top of page

Tata Laksana Herpes Zoster


Sumber: Medicinus Edisi Desember 2021 Volume 34, Issue 3

Fatimah Fitriani, Harijono Kariosentono, Budi Eko Prasetyorini, Putri Oktriana, Nathania Amelinda

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr. Moewardi/Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta


ABSTRAK


Herpes zoster (HZ) merupakan penyakit neurokutaneus yang disebabkan oleh reaktivasi dan multiplikasi varicella zoster virus (VZV) pada ganglion yang terinfeksi. Karakteristik klinis HZ berupa ruam unilateral dermatomal yang terasa nyeri. Ruam berupa vesikel berkelompok, makulopapular dengan dasar kemerahan terlokalisasi pada daerah persarafan ganglion. Herpes zoster menjadi penyakit yang umum terjadi dan berpotensi menyebabkan komplikasi serius yang memengaruhi kualitas hidup.

Kata kunci: herpes zoster, varicella zoster virus


ABSTRACT


Herpes zoster is a neurocutaneous disease caused by reactivation and multiplication of varicella zoster virus in infected ganglions. Herpes zoster is characterized by unilateral and dermatomal painful rash. The rash appears as erythematous maculopapular and vesicular lesion that are clustered within a single dermatome. Shingles is a common disease and it has potential serious complications that could affect quality of life.

Keywords: herpes zoster, varicella zoster virus

I. PENDAHULUAN


Herpes zoster (HZ) merupakan penyakit neurokutaneus yang disebabkan oleh reaktivasi dan multiplikasi varicella zoster virus (VZV) pada ganglion yang terinfeksi secara laten di akar dorsal serabut sensorik maupun ganglion saraf kranial. Karakteristik HZ berupa vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang terasa nyeri pada daerah persarafan ganglion yang bersifat unilateral dan dermatomal.1 Herpes zoster menjadi penyakit yang umum terjadi dan berpotensi menyebabkan komplikasi serius yang memengaruhi kualitas hidup.2


Insidensi global HZ rata-rata 3,4-4,82 per 1.000 jiwa setiap tahun, dan insidensinya lebih tinggi hingga 11 per 1.000 jiwa setiap tahun pada orang yang berusia 80 tahun.3 Insidensi HZ di Amerika Serikat dan Eropa sebesar 2,5 per 1.000 jiwa yang berusia 20-50 tahun, 5 per 1.000 jiwa pada rentang usia 51-79 tahun, dan 10 per 1.000 jiwa pada usia lebih dari 80 tahun.4,5 Predisposisi wanita lebih tinggi untuk mengalami kasus ini dibanding pria, dengan rerata umur yang terkena pada usia 70-80 tahun.2 Studi insidensi HZ pada periode 2011-2013 yang dilaporkan dari 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa kelompok yang paling sering mengalami HZ adalah kelompok usia 45-64 tahun, yaitu sebanyak 851 (37,95% dari total kasus HZ).6


Gejala HZ antara lain nyeri seperti terbakar, tertusuk-tusuk, atau gatal disertai vesikel bergerombol pada bagian tubuh tertentu. Manifestasi klinis HZ diawali dengan makula eritematosa dalam kurun waktu 12-24 jam yang kemudian berkembang menjadi vesikel berkelompok, unilateral dan tidak melewati garis tengah tubuh serta terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh satu ganglion sensorik.7,8 Gejala komplikasi yang paling sering terjadi adalah postherpetic neuralgia (PHN), termasuk nyeri diestetik (misalnya sensasi terbakar atau tertusuk, allodynia) yang menetap setelah lesi kulit sembuh. Komplikasi HZ terjadi pada 10-20% kasus HZ dan dapat meningkat insidensi serta keparahannya seiring bertambahnya usia.5,9


Terapi pada HZ bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan lesi, mengurangi keluhan nyeri akut, mengurangi risiko komplikasi PHN, dan memperbaiki kualitas hidup pasien.5 Tata laksana HZ didasarkan pada strategi 6A yaitu menilai pasien sejak awal dengan anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik, menilai pasien dengan lengkap berdasarkan pada kondisi khusus, tata laksana antivirus, obat pereda nyeri, obat antidepresi, dan konseling kecemasan.6 Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami tentang manajemen HZ sebagai panduan dalam mendiagnosis HZ secara dini agar dapat memberikan tata laksana yang tepat serta mencegah komplikasi yang lebih lanjut pada pasien.


II. ETIOLOGI


Varicella zoster virus (VZV) adalah nama lain dari human herpesvirus 3 (HHV-3), yakni jenis virus herpes yang menjadi penyebab dari 2 jenis penyakit yaitu cacar air (varicella) dan herpes zoster/HZ (shingles).10 Varicella zoster virus merupakan anggota keluarga herpesviridae, seperti virus herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, cytomegalovirus (CMV), Epstein-barr virus (EBV), human herpesvirus 6 (HHV-6), human herpesvirus 7 (HHV-7), dan human herpesvirus 8 (HHV-8).6,11


Varicella zoster virus merupakan jenis virus deoxyribonucleic acid (DNA), alphaherpesvirus yang memiliki besar genom 125.000 bp, berselubung, dengan diameter 80-120 nm. Virus ini memberi kode kurang lebih 70-80 protein, salah satunya enzim thymidine kinase yang rentan terhadap obat antivirus karena memfosforilasi aciclovir, sehingga menghambat replikasi virus DNA.10,6 Selubung protein virus diduga berperan dalam interaksi dengan molekul permukaan sel seperti reseptor mannose-6-phospate atau glikoprotein myelin. Glikoprotein VZV B (gB), gH dan L berfungsi sebagai kompleks inti dan glikoprotein selubung lain berfungsi sebagai protein tambahan. Tegument protein termasuk immediate-early protein 62 (IE62) sebagai protein utama berfungsi sebagai faktor transkripsi atau disebut transaktivator virus, keluar dan akan dipindahkan ke inti sebelum terjadi sintesis protein.10


III. PATOGENESIS


Perjalanan penyakit HZ meliputi fase viremia dan fase laten. Selama fase viremia, VZV dapat menyerang sel epidermal, menyebabkan terjadinya varicella yang bermanifestasi sebagai vesikel yang tersebar (generalisata), kemudian masuk ke serabut saraf sensorik pada lokasi mukokutan dan berpindah secara retrograde akson ke akar dorsal sensorik ganglion pada spinal cord, di mana virus dapat menetap dalam fase laten di saraf kranial, akar dorsal, dan ganglion otonom, khususnya pada badan sel neuron, karena lokasi tersebut terkait dengan lokasi tersering terkena varicella.11,12 Reaktivasi VZV dalam fase laten dapat muncul spontan maupun diinduksi oleh stress, demam, terapi radiasi, trauma lokal, atau agen immunosuppressant.5




Gambar 1. Perbedaan fase infeksi varicella zoster virus (VZV). Infeksi primer VZV pada seseorang yang rentan akan menyebabkan penyakit cacar air (varicella). Varicella zoster virus dapat menetap pada periode laten di ganglion saraf dan mengalami reaktivasi serta replikasi virus yang kemudian menyebar pada kulit yang diinervasi oleh neuron lalu menyebabkan penyakit herpes zoster. Pertambahan usia dan kondisi immunocompromised menjadi faktor risiko untuk terjadi komplikasi dari infeksi VZV. Postherpetic neuralgia dapat juga terjadi tanpa adanya faktor predisposisi.5


Pada fase laten, DNA VZV berbentuk sirkuler dan tidak bereplikasi, namun saat terjadi reaktivasi, virus terus mengalami replikasi pada dasar ganglion dorsalis, menyebabkan ganglion menjadi nekrotik dan hemoragik serta menginduksi ganglionitis yang ditandai dengan rasa nyeri (Gambar 1).5 Pada saat terjadi ganglionitis terjadi regulasi dari MHC kelas I dan protein II, infiltrasi sel T CD4+ dan CD8+. Ganglionitis dan infiltrasi sel T CD8+ dapat menetap setelah terjadi HZ.11 Inflamasi neuronal dan nekrosis dapat menyebabkan neuralgia yang semakin memberat seiring dengan penyebaran virus di sepanjang saraf sensoris. Cairan dari vesikel HZ dapat menyebarkan VZV pada individu seronegatif sehingga terjadi infeksi primer yaitu cacar air (varicella).13 Varicella zoster virus dapat bertahan hidup dalam lingkungan intraseluler di tubuh manusia dengan target utama pada sel limfosit T, sel epitel, dan ganglion, serta berbeda dengan herpes simplex virus (HSV).11


IV. DIAGNOSIS


a. Manifestasi klinis


Manifestasi klinis HZ dapat bervariasi antarindividu. Pada anak dan usia dewasa muda umumnya tidak terjadi manifestasi klinis yang parah.12 Herpes zoster dimulai dengan gejala prodromal yang dapat menyerupai gejala dari penyakit lain yang melibatkan organ viseral seperti infark miokardium, cholecystitis, atau kolik ginjal sehingga dapat menyulitkan penegakan diagnosis dan menunda tata laksana yang tepat.5 Gejala prodromal dapat berupa nyeri kepala, fotofobia, malaise, dan demam. Sensasi tidak nyaman pada kulit menjadi gejala yang paling umum terjadi.12


Gejala prodromal tidak umum pada pasien dengan immunocompromised yang berusia di bawah 30 tahun, namun mayoritas terjadi pada penderita yang berusia >60 tahun. Nyeri dan parestesia dapat mendahului ruam HZ dari hari pertama sampai hari ketiga, seminggu, atau lebih lama.9 Nyeri dan parestesia menjadi salah satu manifestasi klinis dari zoster tanpa kelainan kulit (zoster sine herpete) atau neuralgia segmental akut tanpa diikuti erupsi kulit. Rasa tidak nyaman seperti sensasi terbakar, menusuk, kulit menjadi lebih peka, gatal yang tidak tertahankan, dengan intensitas yang bervariasi dapat terasa superfisial sampai dalam.12 Nyeri dapat terasa terus menerus maupun hilang timbul, dan dapat disertai dengan kekakuan atau hiperestesia dari dermatom kulit yang terkena.9 Pada pasien dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening pada area yang terkena.4 Karakteristik HZ yaitu predileksi dapat mengenai bagian tubuh manapun, paling banyak terutama pada daerah torakal, servikal, dan oftalmika.4 Distribusi ruam pada HZ bersifat unilateral dan terbatas pada kulit yang dipersarafi ganglion sensorik tunggal serta tidak melewati garis tengah tubuh. Lesi kulit yang tampak dapat berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritem (Gambar 2).5



b. Diagnosis


Pada tahap awal perkembangan lesi HZ, tampak makula eritem yang berkembang menjadi papul, kemudian dalam 1-2 hari berkembang menjadi vesikel dan akan lebih jelas dalam 3-4 hari. Lesi pustular terjadi mulai satu minggu setelah onset kemerahan dan dalam 3-5 hari menjadi ulkus dan krusta. Krusta selesai dalam kurun waktu 3-4 minggu. Skar, lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi dapat menetap setelah herpes zoster sembuh.14 Pada kelompok usia lanjut, erupsi lokal kadang menjadi nekrotik, sembuh dalam beberapa minggu, serta diikuti skar yang berat. Membran mukosa yang termasuk dalam area dermatom juga dapat terkena.4


Pada anak dan usia dewasa muda dengan imunitas yang baik, HZ umumnya dapat sembuh tanpa gejala sisa. Intensitas rasa nyeri, lesi kulit, dan derajat keparahan komplikasi HZ dapat memberat seiring dengan bertambahnya usia dan jika terdapat gangguan pada imunitas.5 Kekambuhan herpes zoster umumnya jarang terjadi dan terbatas pada pasien immunocompromised.15


Diagnosis klinis HZ dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vesikel berkelompok dengan dasar berwarna kemerahan, unilateral dan tersebar dermatomal. Pada karakteristik dengan ruam yang tidak khas, HZ diseminata, atau dengan lesi yang minimal maupun tidak terdapat kelainan kulit; zosteriform herpes simplex, kemerahan karena enterovirus, poxvirus, zoster tanpa kelainan kulit (zoster sine herpete) namun kadang ditandai adanya paralisis wajah, meningitis, stroke, myelitis, dan infeksi gastrointestinal. 11


c. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis HZ. Pemeriksaan sederhana menggunakan apusan Tzank dengan pewarnaan Giemsa dapat membantu menegakkan diagnosis secara cepat untuk mengidentifikasi adanya perubahan sitologi sel epitel yang menunjukkan gambaran multinucleated giant sel.5


Pemeriksaan vesikel dengan pewarnaan immunofluorescence atau immunoperoxidase untuk mengamati material sel yang terdeteksi VZV lebih signifikan dan lebih cepat dibandingkan kultur.9 Pemeriksaan serum antibodi memberikan hasil yang akurat namun membutuhkan waktu hingga terbentuk antibodi pada pasien. Serum antibodi anti-IgM VZV umumnya tidak membantu dan tidak spesifik.11


Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) yang digunakan untuk mengidentifikasi antigen/ asam nukleat VZV.6,16 Material yang diambil berasal dari vesikel (swab, cairan), saliva pasien yang tidak terdapat gejala manifestasi kulit, dan cairan serebrospinal jika terdapat gejala tanda neurologis.5 Pemeriksaan DNA melalui PCR memiliki sensitivitas dan specificity yang paling tinggi dan merupakan baku emas untuk diagnosis dengan mengetahui genom dari VZV.16,17 Kultur virus merupakan pemeriksaan yang sangat spesifik namun tidak sensitif, selain itu hasilnya baru bisa didapatkan lebih dari 1 minggu.17


Pemeriksaan serologis dapat membantu penegakan diagnosis VZV bila di dalam serum convalescence terdapat peningkatan 4 kali lipat titer VZV relatif terhadap serum akut. PCR merupakan pemeriksaan yang sangat sensitif, relatif cepat, dan mulai banyak digunakan sebagai metode deteksi VZV. PCR juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya resistansi aciclovir.11


d. Diagnosis banding


Diagnosis banding HZ dapat dibedakan berdasarkan stadium sebelum erupsi dan stadium erupsi.6,9 Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk membedakan lesi HZ dengan diagnosis banding yang lain (Tabel 1).




V. KOMPLIKASI HERPES ZOSTER


Postherpetic neuralgia


Komplikasi yang umum terjadi dari penyakit herpes zoster (HZ) adalah postherpetic neuralgia (PHN), yang merupakan sejenis nyeri neuropati yang menetap selama 90 hari atau lebih setelah ruam kemerahan sembuh. Nyeri dapat menetap dalam waktu beberapa bulan atau tahun, serta berdampak pada kualitas hidup penderita karena mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari, menyebabkan anoreksia, kehilangan berat badan, lemas, mengganggu fungsi sosial, produktivitas, dan menyebabkan dependensi.18 Terdapat dua bentuk karakteristik nyeri pada PHN yaitu nyeri terus menerus dengan penurunan sensasi raba, atau bersifat hilang timbul dengan rasa gatal disertai parestesia. Nyeri tersebut menjadi keluhan yang paling mengganggu dan terjadi 90% pada orang dengan PHN.5 Faktor risiko terjadinya PHN antara lain usia di atas 40 tahun, keparahan nyeri pada kondisi akut, keparahan lesi kulit kemerahan, dan keparahan gejala prodromal dengan lokasi paling berisiko yaitu daerah trigeminal.14


Kelemahan otot


Selain nyeri, HZ juga dapat menyebabkan disabilitas permanen, seperti komplikasi pada mata, komplikasi neurologis (kelumpuhan saraf perifer dan kranial, defisit motorik, paresis) yang diikuti rasa nyeri pada daerah lesi.6 Herpes zoster yang mengenai regio sakrum dapat bermanifestasi menjadi retensi urin dan kelainan defekasi.4,11 Pada kondisi herpes sine herpete dapat terjadi Bell’s palsy, sindrom Ramsay Hunt (bermanifestasi berupa adanya vesikel pada kanalis auditori eksternal, hilangnya sensasi rasa 2/3 anterior lidah, kelemahan wajah), transverse myelitis, meningoencephalitis, sindrom yang melibatkan arteri serebral atau disebut varicella zoster virus vasculopathy dapat menyebabkan sindrom stroke.5,19,18


Herpes zoster diseminata


Insidensi keparahan HZ meningkat pada kondisi kegagalan imunitas seperti kondisi keganasan (limfoma) atau saat seseorang menjalani terapi dengan agen immunosuppressant.19 Lesi kulit yang terjadi dapat tersebar, berjumlah lebih dari 20 lesi atau meluas dari dermatom primer, serta terdapat keterlibatan organ dalam berupa pneumonia, hepatitis, serta peradangan otak.4,14


VI. TATA LAKSANA HERPES ZOSTER


Pada dasarnya, penyakit herpes zoster bersifat self-limiting atau dapat sembuh dengan sendirinya.4 Terapi pada HZ bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan lesi, mengurangi keluhan nyeri akut, mengurangi risiko komplikasi PHN, dan memperbaiki kualitas hidup pasien.5,14 Tata laksana HZ didasarkan pada strategi 6A yaitu:


Attract patient early (penilaian pasien sejak dini dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik)

Assess patient fully (menilai pasien dengan lengkap berdasarkan pada kondisi khusus)

Antiviral therapy (pengobatan dengan antivirus)

Analgesic (tata laksana nyeri)

Antidepressant dan anticonvulsant (pengobatan dengan antidepresan dan antikonvulsan pada kasus yang membutuhkan)

Allay anxiety-counselling atau konseling kecemasan.6 Penjelasan mengenai strategi 6A pada penatalaksanaan HZ antara lain:


1. Penilaian pasien sejak dini (attract patient early)


Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosis yang benar sehingga dapat pasien menerima terapi


yang tepat. Pengobatan dilakukan dalam 72 jam setelah muncul erupsi kulit untuk mendapatkan hasil yang optimal.6


2. Penilaian pasien secara lengkap (assess patient fully)


Penilaian pasien secara lengkap yaitu dengan memperhatikan kondisi khusus pada pasien seperti usia lanjut, risiko PHN, risiko komplikasi mata, sindrom Ramsay Hunt, kondisi immunocompromised, defisit motorik, dan kemungkinan komplikasi organ dalam berupa pneumonia, hepatitis, dan peradangan otak.6


3. Pengobatan antivirus (antiviral therapy)


Tujuan utama pemberian obat antivirus adalah untuk menurunkan tingkat keparahan, memperpendek durasi lesi, dan mencegah penyebaran lesi agar terbatas pada dermatom primer.9 Berbagai studi mengenai tata laksana HZ merekomendasikan pemberian antivirus dalam waktu 72 jam sejak berkembangnya lesi kulit.5,20 Pemberian antivirus dapat diberikan lebih dini sejak muncul lesi pada beberapa kondisi seperti usia lebih 50 tahun, risiko terjadi PHN, sindrom Ramsay Hunt, kondisi immunocompromised dengan penyebaran generalisata, HZ dengan komplikasi, serta pada anak-anak dan wanita hamil dengan dosis obat yang tertera pada Tabel 2.6 Antivirus pada infeksi HZ memiliki target kerja untuk menghambat aktivitas DNA virus dalam proses transkripsi sehingga dapat menekan replikasi virus. Antivirus yang memiliki mekanisme tersebut yaitu golongan analog nukleosida seperti aciclovir, famciclovir, valaciclovir, brivudin, dan foscarnet menunjukkan efikasi dalam tata laksana infeksi VZV.9,21 Terapi sistemik baik melalui rute per oral maupun parenteral lebih diutamakan dibandingkan terapi topikal karena profil farmakokinetik yang lebih baik serta mampu mengatasi keterbatasan adanya barrier untuk masuknya obat antivirus ke jaringan pada sisi-sisi replikasi VZV.9


Aciclovir, famciclovir, dan valaciclovir merupakan obat yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi HZ pada pasien immunocompetent dan memberikan hasil penurunan keparahan penyakit, durasi lesi kulit, dan rasa nyeri.5 Aciclovir merupakan analog guanosine yang secara selektif difosforilasi oleh thymidine kinase VZV (suatu substrat lemah untuk thymidine kinase seluler) dan menjadi terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim seluler kemudian dikonversikan dari aciclovir monophosphate menjadi aciclovir triphosphate yang memengaruhi sintesis DNA virus dengan menghambat DNA virus.9 Aciclovir tersedia dalam bentuk sediaan oral, topikal, maupun intravena. Aciclovir oral memiliki bioavailabilitas yang rendah dengan tingkat absorpsi hanya berkisar 15-30% . Dosis aciclovir pada HZ seperti tercantum dalam Tabel 2. Aciclovir tidak dapat mencegah terjadinya PHN.22 Aciclovir intravena dapat diberikan pada kondisi HZ dengan keterlibatan organ dalam, retinitis, dan pasien immunocompromised yang mengalami HZ (setelah 4 bulan pascatransplantasi sel punca alogenik, pasien dengan graft versus host disease (GVHD), transplantasi sel darah, pasien yang mengonsumi obat penolakan transplantasi).5,22 Aciclovir intravena dilarutkan dalam 100 ml NaCl 0,9% dan diberikan melalui infus selama satu jam.6




Valaciclovir dan famciclovir bekerja sebagai obat antivirus dengan penyerapan yang lebih baik daripada aciclovir, sehingga membutuhkan dosis yang lebih kecil. Valaciclovir dikonversi secara enzimatis menjadi aciclovir setelah penyerapan. Famciclovir sebagai prodrug dari penciclovir memiliki mekanisme aksi serupa aciclovir dan aktivitas antivirus lain untuk melawan VZV dan HSV.5,9 Famciclovir atau valaciclovir lebih disukai daripada aciclovir untuk terapi oral pada infeksi VZV.


Brivudin merupakan suatu analog uracil dengan aktivitas antivirus yang tinggi terhadap VZV. Meskipun efektif dalam terapi herpes zoster dan terdaftar untuk digunakan di luar Amerika Serikat, obat ini tidak terdaftar di Amerika Serikat karena potensi interaksi letal dengan 5-fluorouracil. Foscarnet adalah analog pyrophosphate anorganik yang menghambat replikasi VZV secara in vitro. Aktivitas antivirus obat ini terjadi melalui penghambatan selektif pada ikatan sisi pyrophosphate DNA polymerase spesifik virus dan reverse transcriptase pada konsentrasi yang tidak memberikan efek pada DNA polymerase. Foscarnet tidak membutuhkan fosforilasi thymidine kinase untuk aktivasi, dan saat aktif foscarnet efektif juga terhadap VZV yang resistan terhadap aciclovir, sehingga dapat mengurangi aktivitas thymidine kinase.9 Resistansi aciclovir pada HZ telah dilaporkan pada pasien AIDS karena terjadi mutasi pada gen thymidine kinase VZV, sehingga terjadi resistansi silang pada ganciclovir, valaciclovir, famciclovir, dan penciclovir. Kasus resistansi ini umumnya memberikan respons dengan terapi foscarnet 40 mg intravena tiap 8 jam, meskipun infeksi ini secara umum dapat mengalami rekurensi setelah terapi berakhir.9


4. Pengobatan analgesik


Derajat nyeri pada HZ dapat dinilai dengan skala nyeri yang terstandar.9 Beberapa macam obat antinyeri dan dosis yang dapat digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Nyeri intensitas sedang dapat diobati dengan paracetamol dan obat antiinflamasi nonsteroid. Obat tersebut tidak dapat mengurangi nyeri pada PHN, namun dapat digunakan sebagai obat lini pertama untuk mengontrol nyeri pada HZ.17 Nyeri akut yang berat menjadi faktor risiko terjadinya PHN, yang berkontribusi pada terjadinya sensitisasi sentral serta menyebabkan nyeri kronis, sehingga perlu dipertimbangkan untuk pemberian analgesik opioid seperti tramadol dan codeine.6 Nyeri akut yang lebih berat dapat menggunakan opioid aksi pendek.17 Studi acak dengan placebo melaporkan bahwa opioid lebih efektif dibandingkan gabapentin untuk nyeri terkait HZ.18


5. Pengobatan antidepresan/antikonvulsan (antidepressant/ anticonvulsant)


Antidepresan trisiklik berperan untuk mengontrol nyeri pada HZ dan PHN.17 Antidepresan trisiklik dosis rendah menunjukkan efikasi yang cukup baik dan bekerja melalui mekanisme tidak langsung dari efek antidepresannya. Antidepresan trisiklik yang sering digunakan yaitu amitriptyline dapat secara signifikan menurunkan nyeri pada PHN dibandingkan nortriptyline dan desiramine karena penggunaan keduanya berkaitan dengan efek samping kolinergik.17 Pada penelitian acak terkontrol ditemukan bahwa terapi kombinasi nortriptyline dan gabapentin dapat menurunkan rasa nyeri lebih dari penggunaan tunggal agen tersebut. Pada salah satu studi terbuka, penggunaan gabapentin bersama dengan valaciclovir selama periode akut herpes zoster lebih efektif dalam mencegah terjadinya PHN dibandingkan penggunaan valaciclovir saja. Meskipun pengobatan dengan prednisone bersama dengan aciclovir dapat mengurangi nyeri akut pada pasien dengan herpes zoster, beberapa penelitian terkontrol gagal menunjukkan adanya perbedaan dalam hal insidensi atau derajat keparahan PHN dengan penggunaan kombinasi obat ini dibandingkan penggunaan monoterapi aciclovir.5


6. Konseling mengatasi kecemasan (allay anxiety-counselling)


Edukasi mengenai penyakit HZ kepada pasien bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan memberikan pemberian informasi tentang penyakit, risiko transmisi, komplikasi dan rencana terapi kepada pasien.14 Edukasi untuk menjaga kondisi mental dan aktivitas fisik agar tetap optimal, memberikan perhatian dalam rangka membantu pasien mengatasi penyakit HZ, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.6,14 Pasien diberikan edukasi untuk tetap menjaga lesi kulit kemerahan tetap bersih dan kering untuk mengurangi risiko superinfeksi bakteri.14


VII. PENCEGAHAN HERPES ZOSTER


Vaksin varicella pertama kali dikembangkan di Jepang oleh Takahashi dan rekan-rekannya pada tahun 1974. Varicella diisolasi dari anak laki-laki dengan infeksi varicella, kemudian dilakukan kultivasi selama 33 kali melalui fibroblast manusia dan marmut pada suhu 34oC. Reaktivasi VZV berkaitan dengan penurunan imunitas yang diperantarai oleh sel, sehingga vaksin varicella diteliti sebagai salah satu metode profilaksis untuk HZ.11 The Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) merekomendasikan pemberian vaksin dosis tunggal pada semua individu imunokompeten yang berusia ≥60 tahun, terlepas dari adanya riwayat terkena varicella atau HZ sebelumnya. Dosis pemberian vaksin HZ dapat dilihat pada Tabel 4.22


Vaksin HZ rekombinan sebaiknya diberikan untuk semua pasien psoriasis dan psoriasis artritis pada usia >50 tahun dan <50 tahun yang tergolong kelompok risiko tinggi.23 Vaksin ini tidak diindikasikan pada kondisi HZ aktif atau PHN. Kontraindikasi vaksin HZ yaitu penyakit imunodefisiensi primer (kegagalan imunitas humoral termasuk hypogammaglobulinemia), keganasan hematologi, transplantasi sel darah dalam waktu 24 bulan, acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dengan nilai CD4+ ≤200 mm3 atau ≤15% dari total limfosit), penggunaan obat immunosuppressant, termasuk penggunaan steroid dosis tinggi (setara prednisone ≥20 mg/hari atau pasien yang mendapat terapi agen biologis (infliximab, adalimumab dan etanercept). Vaksin dapat dilakukan setelah penghentian obat tersebut minimal 1 bulan. Kehamilan sebaiknya dihindari selama 1 bulan setelah dilakukan vaksinasi HZ.22,24



VIII. PENCEGAHAN DAN TATA LAKSANA POSTHERPETIC NEURALGIA


Postherpetic neuralgia (PHN) dapat terjadi karena inflamasi ganglion sensorik dan struktur saraf yang berdekatan, sehingga penggunaan glucocorticoid diperlukan selama fase akut HZ. Tujuan tata laksana PHN adalah agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari- hari tanpa terganggu. Glucocorticoid yang dikombinasikan dengan antivirus efektif untuk nyeri akut akibat paralisis saraf fasialis dan polineuritis kranial.9 Terapi farmakologi lini pertama dapat dilihat dalam Tabel 5.6 Terapi kombinasi gabapentin dan nortriptylin, atau opiate dan gabapentin terbukti lebih efektif untuk PHN dibandingkan monoterapi, meskipun memiliki potensi efek samping yang lebih tinggi.18 Terapi lain yang digunakan dalam penanganan PHN meliputi analgesik seperti paracetamol jika timbul nyeri ringan, dan dapat digunakan opioid pada PHN dengan nyeri sedang-berat.8


Terapi topikal menggunakan lidocaine topikal menjadi salah satu pilihan terapi untuk mengontrol nyeri pada kasus PHN. Penggunaannya tergolong mudah dan memiliki potensi efek samping sistemik yang rendah.4,17 Selama fase akut herpes zoster dapat diberikan terapi topikal berupa kompres dingin serta losion calamine untuk mengurangi gejala dan mengeringkan lesi vesikel. Krim dan losion berisi glucocorticoid dan salep oklusif sebaiknya tidak digunakan. Terapi topikal dengan agen antivirus tidak efektif. Salicylic acid sebaiknya dihindari terkait terjadinya kemungkinan sindrom Reye.9 Capsaicin patch 8% baru-baru ini disetujui oleh FDA sebagai terapi PHN, data menunjukkan penggunaanya dapat menurunkan rasa nyeri hingga 12 minggu setelah digunakan selama 1 jam.5 Suatu percobaan acak terkontrol menunjukkan efikasi perbaikan nyeri PHN dengan pengobatan gabapentin, antidepresan trisiklik, analgesik opioid, tramadol dan capsaicin.9



Terapi lain dalam tata laksana PHN yaitu low level laser therapy (LLLT) yang termasuk dalam terapi non-invasif, yaitu dengan menggunakan sinar inframerah dengan energi rendah dari laser. LLLT dalam bidang kulit biasanya digunakan untuk PHN dan penyembuhan luka. Untuk saat ini, LLLT terbukti efektif untuk mengurangi nyeri seperti neuralgia trigeminal, nyeri neuropati, dan PHN.25


IX. PROGNOSIS


Prognosis HZ pada lesi yang mengenai organ dalam seperti pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi dengan jumlah limfosit menurun menjadi <500/µl menunjukkan angka mortalitas mencapai 30%. Varicella pneumonia dapat muncul 3-7 hari setelah serangan infeksi kulit dan berlangsung selama 2-4 minggu. Gejala kelainan sistem saraf pusat dapat muncul pada 4-8 hari setelah infeksi kulit dan memberikan prognosis yang buruk.6


X. KESIMPULAN


Herpes zoster (HZ) merupakan infeksi virus yang secara umum bersifat self-limiting, dikarakterisasi dengan ruam yang terasa sangat nyeri, membawa risiko infeksi sekunder, dan 20% risiko komplikasi berupa postherpetic neuralgia (PHN). Perlu dilakukan usaha preventif serta tata laksana yang komprehensif pada kasus infeksi untuk meminimalisasi dampak penyakit terhadap kualitas hidup selama dan pascainfeksi. Tujuan dari tata laksana HZ adalah untuk mempercepat proses penyembuhan lesi, mengurangi keluhan nyeri akut, mengurangi risiko komplikasi PHN, serta memperbaiki kualitas hidup pasien. Pendekatan 6A dapat menjadi panduan untuk tata laksana komprehensif pada kasus HZ, yang mencakup penilaian pasien sejak dini dengan anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis, menilai pasien dengan lengkap berdasarkan pada kondisi khusus, pengobatan antivirus, serta tambahan terapi berupa pengobatan analgesik, pengobatan antidepresan, dan konseling kecemasan.


DAFTAR PUSTAKA


  1. Tricco AC. Efficacy, effectiveness, and safety of herpes zoster vaccines in adults aged 50 and older: systematic review and network meta-analysis. Br Med J. 2018;363(1):1–12.

  2. Chen L, Arai H, Chen Y, Chou M, Djauzi S, Dong B, et al. Looking back to move forward: a twenty-year audit of herpes zoster in Asia-Pacific. BMC Infect Dis. 2017;17(1):1–39.

  3. Johnson RW, Alvarez-Pasquin M, Bijl M, Franco E, Gaillat J, Clara JG, et al. Herpes zoster epidemiology, management, and disease and economic burden in Europe: a multidisciplinary perspective. Ther Adv Vaccines. 2015;3(4):109–20.

  4. Sterling JC. Viral Infection. In: Griffith, Christopher E., Barker, Jonathan., Bleiker, Tanya., Chalmers, Robert., Creamer D, editor. Rook’s Textbook of Dermatology. 9th ed. USA: Wiley; 2016. pp.597–601.

  5. Mendoza, Natalia., Madkan, Vandana., Sra, Karan., Tyring, Beau Willison., Morrison, L Katie., Stephen K. Human Herpesviruses. In: Bolognia, Jean L., Jorizzo JL, editor. Dermatology. 3rd ed. USA: Elsevier; 2012. pp.1321–44.

  6. Pusponegoro EH. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Nilasari H, editor. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. pp.1–60.

  7. Hidayati N. Herpes Zoster. In: Daili SF, editor. Manifestasi dan tatalaksana kelainan kulit dan kelamin pada pasien HIV. Vol 1.Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2018. pp.113–32.

  8. Werner R. Management of Herpes Zoster. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2016;31(1):20–9.

  9. Levin, Myron J, Schmader, Kenneth E, Oxman MN. Varicella and Herpes Zoster. In: Kang S et al, editor. Fitzpatrick’s Dermatology.

  10. 9th ed. New York: Mc Graw Hill; 2019. pp.3035–64.

  11. Zerboni L, Sen N, Oliver SL, Arvin AM. Molecular mechanism of Varicella zoster Virus Pathogenesis. Front Cell Infect Microbiol. 2014;12(3):197–210.

  12. Gershon AA, Breuer J, Cohen JI, Cohrs RJ, Gershon MJ, Gilden D, et al. Varicella zoster virus infection. Nat Rev Dis Prim. (1506):1–41.

  13. Gerberding JL. Prevention of Herpes Zoster Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) [Internet]. North Carolina; 2008. Available at: www.cdc.gov/mmwr

2 tampilan
bottom of page