top of page

Perlemakan Hati: Penyakit yang Perlu Diwaspadai Saat Berat Badan Berlebih


Perlemakan Hati: Penyakit yang Perlu Diwaspadai Saat Berat Badan Berlebih


Sumber: Medicinus Vol. 36 ISSUE 3, DECEMBER 2023

Kosmas Nurhadi Indrawan


Abstrak:

Obesitas telah menjadi suatu permasalahan kesehatan global dengan prevalensi yang semakin mengkhawatirkan. Obesitas tidak hanya berdampak pada peningkatan prevalensi penyakit tidak menular yang terkait dengan kelebihan berat, seperti penyakit diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular, namun juga menjadi faktor risiko mayor penyakit perlemakan hati. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) memiliki rentang kelainan patologis hati mulai dari simple steatosis yang bersifat jinak (benign) yang kemudian dapat berkembang menjadi kondisi yang lebih agresif seperti steatohepatitis non-alkoholik (nonalcoholic steatohepatitis/NASH), hepatocellular carcinoma (HCC), dan sirosis. Perkembangan penyakit steatohepatitis non-alkoholik (NASH) merupakan suatu proses yang kompleks dan sampai saat ini belum dapat dipahami secara jelas, namun berbagai faktor diketahui terlibat di dalamnya, seperti predisposisi genetik, jenis kelamin dan usia, pola diet/makanan, dan aktivitas fisik. Penegakan diagnosis NAFLD membutuhkan pemeriksaan radiografi dan histologi hati, sementara penegakkan diagnosis NASH memerlukan hasil biopsi yang menunjukkan adanya >5% steatosis hati, terjadinya degenerasi sel hepatosit akibat pembesaran sel atau hepatocyte ballooning degeneration, dan adanya tanda inflamasi pada lobular hati. Penanganan dan manajemen NAFLD meliputi 3 hal utama yaitu, perubahan gaya hidup, manajemen risiko kardiovaskular, dan terapi farmakologis. NAFLD memiliki prevalensi yang cukup tinggi, namun demikian, tingkat kewaspadaan pasien maupun petugas kesehatan masih kurang, termasuk pemerintah selaku penentu kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang NAFLD serta menghubungkan pasien NAFLD dengan pengobatan yang sesuai yang bertujuan untuk mencegah perkembangan NAFLD ke tahap yang lebih berat.

Kata kunci: NAFLD; NASH, perlemakan hati, sirosis hati, steatohepatitis, steatosis.


Abstract:

Obesity has become a global health concern with an increasingly alarming prevalence. It not only leads to an elevated risk of non-communicable diseases, such as type 2 diabetes mellitus and cardiovascular disorders, but is also a major risk factor for nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD). Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) encompasses a range of liver pathological abnormalities, beginning with benign simple steatosis and advancing to more aggressive conditions like nonalcoholic steatohepatitis (NASH), hepatocellular carcinoma (HCC), and cirrhosis. The development of nonalcoholic steatohepatitis (NASH) is a complex process that is not entirely understood to date. Nevertheless, it involves various factors, including genetic predisposition, gender, age, dietary patterns, and physical activity. An NAFLD diagnosis requires radiographic and histological examinations. In contrast, diagnosing NASH requires a biopsy with the histologic demonstration of more than 5% hepatic steatosis, hepatocyte ballooning degeneration, and hepatic lobular inflammation. The management of NAFLD comprises three fundamental factors: lifestyle changes, cardiovascular risk management, and pharmacological therapy. The prevalence of NAFLD is relatively high. However, patient, healthcare provider, and government awareness remains low. Therefore, there is a necessity for policies aimed at both raising public awareness of NAFLD and linking NAFLD patients with suitable treatment and management in order to prevent its progression to more severe stages.

Keywords: NAFLD, NASH, liver disease, cirrhosis, steatohepatitis, steatosis.


Pendahuluan

Kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas merupakan salah satu permasalahan kesehatan global yang peningkatan prevalensinya semakin mengkhawatirkan. Saat ini, lebih dari dua pertiga penduduk usia dewasa di negara maju dikategorikan ke dalam berat badan berlebih (overweight), dan lebih dari sepertiganya masuk dalam kategori obesitas. Faktor gaya hidup seperti perubahan diet atau pola makan serta kurangnya aktivitas fisik berkontribusi terhadap peningkatan kasus obesitas secara global. Dampak dari fenomena ini tampak dari meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular yang terkait dengan kelebihan berat, di antaranya diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Bukti klinis juga menunjukkan bahwa obesitas menjadi faktor risiko mayor penyakit perlemakan hati, karsinoma sel hati, serta tumor solid lain.1

Obesitas ditandai dengan penumpukan lemak di dalam tubuh yang dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan yang serius. Istilah perlemakan hati sediri merujuk pada ditemukannya akumulasi lemak (steatosis) pada lebih dari 5% sel hepatosit.2 Penyakit nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) memiliki rentang kelainan patologis hati mulai dari simple steatosis yang bersifat jinak (benign) kemudian berkembang hingga kondisi yang lebih agresif seperti steatohepatitis non- alkoholik (nonalcoholic steatohepatitis/NASH), hepatocellular carcinoma (HCC), dan sirosis.1,2,3,4

Gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi NAFLD diawali dengan peningkatan aktivitas proinflamasi. Sekitar 20% dari seluruh kasus NAFLD akan berkembang menjadi nonalcoholic steatohepatitis (NASH). Steatohepatitis non-alkoholik merupakan subtipe NAFLD yang ditandai dengan adanya degenerasi hepatosit (hepatocyte ballooning degeneration) dan inflamasi lobular, dengan atau tanpa fibrosis (Gambar 1). Baik NAFLD maupun NASH dapat mengalami progresivitas ke arah sirosis, namun risiko ini signifikan lebih besar pada pasien dengan NASH.1,4,5

Gambar 1. Gambaran histologi dan epidemiologi NAFLD (Dimodifikasi dari Sheka, et al., 2020)4


Prevalensi NAFLD global dan di Indonesia

Berdasarkan tinjauan sistematis dan metaanalisis yang dirilis oleh The Lancet pada tahun 2019, kawasan Asia Tenggara dilaporkan memiliki prevalensi NAFLD yang tertinggi di Asia, yaitu sebesar 42,04%. Indonesia menduduki peringkat pertama dengan angka prevalensi sebesar 51,04% (Gambar 2). Hasil dari studi tersebut menunjukkan adanya kemiripan tren prevalensi NAFLD dengan data prevalensi di negara-negara barat, yang mengindikasikan bahwa NAFLD merupakan salah satu ancaman kesehatan global yang memerlukan perhatian berbagai pihak, baik para dokter di layanan kesehatan primer, para spesialis, bahkan pemerintah selaku pembuat kebijakan.3

Gambar 2. Prevalensi NAFLD di Asia (95% CI) berdasarkan hasil ultrasonografi (USG)3


Patofisiologi NAFLD/NASH

Perkembangan penyakit steatohepatitis non-alkoholik (NASH) merupakan suatu proses yang kompleks dan sampai saat ini belum dapat dipahami secara jelas meskipun telah dilakukan berbagai studi pada model hewan uji. Berdasarkan studi, diketahui bahwa perkembangan NASH terjadi dalam dua tahapan proses. Tahap pertama ditandai dengan terjadinya deposisi lemak di dalam hati yang berdampak pada peningkatan resistansi insulin. Selanjutnya, tahap kedua dari proses tersebut berupa perubahan selular dan molekular yang melibatkan stres oksidatif, dan oksidasi asam lemak di liver yang diakibatkan oleh beragam faktor seperti: cytokine injury, hiperinsulinemia, peroksidasi lemak dan/atau zat besi dalam hati, variasi matriks ekstraselular, homeostasis energi, dan perubahan pada fungsi sistem imun.5 Sanyal (2019) menyusun suatu model yang menjelaskan berbagai faktor yang terlibat dalam patofisiologi dan perkembangan penyakit NAFLD dan NASH (Gambar 3).6

Gambar 3. Model perkembangan penyakit NASH (gambar diambil dan dimodifikasi dari Sanyal AJ. 2019)6

Faktor risiko NAFLD/NASH

  • Predisposisi genetik


    Varian genetik tertentu diketahui berperan penting dalam kejadian dan tingkat keparahan NAFLD. Polimorfisme nukleotida tunggal dari patatin-like phospholipase domain-containing 3 (PNPLA-3) dan transmembrane 6 superfamily, member 2 (TM6SF2) berperan dalam memengaruhi perkembangan dan progresivitas NAFLD. Suatu studi metaanalisis menunjukkan bahwa PNPLA-3 tidak hanya menyebabkan 73% akumulasi lemak hepatik yang lebih tinggi, tetapi juga perkembangan penyakit yang lebih agresif pada kelompok homozigot. Studi yang dilakukan di Korea melaporkan bahwa PNPLA-3 serta sorting and assembly machinery component 50 (SAMM-50) terlibat dalam perkembangan dan keparahan NAFLD. Selain itu, farnesyl diphosphate farnesyl transferase I (FDFT1) juga dikaitkan dengan meningkatnya keparahan NAFLD, collagen type XIII alpha 1 (COL13A1) dikaitkan dengan meningkatnya keparahan fibrosis, sedangkan neurocan (NCAN) dan glucokinase regulatory protein (GCKR) dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya steatosis hati. Salah satu studi terkini menunjukkan bahwa sterol regulatory element binding transcription factor 2 (SREBF2) rs133291, membrane bound O-acyltransferase domain-containing 7 transmembrane channel-like 4 (MBOAT7-TMC4) rs641738, dan 17β-hydroxysteroid dehydrogenase type 13 (HSD17B13) rs72613567 berhubungan dengan meningkatnya risiko NASH.



  • Jenis kelamin dan usia


    Secara umum, prevalensi NAFLD dilaporkan lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Pada pria, prevalensi NAFLD cenderung meningkat terutama pada usia paruh baya, kemudian menurun setelah memasuki usia di atas 50 tahun. Sebaliknya, prevalensi NAFLD pada wanita relatif lebih rendah sebelum usia 50 tahun, kemudian meningkat setelah menopause dengan titik puncaknya adalah pada usia 60 tahun. Pria juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami fibrosis hati derajat berat dibandingkan dengan wanita premenopause, namun setara dengan wanita pascamenopause. Hal ini menguatkan dugaan bahwa hormon estrogen memiliki peran protektif terhadap fibrogenesis hati. Risiko NAFLD juga meningkat seiring bertambahnya usia akibat adanya peningkatan prevalensi faktor risiko seperti sindrom metabolik, diabetes melitus tipe 2, dan hipertensi.



  • Diet/makanan


    Faktor nutrisi juga berkontribusi pada perkembangan NAFLD. Asupan makanan atau minuman yang tinggi kandungan fruktosa, baik yang bersumber dari sukrosa maupun high fructose corn syrup dapat meningkatkan risiko perlemakan hati serta progresivitasnya ke arah NASH. Gula meningkatkan proses lipogenesis de novo dan memicu respons inflamasi yang mengakibatkan apoptosis hepatosit melalui jalur c-Jun-N-Terminal. Suatu metaanalisis dari 10 studi klinis menunjukkan bahwa asam lemak omega-3 efektif dalam menurunkan kadar lemak hepatik pada pasien dengan NAFLD dan NASH. Studi yang lain yang melibatkan 584 pasien menunjukkan bahwa diet Mediteranian, suatu pola makan yang tinggi asam lemak omega-3 dan antioksidan, dapat menurunkan resistansi insulin dan NAFLD. Oleh karena itu, diet Mediteranian juga direkomendasikan oleh sebagian dokter sebagai salah satu pendekatan diet untuk pencegahan dan penanganan NAFLD.



  • Ras atau etnis


    Prevalensi tertinggi dari NAFLD dilaporkan terjadi pada ras Hispanic, kemudian diikuti oleh ras Caucasian dan Afrika- Amerika, sekalipun ras Afrika-Amerika memiliki tingkat prevalensi obesitas tertinggi. Hal ini diduga akibat pengaruh predisposisi genetik. Ras Hispanic Amerika memiliki prevalensi paling tinggi predisposisi genetik PLPLA-3 varian I148M, yang berhubungan dengan penumpukan lemak hepatik dan NAFLD, diikuti oleh ras kulit putih non-Hispanic, Asia-Amerika, dan kulit hitam non-Hispanic. Studi lainnya juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi varian I148M dan NAFLD pada ras India-Asia.



  • Aktivitas fisik


    Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko NAFLD. Aktivitas fisik berdampak terhadap sensitivitas insulin dan kadar adiponectin yang bersirkulasi dalam tubuh. Hubungan antara penurunan kandungan lemak intrahepatik dengan peningkatan aktivitas fisik kemungkinan disebabkan oleh efek dari tingkat kebugaran terhadap sensitivitas insulin serta kadar adiponectin. Studi menunjukkan bahwa olahraga aerobik secara rutin selama 6-12 minggu bermanfaat dalam menurunkan steatosis hepatik dan akumulasi lemak viseral pada remaja dengan NAFLD. Akan tetapi, beberapa studi menyatakan bahwa olahraga jangka pendek tidak memengaruhi kandungan lemak di hati.



  • Tidur


    Studi menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas tidur yang buruk berhubungan dengan kejadian obesitas, yang berkontribusi dalam patogenesis NAFLD. Hubungan ini melibatkan peranan dari sitokin inflamasi seperti interleukin-6 dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) yang meningkat akibat terganggunya pola tidur. Kedua sitokin tersebut dapat meningkatkan proses lipolisis sel adiposit yang berakibat pada peningkatan kadar asam lemak bebas di hati. Selain itu, kurang tidur juga memengaruhi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal dan metabolisme kortisol yang dapat meningkatkan proses penimbunan lemak di hati.



  • Mikrobiota usus dan stres oksidatif


    Pasien NAFLD memperlihatkan peningkatan pertumbuhan bakteri usus halus (small intestine bacterial overgrowth/SIBO) serta kenaikan kadar TNF-α. Ketidakseimbangan mikrobiota normal di saluran pencernaan dapat memengaruhi fungsi homeostasis berikut fungsi barier epitel saluran cerna. Produksi endotoksin pada kondisi bacterial overgrowth diduga berperan dalam meningkatkan risiko steatosis hepatik. Stres oksidatif juga dihubungkan dengan peningkatan risiko NAFLD. Resistansi insulin dapat menyebabkan hiperinsulinemia yang berdampak pada terganggunya proses oksidasi asam lemak oleh mitokondria, sehingga proses metabolismenya sebagian harus dilakukan oleh peroksisom dan mikrosom. Proses ini menghasilkan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS) dan peroksidasi lemak yang dapat menurunkan kadar antioksidan enzimatik serta meningkatkan kerentanan hepatosit terhadap kerusakan. Riset menunjukkan bahwa konsumsi antioksidan seperti vitamin E dapat memberikan manfaat pada pasien dengan steatohepatitis.



  • Obesitas


    Obesitas merupakan faktor risiko tetap NAFLD dan prevalensi NAFLD meningkat seiring dengan meningkatnya indeks masa tubuh (BMI). Prevalensi NAFLD pada pasien obesitas adalah 50-90% dan prevalensi obesitas pada pasien NAFLD adalah 51%. Obesitas abdominal berhubungan dengan resistansi insulin dan peningkatan kandungan lemak hepatik. Jaringan lemak viseral melepaskan TNF dan leptin, yang dapat meningkatkan risiko fibrosis. Salah satu studi klinis melaporkan bahwa penumpukan lemak viseral berkaitan dengan kejadian NAFLD dan fibrosis akibat NAFLD, sementara jenis lemak abdominal lainnya seperti lemak subkutan dikaitkan dengan remisi NAFLD. Oleh karena itu, penurunan berat badan merupakan salah satu metode yang terbukti untuk perbaikan dan resolusi NAFLD. Meskipun obesitas memiliki hubungan yang bermakna dengan NAFLD, namun NAFLD juga dapat terjadi pada lean population. Secara khusus, prevalensi lean NAFLD (NAFLD pada pasien bertubuh kurus) ditemukan cukup tinggi pada populasi Asia, yang diduga akibat tingginya prevalensi obesitas abdominal meskipun berat badan normal.



  • Resistansi insulin dan diabetes melitus tipe 2


    Resistansi insulin memegang peranan penting dalam proses terjadinya NAFLD. Resistansi insulin meningkatkan proses lipolisis dari jaringan adiposa yang berakibat pada pelepasan asam lemak bebas dan peningkatan deposisi lemak di hati yang berujung pada steatohepatitis. Beberapa studi klinis pada pasien diabetes melitus tipe 2 menunjukkan bahwa prevalensi NAFLD lebih tinggi pada pasien DM tipe 2, yaitu berkisar antara 30-70%. Begitu pula sebaliknya, prevalensi DM tipe 2 juga didapati lebih tinggi pada pasien dengan NAFLD dan insidensi DM tipe 2 dilaporkan meningkat seiring dengan perkembangan fibrosis hati. Pasien DM tipe 2 juga memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami NASH dan komplikasi hepatik lainnya, seperti kematian yang berkaitan dengan sirosis hati, serta memiliki risiko kematian yang terkait NAFLD 3-5 kali lipat dibandingkan dengan individu nondiabetes. Sampai saat ini, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa beberapa obat antidiabetes memberikan manfaat pada NAFLD/NASH. Salah satu obat antidiabetes, yaitu pioglitazone, sudah direkomendasikan oleh American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) sebagai salah satu terapi pada pasien yang terbukti secara histologi mengalami NASH.



  • Dislipidemia


    Lipotoksisitas mengacu pada kadar yang tinggi dari lemak toksik dan turunannya yang disebabkan akumulasi lemak pada jaringan nonadiposa. Hal ini mengakibatkan aktivasi jalur inflamasi, disfungsi selular, dan lipoapoptosis pada pasien NAFLD. Lipotoksisitas berperan penting dalam progresivitas NAFLD dari derajat ringan menjadi steatohepatitis. Oleh karena itu, pasien NAFLD akan memiliki kadar trigliserida, asam lemak bebas dan beberapa jenis lemak yang lain seperti asam empedu, kolesterol bebas, lysophosphatidylcholines, dan ceramides, yang lebih tinggi. Hipertrigliseridemia merupakan suatu prediktor independen NAFLD dan juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis. Sel hepatosit melepaskan pro-protein convertase subtilisin/kexin type 9 (PCSK9) yang menghambat uptake low-density lipoprotein (LDL). Kadar PCSK9 berkaitan dengan derajat keparahan steatosis dan akan meningkat seiring terjadinya akumulasi lemak hepatik. Studi menunjukkan bahwa beberapa obat penurun kolesterol, khususnya golongan statin, memberikan perbaikan histologi pada pasien NASH. Statin dapat menurunkan progresivitas fibrosis hati, kemungkinan dekompensasi hepatik, serta risiko kematian karena berbagai sebab pada pasien dengan penyakit hati kronis.



  • Sindrom metabolik


    Sindrom metabolik mencakup adanya kondisi obesitas abdominal, hipertrigliseridemia, kadar HDL yang rendah, hiperglikemia, dan tekanan darah tinggi pada seseorang. Komponen-komponen sindrom metabolik seringkali dikaitkan dengan NAFLD, sehingga NAFLD juga dikenal sebagai manifestasi hepatik dari sindrom metabolik. Prevalensi NAFLD meningkat 4 kali lipat pada pasien dengan sindrom metabolik dan keberadaan komponen sindrom metabolik yang lebih banyak dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit hati yang lebih berat. Saat ini semakin banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan dua arah antara sindrom metabolik dan NAFLD, di mana masing-masing kondisi dapat memicu atau memperberat kondisi lainnya.



  • Sarcopenia


    Otot skeletal memegang peranan yang sangat krusial di dalam proses transpor dan pembuangan glukosa, oksidasi lemak hati, dan homeostasis energi yang merupakan penentu utama dalam patofisiologi NAFLD. Sarcopenia merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya penurunan massa, kekuatan, serta fungsi otot skeletal, dan umumnya didiagnosis berdasarkan hilangnya massa otot apendikular. Telah dilaporkan bahwa sarcopenia sering dijumpai pada pasien NAFLD/NASH (20%) dan sirosis (40-70%). Sarcopenia dan NAFLD memiliki mekanisme patologis yang serupa, seperti resistansi insulin, inflamasi kronis, perubahan hormon pertumbuhan, defisiensi nutrisi, serta kurangnya aktivitas fisik, yang mana faktor-faktor ini saling berhubungan melalui aksis otot-hati-jaringan adiposa.

 

Gambar 4. Berbagai faktor risiko NAFLD (Dimodifikasi dari Huh, et al. 2022)7


Diagnosis dan pemeriksaan klinis NAFLD/NASH4

Sebagian besar kasus NASH bersifat asimtomatis atau menunjukkan gejala yang tidak spesifik seperti fatigue atau nyeri abdominal yang sulit dijelaskan. Pada umumnya, pasien NASH justru teridentifikasi secara tidak sengaja pada pemeriksaan lain. Pemeriksaan dengan USG atau CT scan pada kuadran kanan atas abdominal yang menunjukkan adanya steatosis atau hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar transaminase dapat menjadi dasar kecurigaan untuk NAFLD atau NASH. Pemeriksaan USG hati harus dilakukan terutama pada pasien yang memiliki hasil pemeriksaan fungsi hati yang abnormal dan adanya kecurigaan steatosis hati. Pasien steatosis dengan obesitas, prediabetes atau diabetes melitus tipe 2, hipertensi, hipertrigliseridemia, atau sindroma metabolik memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami NASH. Pasien lanjut usia juga memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami NASH dibandingkan pasien usia muda. Walaupun demikian, NASH juga dapat ditemukan di luar keberadaan berbagai faktor risiko tersebut.

Untuk menegakkan diagnosis NAFLD, dibutuhkan pemeriksaan radiografi atau pemeriksaan histologi yang menunjukkan adanya >5% steatosis hepatik dengan tanpa riwayat konsumsi alkohol yang berlebihan. Sedangkan penegakan diagnosis NASH memerlukan hasil biopsi di mana pemeriksaan histologi menunjukkan adanya >5% steatosis hati, terjadinya degenerasi sel hepatosit akibat pembesaran sel atau hepatocyte ballooning degeneration, dan adanya tanda inflamasi pada lobular hati (Gambar 1).

Berikut merupakan salah satu algoritma diagnostik yang diusulkan berdasarkan pengalaman klinis serta panduan dari American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) untuk pasien dengan dugaan NAFLD/NASH.

Gambar 5. Algoritma pendekatan diagnostik pasien NAFLD atau NASH (Dimodifikasi dari Sheka AC, et al. 2020)4

Penanganan dan manajemen NAFLDPada tahun 2022, American Association of Clinical Endocrinology (AACE) bersama American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) mengeluarkan pedoman tata laksana untuk diagnosis dan penanganan NAFLD. Tujuan utama penanganan NAFLD adalah menurunkan risiko progresivitas penyakit yang dapat menyebabkan komplikasi hepatik yang serius. Perbaikan kondisi kardiometabolik yang mencakup obesitas, diabetes, hipertensi, maupun dislipidemia aterogenik juga dapat menjadi bagian dalam tujuan manajemen NAFLD.8

Manajemen pasien NAFLD meliputi 3 hal utama, yaitu perubahan gaya hidup, manajemen risiko kardiovaskular, serta terapi farmakologis.

  • Perubahan gaya hidup


    Perubahan gaya hidup, khususnya pola makan dan aktivitas fisik menjadi hal penting dalam penanganan NAFLD. Berbagai pedoman tata laksana merekomendasikan untuk menurunkan berat badan dengan pengaturan diet maupun olahraga.8 Perbaikan pada pengaturan komposisi diet dan menurunkan berat badan antara 5-10% yang disertai dengan latihan fisik intensitas sedang dapat memberikan perbaikan gambaran histologi pasien NASH.9



  • Manajemen risiko kardiovaskular


    NAFLD berkaitan dengan penyakit sindrom metabolik sehingga berhubungan juga dengan penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, optimalisasi terapi dan pengendalian pada faktor risiko penyakit kardiovaskular diketahui juga memberikan manfaat yang baik pada NAFLD, seperti manajemen hipertensi, diabetes mellitus maupun dislipidemia, termasuk berhenti merokok serta menurunkan berat badan.8



  • Terapi farmakologis


    Sampai saat ini, belum ada obat spesifik yang diindikasikan untuk penanganan NAFLD/NASH. Obat-obatan yang digunakan pada umumnya adalah obat-obatan yang dapat mengontrol berbagai faktor risiko NAFLD/NASH. Seperti yang direkomendasikan dalam pedoman diagnosis dan tatalaksana NAFLD oleh AACE/AASLD tahun 2022, terapi farmakologis diberikan berdasarkan komorbiditas dan stratifikasi risiko terjadinya fibrosis (Tabel 1) berikut ini:8

Gambar 6. Rekomendasi gaya hidup pada pasien NALFD(Dimodifikasi dari Dufour, et al. 2022)9

Tabel 1. Terapi farmakologis pasien NAFLD berdasarkan guideline AACE/AASLD 20228


Terapi farmakologi pasien NAFLD dengan dislipidemia aterogenik secara umum didasarkan pada risiko kardiovaskular yang dimiliki oleh setiap pasien. Pasien NAFLD dengan dislipidemia aterogenik dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu:8

  • Risiko kardiovaskular tinggi: ≥2 faktor risiko kardiovaskular dan kalkulasi risiko 10 tahun 10-20%, diabetes, atau

  • penyakit ginjal kronis (PGK) stadium ≥3 tanpa ada faktor risiko lain

  • Risiko kardiovaskular sangat tinggi: terbukti memiliki penyakit kardiovaskular atau kalkulasi risiko 10 tahun >20%, diabetes dengan >1 faktor risiko, PGK stadium ≥3, heterozygous familial hypercholesterolemia (HeFH)

  • Risiko kardiovaskular ekstrim: penyakit kardiovaskular progresif, penyakit kardiovaskular + diabetes atau PGK stadium

  • ≥3 atau HeFH, riwayat penyakit kardiovaskular dini dalam keluarga (<55 tahun pada pria; <65 tahun pada wanita).

Ketiga kriteria risiko kardiovaskular tersebut secara umum mendapatkan pengobatan yang sama disertai dengan pendekatan diet berupa konsumsi serat pangan >25 gram/hari, konsumsi lebih banyak buah, sayuran, dan kacang- kacangan, serta mengurangi lemak jenuh dan gula tambahan, seperti dalam metode diet Mediterania.Terapi lini pertama yang direkomendasikan untuk pasien NAFLD dengan dislipidemia adalah statin intensitas sedang hingga tinggi, kecuali jika terdapat kontraindikasi. Statin menunjukkan profil keamanan yang baik pada pasien NAFLD/ NASH, namun tidak dianjurkan untuk digunakan pada sirosis hati dekompensata (skor Child-Pugh C). Apabila target penurunan kadar LDL tidak tercapai, dianjurkan untuk meningkatkan dosis statin atau menggunakan jenis statin dengan intensitas kerja yang lebih tinggi. Obat lain seperti obatan seperti ezetimibe, penghambat proprotein convertase subtilisin/ kexin type 9 (PCSK9), bempedoic acid, colesevelam, dan incliciran dapat ditambahkan apabila pasien intoleran terhadap statin maupun pada intensifikasi terapi statin. Pada pasien dengan hipertrigliseridemia (>500 mg/dl), obat golongan fibrat, asam lemak omega-3 terapeutik, dan icosapent ethyl juga dapat ditambahkan (jika mengalami diabetes, optimalkan kontrol glukosa darah dan pertimbangkan penggunaan pioglitazone).8

Prognosis jangka panjang NAFLDSeperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penyakit perlemakan hati non-alkoholik (NAFLD) merupakan suatu spektrum kelainan patologis hati yang ditandai oleh adanya steatosis, yang berkisar mulai dari kondisi perlemakan hati non-alkoholik (nonalcoholic fatty liver/NAFL) sampai steatohepatitis non-alkoholik (nonalcoholic steatohepatitis/NASH). NAFL tidak melibatkan inflamasi hepatik dan fibrosis, sementara NASH menunjukkan bukti adanya inflamasi hepatik, nekrosis, dan/atau fibrosis, serta dapat berkembang menjadi sirosis karsinoma hepatik.10 Oleh karena itu, diagnosis terhadap NASH menunjukkan relevansi klinis yang bermakna karena dapat membantu klinisi untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami progresivitas ke arah sirosis, gagal hati, karsinoma sel hati, penyakit kardiovaskular, maupun keganasan ekstrahepatik, yang pada akhirnya berhubungan dengan peningkatan risiko kematian, baik yang terkait dengan gangguan hati maupun secara keseluruhan.11

Walaupun NASH diketahui berhubungan dengan peningkatan risiko fibrosis, beberapa studi menunjukkan bahwa stadium fibrosis merupakan faktor prognostik terpenting pada NAFLD. Suatu metaanalisis yang melibatkan 1.495 pasien NAFLD dengan rentang follow up selama 17 tahun menunjukkan bahwa pada pasien dengan NAFLD stadium 1 terjadi peningkatan risiko kematian, dan risiko tersebut meningkat seiring dengan perkembangan NAFLD ke stadium yang lebih berat. Sementara itu, kematian yang berhubungan dengan hati meningkat secara eksponensial setelah memasuki NAFLD stadium 2. Hal ini mengindikasikan bahwa mortalitas, baik yang terkait dengan gangguan hati maupun secara keseluruhan, dapat diprediksi secara individual berdasarkan stadium fibrosis.11 Suatu studi klinis multinasional yang melibatkan 458 pasien NAFLD melaporkan bahwa, liver-related events lebih dominan terjadi pada pasien sirosis, sedangkan pasien yang masih dalam tahap perkembangan fibrosis lebih rentan berkembang ke arah keganasan nonhepatik dan kejadian vaskular.11 Studi jangka panjang yang mengevaluasi prognosis pasien NAFLD selama 19 tahun telah dilakukan di Jepang. Studi ini menyimpulkan bahwa komorbid diabetes melitus tipe 2 dan usia lebih tua pada pasien NAFLD memiliki kaitan yang signifikan dengan kematian karena berbagai sebab. Selain itu, steatosis yang lebih ringan dan fibrosis berat merupakan suatu prediktor yang signifikan terhadap munculnya liver-related events. Studi ini juga menyimpulkan bahwa prognosis pada pasien NAFLD dengan postur tubuh yang kurus belum tentu lebih baik dibandingkan dengan pasien NAFLD dengan berat badan berlebih.10

Awareness tentang NAFLD/NASHNAFLD telah dikenal sebagai salah satu penyebab utama penyakit hati kronis di seluruh dunia.12 Karena NAFLD sangat erat hubungannya dengan sindrom metabolik dan obesitas, tidak mengherankan jika prevalensinya cenderung meningkat seiring dengan peningkatan angka obesitas, hipertensi, dan juga penyakit diabetes di seluruh dunia. Hal tersebut juga memberikan dampak dalam beban sistem pelayanan kesehatan. NAFLD merupakan penyakit yang dapat dicegah, akan tetapi masih banyak tantangan yang harus dihadapi terkait hal tersebut, misalnya kurangnya kesadaran tentang NAFLD, terbatasnya kesempatan pendidikan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat umum, fragmentasi sistem kesehatan, dan kurangnya strategi pencegahan dan pengobatan yang efektif untuk NAFLD dan komorbiditas umum, seperti obesitas dan diabetes melitus tipe 2.13

Berbagai studi maupun survei yang pernah dilakukan di beberapa negara menyampaikan bahwa sebagian besar pasien masih belum memiliki pengetahuan yang cukup mendalam mengenai NAFLD, termasuk dampak dan prognosis jangka panjangnya. Di Amerika Serikat, NAFLD bertanggung jawab terhadap 75% penyakit hati kronis. Namun, studi yang dilakukan oleh Alqahtani, et al. (2021) melaporkan bahwa hampir 96% pasien dewasa dengan NAFLD di Amerika Serikat tidak menyadari bahwa mereka memiliki penyakit hati.14 Studi yang lain yang dilakukan di Asia juga menunjukkan bahwa meskipun 71,2% subjek pernah mendengar tentang NAFLD sebelumnya, namun hanya 25,4% subjek yang merasa bahwa mereka berisiko mengalami NAFLD. Respons yang serupa diamati pada subjek tanpa faktor risiko metabolik relatif terhadap subjek dengan satu atau lebih faktor risiko metabolik (p >0,05). Lebih jauh lagi, 75,6% subjek dengan satu atau lebih faktor risiko metabolik tidak berpikir bahwa mereka berisiko NAFLD.13

Sampai saat ini, belum ada studi yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahui tingkat kesadaran masyarakat maupun tenaga kesehatan tentang NAFLD. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang NAFLD dan menghubungkan pasien NAFLD dengan pengobatan yang sesuai yang tentunya bertujuan untuk mencegah perkembangan NAFLD ke tahap yang lebih berat.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Wong CC and Yu J. (2018). Introduction. In: Yu, J. (eds) Obesity, Fatty Liver and Liver Cancer. Advances in Experimental Medicine and Biology, vol 1061. Springer, Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-10- 8684-7_1

  2. Dufour J, Scherer R, Balp M, et al. The global epidemiology of nonalcoholic steatohepatitis (NASH) and associated risk factors– a targeted literature review. Endocrine and Metabolic Science. 2021;3:100089. doi:10.1016/j.endmts.2021.100089.

  3. Li J, Zou B, Yeo YH, et al. Prevalence, incidence, and outcome of non-alcoholic fatty liver disease in Asia, 1999-2019: a systematic review and meta-analysis. Lancet Gastroenterol Hepatol. 2019;4(5):389-98. doi:10.1016/S2468-1253(19)30039-1.

  4. Sheka AC, Adeyi O, Thompson J, Hameed B, Crawford PA, Ikramuddin S. Nonalcoholic steatohepatitis: a review.JAMA. 2020;323(12):1175-83. doi:10.1001/jama.2020.2298.

  5. Pouwels S, Sakran N, Graham Y, et al. Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD): a review of pathophysiology, clinical management and effects of weight loss. BMC Endocrine Disorders 2022;22(1):63. doi:10.1186/ s12902-022-00980-1.

  6. Sanyal AJ. Past, present and future perspectives in nonalcoholic fatty liver disease. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2019;16(6):377-86. doi:10.1038/s41575-019-0144-8.

  7. Huh Y, Cho YJ, Nam GE. Recent Epidemiology and Risk Factors of Nonalcoholic Fatty Liver Disease. J Obes Metab Syndr. 2022;31(1):17-27. doi:10.7570/jomes22021.

  8. Cusi K, Isaacs S, Barb D, et al. American Association of Clinical Endocrinology Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and Management of Nonalcoholic Fatty Liver Disease in Primary Care and Endocrinology Clinical Settings: Co-Sponsored by the American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD). Endocr Pract. 2022;28(5):528-62. doi:10.1016/j.eprac.2022.03.010.

  9. Dufour J, Anstee QM, Bugianesi E, et al. Current therapies and new developments in NASH. Gut.2022;71(10):2123–34. doi: 10.1136/gutjnl-2021-326874.

  10. Hirose S, Matsumoto K, Tatemichi M, et al. Nineteen-year prognosis in Japanese patients with biopsy- proven nonalcoholic fatty liver disease: lean versus overweight patients. PLoS ONE 2020;15(11):e0241770. doi: 10.1371/journal.pone.0241770.

  11. Lackner C. Prospects for a better diagnosis and prognosis of NAFLD: a pathologist´s view. Hepatoma Res. 2021;7:27. doi: 10.20517/2394-5079.2020.137.

  12. Goh GBB, Kwan C, Lim SY, et al. Perceptions of non-alcoholic fatty liver disease - an Asian community-based study. Gastroenterol Rep (Oxf). 2016;4(2):131-5. doi:10.1093/gastro/gov047.

  13. Arab JP, Diaz LA, Dirchwolf M, et al. NAFLD: Challenges and opportunities to address the public health problem in Latin America. Ann Hepatol. 2021;24:100359. doi:10.1016/j.aohep.2021.100359.

  14. Alqahtani SA, Paik JM, Biswas R, et al. Poor Awareness of Liver Disease Among Adults With NAFLD in the United States. Hepatol Commun. 2021;5(11):1833-47. doi:10.1002/hep4.1765.

bottom of page