top of page

Roflumilast,PDE-4 Inhibitor Selektifuntuk Terapi PPOK

Diperbarui: 21 Jul 2021



Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati. PPOK berkembang dalam jangka waktu yang cukup lama, ditandai dengan terjadinya hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respons inflamasi paru yang timbul akibat paparan partikel atau gas berbahaya. Secara global, PPOK merupakan penyebab kematian terbanyak keempat di dunia, dengan perkiraan prevalensi global sebesar 11,7% serta proyeksi kematian akibat PPOK diperkirakan meningkat sebanyak 4,5 juta pada tahun 2030. Sementara itu, menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7% dengan angka kejadian lebih tinggi pada pria, terutama dengan riwayat merokok.


Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap PPOK merupakan masalah utama dalam upaya menekan penyakit ini. Gejala awal PPOK sering tidak dikenali oleh penderita sehingga tidak mendapatkan pengobatan dengan baik. Salah satu gejala PPOK adalah sesak napas (dyspnea) yang dialami ketika beraktivitas. Sesak napas yang dialami oleh penderita biasanya bersifat progresif dan persisten yang mengakibatkan keterbatasan dalam beraktivitas. Hal ini tidak hanya menjadikan PPOK sebagai penyakit pernapasan kronis yang dapat mengancam jiwa, namun juga mengakibatkan penurunan kualitas hidup serta akan berdampak pada sosioekonomi pasien. Selain sesak napas, berikut adalah sejumlah gejala PPOK yang patut diwaspadai:

- Batuk berdahak yang tidak kunjung sembuh

- Pernapasan sering tersengal-sengal

- Napas berbunyi

- Mudah lelah, dapat juga disertai penurunan berat badan


Faktor Risiko Terjadinya PPOK

Paparan asap rokok, baik pada perokok aktif maupun pasif merupakan faktor utama yang dapat memicu PPOK serta sejumlah penyakit pernapasan lainnya. Sekitar 90% kasus PPOK berhubungan dengan riwayat merokok. Faktor lingkungan seperti paparan polusi dari zat kimia berbahaya, bahan bakar, atau debu di tempat kerja ataupun tempat tinggal juga meningkatkan risiko seseorang mengalami PPOK. Tumbuh kembang organ paru yang kurang optimal, defisiensi alpha-1 antitrypsin (protein yang berperan menjaga elastisitas paru), riwayat penyakit pernapasan lain, atau infeksi pada organ pernapasan juga merupakan faktor risiko penyebab terjadinya PPOK.


Patofisiologi PPOK

Karakteristik pola inflamasi pada PPOK meliputi meningkatnya makrofag, limfosit T, limfosit B, bersama dengan netrofil dalam lumen saluran napas. Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi di saluran napas dan paru pada penderita PPOK. Paparan gas beracun tersebut akan mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel pada saluran pernapasan dalam membentuk faktor kemotaktik. Pelepasan faktor kemotaktik menginduksi mekanisme infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru yang dapat menimbulkan kerusakan pada struktur paru. Infiltrasi sel ini dapat menjadi sumber kemotaktik yang baru dan memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi penyakit kronis dan progresif.


Adanya inflamasi yang berkepanjangan serta ketidakseimbangan antara stres oksidatif dan antioksidan juga diketahui berperan dalam patogenesis PPOK. Respons inflamasi paru yang abnormal dapat menimbulkan inflamasi sistemik yang ditandai dengan mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam sirkulasi.


Tatalaksana PPOK

Terapi PPOK bersifat individual, artinya disesuaikan dengan diagnosis serta evaluasi menyeluruh dari kondisi pasien. Tujuan terapi PPOK terutama adalah membantu memperbaiki kualitas hidup pasien dengan mengoptimalkan fungsi paru, menurunkan gejala, memperbaiki status kesehatan, mencegah progresivitas, serta mencegah dan mengatasi eksaserbasi akut. Tatalaksana PPOK secara umum meliputi kegiatan nonfarmakologi seperti pemberian edukasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan memperbaiki status nutrisi, sedangkan terapi farmakologis terdiri dari:

- Bronkodilator: SABA (short-acting beta2 agonist), LABA (long-acting beta2 agonist), antikolinergik (ipratropium, tiotropium), kombinasi bronkodilator dan antikolinergik (fenoterol/ipratropium), golongan methylxantines (aminophylline, theophylline)

- Antiinflamasi

- Antibiotik

- Mukolitik dan antioksidan

- Antitusif


Selain terapi farmakologis dan nonfarmakologis, pengobatan penunjang seperti kegiatan rehabilitasi paru dan pemberian vaksinasi influenza juga dapat disertakan sesuai dengan kondisi klinis pasien.


Efikasi Roflumilast sebagai PDE-4 Inhibitor untuk PPOK


Penyakit paru obstruktif kronis merupakan penyakit saluran pernapasan dengan patofisiologi yang kompleks, sehingga dalam pengobatannya seringkali melibatkan pilihan terapi kombinasi. Pada dasarnya PPOK merupakan penyakit inflamasi yang berlangsung progresif, sehingga penggunaan agen-agen yang mampu memperlambat atau mencegah progresivitas inflamasi merupakan pendekatan terapi yang rasional. Salah satunya adalah golongan penghambat PDE-4 (phosphodiesterase 4), selain obat-obatan golongan glukokortikoid oral seperti methylprednisolone, atau inhalasi: fluticasone, budesonide.

Penghambat PDE-4 bekerja dengan mengurangi respons inflamasi melalui penghambatan degradasi cAMP intraseluler. Konsentrasi cAMP intraseluler yang meningkat akan menghambat reaksi inflamasi dengan mengurangi proliferasi dan pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin, chemokines, metabolit asam arakidonat, protease, serta reactive oxygen species. Terjadinya down-regulasi faktor inflamasi akan berdampak pada perlambatan remodeling paru-paru. selain itu juga akan berdampak pada penghambatan pembentukan jaringan fibrosis, dan selanjutnya akan diikuti kemampuan otot polos bronkus untuk berdilatasi.


Salah satu obat golongan penghambat PDE-4 yang selektif adalah roflumilast, yang bekerja menghambat aktivitas sel proinflamasi yang terkait dengan patogenesis PPOK. Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2020, penggunaan roflumilast satu kali sehari direkomendasikan pada pasien PPOK dengan bronkitis kronis, PPOK derajat berat hingga sangat berat, serta pada pasien yang memiliki riwayat eksaserbasi (level of evidence A).


Gambar 1. Mekanisme aksi roflumilast menghambat PDE-4 pada pathogenesis PPOK (dikutip dari Mulhall, 2015)


Studi REACT (roflumilast and exacerbations in patients receiving appropriate combination therapy) tahun 2015 yang merupakan studi fase 3-4 penggunaan roflumilast menunjukkan hasil bahwa penambahan roflumilast pada kelompok pasien PPOK derajat berat dengan riwayat eksaserbasi sedang hingga berat yang sudah mendapatkan kombinasi terapi sebelumnya, ternyata dapat mengurangi kejadian eksaserbasi sedang hingga berat berulang 13,2% lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan roflumilast. Studi ini juga menunjukan bahwa terjadi perbaikan pada parameter FEV1 postbronchodilator pada pasien yang mendapatkan roflumilast dibandingkan pada pasien kelompok kontrol. Studi ini menyimpulkan bahwa penambahan roflumilast sebagai tambahan terapi pada pasien PPOK derajat berat dengan riwayat eksaserbasi sedang hingga berat dapat mengurangi keparahan serta kejadian eksaserbasi, juga dapat memperbaiki parameter fungsi paru. Penelitian JADE tahun 2016, yang mengevaluasi efikasi roflumilast pada pasien PPOK derajat sedang hingga berat di Korea juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu adanya perbaikan parameter fungsi paru yang signifikan dibandingkan kelompok kontrolnya.


Penambahan roflumilast pada terapi PPOK juga membantu memperbaiki kualitas hidup pasien seperti yang ditunjukkan pada studi DACOTA (Daxas for COPD therapy) tahun 2016. Studi ini melibatkan sekitar 3.597 pasien PPOK dengan evaluasi menggunakan kuesioner yang digunakan untuk menilai perbaikan kualitas hidup pasien PPOK yaitu Clinical COPD Questionnaire (CCQ) dan COPD Assessment Test (CAT). Setelah 12 bulan evaluasi, didapatkan adanya perbaikan kualitas hidup pasien PPOK yang signifikan baik yang tergambar melalui angka CCQ maupun CAT, terutama pada frekuensi berkurangnya kejadian eksaserbasi. Kesimpulan dalam studi ini menyebutkan bahwa penambahan roflumilast pada pasien PPOK dapat membantu memperbaiki kualitas hidup pasien lebih efektif dibandingkan kelompok yang mendapatkan terapi standar tanpa roflumilast.


Roflumilast dan Upaya Meningkatkan Tolerabilitas

Salah satu permasalahan terapi dengan roflumilast adalah kejadian efek samping gangguan saluran cerna seperti keluhan diare maupun mual. Baik studi REACT, JADE, maupun DACOTA menyebutkan adanya peningkatan kejadian keluhan efek samping pada penggunaan roflumilast dibandingkan terapi standar. Studi REACT menyebutkan kejadian efek samping pada kelompok roflumilast sekitar 67% vs 59% pada kelompok plasebo. Namun permasalahan ini dapat diatasi dengan menggunakan alternate dose pada awal terapi yaitu memulai dengan dosis 250 μg pada 4 minggu pertama terapi. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Watz, et al. (2018) mengenai penggunaan alternate dose untuk roflumilast dijelaskan bahwa memulai terapi roflumilast dengan dosis 1x250 μg selama 4 minggu kemudian dititrasi menjadi 500 μg dapat mengurangi risiko terjadinya efek samping dibandingkan dengan langsung menggunakan dosis 1x500 μg. Berdasarkan studi ini, pasien yang menggunakan dosis 1x500 μg pada awal terapi lebih sering mengeluhkan efek samping seperti diare, mual, sakit kepala, serta nyeri abdomen yang dapat memicu pada penghentian terapi, sedangkan pada pasien yang mendapatkan dosis separuh lebih kecil dari dosis anjuran terapi (250 μg) pada 4 minggu awal terapi mengalami kejadian efek samping lebih minimal sehingga pasien dapat melanjutkan terapi dengan lebih nyaman.


Efek samping lain yang umum terjadi di samping keluhan diare atau gangguan saluran cerna adalah terjadinya penurunan berat badan. Efek samping ini sering dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas lipolisis karena terjadi peningkatan aktivitas signaling oleh cAMP. Penurunan berat badan hingga lebih dari 2,14 kg didapati pada kelompok pasien yang mendapat roflumilast. Penurunan berat badan ini bersifat reversibel dan cenderung banyak terjadi pada pasien dengan indeks massa tubuh >25. Penghentian terapi dilaporkan dapat mengembalikan berat badan pasien kembali. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan monitoring berat badan secara teratur pada pasien PPOK yang mendapatkan roflumilast serta mempertimbangkan penggunaan alternate dose untuk bisa mengurangi dampak roflumilast terhadap penurunan berat badan yang drastis.


Kesimpulan


PPOK merupakan penyakit inflamasi pada saluran napas yang bersifat kronis yang ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten, dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan karena adanya kelainan saluran napas/dan atau alveolus. PPOK dapat terjadi karena adanya respons inflamasi abnormal pada paru yang disebabkan oleh adanya paparan signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya seperti rokok, polusi udara, dan juga dapat disebabkan karena adanya faktor genetik.


Data menunjukkan bahwa prevalensi PPOK cenderung menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu serta menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi dalam skala global. Dampak PPOK tidak hanya pada ancaman kematian pada penderitanya namun juga berdampak pada penurunan kualitas hidup seiring menurunnya fungsi paru. Tujuan terapi PPOK adalah memperlambat progresivitas penyakit dan menurunkan kejadian eksaserbasi.


Roflumilast merupakan salah satu penghambat PDE-4 yang selektif. Secara klinis, pemberian roflumilast pada pasien PPOK derajat berat dengan eksaserbasi sedang hingga berat dapat mengurangi kejadian eksaserbasi dan juga memperbaiki parameter fungsi paru. Strategi dengan alternate dose untuk terapi dengan roflumilast yaitu memulai dengan dosis 1x250 μg pada 4 minggu awal kemudian ditingkatkan menjadi dosis terapi yaitu 1x500 μg dapat mengurangi keluhan efek samping sehingga mengurangi kejadian penghentian terapi dengan roflumilast.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease: 2020 report. Updated 2019 (cited March 2019). Available from: https://goldcopd.org/gold-reports/.

  2. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013.

  3. PDPI. Penyakit Paru Obstruktif Kronis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.

  4. Rabe KF. Update on roflumilast, a phospodiesterase 4 inhibitor for the treatment of chronic obstructive pulmonary disease. Br J Pharmacol 2011;163(1):53-67.

  5. Vignola AM. PDE4 inhibitors in COPD-a more selective approach to treatment. Respiratory Medicine 2004;98:495-503.

  6. Mulhall AM, et al. Phosphodiesterase 4 inhibitors for the treatment of chronic obstructive pulmonary disease: a review of current and developing drugs. Expert Opinion on Investigational Drugs 2015;24(12):1597-611.

  7. Martinez FJ, et al. Effect of roflumilast on exacerbations in patients with sever chronic obstructive pulmonary disease uncontrolled by combination therapy (REACT): a multicenter randomized controlled trial. The Lancet 2015;385(9971):857-66.

  8. Lee SJ, et al. Efficacy and safety of roflumilast in Korean patients with COPD. Yonsei Med J 2016;574(4):929-35.

  9. Jadwiga WA, Calverley P, Rabe KF. Roflumilast: a review of its use in the treatment of COPD. International Journal of COPD 2016;11:81-90.

  10. Watz H, et al. Use of a 4-week up titration regimen of roflumilast in patients with severe COPD. International Journal of COPD 2018;13:813-22.

  11. Zhang X, et al. Pharmacological mechanism of roflumilast in the treatment of asthma-COPD overlap. Drug Design, Development and Therapy 2018;12:2371-79.


Sumber: Medicinus Agustus 2020 vol. 33 issue 2

DAPATKAN KABAR TERBARU SEPUTAR DUNIA MEDIS

Anda berhasil mendaftar!

DIKELOLA OLEH PT GLOBAL URBAN ESENSIAL
bottom of page