Sumber: Medicinus Edisi Desember 2021 Volume 34, Issue 3
Eka Devinta Novi Diana, Wibisono Nugraha, Alfina rahma, Frieda, Anindya Oktafiani, Rieska Widyaswari, Muhammad Eko Irawanto
Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Moewardi/Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Abstrak
Latar belakang: Pemphigus vulgaris adalah penyakit vesikobulosa autoimun yang mengancam jiwa, yang disebabkan oleh adanya akantolisis sel keratinosit akibat gangguan adhesi pada desmoglein 1 (Dsg1) dan desmoglein 3 (Dsg3). Gambaran klinis pada pemphigus vulgaris berupa lepuhan (bullae) kendur yang dapat mengenai seluruh bagian tubuh disertai keterlibatan mukosa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kasus pemphigus vulgaris di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2014-Desember 2019. Metode: Penelitian dilakukan secara deskriptif retrospective dengan melihat data rekam medis pasien pemphigus vulgaris di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2014-Desember 2019. Hasil: Didapatkan 25 orang pasien pemphigus vulgaris dalam kurun waktu 6 tahun, dengan kelompok usia terbanyak adalah 51-60 tahun (36%) dan jenis kelamin terbanyak pada wanita (80%). Pemphigus vulgaris melibatkan mukokutan mulut pada 60% pasien dengan komorbiditas terbanyak adalah hiperglikemia (20%) dan kelainan laboratorium tersering adalah hipoalbuminemia (32%). Terapi yang diberikan pada 52% pasien berupa corticosteroid sistemik, sedangkan sisanya (48%) diberikan terapi kombinasi dengan immunosuppressant, antara lain mycophenolate mofetil (20%), cyclosporine (16%) dan azathioprine (12%). Kesimpulan: Pemphigus vulgaris sering dijumpai pada wanita rentang usia 51-60 tahun. Tata laksana kasus pemphigus vulgaris dilakukan dengan menggunakan terapi tunggal corticosteroid sistemik (52%) atau terapi kombinasi menggunakan agen immunosuppressant.
Kata kunci: pemphigus vulgaris, akantolisis, immunosuppressant, corticosteroid
Abstract
Background: Pemphigus vulgaris is a life-threatening autoimmune bullous disease caused by acantholysis of keratinocytes and disruption of adhesion function of desmoglein 1 (Dsg1) and desmoglein 3 (Dsg3). The clinical manifestation of pemphigus vulgaris is flaccid bullae that affect all parts of the body with mucosal involvement. This study aimed to evaluate profile of pemphigus vulgaris cases among hospitalized patients in Dr. Moewardi General Hospital Surakarta Januari 2014-December 2019. Methods: This descriptive retrospective study was conducted using medical record data of pemphigus vulgaris patients hospitalized at Dr. Moewardi General Hospital Surakarta between January 2014 and December 2019. Results: Total pemphigus vulgaris cases in 6 years is 25 cases, with most affected age range was 51-60 years (36%), and mostly affected female (80%). Mucocutaneous involvement was found in 60% cases and the most common comorbidity disease in this study was hyperglicemia (20%) and the most common laboratory abnormality was hipoalbuminemia (32%). Systemic corticosteroid was given to 52% patients and the rest (48%) was given combination therapy with immunosuppressant such as mycophenolate mofetil (20%), cyclosporine (16%), and azathioprine (12%). Conclusion: Pemphigus vulgaris mostly affected female between age 51-60 years. Monotherapy with systemic corticosteroid was effective in most patients (52%).
Keywords: pemphigus vulgaris, acantholysis, corticosteroid, immunosuppressant.
PENDAHULUAN
Pemphigus vulgaris (PV) merupakan penyakit bula autoimun pada kulit dan membran mukosa yang disebabkan oleh adanya autoantibodi yang menyerang desmoglein 1 (Dsg1) dan desmoglein 3 (Dsg3) di permukaan sel keratinosit.1, 2 Desmoglein 3 merupakan antigen utama pada kasus PV yang melibatkan mukosa, namun pada sebagian besar penderita (50-60%) juga melibatkan Dsg1 yang menyebabkan manifestasi klinis pada kulit. Autoantibodi terhadap Dsg1 dan Dsg3 mengganggu perlekatan desmosom pada keratinosit, menyebabkan terjadinya akantolisis, serta memberikan gambaran klinis berupa lepuhan/bula (bullae) berdinding kendur pada mukosa dan kulit dengan keadaan umum yang buruk.3
Pietkiewicz, dkk. (2017) di Polandia melaporkan prevalensi PV global yang bervariasi yakni 0,5-3,2 kasus per 100.000 populasi per tahun.4 Huang, dkk. (2012) melaporkan prevalensi PV di Taiwan pada tahun 2002-2009 sebanyak 853 kasus, dengan rerata usia penderita adalah 50 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita (57%).5 Wardhana (2013) melaporkan bahwa terdapat 26 pasien PV di RSUD Sanglah pada tahun 1995-2002, dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun dan juga lebih banyak dijumpai pada wanita (65%).6 Triana melaporkan bahwa terdapat 18 kasus pemphigus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2014-2016 dengan usia terbanyak adalah 50-59 tahun, dengan penderita wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki sebesar 77%.7
Manifestasi klinis pada kasus PV yaitu bula berdinding kendur yang muncul pada seluruh permukaan kulit, namun biasanya jarang mengenai telapak tangan dan kaki, yang disertai rasa gatal dan nyeri. Bula muncul pada kulit normal, namun dapat juga terjadi pada kulit yang mengalami eritema. Bula pada PV bersifat mudah pecah sehingga lesi kulit yang paling sering dijumpai berupa erosi akibat dari bula yang pecah. Keterlibatan membran mukosa sering dijumpai pada PV, khususnya regio oropharingeal dan mukosa nasal.1 Pemeriksaan histopatologi memberikan gambaran berupa adanya celah intraepidermal akibat proses akantolisis, gambaran celah suprabasal dan membentuk seperti susunan batu nisan. Pada pemeriksaan direct immunofluorescence (DIF) tampak deposit immunoglobulin G (IgG) dan komplemen (C3) pada permukaan keratinosit.8
Terdapat tiga lini dalam pengobatan PV, di mana corticosteroid sistemik merupakan lini pertama yang efektif pada kasus PV.1 Corticosteroid sistemik dapat memperbaiki permeabilitas kapiler pembuluh darah dan menekan aktivitas polymorphonuclear (PMN) sehingga dapat menekan inflamasi yang terjadi.9 International Pemphigus Committee merekomendasikan pemberian prednisone 1,5 mg/ kg/hari dan evaluasi perbaikan klinis pasien selama 2-3 minggu.10 Terapi imunosupresi tambahan dapat dilakukan dengan pemberian agen immunosuppressant antara lain azathioprine, cyclosporine, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, rituximab, atau mycophenolic acid dapat diberikan pada kasus PV yang kurang merespons terapi corticosteroid sistemik. Terapi tambahan ini juga berfungsi untuk meningkatkan efektivitas corticosteroid dan mengurangi efek samping penggunaan terapi corticosteroid sistemik jangka panjang.1, 11
Penelitian mengenai PV perlu dikaji lebih lanjut karena sejauh ini belum terdapat penelitian mengenai PV di RSUD Dr. Moewardi. Penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi melaporkan keseluruhan dari jenis kasus pemphigus namun tidak khusus membahas tentang PV.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk melaporkan profil kasus pemphigus vulgaris di Instalasi RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2014-Desember 2019.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospective dengan pengambilan data sekunder dari data rekam medis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2014-Desember 2019. Subjek penelitian adalah semua pasien yang didiagnosis dengan pemphigus vulgaris. Variabel data yang digunakan pada penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, riwayat PV dalam keluarga, pekerjaan, diagnosis, penyakit penyerta, keterlibatan mukosa, dan terapi yang diberikan kepada pasien pemphigus vulgaris. Pasien dengan diagnosis penyakit bula autoimun selain pemphigus vulgaris tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2014-Desember 2019 didapatkan 25 orang pasien dengan diagnosis pemphigus vulgaris (PV). Kelompok usia terbanyak pada pasien PV adalah 51-60 tahun, yaitu sebanyak 9 pasien (36%), dengan jenis kelamin terbanyak adalah wanita, yaitu 20 pasien (80%). Riwayat PV dalam keluarga hanya dijumpai pada 1 pasien (4%), pekerjaan terbanyak adalah ibu rumah tangga yaitu 11 pasien (44%). Keterlibatan mukokutan dijumpai pada 15 pasien (60%) dengan penyakit penyerta terbanyak adalah hiperglikemia (20%) dan kelainan laboratorium yang tersering dijumpai adalah hipoalbuminemia (32%) dengan rentang lama perawatan adalah 21-30 hari (40%) (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik klinis pemphigus vulgaris periode Januari 2014-Desember 2019
Terapi methylprednisolone diberikan pada semua pasien PV dengan rata-rata dosis 100 mg per hari. Pasien yang mendapatkan tambahan terapi immunosuppressant adalah 12 pasien (48%) dengan agen yang digunakan yaitu mycophenolate mofetil (20%) dengan rata-rata dosis 1 gram per hari, cyclosporine (16%) dengan rata-rata dosis 112,5 mg per hari, dan azathioprine (12%) dengan rata-rata dosis 50 mg per hari. Methylprednisolone diberikan bersama dengan terapi immunosuppressant lain dengan rata-rata dosis 86 mg per hari (Tabel 2).
Tabel 2. Tata laksana kasus pemphigus vulgaris di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi periode Januari 2014-Desember 2019
PEMBAHASAN
Pemphigus vulgaris adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya autoantibodi immunoglobulin G (IgG) terhadap desmosom, sehingga menyebabkan terjadinya bula intraepidermal akibat adanya akantolisis. Pemphigus vulgaris dapat mengenai semua usia namun rerata usia munculnya kondisi ini adalah pada usia 50 tahun.11 Pada penelitian ini didapatkan bahwa PV lebih banyak dijumpai pada rentang usia 51-60 tahun. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Alpsoy, dkk. (2014) di Eropa yang menyatakan bahwa PV dijumpai lebih banyak pada rentang usia 51-60 tahun.11 Belum ada penjelasan pasti mengenai tingginya prevalensi PV pada usia lanjut. Penurunan jumlah sel T yang terjadi pada usia 40-50 tahun diduga dapat menurunkan respons imun dan sel T regulator (Treg) pada percobaan dengan hewan uji tikus.12, 13 Sel Treg berperan penting pada menjaga homeostasis tubuh, membatasi respons autoimun yang terjadi, serta mencegah terjadinya berbagai infeksi dan tumor.14 Sel T juga cenderung menjadi autoreaktif seiring bertambahnya usia, memproduksi cytokines proinflamasi seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin 1 (IL-1), IL-6, serta menurunkan perlekatan sel keratinosit pada PV sehingga terjadi akantolisis.15
Pemphigus vulgaris dapat terjadi pada pria dan wanita. Prevalensi PV lebih banyak mengenai wanita dibandingkan dengan pria.1 Pada penelitian ini dilaporkan bahwa PV dijumpai 4 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Nanda, dkk. (2004) yang menyatakan bahwa PV lebih banyak dijumpai pada wanita 1,4 kali lebih banyak dibandingkan dengan pria.16 Penyebab pasti tingginya prevalensi PV pada wanita masih belum jelas.11 Hipotesis yang diduga berperan terhadap fenomena ini yaitu karena pengaruh penurunan hormon estrogen yang memicu limfosit T-helper 2 (Th2) untuk mensekresi cytokines proinflamasi antara lain TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 yang akan memicu terjadinya reaksi inflamasi.3,17 Cytokine tersebut juga menyebabkan hilangnya perlekatan desmosom sel keratinosit sehingga terjadi akantolisis dan apotosis keratinosit.15 Wanita usia 40-50 tahun yang mulai mengalami penurunan estrogen ditambah dengan faktor risiko lain seperti riwayat genetik dan stres berisiko terkena PV.17
Riwayat penyakit serupa dalam keluarga merupakan salah satu faktor yang berperan pada kejadian PV. Pada penderita PV terdapat penyimpangan pada human leukocyte antigen (HLA) seperti HLA-DR4 dan DQ1.1 Penelitian ini melaporkan bahwa hanya terdapat 1 kasus dengan riwayat PV dalam keluarga. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Javidi, dkk. (2007) yang melaporkan bahwa dari 64 kasus PV di Iran hanya ditemukan 2 kasus (1,4%) dengan riwayat PV dalam keluarga.18 Penyebab PV melibatkan berbagai faktor yang merupakan kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan, seperti paparan sinar UV. Keterlibatan HLA tanpa disertai dengan faktor pemicu lainnya sangat jarang menyebabkan PV.19 Paparan sinar UV dapat menyebabkan akantolisis yang diinduksi oleh autoantibodi anti-Dsg1 atau anti-Dsg3, terutama pada individu yang mempunyai penyimpangan HLA-DR4 dan DQ1. Paparan sinar UV juga menginduksi apoptosis keratinosit yang menyebabkan sel keratinosit menjadi lebih rentan terhadap autoantibodi anti-Dsg1 atau anti-Dsg3 sehingga menyebabkan akantolisis pada PV.20
Jenis pekerjaan pada pasien PV dalam penelitian ini antara lain ibu rumah tangga yaitu 11 pasien (44%), wiraswasta 4 pasien (16%), petani 3 pasien (12%), karyawan 3 pasien (12%) dan buruh 2 pasien (8%). Pada penelitian ini dilaporkan bahwa pekerjaan terbanyak pada PV adalah ibu rumah tangga. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Javidi, dkk. (2007) yang melaporkan bahwa sebagian besar (66%) penderita PV adalah ibu rumah tangga.18 Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga diduga menyebabkan stres yang dapat menjadi salah satu faktor pemicu PV. Stres pada ibu rumah tangga disebabkan karena peran dan tugasnya yang besar sebagai istri dan ibu dalam keluarga.21, 22 Stres diduga memicu respons seluler menjadi hipersensitif terhadap hydrogen peroxide (H2O2) yang menyebabkan kerusakan DNA pada penyakit autoimun.23 Stres juga meningkatkan reactive oxygen species (ROS), memicu pelepasan cytokine proinflamasi antara lain IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α secara berlebihan sehingga terjadi inflamasi pada desmosom khususnya pada Dsg3 yang memicu PV.24, 25
Lesi pada PV dapat mengenai kulit dan membran mukosa. Gambaran PV pada kulit berupa bula berdinding kendur yang mudah pecah dan meninggalkan erosi luas. Lesi pada mukosa sering ditemukan pada mukosa oral berupa erosi di orofaring, gusi, mukosa bukal dan palatum yang terasa nyeri dan sulit sembuh. Erosi pada mukosa mulut sering merupakan penanda awal PV sebelum munculnya lesi kulit.1 Pada penelitian ini dilaporkan bahwa keterlibatan mukosa dijumpai pada 60% pasien PV. Hasil yang sesuai dilaporkan oleh Zhu, dkk. (2016) yang menyatakan bahwa 56% pasien PV mengalami erosi pada mukosa.26 Protein desmosom Dsg3 adalah autoantigen pada PV, sedangkan Dsg1 adalah autoantigen utama pada pemphigus foliaceus (PF).27 Pasien PV dapat mempunyai autoantigen Dsg1 dan Dsg3. Desmoglein 3 menjadi komponen utama desmosom yang berfungsi untuk menjaga perlekatan antar sel-sel keratinosit di epidermis bagian bawah, sedangkan Dsg1 diekspresikan pada keratinosit di epidermis superfisial. Desmoglein 3 diekspresikan pada mukosa mulut dan esofagus sehingga keterlibatan mukosa mulut ditemukan pada pasien PV.28
Penyakit penyerta yang sering dijumpai pada PV antara lain diabetes melitus (DM), hipertensi, gangguan tiroid, dan keganasan.29 Pada penelitian ini didapatkan bahwa kondisi hiperglikemia adalah komorbid tersering pada pasien PV (20%) di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode Januari 2014-Desember 2019. Hasil yang sesuai dilaporkan oleh Alavi, dkk. (2012) yang menyatakan bahwa terapi corticosteroid dapat memicu berkembangnya DM yang dijumpai pada 40% pasien PV.30 Diabetes melitus menjadi salah satu komorbid yang sering dijumpai pada pasien PV akibat gangguan metabolisme glukosa. Kondisi hiperglikemia juga dapat dipengaruhi oleh terapi corticosteroid yang menyebabkan peningkatan resistansi insulin pada jaringan dan produksi glukosa di hati, sehingga uptake glukosa pada otot dan sel adiposa terganggu.31 Pada penelitian ini, corticosteroid yang diberikan adalah methylprednisolone dengan rata-rata dosis 100 mg/hari, yang diduga juga memicu hiperglikemia. Corticosteroid sistemik setara prednisone dengan dosis lebih dari 40 mg/hari terkait dengan peningkatan glukosa yang menyebabkan hiperglikemia.32
Pemphigus vulgaris dapat disertai dengan kelainan laboratorium, antara lain hipoalbuminemia, gangguan elektrolit, anemia, dan gangguan fungsi hepar. Hipoalbuminemia adalah salah satu kelainan laboratorium yang tersering dijumpai pada kasus PV.1 Pada penelitian ini hipoalbuminemia dijumpai pada 53% pasien PV. Hasil yang sesuai dilaporkan oleh Kandhari, dkk. (1965) yang menyatakan bahwa pada 20 pasien PV dijumpai penurunan nilai albumin pada 32% pasien.33 Salah satu penyebab hipoabuminemia adalah kurangnya asupan protein pada pasien dengan lesi mukosa mulut yang menyebabkan pasien sulit makan. Asupan protein yang kurang menyebabkan berkurangnya sintesis albumin di dalam tubuh.34 Bula pada PV mengandung cairan, protein dan kalium.33 Erosi yang luas akibat bula yang pecah pada pasien PV menyebabkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) sehingga pasien mengalami dehidrasi, gangguan elektrolit, hipoalbuminemia dan infeksi bakteri sekunder.35
Pasien PV memerlukan perawatan yang optimal di rumah sakit karena keadaan umum yang kurang baik disertai dengan bula dan erosi yang luas di seluruh tubuhnya.1 Pada penelitian ini dilaporkan bahwa rerata lama perawatan pasien PV di RSUD Dr. Moewardi yaitu selama 21-30 hari. Hasil yang sesuai dilaporkan oleh Shen, dkk. (2016) yang menyatakan bahwa rerata lama perawatan pasien PV di India adalah selama 22 hari.36 Pires, dkk. (2014) melaporkan bahwa lebih dari 50% pasien PV di Brazil rata-rata dirawat selama 1-3 bulan.37 Lama perawatan pasien PV di rumah sakit tergantung dari keadaan umum pasien, derajat keparahan penyakit dan infeksi yang mendasari.1
Tata laksana PV meliputi tiga lini, antara lain corticosteroid sistemik sebagai lini pertama yang direkomendasikan pada kasus PV. Corticosteroid yang direkomendasikan adalah prednisone dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari serta dievaluasi selama 2-3 minggu.1 Murrell, dkk. (2008) melaporkan bahwa dosis prednisone 1,5 mg/kgBB/hari dianggap efektif pada sebagian besar kasus PV.38 Corticosteroid sistemik dosis pulse dapat diberikan pada PV berat yang tidak merespons dosis setara prednisone 100 mg/hari.39 Corticosteroid dosis pulse yang direkomendasikan adalah methylprednisolone dengan dosis maksimal 1 gram/hari atau dexamethasone 300 mg/hari selama 3 hari berturut-turut.40 Pada penelitian ini corticosteroid sistemik yang digunakan adalah methylprednisolone intravena dengan rerata dosis 100 mg/hari yang setara dengan prednisone 125 mg/hari. Hasil penelitian yang berbeda diaporkan oleh Gheisari, dkk. (2019) yang menyatakan bahwa pemberian methylprednisolone dosis pulse dengan dosis 20-30 mg/kgBB/hari selama 4 hari berturut-turut memberikan perbaikan klinis pada kasus PV.41 Penggunaan methylprednisolone dosis pulse masih menjadi perdebatan karena dapat meningkatkan risiko aritmia jantung sehingga tidak disarankan untuk terapi PV.41 Methylprednisolone dengan pemberian intravena lebih direkomendasikan pada kasus PV untuk menghindari komplikasi akibat terapi corticosteroid oral jangka panjang seperti kejadian osteoporosis serta menghindari komplikasi corticosteroid dosis pulse berupa aritmia jantung.42 Corticosteroid merupakan antiinflamasi poten dengan efek imunosupresi yang menghambat aktivasi NF-κB, supresi fungsi leukosit dan berbagai cytokines.43 Methylprednisolone dipilih karena merupakan corticosteroid potensi tinggi dengan efek mineralocorticoid minimal. Methylprednisolone akan berikatan dan mengaktifkan reseptor pada nukleus, mengendalikan sintesis protein, menekan migrasi leukosit polymorphonuclear (PMN) serta fibroblast, mengembalikan permeabilitas kapiler pembuluh darah, menjaga kestabilan lisosom pada tingkat seluler, dan menghambat produksi cytokines proinflamasi sehingga mengurangi inflamasi yang terjadi.44 Terapi methylprednisolone juga menghasilkan desmoglein baru yang bermanfaat untuk tata laksana PV di mana terjadi kehilangan banyak desmoglein.1
Terapi kombinasi dengan agen immunosuppressant dapat menjadi pilihan pada kasus PV berat yang tidak memberikan respons dengan penggunaan monoterapi corticosteroid sistemik tunggal. Agen immunosuppressant yang juga dapat berperan sebagai sparing agent dan banyak digunakan pada kasus PV antara lain azathioprine, mycophenolate mofetil (MMF), dan cyclosporine. Penggunaan sparing agent dipertimbangkan pada kasus PV yang tidak mengalami perbaikan, ditandai dengan masih munculnya bula baru dengan pemberian corticosteroid sistemik, maupun untuk mengurangi efek samping penggunaan corticosteroid sistemik jangka panjang. Pada penelitian ini dilaporkan bahwa corticosteroid sistemik diberikan pada 52% pasien PV, sedangkan 48% pasien lainnya mendapatkan tambahan obat immunosuppressant lain antara lain MMF (20%), cyclosporine (16%), dan azathioprine (12%). Hasil yang sesuai dilaporkan oleh Akhtar, dkk. (1998) yang menyatakan bahwa 58,3% pasien PV di Pakistan mendapatkan monoterapi dengan corticosteroid sistemik.45 Sukanjanapong, dkk. (2019) melaporkan bahwa terdapat 44 pasien PV yang mendapat terapi kombinasi corticosteroid sistemik dan MMF sebanyak 66% dan corticosteroid sistemik dan azathioprine sebanyak 34%.46 Loannides, dkk. (2000) melaporkan bahwa terdapat 33 pasien PV yang mendapat terapi corticosteroid sistemik sebesar 52% dan kombinasi corticosteroid sistemik dengan cyclosporine sebesar 48%.47 Kombinasi dengan immunosuppressant lain sebagai terapi ajuvan dipertimbangkan pada kasus PV yang kurang responsif terhadap pemberian corticosteroid sistemik, untuk meningkatkan efektivitas terapi dan mengurangi efek samping dari pemakaian jangka panjang corticosteroid sistemik seperti DM, hipertensi, osteoporosis, katarak, dan ulkus peptikum.1,41 Terapi kurang responsif dinilai bukan berdasarkan body surface area (BSA) yang terlibat, namun apabila perbaikan klinis lesi kulit dan mukosa yang dicapai kurang dari 80% atau masih dijumpai bula baru yang muncul selama pasien mendapatkan terapi.48 Almugairen, dkk. (2013) merekomendasikan penggunaan prednisone dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dan dosis dapat dinaikkan 50-100% jika tidak ada perbaikan klinis selama evaluasi 1-2 minggu.49,50 Pada pasien yang tidak menunjukkan respons terapi seperti gejala yang tidak membaik dan masih muncul bula baru, dapat diberikan corticosteroid sistemik dengan dosis terbagi 2-3 kali sehari hingga penyakit terkontrol dan dipertimbangkan untuk diberikan sparing agents.1
KESIMPULAN
Pasien pemphigus vulgaris (PV) di RSUD Dr. Moewardi selama kurun waktu Januari 2014-Desember 2019 terdapat 25 pasien. Pasien wanita lebih banyak dijumpai daripada pria dengan rentang usia terbanyak antara 51-60 tahun. Pasien PV sebagian besar mempunyai lesi mukokutan (60%) dengan penyakit penyerta terbanyak adalah hiperglikemia (20%) dan hipoalbuminemia ditemukan sebagai kelainan laboratorium yang tersering (32%). Lama perawatan pasien PV di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi adalah selama 21-30 hari (40%). Sebagian besar pasien PV (52%) mendapatkan corticosteroid sistemik dan pasien lainnya (48%) mendapatkan terapi kombinasi corticosteroid sistemik dengan immunosuppressant lain antara lain mycophenolate mofetil (20%), cyclosporine (16%) dan azathioprine (12%).
DAFTAR PUSTAKA
Payne A, Stanley J. Pemphigus. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner A, Enk A, Margolis D, McMichael A, dkk., penyunting. Fitzpatrick’s dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw Hill Companies; 2019. h.909-33.
Kasperkiewicz M. Pemphigus. Nat Rev Dis Primers. 2018;3(1):1-40.
Shah A, Sheiffert-Sinha K, Sirois D, Werth V, Rengarajan B, Zrnchik W, dkk. Development of disease registry for autoimmune bullous diseases: Initial analysis of the pemphigus vulgaris subset. Acta Derm Venereol. 2015;95(1):86-90.
Pietkiewicz P, Gornowicz-Porowska J, Bartkiewicz P, Bowszyc-Dmochowska M, Dmochowski M. Reviewing putative industrial triggering in pemphigus: Cluster of pemphigus in the area near the wastewater treatment plant. Postepy Dermatol Allergol. 2017;34(3):185-91.
Huang Y, Kuo C, Chen Y, Yang Y. Incidence, mortality and causes of deathof patients with pemphigus inTaiwan: A nationwide population-based study. J Investig Dermat. 2012;132(1):92-7.
Wardhana M, Rusyati L. Prevalence and quality of life of pemphigus patients at Moewardi Surakarta periode Januari 2014-Desember 2016.
Aoki V, Fukumori L, Freitas E, Sousa J, Perigo A, Oliveira Z. Direct and indirect immunofluorescence. An Bras Dermatol. 2018;85(4):490-500.
Caplan A, Fett N, Werth V. Pemphigus. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner A, Enk A, Margolis D, McMichael A, dkk., penyunting. Fitpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw Hill; 2019. h.909-33.
Murrell D, Dick S, Ahmed A, Amagai M, Barnadas M, Borradori L, dkk. Consensus statement on definitions of disease, end points, and therapeutic response for pemphigus. J Am Acad Dermatol. 2008;58(1):1043-6.
Alpsoy E, Akman-Karakas A, Uzun S. Geographic variations in epidemiology of two autoimmune bullous diseases: Pemphigus and bullous pemphigoid. Arch Dermatol Res. 2014;1(1):1-9.
Nishioka T, Shimizu J, Iida R, Yamazaki S, Sakaguchi S. CD4+CD25+Foxp3+ T cells and CD4+CD25SFoxp3+ T cells in aged mice. J Immunol. 2006;176(1):6586-93.
Weiskopf D, Weinberger B, Grubeck-Lobenstein B. The aging of the immune system. Transpl Int. 22(1):1041-50.
Haynes L, Maue A. Effects of aging on T cell function. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2009;21(1):414-7.
Feliciani C, Toto P, Amerio P, Pour S, Coscione G, Shivji G, dkk. In vitro and in vivo expression of interleukin-1alpha and tumor necrosis factor-alpha mRNA in Pemphigus vulgaris: Interleukin-1alpha and tumor necrosis factor-alpha are Involved in acantholysis. J Invest Dermatol. 2000;114(1):71-7.
Nanda A, Dvorak R, Al-Saeed K, Al-Sabah H, Alsaleh Q. Spectrum of autoimmune bullous diseases in Kuwait. Int J Dermatol. 2004;43(1):876-81.
Olbrich M, Kunstner A, Witte M, Witte H, Busch H, fahnrich A. Genetics and omics analysis of autoimmune skin blistering diseases. Front immunol. 2019;10(1):1-14.
Javidi Z, Meibodi N, Nahidi Y. Epidemiology of pemphigus in Northeast Iran: A 10-year retrospective study. Indian J Dermatol. 2007;52(4):188-91.
Vodo D, Sarig O, Sprecher E. The genetics of pemphigus vulgaris. Front Med. 2018;5(226):1-7.
Reis V, Toledo R, Lopez A, Diaz L, Martin J. UVB induced acantolysis inendemic pemphigus foliaceus (fogo selfagem) and pemphigus vulgaris. J Am Acad Dermatol. 2000;42(4):571-6.
Kername M. A psychological study on stress among employed women and housewives and its management through progressive relaxation technique (PMRT) and mindfulness breathing. J Psychol Psychother. 2016;6(1):1-5.
Klarreich S. Work without stress: A practical guide to emotional and physical well-being on the job. New York: Brunner/ Mazel Int;1990. h.1-168.
Bashir S, Harris G, Denman M, Blake D, Winyard P. Oxidative DNA damage and cellular sensitivity to oxidative stress in human autoimmune diseases. Ann Rheum Dis. 2008;52(9):659-66.
Lee S, Hong W, Kim S. Analysis of serum cytokine profile in pemphigus. Ann Dermatol. 2017;29(4):438-45.
Shah A, Sinha A. Oxidative stress and autoimmune skin disease. Eur J Dermatol 2013;23(1):5-13.
Zhu X, Pan J, Yu Z, Wang Y, Cai L, Zheng S. Epidemiologyof pemphigus vulgaris in the Northeast China: A 10-year retrospective study. J Dermatol. 2014;41(1):70-5.
Stanley J, Amagai M. Pemphigus, bullous impetigo, and the staphylococcal scalded-skin syndrome. N Engl J Med. 2006;355(17):1800-10.
Nagao K, Udey M. Basic principles of immunologic diseases in skin (Pathophysiology of immunologic/inflammatory skin diseases). Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner A, Enk A, Margolis D, McMichael A, dkk., penyunting. Fitzpatrick’s dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw Hill Companies; 2019. h.201-3.
Heelan K, Mahar A, Walsh S, Shear N. Pemphigus and associated comorbidities: A cros-sectional study. Clin Exp Dermatol. 2015;40(1): 593-9.
Alavi A, Lowe J, Walsh S, Juurlink D, Mortaz-Hedjri S, Shear N. Corticosteroid-induced hyperglycemia is increased 10-fold in patients with pemphigus. Int J Dermatol. 2012;51(10):1248-52.
Darjani A, Nickhah N, Emami M, Alizadeh N, Rafiei R, Eftekhari H, dkk. Assesment of the prevalence and risk factors associated with glucocorticoid-induced diabetes mellitus in Pemphigus vulgaris patients. Acta Med Iran. 2017;55(6):375- 80.
Donichi A, Raval D, Saul M, Korytkowski M, DeVita M. Prevalence and predictors of corticosteroid-related hyperglycemia in hospitalized patients. Endocr Pract. 2006;12(1):358-62.
Kandhari K, Pasricha J. Study of proteins and electrolytes of serum and blister fluid in pemphigus. J Invest Dermatol. 1965;44(4):246-51.
Porro A, Seque C, Ferreira M, Enokihara M. Pemphigus vulgaris. An Bras Dermatol. 2019;94(3):264-78.
Falodun O, Ogunbiyi A. Dermatological Emergencies: Current Trends in Management. Ann Ib Postgrad Med. 2006;4(2):15- 21.
Shen A, Chowdhury S, Bandyopadhyay D. Inpatient dermatology: Characteristics of patients and admissions in a tertiary level hospital in Eastern India. Indian J Dermatol. 2016;61(5):561-4.
Pires C, Viana V, Araujo F, Muller S, Oliveira M, Carneiro F. Evaluation of cases of pemphigus vulgaris and pemphigus foliaceus from a reference service in Parastate, Brazil. An Bras Dermatol. 2014;89(4):556-61.
Murrell D, Dick S, Ahmed A, Amagai M, Barnadas M, Borradori L, dkk. Consensus statement on definitions of disease, end points, and therapeutic response for pemphigus. J Am Acad Dermatol. 2008;58(6):1043-6.
Gregoriou S, Efthymiou O, Stefanaki C, Rigopoulos D. Management of pemphigus vulgaris: Challenges and solutions. Clin Cosmet Investig Dermatol. 2015;8(1):521-7.
Chams-Davatchi C, Esmaili N, Daneshpazhooh M, Valikhani M, Balighi K, Hallaji Z, dkk. Randomized controlled open-label trial of four treatment regimens for pemphigus vulgaris. J Am Acad Dermatol. 2007;57(4):622-8.
Gheisari M, Faraji Z, Dadras M, Nasiri S, Robati R, Moravvej H, dkk. Methylprednisolone pulse therapy plus adjuvant therapy for pemphigus vulgaris: An analysis of 10 years’ experience on 312 patients. Dermatol Ther. 2019;32(1):1-6.
Shahidi-Dadras M, Karami A, Toosy P, Shafiyan A. Pulse versus oral methylprednisolone therapy in Pemphigus vulgaris. Arch Iranian Med. 2007;10(1):1-6.
Cholera M, Wu N. Management of pemphigus vulgaris. Adv Ther. 2016;33(1):910-58.
Caplan A, Fett N, Werth V. Glucocorticoids. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner A, Enk A, Margolis D, McMichael A, dkk., penyunting. Fitpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw Hill; 2019. h.3382-94.
Akhtar S, Hasan M. Treatment of pemphigus: Local experience. J Pak Med Assoc. 1998;48(10):300-4.
Sukanjanapong S, Thongtan D, Kanokrungsee S, Suchonwanit P, Chanprapaph K. A Comparison of azathioprine and mycophenolate mofetil as adjuvant drugs in patients with Pemphigus: A retrospective cohort study. Dermatol Ther. 2019;10(1):179-89.
Ioannides D, Chrysomallis F, Bystryn J. Ineffectiveness of cyclosporine as an adjuvant to corticosteroid in the treatment of pemphigus. Arch Dermatol. 2000;136(1):868-72.
Harman K, Brown D, Exton L, Groves R, Hampton P, Mustapa M, et al. British Association of Dermatologists’ guidelines for the management of pemphigus vulgaris 2017. Br Med J. 2017;177(1):1170-201.
Almugairen N, Hospital V, Bedane C, Duvert-Lehembre S, Picard D, Tronquoy A, dkk. Assessment of the rate of long-term complete remission off therapy in patients with pemphigus treated with different regimens including medium-and high- dose corticosteroids. J Am Acad Dermatol. 2013;69(1):583-8.
Lyakhovitsky A, Baum S, Scope A, Amichai B, Barzilai A, Rimer J, dkk. The impact of stratifying initial dose of corticosteroids by severity of pemphigus vulgaris on long-term disease severity. Int J Dermatol. 2011;50(1):1014-9.