top of page

Studi Kasus Covid-19 Akibat Kerja


Sumber: Medicinus Edisi Agustus 2021, Volume 34 Issue 2

Anna Suraya[1],[2], Zulkifli Dharma[3], Putri Tresnasari[4], Puti Dwi Ginanti[5], Fani Syafani[6]

1. Program Studi K3 Universitas Binawan, Jakarta

2. CIHLMU Center for International Health, University Hospital, LMU Munich, Germany

3. Rumah Sakit Umum Daerah Muhammad Sani, Karimun, Kepulauan Riau

4. Rumah Sakit Umum Daerah AW Syahrani, KALTIM

5. Siloam Hospital TB Simatupang

6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Republik Indonesia


Abstrak


Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang menjadi penyebab Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merupakan pajanan biologis di fasilitas kesehatan, di mana perawat, dokter, serta petugas medis maupun nonmedis lainnya menjadi kelompok pekerja yang rentan tertular Covid-19 saat bekerja. Studi kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran penerapan tujuh langkah diagnosis okupasi pada tiga kasus Covid-19 yang terjadi pada tenaga kesehatan. Kasus pertama adalah Covid-19 pada perawat ICCU yang terbukti mengalami kontak dengan pasien Covid-19 saat bertugas kurang dari 14 hari sebelumnya. Kasus kedua merupakan kasus Covid-19 pada dokter yang terjadi akibat penularan di rumah tangga, dan kasus ketiga adalah kasus Covid-19 pada dokter UGD yang merawat pasien Covid-19 beberapa hari sebelum munculnya gejala. Kasus ini merupakan kasus fatalitas yang mendapatkan kompensasi dari BPJS Ketenagakerjaan. Penegakkan diagnosis okupasi sangat penting karena dapat menjadi umpan balik atau evaluasi terhadap tindakan pencegahan yang sudah dilakukan di tempat kerja. Adanya penyakit akibat kerja (PAK) di kalangan pekerja merupakan sinyal diperlukannya peningkatan perlindungan bagi pekerja.


PENDAHULUAN


Penyakit akibat kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.1–3 Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), penyebab Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merupakan pajanan biologis di fasilitas kesehatan, di mana perawat, dokter, serta petugas medis maupun nonmedis lainnya menjadi kelompok pekerja yang rentan untuk tertular Covid-19 saat bekerja. Walaupun demikian, kasus Covid-19 pada seorang pekerja di fasilitas kesehatan tidak secara otomatis dapat dinyatakan sebagai kasus penyakit akibat kerja, karena peluang untuk tertular di luar tempat kerja tidak berbeda dengan anggota masyarakat lain.


Indonesia termasuk dalam 48% negara di dunia yang memberikan kebijakan kompensasi penyakit akibat kerja pada tenaga kerja yang terinfeksi Covid-19.4 Untuk itu diperlukan investigasi untuk menentukan apakah Covid-19 pada pekerja merupakan PAK atau bukan. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (PERDOKI) telah memberikan panduan penegakkan diagnosis okupasi Covid-19 pada pekerja melalui metode tujuh langkah diagnosis okupasi.5


Tujuh langkah diagnosis okupasi diawali dengan penetapan diagnosis klinis Covid-19. Langkah kedua adalah menentukan apakah pekerja memiliki riwayat kontak dengan penderita Covid-19 sebagai pembawa pajanan SARS-CoV-2 di tempat kerja. Langkah ketiga adalah menilai adanya hubungan antara pajanan SARS-CoV-2 di tempat dan Covid-19 yang dialami oleh pekerja. Hubungan terbukti bila waktu kontak pajanan dan munculnya gejala sesuai dengan masa inkubasi Covid-19.6,7 Langkah keempat adalah menetapkan besarnya pajanan. Secara kualitatif intensitas pajanan dapat digambarkan melalui informasi kedekatan kontak, tindakan yang dilakukan saat kontak, kondisi ruangan, kondisi pasien sebagai sumber penularan, dan alat pelindung diri yang digunakan saat bekerja. Langkah kelima adalah menilai adanya faktor individu yang berperan dalam penularan atau keparahan Covid-19. Langkah keenam adalah penilaian peran faktor lingkungan di luar pekerjaan yang juga dapat menjadi sumber penularan Covid-19. Langkah terakhir adalah penegakkan diagnosis PAK.


Studi kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran penerapan tujuh langkah diagnosis okupasi pada tiga kasus Covid-19 pada tenaga kesehatan.8 Diharapkan serial kasus ini dapat menjadi rujukan dalam penegakkan diagnosis okupasi pada kasus Covid-19 pada pekerja di masa yang akan datang.


GAMBARAN KASUS


KASUS 1

Tn. B, 44 tahun, seorang perawat yang bertugas di sebuah rumah sakit mengalami demam dan batuk sejak tanggal 19 Juli 2020. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit paru kronis, dan penyakit autoimun disangkal. Pada tanggal 24 Juli 2020 keluhan belum membaik, foto toraks menunjukkan gambaran bronkitis kronis dan peningkatan LED. Tn. B dirawat di RS sebagai kasus suspek Covid-19. Tanggal 30 Juli 2020, Tn. B terkonfirmasi Covid-19 setelah pemeriksaan laboratorium reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) SARS-CoV-2 menunjukkan hasil positif. Setelah menjalani perawatan selama 10 hari di rumah sakit, Tn. B mengalami perbaikan klinis yang signifikan tanpa gejala sisa dan dapat kembali bekerja seperti semula.


Riwayat transmisi di tempat kerja


Tn.B bekerja di ruang ICCU suatu RS tipe B. Ruang kerja Tn.B berukuran 15x18 meter, berpendingin lokal dengan 14 ranjang perawatan. Tn.B bertugas melakukan asuhan keperawatan seperti pemasangan ventilator dan lain sebagainya pada para pasien dengan sistem kerja gilir. Dalam menjalankan tugasnya, Tn. B menggunakan APD level 2. Salah satu pasien pneumonia yang dirawat di ICCU sejak tanggal 10 Juni 2020 terkonfirmasi sebagai kasus Covid-19 dan salah satu rekan kerja perawat juga terkonfirmasi Covid-19 pada saat yang bersamaan. Istri Tn. B juga dilaporkan kontak dengan pasien terkonfirmasi Covid-19 namun tidak menunjukkan gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium rapid antibodi SARS-CoV-2 menunjukkan hasil non reaktif. Selama bekerja Tn. B membawa makanan sendiri, melepas APD di ruang pribadi dan menggunakan sepeda motor untuk transportasi ke tempat kerja. Tidak ada riwayat bepergian ke luar kota maupun ke luar negeri atau melakukan aktivitas lainnya yang berisiko tinggi terhadap penularan Covid-19.


Diagnosis Okupasi


Covid-19 akibat kerja pada perawat yang bertugas di ruang ICCU.




KASUS 2


Tanggal 14 Maret 2020, dr. P, seorang dokter perempuan berusia 34 tahun, mulai mengalami demam ringan (37,6oC), nyeri tenggorokan, disertai dengan batuk sesekali. Sampai tanggal 23 Maret 2020 keluhan tidak membaik, laboratorium darah rutin normal, foto toraks normal, namun CT scan toraks nonkontras menunjukkan ground-glass opacity appearance ringan. Tanggal 26 Maret 2020 pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2 menunjukkan hasil positif dan dr. P pun menjalani isolasi di Wisma Atlet. Tanggal 6 dan 8 April 2020 pemeriksaan RT-PCR menunjukkan hasil negatif sehingga pasien dapat melanjutkan isolasi mandiri. Tanggal 18 April 2020 hasil tes rapid IgG reaktif dan IgM non-reaktif, selanjutnya dr. P dapat beraktivitas kembali seperti biasa.


Riwayat transmisi di tempat kerja


Dokter P bekerja sebagai kepala unit kesehatan dan keselamatan kerja di RS swasta tipe B dengan akreditasi paripurna dari KARS. Rumah sakit melakukan triase pasien untuk memastikan bahwa pasien terduga infeksi terpisah dengan pasien non infeksi. Dalam pelayanannya, dr. P bertugas memeriksa pekerja sehat yang melakukan medical check up (MCU) dan membuat laporan secara perorangan ataupun komunitas. Lokasi MCU berada di lantai 6 RS, terpisah dari ruang perawatan dengan akses menggunakan lift dan dr. P menyangkal adanya kontak dengan pasien ataupun pekerja RS lain yang menderita Covid-19. Ia bekerja dalam pola kerja non-shift antara pukul 08.00-16.00 dan menggunakan mobil pribadi sebagai sarana transportasi ke tempat kerja. Saat istirahat tersedia kantin untuk makan di lingkungan RS, namun dr. P mengaku melakukan tindakan pencegahan penularan di tempat kerja secara disiplin.


Suami dr. P yang baru selesai menjalani pendidikan spesialis dilaporkan mengalami demam dan batuk 2 hari sebelum dr. P mengalami gejala. Ia sedang mengurus SIP di kantor IDI dan mengaku bertemu dengan sejawat lain yang mengalami gejala batuk namun tidak diketahui status Covid- nya. Suami dr. P kemudian terkonfirmasi Covid-19. Mereka tinggal di wilayah zona merah Covid-19 bersama kedua orang tua, dua orang anak, dan seorang asisten rumah tangga. Pemeriksaan Puskesmas setempat memberikan hasil 2 kali tes rapid antibodi non-reaktif pada seluruh keluarga tersebut. Tidak ada riwayat bepergian ke luar kota ataupun keluar negeri atau melakukan aktivitas lainnya yang berisiko tinggi terhadap penularan Covid-19.


Diagnosis Okupasi

Covid-19 bukan akibat kerja pada dokter yang bertugas di Departemen K3 RS.


KASUS 3

Seorang dokter laki-laki berusia 58 tahun, dr. L, bertugas sebagai dokter UGD di sebuah RS tipe C, mengeluhkan demam dan sesak nafas sejak tanggal 11 Juni 2020. Pada tanggal 19 Juni 2020, keluhan bertambah dan dr. L pun dirawat RS dengan diagnosis ARDS dengan pneumonia Covid-19 dan diabetes melitus. Pada tanggal 20 Juni 2020, dr. L meninggal dunia. Dokter L terdaftar sebagai anggota BPJS TK. Sesuai dengan Peraturan Presiden no. 7 tahun 2019 tentang PAK dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor HK.01.07/ Menkes/327/2020 tentang penetapan Coronavirus Disease, manajemen RS membuat laporan Covid-19 akibat kerja dan mengajukan klaim kompensasi ke BPJS Ketenagakerjaan. Keluarga dr. L mendapatkan kompensasi PAK pada bulan Agustus 2020 berupa perlindungan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), yang diberikan kepada ahli waris peserta, berupa santunan sebesar 60% x 80 x upah sebulan yang dilaporkan di BPJS Ketenagakerjaan, biaya pemakaman Rp.10.000.000,-; santunan berkala sebesar Rp.500.000,- per bulan selama 24 bulan (diberikan sekaligus Rp.12.000.000,-), serta beasiswa untuk 2 orang anak yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.3


Riwayat transmisi di tempat kerja


Unit Gawat Darurat di RS tempat dr. L bekerja melayani sekitar 50 pasien per hari. Sejak Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, UGD RS menerima pasien konfirmasi Covid-19. Tanggal 5 Juni, dr. L merawat pasien terkonfirmasi Covid-19 yang kemudian meninggal dunia dan pada tanggal 7 Juni 2020 dr. L juga merawat 3 orang pasien terkonfirmasi Covid-19. Saat bertugas dr. L menggunakan APD level 3. Tidak ada riwayat perjalanan dan kemungkinan kontak dengan SARS-CoV-2 di luar tempat kerja.


Diagnosis Okupasi


Covid-19 akibat kerja pada dokter yang bertugas di UGD.


DISKUSI


Ketiga kasus di atas memberikan gambaran bagaimana penerapan 7 langkah diagnosis okupasi pada tenaga kesehatan yang terkonfirmasi Covid-19. Dari tiga kasus di atas, dua kasus dapat ditegakkan sebagai Covid-19 akibat kerja, di mana satu kasus mengalami fatalitas dan satu kasus sembuh sempurna sehingga dapat kembali bekerja seperti semula. Satu kasus lainnya merupakan kasus Covid-19 akibat penularan di lingkungan rumah tangga. Kasus Covid-19 akibat kerja yang mengalami fatalitas terjadi pada tenaga kesehatan yang merupakan anggota BPJS Ketenagakerjaan, sehingga serial kasus ini juga memberikan gambaran tentang kompensasi kematian pada kasus PAK.


Ketiga kasus di atas diinvestigasi menggunakan panduan tujuh langkah diagnosis okupasi, di mana penetapan diagnosis klinis dilakukan sebagai langkah pertama. Pada kasus ini seluruh kasus terkonfirmasi Covid-19 berdasarkan pemeriksaan RT-PCR yang sekaligus memberi petunjuk bahwa pajanan yang dialami adalah SARS-CoV-2.9 Langkah pertama merupakan bagian yang krusial dalam diagnosis okupasi, di mana langkah-langkah selanjutnya tidak dapat dilakukan bila diagnosis klinis sebagai langkah pertama belum dapat ditegakkan. Bila diagnosis klinis belum tegak maka pajanan yang diduga sebagai penyebab PAK sulit untuk ditetapkan.


Kasus pertama adalah Covid-19 pada perawat yang memiliki riwayat merawat pasien terkonfirmasi Covid-19 dalam kurun waktu 14 hari sebelum munculnya gejala. Dengan informasi tersebut, empat unsur penting dalam langkah penegakkan diagnosis okupasi terpenuhi, yaitu tegaknya diagnosis klinis berupa Covid-19, adanya kontak dengan pajanan SARS-CoV-2 saat merawat pasien Covid-19, munculnya gejala sesuai dengan waktu perkiraan kontak, serta terpenuhinya kualitas kontak untuk terjadinya infeksi.7,8 Pada kasus ini, penegakkan diagnosis okupasi tidak problematik karena langkah pertama sampai dengan langkah keempat telah menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat.


Penegakkan PAK juga dapat diperkuat oleh data epidemiologi dari berbagai studi. Tingginya angka kesakitan pada populasi pekerja tertentu dapat merupakan informasi berharga untuk mencurigai adanya PAK pada pekerjaan tertentu. Tingginya kejadian Covid-19 pada kelompok perawat merupakan salah satu data epidemiologi berharga untuk menduga PAK pada perawat yang menderita Covid-19. International Council of Nurses (ICN) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa perawat di fasilitas kesehatan merupakan kelompok tenaga kesehatan terbanyak yang mengalami Covid-19 akibat kerja.10 Kedekatan jarak dengan pasien serta lamanya waktu berada di dekat pasien merupakan faktor risiko terbesar yang mendukung tingginya angka penularan pada perawat.


Covid-19 pada kasus kedua tidak menunjukkan bukti adanya penularan di tempat kerja. Walaupun dr. P bekerja di rumah sakit, namun ia tidak memiliki riwayat merawat atau berada dalam situasi yang memungkinkan kontak dengan pasien terduga atau terkonfirmasi Covid-19. Rekan kerja dr. P juga tidak ada yang terkonfirmasi Covid-19 dalam kurun waktu 14 hari sebelum dr. P menunjukkan gejala. Di lain pihak, suami dr. P terkonfirmasi menderita Covid-19, yang gejalanya muncul 2 hari sebelum dr. P mengeluhkan gejala serupa, sehingga menguatkan adanya penularan di lingkungan domestik atau rumah tangga. CDC juga menjelaskan bahwa penularan dalam lingkungan rumah tangga merupakan kasus yang paling sering dan biasanya terjadi pada awal infeksi.11 Pada kasus ini, Covid-19 pada dr. P tidak dapat diklasifikasikan sebagai PAK.


Kasus ketiga merupakan kasus fatalitas Covid-19 akibat kerja. Pada kasus ini, penularan terjadi di UGD, di mana tenaga kesehatan akan sangat intens berada dekat dengan pasien untuk memberikan tindakan pertolongan dan menegakkan diagnosis. Sebuah penelitian di Switzerland melaporkan bahwa tenaga kesehatan di UGD memiliki waktu terpendek untuk menunjukkan indeks positif terjadinya transmisi dibanding aktivitas lainnya di rumah sakit, yaitu selama dua hari.12 Dokter juga termasuk kelompok tenaga kesehatan yang sangat rentan tertular Covid-19 di tempat kerja. Studi di Jerman menunjukkan bahwa kelompok dokter menderita lebih parah saat terinfeksi Covid-19. Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai tindakan medis dan pemeriksaan di area kepala yang menyebabkan peluang pajanan virus yang lebih besar pada dokter.13


Pembelajaran tambahan pada kasus ketiga adalah bahwa pekerja atau petugas yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, terjamin dalam menjalankan tugasnya, sejak berangkat kerja, saat bekerja dan kembali ke rumahnya. Tenaga kesehatan yang mengalami Covid-19 akibat kerja berhak mendapatkan kompensasi dalam bentuk; (1) Santunan Sementara Tidak Masuk Bekerja/STMB berupa kompensasi lama hari saat tenaga kerja dinyatakan dokter yang merawat belum dapat bekerja atau menjalani pengobatannya, (2) Santunan Cacat Sebagian Fungsi yaitu keadaan berkurang atau hilangnya sebagian fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya. Santunan ini diberikan apabila terjadi penurunan kemampuan fungsi organ tubuh sebagai dampak dari Covid-19 akibat kerja, berdasarkan perhitungan persentase cacat penurunan fungsi organ tubuh tersebut, kemudian (3) Santunan Meninggal akibat Covid-19 akibat kerja.1-3,14


Serial kasus ini memberikan gambaran risiko Covid-19 pada tenaga kesehatan ditinjau dari segi aspek perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja serta perlindungan dalam aspek ketenagakerjaan. Selain memberikan perlindungan bagi pekerja, penegakkan diagnosis okupasi juga dapat menjadi rujukan umpan balik atau evaluasi terhadap tindakan pencegahan yang sudah dilakukan di tempat kerja. Adanya PAK di kalangan pekerja merupakan sinyal diperlukannya peningkatan perlindungan bagi pekerja.


Ucapan Terima Kasih


Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada guru kami Dr. dr. Astrid Sulistomo, MPH, Sp.Ok. dan Dr. dr. Dewi Soemarko, MS, Sp.Ok. atas review dan masukan yang sangat bermanfaat sehingga artikel ini dapat dipublikasikan.


DAFTAR PUSTAKA


  1. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019. hukumonline.com/pusatdata. Accessed November 3, 2020. https://www. hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5c6280db02a31/node/183/peraturan-presiden-nomor-7-tahun-2019

  2. KMK 56, 2016 - Google Search. Accessed November 3, 2020. https://www.google.com/ search?q=KMK+56%2C+2016&oq=KMK+56%2C+2016&aqs=chrome..69i57.9122j0j15&sourceid=chrome&ie=UTF-8

  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.

  4. International Council of Nurses. Protecting nurses from COVID-19 a top priority: A survey of ICN’s national nursing associations. https://www.icn.ch/system/files/documents/2020-09/Analysis_COVID-19%20survey%20 feedback_14.09.2020.pdf

  5. PERDOKI (Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia). Accessed February 10, 2021. https://www.perdoki. or.id/public/publikasilain

  6. Backer JA, Klinkenberg D, Wallinga J. Incubation period of 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) infections among travellers from Wuhan, China, 20–28 January 2020. Euro Surveill. 2020;25(5): 2000062.

  7. McAloon C, Collins Á, Hunt K, et al. Incubation period of COVID-19: a rapid systematic review and meta-analysis of observational research. BMJ Open. 2020;10(8):e039652.

  8. Soemarko D, Sulistomo A. Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi Sebagai Penentuan Penyakit Akibat Kerja. Edisi ke-2. Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia; 2014.

  9. Coronavirus disease (COVID-19) – World Health Organization. Accessed November 9, 2020. https://www.who.int/ emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019

  10. Kambhampati AK, O’Halloran AC, Whitaker M, Magill SS, Chea N, Chai SJ, et al. COVID-19–Associated Hospitalizations Among Health Care Personnel — COVID-NET, 13 States, March 1–May 31, 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2020;69(43):1576-83.

  11. Grijalva CG, Rolfes MA, Zhu Y, McLean HQ, Hanson KE, Belongia EA, et al. Transmission of SARS-COV-2 Infections in Households — Tennessee and Wisconsin, April–September 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2020;69(44):1631-4.

  12. Canova V, Schläpfer HL, Piso RJ, et al. Transmission risk of SARS-CoV-2 to healthcare workers –observational results of a primary care hospital contact tracing. Swiss Medical Weekly. 2020;150(1718) :w20257.

  13. Nienhaus A, Hod R. COVID-19 among Health Workers in Germany and Malaysia. Int J Environ Res Public Health. 2020;17(13):4881.

  14. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. hukumonline.com/pusatdata. Accessed November 3, 2020. https://www. hukumonline.com/pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-

2 tampilan
bottom of page