semua stadium hidup tungau.7,8
Angka kesembuhan pengobatan skabies
menggunakan dosis tunggal permethrin topikal adalah 97,8%.9 Sediaan obat yang beredar di Indonesia memiliki kadar permethrin sebesar 5%, namun harganya relatif mahal. Belum lama tersedia juga sediaan berbentuk losion dengan kadar permethrin 1%. Losion permethrin 1% merupakan pilihan pertama pada pedikulosis, di mana penggunaan obat ini di samping harganya relatif terjangkau juga masih cukup efektif dalam menghancurkan tungau, namun tidak efektif pada stadium telur.10
TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan efektivitas terapi losion permethrin 1% dengan krim permethrin 5% pada pengobatan
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental untuk mengetahui efektivitas pemberian terapi losion permethrin 1% dibandingkan krim permethrin 5%. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Daarul Qur’an Surakarta pada bulan Desember 2015.
B. Subjek Penelitian
Pengambilan subyek penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Daarul Qur’an Surakarta dengan populasi penelitian yaitu santri dari pondok pesantren tersebut. Sampel penelitian yang diambil sebanyak 40 orang. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik consecutive sampling. Semua santri yang memenuhi kriteria inklusi dapat dimasukkan sebagai sampel penelitian.
Kriteria inklusi:
Santri dengan gejala klinis skabies dan memenuhi kriteria diagnosis skabies (3 dari 4 tanda kardinal yaitu pruritus nokturna, pada individu berkelompok, manifestasi kelainan kulit sesuai predileksi, ditemukan tungau),
Santri yang belom mendapatkan pengobatan skabies,
Bersedia menjadi sampel penelitian,
Santri tinggal serta menginap di pondok pesantren.
Kriteria eksklusi :
Santri dengan riwayat hipersensitivitas terhadap permethrin,
Tidak bersedia menjadi sampel penelitian.
C. Variabel Penelitian
Variabel bebas: losion permethrin 1% dan krim permethrin 5%
Variabel terikat: derajat gatal yang diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS)
D. Metode Penelitian
Alur kerja pada penelitian ini adalah:
Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis skabies terhadap seluruh santri dengan kriteria ditemukannya 3 dari 4 tanda kardinal.
Sampel diambil secara consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Pengisian informed consent oleh santri yang bersedia mengikuti penelitian.
Sampel yang terkumpul dibagi menjadi dua kelompok dengan pembagian sampel secara randomisasi sederhana (simple randomization).
Derajat gatal sebelum diberikan terapi diukur dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS).
Kelompok I diberi pengobatan losion permethrin 1% yang diaplikasikan saat mandi pada seluruh tubuh, lalu didiamkan selama 10 menit setiap kali mandi selama 3 hari berturut-turut.
Kelompok II diberi pengobatan krim permethrin 5% yang diaplikasikan sebelum tidur selama 8 jam.
Setelah 1 minggu sejak hari pertama penggunaan obat dilakukan evaluasi klinis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik kembali untuk menilai perbaikan gejala skabies dengan mencatat nilai VAS.
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan SPSS versi 17. Analisis perbedaan efektivitas obat dilakukan dengan menggunakan t-test.
HASIL PENELITIAN
Didapatkan 40 orang santri yang memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian . Pembagian sampel ke dalam masing-masing kelompok dilakukan dengan teknik randomisasi sederhana sehingga didapatkan 20 santri yang menerima pengobatan dengan losion permethrin 1% dan 20 santri menerima pengobatan dengan krim permethrin 5%. Terdapat dua subjek yang tidak menggunakan pengobatan sesuai dengan ketentuan penelitian sehingga dikeluarkan dari penelitian. Seluruh sampel penelitian diberi perlakuan baik dengan menggunakan losion permethrin 1% maupun dengan krim permethrin 5%. Selanjutnya dilakukan penilaian derajat pruritus menggunakan nilai VAS yang dinilai sebelum dan seminggu sejak dimulainya terapi. Hasil nilai VAS yang diperoleh pada kedua kelompok dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Derajat pruritus yang digambarkan dengan nilai VAS sebelum dan sesudah penggunaan losion permethrin 1% dan krim permethrin 5% pada pasien skabies
Berdasarkan hasil pengukuran derajat pruritus pada kedua kelompok, didapatkan bahwa tidak terjadi penurunan derajat pruritus yang bermakna pada kelompok yang diterapi dengan sediaan losion permethrin 1%, dilihat dari nilai p sebesar 0,076. Sementara itu pada kelompok yang mendapatkan terapi dengan sediaan krim permethrin 5% terjadi penurunan derajat pruritus yang signifikan, yang tampak dari nilai p sebesar 0,001 (Gambar 1).
Gambar 1. Perbandingan derajat pruritus dengan terapi menggunakan permethrin 1% (A) dan 5% (B) berdasarkan nilai VAS
Pada perbandingan derajat gatal secara keseluruhan setelah perlakuan dengan menggunakan losion permethrin 1% maupun krim permethrin 5% didapatkan nilai p sebesar 0,140 (Tabel 2). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada
besarnya derajat pruritus secara keseluruhan dengan perlakuan baik menggunakan losion permethrin 1% maupun krim permethrin 5% pada pasien skabies.
Tabel 2. Perbandingan derajat gatal berdasarkan nilai VAS setelah perlakuan dengan losion permethrin 1% dan krim permethrin 5%
PEMBAHASAN
Sarcoptes scabiei adalah tungau parasit yang dapat menyebabkan pruritus intens (gatal), ruam dan lesi, yang lebih dikenal dengan penyakit kudis atau skabies.6 Kondisi ini sangat menular dan siapapun yang berada di sekitar penderita berisiko terinfestasi tungau.6 Skabies seringkali diabaikan karena dianggap tidak mengancam jiwa sehingga prioritas penanganannya rendah, padahal sebenarnya skabies bersifat kronis dan berat serta dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Skabies menimbulkan ketidaknyamanan bagi penderitanya karena menimbulkan lesi yang sangat gatal.11 Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies antara lain terkait dengan status sosioekonomi rendah, yang diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan, akses air bersih yang sulit serta kepadatan hunian.11,12 Kepadatan hunian yang tinggi diikuti dengan tingginya interaksi atau kontak fisik antar individu memudahkan transmisi serta infestasi tungau.13,14 Oleh karena itu, prevalensi skabies yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan karakteristik tersebut
seperti penjara, barak pengungsi, panti asuhan, dan pondok pesantren.14,15,16
Gatal merupakan salah satu gejala utama dari skabies.6 Gatal selalu menjadi manifestasi yang sangat jelas dan menonjol serta pada stadium tertentu merupakan satu-satunya gejala dari infestasi parasit ini. Rasa gatal umumnya bertambah intens pada malam hari. Gatal terutama dirasakan pada lesi kulit, namun seiring waktu gatal juga dapat dirasakan pada seluruh tubuh.17,18 Interval waktu antara paparan tungau dengan timbulnya gatal pada tubuh inang pada umumnya berkisar antara 4-6 minggu, namun pada orang yang memiliki riwayat
terinfestasi tungau skabies, gejala pada paparan ulang akan muncul dalam 48 jam atau kurang, bergantung pada tingkat sensitivitas orang tersebut.19 Visual Analogue Scale (VAS) merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan dalam penilaian derajat gatal karena metode yang digunakan tergolong mudah dan cepat.20,21 Penilaian ini pada awalnya dikembangkan untuk menilai intensitas nyeri, namun kemudian diadopsi juga untuk mengevaluasi derajat gatal. Berdasarkan rincian analisis berikut maka kategori derajat gatal berdasarkan nilai VAS yaitu: 0 = tidak gatal, 1-3 = gatal derajat ringan, 4-6 = gatal derajat sedang, poin 7-8 = gatal derajat berat, dan ≥9 = gatal derajat sangat berat. Dapat disimpulkan bahwa penilaian VAS merupakan metode yang baik untuk menilai derajat gatal. 20
Diagnosis skabies ditegakkan menggunakan 3 dari 4 tanda kardinal. Pengobatan harus diberikan pada seluruh orang yang mengalami kontak dengan penderita, khususnya penderita karier, anggota keluarga dan kerabat dekat untuk tujuan pencegahan serta menahan penyebaran.6,22 Seluruh pakaian, sarung bantal, alas tidur, dan handuk harus dicuci menggunakan air panas lalu dikeringkan pada suhu panas selama penderita mendapat pengobatan.6 Bahan yang tidak dapat dicuci harus direndam dalam air hangat, disetrika, diletakkan di pengering tanpa dicuci, atau disimpan dalam kantong plastik tertutup pada tempat yang hangat selama 2 minggu.6
Terdapat beberapa pilihan obat untuk penatalaksanaan penyakit kudis atau skabies. Namun pemilihan obat skabies hendaknya mempertimbangkan beberapa syarat obat antiskabies yang ideal, yaitu:
Harus efektif terhadap semua stadium tungau.
Tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik.
Tidak berbau serta tidak merusak atau mewarnai pakaian.
Mudah diperoleh dan harganya terjangkau.5
Obat topikal memiliki efektivitas yang tinggi dalam penatalaksanaan skabies. Obat topikal harus diaplikasikan mulai dari leher ke seluruh tubuh khususnya pada lipatan pada tangan dan kaki, belahan gluteus, umbilikus, di bawah kuku jari tangan dan kuku jari kaki, kecuali pada mata, mulut serta kulit yang terluka. Obat harus digunakan selama periode spesifik dan kemudian dibersihkan dari kulit. Semua terapi insektisida, aplikasi kedua biasanya adalah satu minggu setelah terapi awal untuk mengurangi risiko reinfestasi.5 Walaupun saat ini banyak dijumpai obat antiskabies, ternyata masih terdapat berbagai masalah dalam pengobatan skabies, antara lain:
1. Aplikasi obat topikal tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Kesalahan yang sering terjadi adalah pengaplikasian obat topikal hanya pada daerah yang terkena saja, tidak dari leher ke seluruh tubuh.
2. Efek samping obat antiskabies yang diberikan, di antaranya:
Preparat antiskabies dapat menimbulkan toksisitas jika diabsorpsi dalam jumlah besar, terutama pada pemakaian jangka panjang pada anak-anak.
Pada beberapa orang dapat timbul dermatitis kontak akibat pemberian antiskabies topikal
3. Reinfestasi skabies.
Infestasi kembali skabies tergolong sering terjadi, kemungkinan disebabkan oleh aplikasi obat topikal yang jumlahnya kurang, tidak semua penderita skabies dalam lingkungan yang sama teridentifikasi, pengobatan pada seluruh kasus skabies termasuk pasien, tenaga medis, keluarga, dan lainnya gagal, masih terpapar atau kontak dengan individu yang menderita skabies serta penggunaan obat steroid selama masa pengobatan.6,24
4. Resistensi telah dilaporkan pada penggunaan obat lindane, permethrin, dan crotamiton.7
5. Harga obat.
Obat antiskabies yang tersedia di Indonesia cukup beragam dengan harga yang bervariasi, mulai dari yang relatif terjangkau sampai yang tergolong mahal.
Permethrin adalah piretroid sintetis, yaitu insektisida pertama yang stabil terhadap suhu dan cahaya yang telah dikembangkan berdasarkan struktur kimia piretroid alam sejak tahun 1947.23 Permethrin merupakan pilihan pertama sebagai pengobatan skabies karena efek toksik yang relatif rendah dan efektif untuk semua stadium hidup tungau.6 Permethrin 1% merupakan salah satu agen topikal yang tergolong aman dan efektif dalam pengobatan pedikulosis capitis10 sedangkan permethrin 5% merupakan pilihan utama dalam pengobatan skabies.8 Obat topikal ini bekerja mengganggu arus kanal natrium melalui regulasi polarisasi membran. Repolarisasi yang lambat dan paralisis dari tungau merupakan akibat dari gangguan ini. Permethrin digunakan selama 8-12 jam. Permethrin menunjukkan efek samping berupa sensasi terbakar, iritasi, kesemutan, gatal serta dermatitis kontak alergi.23,24,25 Usha dkk. (2000) melaporkan bahwa angka kesembuhan pengobatan skabies menggunakan dosis tunggal permethrin topikal adalah 97,8% dan lebih baik dari aplikasi dosis tunggal pengobatan alternatif dengan ivermectin.9 Belum ada penelitian yang membandingkan antara efektifitas pengobatan permethrin baik dengan kadar 1% maupun 5% dalam pengobatan skabies.
Perbedaan kesembuhan pada kelompok dengan perlakuan pemberian losion permethrin 1% dengan perlakuan pemberian krim permethrin 5% yang kecil kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
Pemakaian losion permethrin 1% maupun krim permethrin 5% yang salah (losion permethrin 1% digunakan kurang dari 10 menit dan tidak digunakan selama 3 hari berturut-turut atau krim permethrin 5% digunakan kurang dari 8-12 jam). Hal ini juga dapat disebabkan para santri tidak mengoleskan kembali obat tersebut setelah berwudu.
Jumlah sampel relatif sedikit dan waktu penelitian yang kurang sehingga hasil perbandingan proporsi kesembuhan antar kedua kelompok menjadi tidak bermakna secara statistik (nilai p>0,05)
Efektivitas losion permethrin 1% baru dapat dinilai dengan waktu observasi yang lebih lama. Pada penelitian ini juga didapatkan 3 orang santri yang mengalami keluhan kulit berupa kemerahan dan iritasi seperti rasa terbakar setelah menggunakan losion permethrin 1%.
KETERBATASAN
Pada penelitian ini jumlah sampel terbatas dan durasi waktu penelitian relatif pendek sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sampel yang lebih banyak dan durasi waktu yang lebih panjang untuk menilai efek dan keamanan dari penggunaan permethrin sebagai pengobatan skabies.
KESIMPULAN
Meskipun tidak terdapat perbedaan derajat gatal yang signifikan setelah penggunaan obat antara losion permethrin 1% maupun krim permethrin 5%, namun terdapat penurunan derajat gatal yang bermakna dibandingkan baseline dengan menggunakan krim permethrin 5%, sehingga obat ini dapat dikatakan superior efektivitasnya dibandingkan dengan losion permethrin 1% dalam pengobatan skabies. Pada penggunaan losion permethrin 1% didapatkan keluhan berupa kulit kemerahan (eritema) dan iritasi. Hal ini kemungkinan karena penggunaan losion permethrin terlalu sering yaitu selama 3 hari berturut-turut yang dioleskan pada saat mandi dan didiamkan selama 10 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Hicks MI, Elston DM. Scabies. Dermatologic therapy. 2009;22(4):279-92.
Steer AC, Jenney AW, Kado J, Batzloff MR, La Vincente S, Waqatakirewa L, et al. High burden of impetigo and scabies in a tropical country. PLoS neglected tropical diseases. 2009;3(6):e467.
Profil Kesehatan Indonesia In: RI DK, editor. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 1987.
Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton S. Scabies in the developing world its prevalence, complications, and management. Clinical microbiology and infection: the official publication of the European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases. 2012;18(4):313-23.
P.Handoko R. skabies. In: Djuanda PDdA, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011. p. 122-5.
Burkhart. Scabies, other mites, and pediculosis. In: Lowell A Goldsmith SIK, Barbara A. Gilchrest, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 2. New York: Mc Graw Hill; 2012. p. 2569-78.
Pourhasan A, Goldust M, Rezaee E. Treatment of scabies, permethrin 5% cream vs. crotamiton 10% cream. Annals of parasitology. 2013;59(3):143-7.
Goldust M, Rezaee E, Raghifar R, Hemayat S. Treatment of scabies: the topical ivermectin vs. permethrin 2.5% cream. Annals of parasitology. 2013;59(2):79-84.
Usha V, Gopalakrishnan Nair TV. A comparative study of oral ivermectin and topical permethrin cream in the treatment of scabies. Journal of the American Academy of Dermatology. 2000;42(2):236-40.
Gunning K, Pippitt K, Kiraly B, Sayler M. Pediculosis and scabies: treatment update. American family physician. 2012;86(6):535-41.
Golant AL, Levitt JO. Scabies: A review of diagnosis and management based on mite biology. Pediatric in review. Vol 33. 2012:e48-59.
Gilmore SJ. Control Strategies for Endemic Childhood Scabies. PLoS ONE. 2011;6(1).p1-14
Johnston G, Sladden M. Clinical review Scabies: diagnosis and treatment. bmj. 2005: p619-22.
Roodsari MR, Malekzad F, Ardakani ME, Alai BA, Ghoraishian M. Original Article Prevalence of scabies and pediculosis in Ghezel Hesar prison, Iran. Journal of Pakistan Association of Dermatologists 2006; 16: 201-204.
Steer AC, Jenney AWJ, Kado J, Batzloff MR, Vincent SL, Waqatakirewa L, et al. High burden of impetigo and scabies in a tropical coubtry. PLoS Negl Trop Dis. 3(6): e467-52
Shelly FW, Currie BJ. Problem in diagnosing scabies, a global disease in human and animal populations. Clin.Microbiol. Rev. 2007:20. p.268-279.
Julie SP. Scabies and lice. In: Harper J, Oranye A, Prose N. Pediatric Dermatology. London: Blackwell Lt. 2000:(2) p555-62.
Rook A. Skin disease caused by Arthropods and other venomous on noxious animal. in: Rook A, Wilkinson DS, Ebling FJG, Champion RH, Burton JL,editor. Textbook of Dermatology. 5. Oxford: Blackwell, 1995. p1-29.
Los Angeles Country of Public Health Acute Communicable Disease Control Program. Scabies prevention and control guidelines acute and sub-acute care facilities. 2009. http://publichealth.lacounty.gov/acd/docs/scabiesguidelinesfinal8.20.09_1.pdf
Reich A, Heisig M, Phan NQ, Taneda K, Takamorin K , Takeuchi S , et al. Clinical report: Visual Analogue Scale: Evaluation of the Instrument for the Assessment of Pruritus. Acta Derm Venereol. 2012; 92: 497–501.
Masutaka Furue M, Ebata T, Ikoma A,Takeuchi S, Kataoka Y, Takamori K, et al. Verbalizing Extremes of the Visual Analogue Scale for Pruritus: A Consensus Statement. Acta Derm Venereol. 2013;93:p214-5.
Chosidow O. Clinical practices. Scabies. N Engl J Med. 2006; 354(16):1718-27.
Goldust M, Rezaee E, Hemayat S. Treatment of scabies: Comparison of permethrin 5% versus ivermectin. The Journal of dermatology. 2012;39(6):545-7.
Yonkosky D, Ladia L, Gackenheimer L, Schultz MW. Scabies in nursing homes: an eradication program with permethrin 5% cream. Journal of the American Academy of Dermatology. 1990;23(6):1133-6.
Gentiane Monsel G, Chosidow O. Management of Scabies. US National Library of Medicine; 2012 :p1-5
Sumber: Medicinus Juli 2019 vol. 32 issue 2