Sumber: Medicinus Edisi Desember 2021 Volume 34, Issue 3
Dr. dr. Binarwan Halim, M.Ked(OG), MKM, Sp. OG(K), FICS1,2,3, dr. Timothy Adiwinata3
1. Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik, Medan
2. Fakultas Kedokteran Universitas Prima Indonesia, Medan
3. Klinik IVF Halim Fertility Center, RSIA Stella Maris, Medan
ABSTRAK
Endometriosis merupakan penyakit ginekologi jinak yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif dengan insidensi sebesar 10%. Banyak teori mengenai terjadinya endometriosis, dan sampai sekarang etiopatogenesis kondisi ini masih kontroversial. Memahami berbagai kemungkinan patogenesis endometriosis dapat menjadi dasar tata laksana kondisi ini. Manajemen terapi saat ini masih berdasarkan gejala utama yang dialami oleh wanita dengan endometriosis, berupa nyeri dan infertilitas. Sejumlah terapi telah dikembangkan berdasarkan patogenesis endometriosis, ditinjau dari aspek imunologi, angiogenik, hormonal, genetik, neurogenesis lokal, serta sensitisasi sentral, namun hingga saat ini terapi yang ideal dan bersifat kuratif untuk endometriosis masih belum didapatkan.
Kata kunci: endometriosis, infertilitas, tata laksana terkini
ABSTRACT
Endometriosis is a benign gynecological disease that is often found among women in reproductive age with 10% of incidence. There are many theories regarding development of endometriosis, and to date the etiopathogenesis of this disease is still controversial. Understanding the various pathogenesis of endometriosis is important for the management of endometriosis. The current management of endometriosis is still focused on the main symptoms experienced by the patients, such as pain and infertility. A number of therapeutic approaches have been developed based on the pathogenesis of endometriosis, in terms of immunological, angiogenic, hormonal, genetic, local neurogenesis, and central sensitization aspects. However, the ideal and curative treatment for endometriosis has not been found.
Keywords: endometriosis, infertility, current management
PENDAHULUAN
Endometriosis merupakan penyakit ginekologi jinak yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif dengan insidensi sebesar 10%. Beberapa teori patogenesis endometriosis telah diajukan, pemahaman patogenesis yang baik dapat meningkatkan pilihan pengobatan yang ada saat ini dan menjadi dasar pengembangan terapi baru. Manajemen terapi endometriosis saat ini masih berfokus pada penanganan gejala utama yang dialami pasien, yaitu nyeri dan infertilitas. Pengobatan nyeri terkait endometriosis saat ini didasarkan pada penekanan produksi estrogen, yang relatif masih memiliki beberapa keterbatasan.1 Pengaruh endometriosis terhadap infertilitas juga merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan, karena data menunjukkan bahwa endometriosis ditemukan pada 33% wanita dengan infertilitas.2 Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan minat dalam pengembangan dan pengujian farmakoterapi baru untuk endometriosis dengan target terapi yang beragam, melibatkan aspek imunologi, angiogenik, hormonal, genetik, neurogenesis lokal, serta sensitisasi sentral dari patogenesis penyakit endometriosis, sehingga terapi ini memiliki potensi untuk lebih baik dalam menargetkan mekanisme yang dapat menghasilkan regresi penyakit.
DEFINISI
Endometriosis adalah penyakit kronis yang ditandai dengan keberadaan jaringan endometrium yang terdiri dari kelenjar dan stroma, di luar rongga endometrium, yang berhubungan dengan timbulnya nyeri panggul dan infertilitas. Lesi endometriosis ektopik ini banyak ditemukan di rongga panggul seperti pada ovarium, ligamentum, peritoneum, usus, dan kandung kemih.3–5 Definisi klasik yang sudah disebutkan sebelumnya sudah tidak lagi mencerminkan ruang lingkup dan manifestasi penyakit yang sebenarnya. Saat ini endometriosis lebih dianggap sebagai penyakit sistemik daripada penyakit lokal pada panggul, karena endometriosis juga memengaruhi metabolisme di hati dan jaringan adiposa sehingga mencetuskan kondisi inflamasi sistemik serta mengubah ekspresi gen di otak yang menyebabkan sensitisasi nyeri dan gangguan mood.6
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi dan insidensi endometriosis sulit untuk dihitung secara tepat karena saat ini belum terdapat metode diagnostik noninvasif yang dapat dilakukan dengan cepat. Perkiraan terbaik yang dapat diambil sebagai acuan adalah sekitar 10% wanita usia reproduktif menderita endometriosis,7 atau secara kasar dapat diperkirakan terdapat 190 juta wanita usia reproduktif yang menderita endometriosis di seluruh dunia berdasarkan data populasi wanita usia reproduktif di dunia dari World Health Organization (WHO) tahun 2021.8 Prevalensi endometriosis berkisar antara 2-11% pada wanita asimtomatik, 5-50% pada wanita dengan infertilitas, 5-21% pada pasien wanita yang menjalani rawat inap dengan indikasi nyeri pelvis. Untuk penderita endometriosis simtomatik, prevalensi berkisar antara 49-75% pada wanita dengan nyeri pelvis kronik.7
FAKTOR RISIKO
Diagnosis yang terlambat dan onset gejala endometriosis dapat mengakibatkan tertundanya penanganan endometriosis secara dini sehingga memungkinkan perkembangan endometriosis menjadi derajat berat.7,9 Profil genetik, aktivitas hormon, proses inflamasi, dan imunologi memainkan peran penting dalam manifestasi dan progesivitas endometriosis.10 Beberapa penelitian mempelajari kaitan antara faktor risiko endometriosis yang spesifik dalam kelompok usia tertentu.
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Perjalanan penyakit endometriosis melibatkan interaksi endokrin, imunologi, proses inflamasi, dan proses proangiogenik.5 Belum dapat ditentukan secara pasti apakah interaksi faktor-faktor tersebut bersifat kausal atau pendukung proses patogenesis dan patofisiologi endometriosis. Walaupun perjalanan penyakit endometriosis belum sepenuhnya dipahami, namun beberapa teori berikut ini telah diajukan untuk menggambarkannya.
Teori Menstruasi Retrograde
Teori menstruasi retrograde dikemukakan oleh Sampson.12 Menstruasi retrograde menyatakan bahwa jaringan endometrium yang dilepaskan karena menstruasi diangkut melalui saluran tuba ke dalam rongga peritoneum di mana terjadi implantasi jaringan endometrium ektopik pada permukaan organ-organ di dalam rongga panggul.4
Teori Metaplasia Selomik
Endometriosis dapat ditemukan juga di diafragma, pleura, paru-paru, dan perikardium, di mana menstruasi retrograde tidak terjadi. Kondisi ini mengarah pada konsep metaplasia selomik dalam patogenesis endometriosis.13 Teori metaplasia selomik menyatakan bahwa endometriosis dihasilkan dari perubahan metaplastik spontan pada sel mesotel yang berasal dari epitel selomik yang terletak di peritoneum dan pleura.12
Teori Metastasis
Meskipun metaplasia selomik dapat menjelaskan endometriosis di rongga panggul, rongga dada, saluran kemih dan pencernaan, kanalis inguinalis, dan umbilikus, beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa penyebaran dapat terjadi melalui jalur vaskular atau limfatik dari sel-sel endometrium.12
Teori Embryonic Rest
Jaringan endometrium ektopik juga pernah terdeteksi pada janin perempuan. Sel-sel residual duktus Wolffian atau Mullerian tidak terobliterasi dan berkembang menjadi lesi endometriotik yang merespons estrogen.12
Teori Sel Punca
Sel punca atau stem cell terdapat di lapisan basalis endometrium, sehingga lapisan basalis endometrium tidak dilepaskan dari lapisan fungsional pada saat menstruasi. Sel punca bersifat pluripotent, yakni mampu berdiferensiasi menjadi satu atau lebih jenis sel khusus. Pada keadaan normal, sel punca endometrium tidak berdiferensiasi, diduga karena kurang responsif terhadap stimulus steroid ovarium. Sel punca endometrium memiliki asal dari sumsum tulang yang mendukung teori penyebaran hematogen dari sel-sel punca ini, di mana sel punca yang berdiferensiasi menjadi sel endometrium bermigrasi ke lokasi ektopik dan menjadi lesi endometriosis.12
Teori Autoimun dan Defisiensi Imun
Endometriosis dapat timbul ketika terjadi defek pada sistem kekebalan tubuh. Teori ini didukung oleh fakta bahwa penyakit autoimun lebih sering ditemukan pada wanita dengan endometriosis. Beberapa perubahan sistem kekebalan tubuh pada wanita dengan endometriosis adalah peningkatan jumlah makrofag yang teraktivasi, penurunan imunitas seluler, dan penekanan fungsi sel natural killer (NK).12
KLASIFIKASI
Konsensus World Endometriosis Society pada tahun 2014 memutuskan bahwa model klasifikasi penyakit endometriosis dapat menggunakan klasifikasi dari Revised American Society for Reproductive Medicine (r-ASRM), klasifikasi Enzian, dan Endometriosis Fertility Index (EFI). Hingga ditemukannya sistem klasifikasi yang lebih baik, ahli bedah sebaiknya menggunakan sistem klasifikasi endometriosis r-ASRM dan Enzian untuk mengoptimalkan informasi pascaoperasi. Derajat endometriosis dalam klasifikasi r-ASRM mempunyai korelasi yang terbatas dengan tingkat beratnya gejala dan infertilitas terkait endometriosis. Klasifikasi Enzian digunakan untuk menilai deeply infiltrative endometriosis (DIE).15,16
Klasifikasi r-ASRM tidak menilai keterampilan dan upaya yang dibutuhkan ahli bedah dalam pengangkatan endometriosis, oleh karena itu klasifikasi endometriosis yang baru telah dibentuk oleh American Association of Gynecologic Laparoscopists (AAGL) tahun 2021, yang secara akurat memberikan informasi tingkat kesulitan pembedahan yang dibutuhkan dalam pengangkatan endometriosis di rongga panggul. Klasifikasi AAGL 2021 mempunyai korelasi yang baik antara tingkat klasifikasi dengan beratnya gejala, walaupun terdapat keterbatasan yaitu tidak dapat diterapkan pada endometriosis di luar rongga panggul.17
DIAGNOSIS
Laparoskopi telah menjadi landasan diagnosis yang akurat dari endometriosis terdahulu, namun dengan perkembangan paradigma modern, individu dengan nyeri panggul, dismenorea, tumor kistik di ovarium, ataupun infertilitas, diagnosis endometriosis sudah dapat ditegakkan secara klinis dan sebaiknya segera diterapi secara medikamentosa tanpa melewati tahap laparoskopi diagnostik.18
Penanda Biokimia
Penanda biokimia yang paling banyak dikembangkan untuk diagnosis endometriosis adalah cancer antigen-125 (CA-125), cancer antige-199 (CA-199), interleukin-6 (IL-6), dan urocortin.25,26 CA-125 secara signifikan berkaitan dengan adhesi pelvis, di mana nilai CA-125
>35 U/ml mempunyai risiko 5,4 kali lebih besar untuk mengalami adhesi berat, sedangkan CA-125 >65 U/ml dianggap berkorelasi dengan endometriosis stadium lanjut.27 Nilai CA-125 dapat digunakan untuk melakukan follow-up progresivitas endometriosis selama terapi. Terdapat banyak biomolekul yang dikembangkan sebagai penanda biokimia endometriosis, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan specificity yang teruji, oleh karena itu, penanda biokimia saat ini hanya menjadi pelengkap metode diagnosis selain pencitraan atau laparoskopi. Pendekatan diagnostik baru seperti micro-RNA (miRNA) yang berada dalam peredaran darah sistemik telah dianggap sebagai kandidat biomarker yang menjanjikan karena stabil dalam sirkulasi dan memiliki profil ekspresi yang sangat spesifik.28,29 Terdapat enam miRNA yang dapat digunakan untuk membedakan antara endometriosis dan patologi ginekologi lainnya, yaitu miR-125b-5p, miR-150-5p, miR-342-3p, miR-451a, miR-3613-5p, and let-7b.30
Pencitraan
Pencitraan pada wanita dengan dugaan endometriosis perlu dipertimbangkan jika hasil pemeriksaan fisik normal. Hasil pencitraan yang normal tidak mengeksklusi diagnosis endometriosis, terutama endometriosis superfisial. Pencitraan untuk endometriosis dapat dilakukan dengan ultrasonografi (USG) transvaginal dan magnetic resonance imaging (MRI), terutama untuk endometriosis susukan dalam.22,23
TATA LAKSANA
Tata laksana endometriosis dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan gejala utama, yaitu nyeri terkait endometriosis dan infertilitas.22 Tata laksana medikamentosa dan pembedahan, keduanya memberi hasil yang efektif dalam penanganan nyeri terkait endometriosis.18 Tata laksana medikamentosa yang tersedia saat ini hanya sebatas memodulasi gejala dengan cara menekan fungsi ovulasi atau menginduksi kondisi hipoestrogenik, namun belum terdapat terapi yang mampu mengintervensi patofisiologi endometriosis secara langsung dengan profil keamanan yang baik dan kandungan efek kontrasepsi yang tidak diinginkan pada wanita yang merencanakan kehamilan.1,31
Gambar 2. Algoritma tata laksana endometriosis6
MANAJEMEN NYERI ENDOMETRIOSIS
Analgesik
Analgesik yang diberikan adalah paracetamol dan obat nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID). NSAID dapat digunakan sebagai lini pertama untuk mengatasi gejala nyeri terkait endometriosis, karena dapat menghambat produksi prostaglandin, yang berkontribusi terhadap peradangan dan nyeri terkait endometriosis.22,32
Terapi Hormonal
Pengobatan hormonal menjadi pilihan terapi lini pertama untuk pasien yang tidak memiliki keinginan untuk hamil segera. Saat ini, pengobatan hormonal adalah obat yang paling efektif untuk pengobatan endometriosis, dengan cara penghambatan aksis hipotalamus- pituitari-ovarium dan pseudodesidualisasi yang menghambat proses implantasi jaringan endometriotik ektopik.33
Meskipun bervariasi, terapi hormonal ini memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dalam mengatasi gejala nyeri dan memberikan tingkat perbaikan klinis. Namun dalam praktik klinis, masing-masing terapi mempunyai implikasi yang berbeda, mengingat tidak ada terapi hormonal yang bebas dari efek samping,34 seperti adanya kandungan efek kontrasepsi yang tidak dianjurkan bagi wanita yang berencana untuk hamil. Pedoman ESHRE tahun 2021 merekomendasikan penggunaan progestogen, PKK, agonis GnRH, atau antagonis GnRH untuk mengatasi gejala nyeri terkait endometriosis.22,31,35
Pil Kontrasepsi Kombinasi
Pil Kontrasepsi Kombinasi (PKK) digunakan untuk mengurangi gejala dispareunia, dismenorea, dan nyeri di luar haid.22 PKK yang digunakan secara kontinu akan menghambat menstruasi dan menghasilkan pengurangan nyeri terkait endometriosis yang lebih besar dibandingkan dengan yang diminum secara siklik.31,36 PKK berpotensi membuat suasana tubuh seperti dalam keadaan hamil, hal ini disebut dengan keadaan pseudopregnancy.
Progesterone
Medroxyprogesterone acetate (MPA), levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS), dan dienogest bekerja melalui mekanisme desidualisasi dan atrofi endometrium.37 LNG-IUS dan implan subdermal etonogestrel merupakan pilihan terapi progesterone untuk mengatasi nyeri akibat endometriosis (rekomendasi B).22
Agonis GnRH
Agonis GnRH a seperti nafarelin, leuprolide, buserelin, goserelin, atau triptorelin digunakan sebagai salah satu pilihan dalam mengurangi nyeri terkait endometriosis, dan digunakan sebagai terapi lini kedua (rekomendasi A)23 karena penekanan efek samping yang belum tentu efektif oleh PKK.31 Di samping itu agonis GnRH sering digunakan sebagai terapi endometriosis derajat berat sebelum dilakukan stimulasi ovarium pada program bayi tabung. Agonis GnRH dapat dikombinasi dengan PKK untuk mencegah efek samping kondisi hipoestrogenik seperti menurunnya densitas tulang (rekomendasi B).22 Penggunaan agonis GnRH ini menyebabkan penenkanan estrogen yang mirip dengan kondisi menopause atau yang disebut sebagai keadaan pseudomenopause.
Antagonis GnRH
Elagolix berpotensi menjadi terapi endometriosis dibandingkan relugolix dan degarelix, karena telah terbukti mengurangi nyeri jangka pendek secara signifikan pada dismenorea dan nyeri panggul nonmenstruasi.38 Potensi efek samping yang ada pada golongan ini antara lain kemerahan pada kulit, nyeri kepala, insomnia, dan kadar lipid serum yang tinggi.39 Antagonis GnRH dapat diberikan secara oral untuk mengurangi nyeri terkait endometriosis, meskipun bukti ilmiah mengenai dosis atau durasi pengobatan masih terbatas (rekomendasi B).22
Danazol
Danazol bukan pilihan utama pada tata laksana nyeri terkait endometriosis karena potensi efek sampingnya yang berat (rekomendasi A) seperti akne, edema, vaginal spotting, penambahan berat badan, kram otot, dan penambahan rambut wajah.22,23
Aromatase inhibitor
Aromatase inhibitor direkomendasikan pada wanita dengan nyeri terkait endometriosis refractory terhadap pembedahan atau terapi medis lainnya. Aromatase inhibitor diberikan dalam kombinasi dengan PKK, progestogen, agonis GnRH, atau antagonis GnRH (rekomendasi C).22 Pemeriksaan bone mass density (BMD) secara berkala direkomendasikan karena aromatase inhibitor berpotensi menyebabkan gejala menopause dan mengurangi densitas tulang.40,41
Pembedahan
Manajemen bedah merupakan salah satu pilihan untuk mereduksi nyeri terkait endometriosis, hal ini dipertimbangkan setelah perawatan konservatif tidak berhasil.22 Manajemen bedah untuk endometriosis dapat berupa eksisi dan/atau ablasi lesi endometriosis, kistektomi, hingga histerektomi dengan atau tanpa ooforektomi.18
TATA LAKSANA INFERTILITAS TERKAIT ENDOMETRIOSIS
Medikamentosa
Terapi hormonal tidak direkomendasikan pada kasus endometriosis pada wanita yang merencanakan kehamilan, kecuali bagi yang memutuskan untuk tidak segera hamil (rekomendasi C).22,42,43 Adapun terapi hormonal seperti agonis GnRH dengan protokol ultralong bermanfaat untuk menjaga kualitas oosit dan dapat merekrut lebih banyak folikel sehingga dapat meningkatkan keberhasilan kehamilan bahkan pada wanita dengan endometriosis tingkat III-IV.44–46 Agonis GnRH dapat diberikan sebagai tambahan terapi pada tindakan fertilisasi in vitro (FIV), intracytoplasmic sperm injection (ICSI), dan cryopreservation untuk pelestarian kesuburan wanita.47
Pembedahan
Manajemen bedah yang dapat meningkatkan kemungkinan kehamilan spontan antara lain eksisi atau ablasi lesi endometriosis, adhesiolisis untuk endometriosis yang tidak melibatkan usus, kandung kemih atau ureter, dan eksisi dinding kista endometrioma dengan memperhitungkan cadangan ovarium.48 Dalam tata laksana infertilitas, sebaiknya tidak diberikan terapi penekan hormon pascaoperasi dengan tujuan tunggal untuk meningkatkan peluang kehamilan di masa depan (rekomendasi C). Laparoskopi operatif dapat ditawarkan sebagai pilihan tata laksana untuk infertilitas terkait endometriosis tingkat I/II (rekomendasi C), begitu juga dengan deeply infiltrative endometriosis (DIE) meskipun belum ada bukti yang meyakinkan (rekomendasi D).22
Fertilisasi in vitro (FIV) dan Inseminasi Buatan
Tindakan ini merupakan teknik yang tepat pada kasus infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis, terutama jika terdapat gangguan fungsi tuba, faktor infertilitas pria, skor endometriosis fertility index (EFI) rendah, dan/atau refractory terhadap pengobatan lain (rekomendasi C). Infertilitas dengan endometriosis tingkat I/II atau tingkat III/IV dengan tuba paten, dapat diatasi dengan inseminasi buatan (intrauterine insemination/IUI) yang dikombinasikan dengan terapi obat untuk stimulasi ovarium (rekomendasi D).
Tingkat kekambuhan endometriosis pasca-FIV tidak meningkat dibandingkan dengan wanita yang tidak menjalani FIV (rekomendasi B). Setelah operasi, skor EFI harus dinilai dalam menentukan tingkat keberhasilan teknologi reproduksi berbantu (TRB).22 Inseminasi buatan dengan stimulasi ovarium merupakan penanganan infertilitas yang sering dilakukan sebagai alternatif dari tindakan FIV yang lebih invasif, 49 dan dapat digunakan sebagai tata laksana lini pertama untuk infertilitas yang tidak dapat dijelaskan.50
Sampai saat ini belum ada rekomendasi yang dapat dibuat untuk intervensi nonmedikamentosa dalam menangani gejala nyeri dan infertilitas terkait endometriosis secara spesifik. Pengobatan tradisional Tiongkok (Chinese traditional medicine), terapi nutrisi, elektroterapi, akupunktur, fisioterapi, olahraga, dan intervensi psikologis telah dipelajari untuk mengurangi gejala nyeri terkait endometriosis atau meningkatkan kualitas hidup pada wanita dengan endometriosis, namun hasilnya masih kontroversial.22
PENGEMBANGAN TERAPI BARU UNTUK ENDOMETRIOSIS
Sejumlah terapi yang sedang dikembangkan mempunyai target terapi yang spesifik yaitu aspek imunologi, angiogenik, hormonal, genetik, neurogenesis lokal, dan sensitisasi sentral dari patogenesis penyakit endometriosis dengan harapan memiliki potensi yang lebih baik dalam menghasilkan regresi penyakit.1,31
Kesimpulan
Diagnosis endometriosis secara klinis dapat menjadi dasar dimulainya terapi secara dini, sehingga progesivitas penyakit ke derajat yang lebih berat dapat dicegah, serta metode diagnostik invasif seperti laparoskopi dapat dihindari. Endometriosis merupakan penyakit sistemik yang membutuhkan penanganan jangka panjang, baik dengan terapi medikamentosa maupun terapi pembedahan yang merupakan pertimbangan akhir. Terapi yang tersedia untuk nyeri terkait endometriosis saat ini adalah analgesik, hormonal, eksisi/ablasi, kistektomi, dan histerektomi dengan atau tanpa ooforektomi. Terapi yang tersedia untuk infertilitas terkait endometriosis adalah agonis GnRH, eksisi/ ablasi, adhesiolisis, dan fertilisasi in vitro. Terdapat banyak metode diagnostik dan terapi baru yang sedang dikembangkan. Dibutuhkan pendekatan pengambilan keputusan secara bersama dan mempertimbangkan preferensi individu, efek samping, kemanjuran individu, biaya, dan ketersediaan terapi dalam memilih tata laksana hormonal dan bedah. Manajemen endometriosis modern harus mencakup pendekatan yang berfokus pada pasien untuk menjaga kesejahteraan secara keseluruhan seperti manajemen stres, peningkatan kualitas hidup, serta mengatasi semua manifestasi yang bersifat kronis dan sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
Bedaiwy MA, Alfaraj S, Yong P, Casper R. New developments in the medical treatment of endometriosis. Fertil Steril. 2017;107(3):555-65.
Berek JS, PJA H. Berek & Novak’s Gynecology 15th Ed. Wolters Kluwer Health; 2012.
Caughey TLC& AB. Blueprints Obstetrics & Gynecology. Vol 148. 7th Ed. (Hauber M, ed.). Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business; 2018.
Speroff, Marc A. Fritz L. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Vol 148. 8th Ed. Lipponcott Williams &Wilkins, a Wolters Kluwer business; 2011.
Zondervan KT, Becker CM, Koga K, Missmer SA, Taylor RN, Viganò P. Endometriosis. Nat Rev Dis Prim. 2018;4(1).
Taylor HS, Kotlyar AM, Flores VA. Endometriosis is a chronic systemic disease: clinical challenges and novel innovations. Lancet 2021;397(10276):839-52.
Shafrir AL, Farland L V., Shah DK, et al. Risk for and consequences of endometriosis: A critical epidemiologic review. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol. 2018;51(July):1-15.
Organization WH. Women of reproductive age (15-49 years) population (thousands). Published 2021. Available on URL https://www.who.int/data/maternal-newborn-child-adolescent-ageing/indicator-explorer-new/mca/women-of- reproductive-age-(15-49-years)-population-(thousands), cited Nov 2021.
Ottolina J, Schimberni M, Makieva S, et al. Early-Life Factors, in-Utero Exposures and Endometriosis Risk: A Meta- Analysis. Reprod Biomed Online 2020;41(2):279-89.
Parasar P, Ozcan P, Terry KL, Terry KL. Endometriosis : Epidemiology, Diagnosis and Clinical Management. Curr Obstet Gynecol Rep 2017;6(1):34-41.
Harris HR, Eke AC, Chavarro JE, Missmer SA. Fruit and vegetable consumption and risk of endometriosis. Hum Reprod. 2018;33(4):715-27.
Chopra S. Endometriosis: An Enigma. (Chopra S, ed.). Taylor & Francis Group, LLC; 2020.
Arafah M, Rashid S, Akhtar M. Endometriosis : A Comprehensive Review. Adv Anat Pathol. 2021;28(1):30-43.
Chantalat E, Valera MC, Vaysse C, et al. Estrogen receptors and endometriosis. Int J Mol Sci. 2020;21(8):1-17.
Johnson NP, Hummelshoj L, Adamson GD, et al. World Endometriosis Society consensus on the classification of endometriosis. Hum Reprod 2017;32(2):315-24.
Andres MP, Borrelli GM, Abrão MS. Endometriosis classification according to pain symptoms: can the ASRM classification be improved? Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol. 2018;51:111-8.
Abrao MS, Andres MP, Miller CE, et al. AAGL 2021 Endometriosis Classification: An Anatomy-based Surgical Complexity Score. J Minim Invasive Gynecol. 2021;28(11):1941-50.
Carlyle D, Khader T, Lam D, Vadivelu N, Shiwlochan D, Yonghee C. Endometriosis Pain Management: a Review. Curr Pain Headache Rep. 2020;24(9).
Morotti M, Vincent K, Becker CM. Mechanisms of pain in endometriosis. Eur J Obstet Gynecol. 2016;209;3-8.
Chiantera V, Abesadze E, Mechsner S. How to understand the complexity of endometriosis-related pain. Journal of Endometriosis and Pelvic Pain Disorders 2017;9(1):30-8.
Ronnett BM. Blaustein’s Pathology of the Female Genital Tract.
European Society of Human Reproduction and Embryology. Guideline on the management of women with endometriosis. Available on URL https://www.eshre.eu/Guidelines-and-Legal/Guidelines/Endometriosis-guideline.aspx cited Nov 2021.
Supriyadi A, Haryadi D, Sauqi H, et al. Konsensus Tatalaksana Nyeri Endometriosis. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertil Indones. Available on URL https://staff.ui.ac.id/system/files/users/kemal.harzif/publication/konsensus_ endometriosis.pdf cited Nov 2021.
Thomas A. Transvaginal sonography vs. clinical examination in the preoperative diagnosis of deep infiltrating endometriosis. Ultrasound Obstet Gynecol. 2011;37(4):480-7.
Anastasiu CV, Moga MA, Neculau AE, et al. Biomarkers for the noninvasive diagnosis of endometriosis: State of the art